18. Mencari Jawaban
"Titik merah itu... kau melihatnya?"
Bayangan Ren di cermin mengangguk. "Apa sensor itu bisa dimatikan?"
Ichiro memijat dahinya supaya sensor itu lebih terlihat, tetapi benda itu malah tertanam semakin dalam di kulitnya. "Aku sudah mencoba segala cara. Tidak bisa."
Ren mengusap wajahnya. "Apa ini artinya... kau sebuah android, Ichiro?"
"Kemungkinan besar seperti itu. Hitobot yang mengirimku."
"Tapi kau tidak mungkin robot..." Ren menatap pria yang sudah dianggapnya sebagai ayahnya itu dengan nanar. "Kau... begitu baik padaku. Robot tidak punya perasaan. Mereka hanya mematuhi instruksi manusia."
"Sejujurnya, aku sendiri tidak tahu." Ichiro meletakkan tangannya di bahu Ren supaya anak itu tenang. "Di berita, Tracy tidak disebut sebagai robot. Tapi saat ARC menembak perutnya, aku melihat kabel dan logam terserak keluar. Begitu juga saat Arthur dipenggal. Tidak ada darah. Polisi bisa saja menutup-nutupi kejadian yang sebenarnya dari wartawan."
"Menutup-nutupi? Untuk apa?"
"Pembunuhan Arthur dan Tracy membuat orang-orang cemas. Ditambah perang ini, kurasa polisi tidak ingin menambah kegaduhan."
Leher Ren menegang. Dia menatap bayangan Ichiro di cermin, matanya mulai berkaca-kaca. "Kalau begitu... kau siapa?"
"Aku Ichiro." Laki-laki itu mendorong pisau di atas meja ke arah Ren. "Kau harus menusukkan pisau itu ke perutku. Ini satu-satunya cara untuk mengetahui siapa aku sebenarnya. Kalau ternyata aku berdarah—"
"Tidak!" Ren melempar pisau itu jauh-jauh. "Aku tidak mau!"
"Orang-orang ARC itu akan mengincarku juga." Ichiro menekan bahu Ren supaya pemuda itu sadar betapa genting situasinya saat ini. "Dan mereka pasti akan mendapatkanku. Kau akan terluka jika terus bersamaku, atau bahkan lebih parah lagi... dibunuh. Aku tidak mau itu terjadi."
"Apa tidak ada cara lain?" Ren memegang pergelangan tangan Ichiro. "Bagaimana kalau kita melapor ke polisi? John Dallas sedang diburu, kalau orang-orang ARC itu muncul, kita bisa—"
"Kita tidak akan bisa kabur dari ARC, Ren!" Ichiro melepaskan tangan Ren dan menyelipkan pisau itu sebagai gantinya. "Tusuk perutku sekarang juga. Kalau ternyata aku robot, kau harus mematikanku sebelum orang-orang ARC itu datang. Lalu kau harus kabur. Pergilah yang jauh, kalau bisa ke luar negeri!"
"Menusukmu?" pekik Ren histeris. "Mana mungkin aku melakukan itu!"
"Tapi Ren—"
"Memangnya kenapa kalau kau robot?" Ren berteriak lantang, suaranya yang belum pecah sempurna menjadi parau, bibirnya bergetar menahan tangis, dan matanya berkaca-kaca. "Kau bilang akan mengajakku pindah ke Jepang setelah perang ini berakhir. Melihat tanah leluhur kita, begitu katamu. Kau akan jadi ayahku, aku akan masuk SMA, dan kita akan jadi sebuah keluarga. Kau sudah berjanji!"
"Ren, kalau ternyata aku sebuah android, kita tidak bisa jadi keluarga." Ichiro merasa hatinya tertusuk-tusuk melihat ekspresi terluka di wajah Ren. "Android tidak diperbolehkan mengasuh manusia, kecuali robot perawat. Itu bertentangan dengan Tiga Hukum Dasar. Kau tahu itu."
"Jadi selama ini kau berpura-pura?" tukas Ren tajam. "Kau mendatangiku semata-mata hanya karena uji coba itu, begitu? Kupikir kau peduli padaku!"
"Ren..." Aku tidak rela menjadi salah satu orang yang melukai hatimu. "Kau tahu aku sungguh-sungguh menyayangimu."
"Aku juga sayang padamu!"
Tangis Ren pecah. Pemuda lima belas tahun itu meninju westafel berkali-kali sambil sesengukan. Kesakitan di dada Ichiro amat menyesakkan sehingga rasanya dia kepingin mati saja. Ren juga menyayangiku. Dia baru saja mengakuinya.
