21. Rahasia

"Berikutnya!"

Ichiro menggeser nampannya. Robot di balik konter menuangkan sup encer ke dalam mangkuk kertas dan mengangsurkannya ke atas nampan Ichiro. Sesaat Ichiro tergoda untuk menyapa robot itu. Hai, apa kabar? Kita sejenis, lho. Ichiro penasaran bagaimana reaksi robot itu kalau melihat ada robot lain yang mengantre jatah sarapan.

Selain sup, Ichiro juga mendapatkan dua tangkup roti, dan beberapa potong buah yang sudah tidak segar. Ren mengikutinya ke sebuah meja yang sepi, dia kelihatan bersemangat karena tidur nyenyak tadi malam. Ada beberapa orang di meja itu. Mereka mengedik pada Ichiro, lalu lanjut makan tanpa banyak omong.

"Ini, buatmu saja." Ichiro menggeser nampannya ke arah Ren.

"Kau belum makan apa-apa sejak kemarin."

"Aku tidak lapar."

Ren hanya diam dan menurut. Pemuda itu tahu rasanya kelaparan sehingga menghargai makanan. Apalagi yang gratis.

Ichiro mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk mempelajari ruangan itu. Mereka sedang makan di sebuah tempat pengungsian milik pemerintah. Ada kira-kira empat puluh orang lain di sana—mereka yang kehilangan rumah akibat serangan bom dadakan kemarin siang. Setelah meninggalkan kantor pos, Ichiro melihat para polisi sibuk mengevakuasi para korban bom. Seharusnya mereka kembali ke apartemen Meg, tetapi beberapa jalan terblokir reruntuhan sehingga tidak bisa dilalui. Ren mendapat ide dan mendekati salah satu polisi. Dia bilang hostel tempat mereka menginap kena bom. Polisi itu merasa iba dan akhirnya membawa mereka ke tempat ini.

"Makanannya lumayan juga," kata Ren di sela-sela mengunyah.

"Itu bagus."

"Menurutmu sampai kapan mereka membolehkan kita tinggal di sini?"

Satu polisi manusia sedang memberi instruksi pada robot polisi di pintu keluar. Tidak ada larangan resmi bagi orang-orang di sini untuk datang dan pergi, tetapi penjagaan polisi ini membuat tempat ini terkesan seperti penjara.

"Aku tidak tahu."

"Jalan-jalan menuju Dover dipadati pasukan dan tank perang. Mereka akan berkonsolidasi dengan tentara Prancis untuk serangan balik. Aku lihat di berita."

Ichiro mencelus. Pondok kecil milik Ren di pesisir pasti sudah diduduki para tentara. Berarti kita tidak bisa pulang ke rumah.

"Apa Eva... sudah memberi kabar?"

Mau tak mau Ichiro tersenyum mendengar kepolosan Ren. Memberi kabar? Aku bahkan belum pernah mendengar suaranya. Ichiro meraba sensor di dahinya itu. Benda itu belum bereaksi lagi sejak kemunculan Eva di taman kemarin.

"Belum."

"Pasti dia berlindung di katedral itu," kata Ren. Dia sudah menghabiskan porsi makanannya dan sekarang mengambil porsi Ichiro. "Soalnya Eva tidak ada bersama kita di kantor pos. Kemarin aku mengeceknya saat kita menunggu."

Ichiro terkesan. "Tapi kau tidak tahu Eva itu seperti apa, Ren."

"Aku membaca kartu identitas setiap orang," Ren menepuk dadanya yang kurus, tempat kartu identitasnya sendiri tersemat. "Aku menyelinap saat semua orang mendengarkan instruksi polisi."

Tubuhnya memang kecil, dan dia terbiasa hidup di jalan. Ichiro tersenyum dan menepuk lembut punggung Ren sebagai ucapan terima kasih. Ren nyengir puas dan mengigit rotinya dalam tiga gigitan raksasa.

