2. Survei
Orang-orang menganggap Aya Takeuchi layak untuk menyombongkan diri. Namun sayang sekali, Aya bukan orang yang suka pamer seperti itu.
Bencana Besar Pertama adalah titik balik dalam karier gemilang seorang Aya Takeuchi. Usianya baru tujuh tahun ketika virus Corvax bocor dari sebuah lab di negeri tetangga Jepang. Kedua orangtua Aya menjadi korban PHK massal yang terjadi di semua negara. Selama sepuluh tahun Corvax merajalela, Aya menyaksikan bagaimana orang-orang yang dicintainya tumbang satu demi satu karena tidak mampu melawan serangan virus mematikan itu. Di 2030, ketika vaksin utama berhasil ditemukan, tiga perempat anggota keluarga Aya termasuk ke dalam satu milyar manusia yang meninggal akibat infeksi Corvax.
Semua orang berpikir hidup sudah bisa pulih seperti semula setelah ada vaksin. Namun pemanasan global rupanya sudah menunggu giliran untuk unjuk gigi. Aya baru tamat SMA saat bencana-bencana alam itu muncul bertubi-tubi. Tokyo tenggelam dilahap gelombang pasang. Sapporo dilanda badai salju tanpa henti selama satu dekade. Okinawa begitu panas sehingga telur mentah bisa matang hanya dengan dijemur. Tanaman pangan musnah. Para binatang mati karena cuaca ekstrem. Hutan-hutan dilalap api, sungai-sungai menguap, dan danau-danau berubah jadi padang pasir. Bencana Besar Kedua baru saja dimulai.
Melihat kondisi alam yang kacau balau, Aya sadar bahwa manusia sedang menuai karma atas perbuatan-perbuatan mengerikan yang telah mereka lakukan. Dia memutuskan untuk mengambil jurusan robotika di universitas. Spesies kami di ambang kepunahan, pikirnya kala itu. Mesin adalah kunci masa depan.
Prediksi Aya terbukti benar. Rentetan bencana tanpa henti itu terus menggerus angka populasi manusia ke level yang mengkhawatirkan. Saat Aya lulus kuliah, lima ratus juta orang di seluruh dunia meninggal akibat iklim yang tidak bersahabat. Sisa-sisa anggota keluarga Aya yang selamat dari Bencana Besar Pertama, kini turut tersapu habis.
Para ahli mencoba memakai teknologi untuk menghalau kiamat yang sudah di depan mata itu. Manusia sudah terbukti teledor dalam mengurus planetnya sendiri, begitu kata para profesor Aya di kampus. Kita harus mencari alternatif lain.
Robot-robot pun diciptakan untuk menyelamatkan kehidupan.
Jepang menjadi pelopor dalam bidang ini. Jauh sebelum dunia mengenal kata "robot", Jepang sudah terobsesi menciptakan mesin terbaik. Aya menganggap dirinya beruntung lulus kuliah di saat yang tepat. Dia bergabung dengan sebuah perusahaan startup di bidang kecerdasan buatan: Hitobot.
Awalnya tidak ada yang mengenal nama Hitobot. Namun perkembangan teknologi robotik menginginkan robot-robot yang tidak hanya mampu bertahan terhadap serangan virus dan iklim yang keras, tetapi juga cerdas. Dalam sekejap saja, kecerdasan buatan menjadi ladang emas baru. Ketika perusahaan-perusahaan lain baru mau ikut ambil bagian, Hitobot sudah memproduksi robot-robot dengan kecerdasan buatan. Perusahaan itu menjadi pelopor teknologi android—robot yang menyerupai manusia, dan produk-produk mereka laku keras di pasaran. Dalam satu dekade saja, tujuh puluh persen android yang beredar di Bumi diproduksi oleh Hitobot. Perusahaan yang dulunya tidak dikenal itu menjelma menjadi pemimpin dalam usaha global mengatasi dampak Bencana Besar Kedua.
Aya ikut kecipratan, perkembangan gila-gilaan Hitobot itu melambungkan kariernya. Perusahaan itu menghargai orang-orang visioner seperti Aya, dan Aya sigap menyambar setiap kesempatan yang ada untuk meningkatkan posisinya. Semangat ikigai dan nihon no kokoro—jiwa nasionalisme—yang berkobar-kobar dalam diri Aya, menjadikannya satu dari sedikit wanita hebat yang diperhitungkan dalam industri robotika yang didominasi oleh kaum pria.