"Aku tidak peduli kau ini apa..." Suara Ren terputus-putus karena tangis, tetapi kata-katanya tercurah tanpa bisa dibendung. "Sejak orangtuaku meninggal, semua orang memperlakukanku seolah aku ini bukan manusia. Mereka terlalu sibuk dengan diri mereka sendiri, dan memilih membiarkanku mati di jalanan. Lalu kau datang. Awalnya kupikir kau sama saja dengan orang-orang itu, yang baik padaku semata-mata demi uang. Tapi lama-lama kusadari bahwa kau tulus. Kau membuatku bersemangat kembali menjalani hidup." Ren tersengal-sengal, dadanya yang kecil naik turun dengan cepat. "Kau satu-satunya yang menganggapku manusia, Ichiro!"
Ichiro menghambur dan meraih kepala Ren dalam pelukannya. Pemuda itu meronta untuk melepaskan diri, tetapi Ichiro memeluknya erat-erat. Kalau aku robot, kenapa aku merasa begitu terluka setelah mendengar pengakuan Ren? Bukankah mesin tidak bisa merasakan? Apa arti kesakitan dalam diriku ini?
Kenapa aku bisa menyayangi Ren seakan dia sungguh putraku, padahal sebetulnya kami hanya dua orang asing?
Isak tangis Ren telah menggetarkan hati Ichiro. Saat itu juga, dia menegarkan diri. Kalau aku membiarkan para pembunuh ARC itu mematikanku, berarti aku sama saja dengan orang-orang lain yang menelantarkan Ren. Aku menelantarkannya. Aku tidak boleh mati, dan aku tidak akan meninggalkannya. Ren adalah tanggung jawabku sekarang.
Ren masih terisak-isak dengan pedih di dada Ichiro. Pria itu mencium puncak kepala si pemuda dengan sayang untuk meredakan tangisnya.
"Ren, kita akan pergi."
Ren mendongak. "Pergi?" Matanya yang sipit merah dan digenangi air. "Kita akan ke kantor Hitobot?"
"Aku tidak bisa kembali sebelum masa uji coba ini berakhir," kata Ichiro. "Kalau aku melapor ke Hitobot sekarang, mereka akan memisahkanmu dariku karena menganggap uji coba kita gagal."
"Tak bisakah kita menunggu?" tanya Ren, sisi laki-laki dewasa yang selama ini ditunjukkannya luruh, memperlihatkan sosok pemuda lima belas tahun yang sesungguhnya dalam dirinya. "Uji cobanya tinggal seminggu lagi."
"Kita tidak boleh mengambil risiko." Ichiro mengambil tas lusuh Ren dan mulai memasukkan pakaian-pakaian. "Kita akan mencari orang-orang sepertiku yang lain. Kami ada bersepuluh, dan dua sudah tumbang. Kita akan berkumpul dan saling menjaga. Saudara-saudariku yang tersisa pasti ikut merasakan bahaya itu."
Ren terheran-heran. "Maksudmu, kau dan saudara-saudarimu sudah tahu bahwa ARC sedang mengincar kalian?"
"Ya." Ichiro mengetuk-ngetuk dahinya, tempat titik merah itu berdenyut seperti jantung mini. "Sensor ini tidak hanya terikat dengan sarafku, tetapi menghubungkanku dengan sembilan saudara-saudariku yang lain. Benda itu membuat kami bisa melihat sekaligus merasakan apa yang dialami satu sama lain. Semacam kilasan visi, tetapi terasa nyata, seakan-akan kami sedang bertukar tubuh. Awalnya aku tidak menyadarinya, tetapi belakangan aku tahu bahwa itu bukan cuma sekedar mimpi atau penglihatan. Sesaat sebelum Arthur dan Tracy dimatikan, mereka mengirimkan semacam sinyal bahaya untuk mengingatkan yang lain. Itulah yang membuatku pingsan. Meski tubuh Arthur dan Tracy yang dirusak, tetapi tubuhku juga ikut merasakan kerusakan itu walau tidak secara langsung. Tapi aku tidak bisa ikut mati, karena sesungguhnya tubuhku baik-baik saja."
Ren hanya berdiri tepekur. Sepuluh tubuh yang bisa berbagi pikiran? Pemuda itu tak bisa membayangkan apa rasanya menjadi Ichiro: terhubung dengan sembilan sosok lainnya lewat sejenis telepati, dan dua kali merasakan kematian karena dibunuh.
"Apa kau tahu di mana keberadaan saudara-saudarimu yang lain?"
"Kurang lebih," Ichiro menjelaskan sambil mengepak pakaian. "Sabtu lalu saat Tracy ditembak, aku mendapat visi tentang gadis bernama Eva. Aku yakin dialah yang akan jadi korban ARC selanjutnya. Dia ada di sebuah apartemen, sedang merayakan ulang tahun seorang gadis lain yang bernama Meg. Ada lilin dua dan enam di kue ulang tahun Meg."
"Eva dan Meg..." Ren ikut membantu Ichiro, dia baru memahami bahwa mereka sedang berkejaran dengan waktu. "Informasi itu terlalu umum."