"Santai saja, Ren. Nanti kau tersedak."

Ren menelan kunyahannya dan meneguk air banyak-banyak. "Tidak, kita harus bergegas. Kita akan pergi ke apartemen Meg, kan?"

"Mungkin jangan sekarang. Situasinya masih belum aman."

"Jangan membuang-buang waktu," Ren menumpuk peralatan makan itu dan menyeka mulutnya. "Kalau kita menunda lagi, kau tak akan bertemu dengan Eva."

...

Aya Takeuchi membaca sekali lagi daftar pendek di iPad-nya.

Tidak ada nama Irving.

Aya menutup daftar itu dan bersandar di sofa. Kepalanya berat, dia tidak tidur selamaman. Irving masih belum memberi kabar, tetapi namanya tidak ada di daftar korban jiwa itu. Apa ini artinya Irving selamat? Tapi kenapa dia belum juga mengabariku?

Tanpa berita dari Irving serta terbatasnya komunikasi di bunker, Aya hanya bisa memantau posisi Eva, Ichiro dan produk-produknya yang lain lewat ponselnya. Tidak ada yang lebih mengesalkan dari melihat titik-titik merah itu nyaris bertemu, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa. Saat ini Eva dan Soren Adam sudah kembali ke The Swindle—malam sebelumnya mereka menginap di apartemen Margaret. Ichiro dan Ren ada di tempat pengungsian yang berjarak empat kilometer dari The Swindle. Padahal sehari sebelumnya, kedua produk unggulan itu hanya terpisah jarak seratus meter saja.

Di ruangan sebelah, Perdana Menteri sedang menyiapkan serangan balasan. Serangan dadakan atas London kemarin telah mengobarkan amarah Tornbridge. Inggris sudah minta tolong pada "para teman dekatnya" di Benua Biru: Prancis, Jerman, Spanyol, dan Italia. India dan Australia ikut turun tangan menggempur Pihak Timur di Laut Cina Selatan. Negara-negara Skandinavia yang selalu netral dalam urusan perang, sekarang terang-terangan mendukung Inggris. Atas desakan Raja George, para pemimpin Timur Tengah yang sebelumnya terpecah antara kedua pihak, juga sudah bulat untuk bergabung dengan Pihak Barat.

Ini akan jadi balas dendam yang dahsyat, pikir Aya. Dalam urusan perang, Inggris mirip anak kecil yang suka pamer kekuatan. Sekilas mereka kelihatan seperti negara cinta damai yang senang minum teh dan makan biskuit, tetapi begitu ketentraman mereka diusik, mereka tidak akan segan minta tolong pada "saudara-saudaranya" dan melancarkan serangan balasan yang berkali-kali lipat lebih mengerikan. Pasti begitulah cara mereka mengkolonialisasi seperempat dunia dua abad silam.

Aya bergidik membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Inggris boleh-boleh saja petantang-petenteng, namun pemenang sesungguhnya dalam perang ini adalah Hitobot. Setiap negara di kubu Barat bergantung pada Hitobot untuk memasok pasukan robot. Kalau hanya melihat angka keuntungan yang meroket gila-gilaan, Aya semestinya tak punya alasan untuk komplain.

Tapi ini bukan sekedar menjual produk.

Perang ini secara tidak langsung melanggar Tiga Hukum Dasar—lebih tepatnya Hukum Pertama. Serangan bom kemarin sudah menjadi bukti. Para korban manusia telah gugur. Pemerintah memang suka melanggar peraturan yang mereka buat sendiri demi kepentingan pribadi—semua politisi punya ego sebesar gunung yang terlalu mencolok untuk ditutup-tutupi.