Di tahun 2040, ketika Bencana Besar Kedua berakhir, Aya sudah menduduki posisi direktur departemen riset di Hitobot Jepang. Para petinggi Hitobot (orang-orang yang sepuluh tahun sebelumnya hanya makan ramen dan berbagi satu meja kerja) mengenal baik sifat ulet dan pantang menyerah Aya. Mereka menawarkan posisi yang lebih menggiurkan bagi Aya: direktur Hitobot cabang Eropa yang bermarkas London.
Bagi wanita lain, tawaran itu mungkin terlalu ambisius, tetapi Aya tahu inilah cita-cita hidupnya. Demi kebaikan yang lebih besar. Maka Aya mengepak barang-barangnya dan terbang menyeberangi separuh planet menuju Inggris.
Lima tahun lalu Aya mendarat di London, dan sampai hari ini visinya tentang robot sama sekali tidak berubah. Setelah tahun 2040, para penyintas kedua Bencana Besar mulai tertatih-tatih membangun kembali hidup. Namun karena jumlah manusia telah turun drastis hingga sampai setengahnya, ketergantungan terhadap para robot mustahil dienyahkan. Sebagian orang menganggap simbiosis satu arah ini berpotensi menghancurkan manusia, namun lagi-lagi seorang Aya Takeuchi sudah melihat jauh ke depan.
Ini bukan akhir, tetapi awal. Kelak robot tidak hanya akan menjadi asisten saja. Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan pendamping jika ingin terus melanjutkan hidup. Dan para robot bisa menjadi pasangan hidup yang sempurna.
Ketidakbecusan manusia menjadi penyebab kedua Bencana Besar, Aya tahu betul soal itu. Eksperimen tidak bertanggung jawab terhadap virus berbahaya dan eksploitasi berlebihan terhadap alam menjadi pangkal kedua malapetaka itu. Kita memang makhluk aneh, pikir Aya. Kita selalu ingin memiliki kuasa seperti Tuhan, tetapi tidak punya sejengkal pun kebijaksanaan untuk menentukan pilihan. Ujung-ujungnya, kita selalu mengacau. Manusia seperti anak kecil yang egois.
Aya sering malu sendiri kalau memikirkan soal itu.
Tetapi robot berbeda.
Para robot tidak pernah ragu-ragu karena seluruh tindak tanduk dan pola pikir mereka dilandaskan pada dua pilihan saja. Komputer di kepala mereka bekerja berdasarkan sistem biner: nol atau satu. Ya atau tidak. Benar atau salah. Hitam atau putih. Tidak ada di tengah-tengah. Tidak seperti manusia, mesin sanggup mencapai kesempurnaan.
Mesin punya kapasitas untuk menjadi seperti Tuhan.
Yang mereka perlukan hanyalah kesempatan.
Ide ini kedengaran nyaris di luar nalar, bahkan bagi seorang visioner sejati seperti Aya. Namun tanpa keraguan, Aya tetap nekat mencetuskan idenya itu pada koleganya di direksi Hitobot. Dia ingin tahu apa reaksi orang-orang itu.
Memperkenalkan: Proyek Deus.
Kesenangan utama bekerja dengan orang-orang yang juga visioner adalah ide-idemu tak akan pernah ditolak, tak peduli seberapa sinting ide-ide itu. Kaum visioner selalu melihat potensi dalam setiap ide, dan Proyek Deus punya potensi besar. Masif. Hitobot betul-betul akan menjadi juru selamat spesies Homo sapiens seandainya proyek itu berhasil. Aya mendapat lampu hijau, dan dia mulai bekerja.
Lompatan besar dimulai dari langkah-langkah kecil—banyak yang mencibir peribahasa itu, tetapi Aya sudah terlalu sering membuktikannya. Aya memulai proyek raksasa itu dengan hal paling mendasar: menyiapkan produk. Dia memilih sepuluh android terbaik Hitobot untuk dilepas secara acak ke pasar, tetapi menyisipkan dua produk unggulan di antara mesin-mesin itu. Kemudian Aya dan timnya menyusun survei sederhana untuk mengetahui kesediaan calon partisipan ikut di Proyek Deus dan menyebarkannya kepada para pengguna internet.
Sebetulnya aku tidak menjelaskan secara eksplisit, sih...