"Meg berulang tahun pada dua puluh dua April," kata Ichiro sambil membungkus beberapa roti untuk bekal. "Tadi pagi aku pergi ke Dinas Catatan Sipil untuk mencari informasi soal gadis bernama Meg yang lahir pada 22 April 2019. Aku beralasan dia anak saudaraku, dan kami terpisah saat Bencana Besar Kedua. Ada beberapa orang bernama Meg yang lahir pada tanggal itu. Tidak ada orangtua di pesta ulang tahun itu, jadi kuasumsikan kedua orangtua Meg sudah meninggal. Hanya ada satu orang yang sesuai dengan deskripsi itu."
Ren merinding. Saking takjubnya pada Ichiro dan apa yang dilakukannya, pemuda itu sampai kehilangan kata-kata.
"Ren..." Ichiro menyerahkan tas yang sudah diisi penuh itu pada Ren. "Apa kau mau ikut denganku ke London?"
Ren mengangguk mantap. "Sebaiknya kita berangkat sekarang juga."
...
Pukul setengah dua belas malam, ponsel Aya Takeuchi berdering lagi. Dia sudah tidak kaget kalau ponselnya berdering di saat-saat tidak biasa seperti itu.
Panggilan masuk dari sekretarisnya.
"Irv?"
"Maaf mengganggu waktu istirahat Anda, Ma'am."
Aya mendengus getir. "Kau tahu aku tak bisa beristirahat belakangan ini."
"Ichiro baru saja meninggalkan Dover beberapa menit yang lalu, Ma'am. Dia naik kereta tengah malam menuju London. Partisipan nomor delapan ikut dengannya."
Partisipan nomor delapan: Ren Toyama, lima belas tahun. Anak itu masih di bawah umur, tetapi dia memenuhi kualifikasi sebagai partisipan Proyek Deus sehingga aku menyetujuinya. "Apa Ichiro membeli tiket pulang ke Dover?"
"Tidak. Dia membeli tiket satu arah, Ma'am."
Ichiro pergi untuk menyelamatkan anak itu. Aya seakan bisa melihat isi pikiran Ichiro, terbentang di hadapannya seperti peta raksasa. Berarti sensor itu bekerja dengan sempurna. Ichiro pasti merasakan sinyal bahaya yang kukirim pada produk-produk yang lain. Tapi kenapa London? Hanya ada satu produk lainnya di London: Eva.
"Saya rasa Ichiro pergi mencari Eva, Ma'am," kata Irving.
Aya tidak kaget mendengar prediksi sekretarisnya itu. Dia mempekerjakan Irving karena pria itu punya cara berpikir yang sama dengannya.
"Apa kita akan membiarkan Ichiro menemui Eva, Ma'am?"
Ini di luar dugaan Aya. Anak-anakku ternyata lebih berani dari dugaanku. "Tidak. Biarkan saja dulu. Aku ingin tahu apa yang akan mereka lakukan."
"Tapi bagaimana kalau ARC menangkap salah satunya?" tanya Irving. "Kalau Ichiro dan Eva bersama-sama, ARC akan lebih mudah menghabisi kedua produk unggulan kita."
"ARC tidak akan mematikan mereka, Irv."
Irving terbatuk keras karena tersedak. "Maksud Anda, Ma'am? Bukankah Anda bilang orang-orang ARC punya detektor untuk mengenali robot-robot tercanggih kita? Dan beberapa hari lalu, Anda sendiri yang menyuruh saya untuk menjaga Eva dan Ichiro."
Mendadak Aya mensyukuri otaknya yang selalu merancang semuanya beberapa langkah lebih maju. Visioner. Dia kaget sendiri bahwa sebelum memulai Proyek Deus, dia sudah mengantisipasi situasi ini. "Aku keliru. Mereka produk-produk unggulan, Irv."
"Tapi kalau kedua produk unggulan dibantai ARC..."
"Eva dan Ichiro menjadi produk andalan untuk sebuah alasan, Irv."
"Jadi..." Irving mendadak galau. "Apa saya harus berhenti mengawasi mereka?"
"Jangan. Kau harus tetap mengawasi Eva."
"Eva?"
"Ya. Dan pria itu. Soren Adam."
"Bagaimana dengan si programmer berambut pink itu?"
Margaret O'Sullivan. Aya juga sudah mengumpulkan informasi tentang si programmer saat menyelidiki Soren Adam. Gadis jenius dengan pilihan karier yang menimbulkan tanda tanya. Kenapa dia tidak bekerja sebagai programmer dan malah memilih jadi komikus?
Aya tidak tahu apa peran O'Sullivan dalam permainan ini. Tapi pasti dia juga punya alasan. "Pokoknya mereka bertiga. Aku yakin Ichiro akan berhati-hati, tetapi tetap awasi dia dan Ren juga, Irv. Aku tidak mau anak itu menjadi korban."
Irving terdiam sejenak, seakan bingung, sebelum akhirnya mengiyakan. Meskipun perintah-perintah itu terkesan bertolak belakang, tetapi di dalam hatinya si sekretaris tahu, bahwa bosnya sudah punya rencana.
Dan rencana seorang Aya Takeuchi tidak pernah gagal.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top