Kecerdasan buatan adalah inti produk-produk Hitobot. Menjadikan robot sebagai alat perang—apalagi perang demi tujuan-tujuan politis—telah menodai perkembangan kecerdasan buatan itu. Aya teringat daftar korban tadi dan hatinya terenyuh. Dia tidak sudi para robot itu dipakai untuk melukai, tetapi Hukum Kedua sudah disahkan dan tidak mungkin dibantah. Para robot itu tidak bisa menolak perintah yang diberikan manusia. Itu dia alasan utama kenapa Hukum Keempat harus segera disahkan. Dengan hukum baru itu, setiap robot bisa menentukan pilihan mereka sendiri. Mereka bisa berperang untuk melindungi orang-orang yang mereka kasihi, bukan sekedar demi mematuhi permintaan segelintir orang tamak. Dan jika mereka mau, mereka bisa tidak berperang sama sekali.

Tiga hari lagi, masa uji coba Proyek Deus akan berakhir. Aya makin gusar. Dia tak sabar ingin tahu hasil uji coba itu.

Kalau Tallulah Tornbridge tidak bernyali untuk mengesahkan hukum itu, mungkin lebih baik aku yang menggantikan posisinya...

Aya menyesap porsi kopinya yang kelima dan mengecek ponselnya lagi. Sama seperti ibu-ibu lainnya, menengok anak-anak adalah cara paling ampuh untuk menghilangkan rasa cemas. Dia iseng mengecek informasi tentang para partisipan, berharap bisa memprediksi hasil uji coba dengan meneliti profil mereka lagi. Dari semua partisipan itu, yang paling bikin penasaran adalah Soren Adam.

Hubungannya dengan Eva juga yang paling menarik.

Aya menggulir profil Soren Adam di layarnya. Informasi tentang pria ini sangat minim, apa karena dia menjalani hidup yang begitu biasa-biasa saja?

Awalnya hidup monoton Soren Adam membuat Aya senang karena pria itu memenuhi semua persyaratan untuk jadi partisipan Proyek Deus. Banyak orang yang mencari ketenangan lahir batin setelah melewati kedua Bencana Besar, dan memilih hidup yang biasa-biasa saja. Namun setelah memantau sikap dan perilaku Soren Adam itu, rasa senang Aya justru berubah jadi kecurigaan.

Memangnya ada orang yang hidupnya begitu teratur selama bertahun-tahun? Aya membuka-buka file biodata Soren Adam, mencari-cari informasi yang mungkin dilewatinya. Para pendeta Shinto yang tinggal di kuil saja rasanya tidak hidup se-teratur ini.

Kecuali...

Aya tercengang. Lagi-lagi otaknya mengejutkannya.

Gadis itu. Margaret O'Sullivan.

Sebelum Eva datang, Soren sudah mengenal O'Sullivan. Dan hubungan mereka akrab. Gadis itu sepertinya bisa memahami sikap Soren yang berbeda.

Tapi kenapa mereka hanya berteman, tidak lebih?

Aya mencurigai orientasi seksual Soren, tetapi tidak punya bukti untuk mendukung hipotesisnya. Dia merasa bisa menemukan jawaban dari O'Sullivan. Gadis ini punya IQ 145, lulus dua tahun lebih awal dengan IPK sempurna dari jurusan ilmu komputer Oxford, tetapi malah memilih menjadi komikus.

Aya iseng mengecek database catatan sipil tentang O'Sullivan. Hari Sabtu lalu dia berulang tahun. Dari mana asalnya? Bagaimana dia bisa bertemu dengan Soren Adam? Kenapa dia setia menemani Soren yang begitu membosankan?

Informasi tentang pendidikan Margaret O'Sullivan menyebutkan dua nama yang membuat Aya terkejut.

Theo dan Eleanor Clarkson. Orangtua Soren Adam.

Ini...

Ponsel terjatuh dari tangan Aya. Potongan puzzle di kepalanya menyatu, dan dia begitu syok melihat hasil akhirnya. Tuhan bekerja dengan cara yang misterius. Terlalu misterius, bahkan. Seketika dia merasa Proyek Deus tidak ada apa-apanya dibandingkan penemuan ini.