Tapi Aya sengaja mengatur seperti itu. Jangan buru-buru menjabarkan tujuan proyek ini, nanti orang-orang gempar. Salah satu kualitas diri yang bisa dia banggakan adalah kesabaran khas Jepang-nya. Ini seperti seni menanam bonsai. Dimulai dari benih, yang lama-lama tumbuh...
Tiga ribu responden menjawab survei yang dibuat untuk Proyek Deus. Angka itu sedikit di bawah prediksi, Aya menargetkan setidaknya ada lima ribu orang yang berminat mencari pasangan hidup baru. Banyak juga responden yang mengisi survei itu asal-asalan, Aya curiga mereka lebih tertarik mendapat uang sepuluh ribu pound itu ketimbang berkontribusi untuk riset. Sisanya tidak memenuhi kualifikasi menjadi partisipan riset sama sekali; anggota tim Proyek Deus mengorek informasi dari setiap responden seperti dokter mengorek jaringan busuk dari tubuh. Mereka ingin mendapatkan calon partisipan yang tepat.
Terlalu muda. Kurang berpendidikan. Sering ditilang...
Malam itu di kantornya, Aya memegang data terkini dari seleksi para partisipan survei. Dia menggulir laporan di layar iPad-nya dan merasa kepalanya semakin pusing seiring bertambahnya halaman yang dia baca.
Mangkir membayar pajak. Pemakai narkoba. Punya properti gelap di luar negeri. Pernah kena kasus pelecehan seksual...
Ternyata sulit sekali mencari partisipan yang memenuhi semua kriteria yang diperlukan untuk Proyek Deus. Aya mulai merasa Tuhan punya selera humor yang aneh. Dia mengizinkan kematian tiga milyar manusia dalam dua dekade, dan menyisakan orang-orang seperti ini untuk meneruskan kehidupan?
Timnya sudah menyeleksi beberapa calon partisipan yang dirasa potensial. Aya sudah mengecek semua profil calon partisipan itu. Mereka cukup bagus, tetapi Aya kurang terkesan. Keseringan bekerja dengan mesin yang begitu presisi membuat Aya tidak bisa mentoleransi kesalahan sekecil apa pun.
Lebih baik tidak sama sekali daripada keliru sedikit.
Satu pesan baru muncul di kotak masuk surelnya. Laporan analisis terkini. Rupanya timku masih bekerja meskipun sudah tengah malam begini. Aya sengaja menurunkan ekspektasinya, lalu membuka laporan itu.
Soren Adam. Dua puluh lima tahun. London.
Meraih sarjana desain dari Imperial College. Lulus ujian mengemudi dalam sekali coba. Tidak pernah kena tilang. Rutin membayar semua tagihan tepat waktu. Tidak pernah mendapat komplain dari tetangga.
Aya membetulkan posisi duduknya yang melorot.
Tidak merokok dan minum alkohol. Tidak pernah pergi ke klub malam atau menyewa pelacur. Hanya membuka situs berita dan YouTube. Tidak pernah dirawat di rumah sakit. Tidak mengonsumsi obat. Berolahraga setiap pagi. Tidak punya penyakit bawaan. Tidak punya profil media sosial. Selalu naik kereta yang sama setiap pagi. Bekerja di Tesco selama lima tahun dan tidak pernah terlambat.
Aya menyipitkan matanya. Apa ada orang seperti ini?
Satu-satunya hal yang bisa disebut menarik dalam hidup Soren Adam terjadi di tahun 2038, saat usianya delapan belas tahun. Pergi memancing bersama ayahnya, Aya membuka sebuah laporan panjang dari kepolisian. Angin kencang tiba-tiba muncul, membalikkan perahu. Lupa memakai pelampung. Berhasil diselamatkan robot penjaga pantai di waktu yang tepat.
Aya geleng-geleng membaca laporan itu. Orang tolol mana yang pergi memancing di laut tanpa memakai pelampung, saat cuaca ekstrem begini?
Poin selanjutnya berbunyi: Berhasil melewati kedua Bencana Besar.
Punggung Aya yang tadi lunglai berubah jadi setegak gapura kuil Jepang.
Belum pernah menjalin hubungan percintaan dengan orang lain.
Perasaan itu menyentil nurani Aya. Perasaan yang sama yang membuatnya mengambil setiap keputusan dalam hidupnya. Dia takjub sendiri memahami apa arti sentuhan batin itu. Dia sudah menemukan apa yang dicarinya.
Aya menekan tombol 'Approve' di bagian bawah laporan itu.
Kuharap pria ini suka kejutan, pikirnya geli.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top