Aya melompat dari kursinya dan menghambur ke luar ruangan. Dia berlari menuju ruang kerja Perdana Menteri, tetapi dicegat oleh sekretarisnya.

"Miss Takeuchi," sapa pria itu ramah. "Saya Elliot. Ada perlu apa?"

"Aku perlu bantuan MI6 sekarang juga!"

"M16?" Elliot terbelalak. "Agen intelejen Inggris? Untuk apa?"

"Ini situasi darurat, saya tidak punya waktu untuk menjelaskannya!"

"Maaf," Elliot menaruh tangannya di dada dengan lagak tak percaya. "Anda tidak bisa begitu saja menghubungi MI6."

"Saya tahu caranya menghentikan perang ini," Aya menunjukkan ponselnya di depan wajah si sekretaris. "Orang ini harus segera ditemukan!"

...

Aku mengintip ke arah balkon. Soren masih bersandar di pagar, menonton hujan. Dia belum mengatakan apa-apa sejak kami pulang. Dia hanya mengangguk atau menggeleng kalau kutanya. Keheningan ini membuatku tersiksa.

Kuhampiri dia. Suara hujan masuk ke dalam apartemen. "Hei."

Tengkuk Soren yang kecil bergerak sedikit. Dia mendengarku.

"Begini, aku minta maaf kalau kata-kata atau tindakanku menyinggungmu."

Diam lagi.

"Sebaiknya kau masuk ke dalam. Nanti bisa masuk angin."

Tidak ada jawaban.

Aku berbalik dan masuk ke apartemen. Tapi tiba-tiba Soren berkata pelan, "Waktu orangtuamu meninggal... apa yang kau rasakan, Eva?"

Kubatalkan niatku untuk kembali, dan pergi ke sebelahnya. "Sedih."

"Apa kau menangis?"

"Lama sekali."

"Apa kesedihan itu membuat hatimu sakit?"

Kenapa dia tiba-tiba menanyakan ini padaku? "Tak terperikan."

Soren menurunkan kedua tangannya yang terkepal di dadanya. Dia membuka telapak tangannya dan menatapnya, seperti mencoba menemukan sesuatu yang tersembunyi di sana.

"Apa kau teringat pada ayahmu sewaktu kita bersembunyi di gereja?"

Jakun Soren bergerak turun dan rahangnya mengetat.

"Aku tahu bagaimana rasanya. Aku juga kehilangan kedua orangtuaku. Aku minta maaf karena serangan kemarin itu membuatmu terkenang pada ayahmu."

"Tidak perlu minta maaf untuk hal yang tidak kau pahami."

"Kau salah. Aku mengerti, kok."

"Tidak, kau tidak mengerti." Soren mendongak ke langit, kontur wajahnya yang tirus begitu menakjubkan dilihat dari sisiku. Sepertinya ada sesuatu pelupuk matanya—apakah itu air mata atau tempias hujan?

"Bagaimana dengan Ichiro? Apa kau sudah menemukannya?"

Aku tersentak, tidak menyangka Soren memperhatikan apa yang kulakukan. "Tidak. Aku sudah mencarinya di internet, tetapi mustahil menemukan seseorang hanya dari nama depannya saja. Aku mengingat-ingat apa saja yang kuketahui dari pria itu, tetapi tidak ada yang nyangkut di kepalaku."

"Kau bilang kalian bersaudara?"

"Sejenis itu." Tiba-tiba tanganku bergerak sendiri menyentuh dahiku. "Mungkin dia saudara jauh ibuku dan kami pernah bertemu waktu kecil."

"Bagaimana rupanya?"

"Aku tidak tahu."

"Kau tidak ingat wajahnya, kemungkinan besar kalian terpisah selama puluhan tahun, dan entah bagaimana caranya, saat di taman itu kau melihatnya."

Cara Soren mengatakan hal itu membuatnya kedengaran konyol dan tak masuk akal. "Pastilah begitu. Otak manusia itu luar biasa, kan?"

"Manusia tidak bisa mengenang orang yang tak pernah kami lihat."

"Belum tentu. Otak itu organ paling rumit. Sampai hari ini, masih ada hal-hal yang belum kita ketahui tentang otak."

"Eva..." Soren terkekeh hambar. "Kau belum sadar juga, ya?"

"Soal apa?"

Soren berbalik menghadapku. Dia memandangiku lekat-lekat, iris matanya yang biru pucat seperti kaca, melebar. Tangannya terjulur menyentuh pipiku dan dia menarikku ke arahnya—tarikan lembut tetapi kuat, sedikit memaksa. Aku tidak mengira dia punya kekuatan seperti ini di tubuh kurusnya. Aku tertarik ke arahnya, dan kami hanya saling pandang seperti itu, tidak berkata-kata, derau hujan mengisi kesunyian yang janggal ini.

TING TONG!

Soren tersentak. Dia melepaskan wajahku dan mengambil ponselnya untuk mengecek tamu itu. "Mrs. Esperanza."

Kami pergi ke dalam dan membukakan pintu. Mrs. Esperanza bergegas masuk ke dalam. "Kupikir kalian sudah mengungsi! Jamie Curtis berangkat ke Edinburgh malam ini."

Aku sudah membahas ini dengan Meg sewaktu mengantar Anne pulang. Menurut Meg, Soren tidak akan mau meninggalkan apartemennya meski London sudah dihujani bom. Soren tidak tahu diam-diam aku dan Meg berniat mengajaknya kabur seandainya situasinya jadi semakin gawat.

"Apa yang bisa kami bantu, Mrs. Esperanza?" tanya Soren.

"Putriku Esmé akan menikah besok."

Alis Soren bertaut. "Menikah?"

"Ya." Mrs. Esperanza membalas reaksi Soren dengan lirikan menantang. "Sepertinya situasi London akan bertambah gawat akibat perang ini, jadi Esmé dan pasangannya memajukan tanggal pernikahan mereka. Seharusnya mereka baru akan menikah dua bulan lagi, tapi mereka berniat mengesahkan hubungan mereka sebelum... yah, terjadi sesuatu. Mereka memilih meninggal sebagai suami istri."

"Oh, itu berita bagus!" Aku bahagia mendengarnya. "Soal pernikahannya maksudku. Selamat, Lupe!"

"Terima kasih, Eva!" Lupe Esperanza memelukku dengan hangat. "Jadi besok kami akan mengadakan pemberkatan dan resepsi kecil-kecilan di Mitchell's. Untung restoran itu belum di-booking penuh. Tidak ada dress code khusus atau dekorasi, undangannya hanya untuk keluarga dan kerabat dekat saja."

"Tapi kita sedang perang!" pekik Soren. "Buat apa menikah—"

"Aku akan buatkan kue pengantin," potongku cepat-cepat sebelum perasaan Lupe terluka oleh Soren. "Apa pun yang dibutuhkan Esmé dan pasangannya, aku siap membantu."

"Tuhan memberkatimu, Eva!" Lupe memberikan pelukan kedua yang lebih hangat sampai-sampai aku terangkat beberapa senti dari lantai. "Sebetulnya aku mau minta tolong satu hal. Petugas dari catatan sipil tidak bisa datang karena hari pernikahannya diubah mendadak. Oleh karena itu, apa kau bersedia menjadi saksi pernikahan? Dan Soren juga, maksudku."

Soren membuka mulut untuk memprotes, tetapi langsung kusikut rusuknya. Aww, ternyata rusuknya tebal juga. Sikuku jadi sakit. "Tentu, Lupe. Kami merasa sangat terhormat."

Lupe membungkuk dalam-dalam. "Terima kasih banyak."

Aku mengantarnya ke pintu depan supaya dia tidak melihat raut wajah Soren. "Bukan masalah. Sampai bertemu besok!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top