17. Parents' Day
Hari Senin berikutnya, aku pergi bersama Soren untuk mengunjungi Eleanor di Anchor Knight. Keponakan Deidre masuk rumah sakit, sehingga Paw Friends ditutup dulu. Jadi pagi-pagi sekali aku dan Soren naik bus dari London dan turun di stasiun super sepi di kota tempat Anchor Knight berada.
Hujan ini turun dengan deras disertai petir. Di stasiun, kami menunggu taksi selama setengah jam, tetapi tidak ada yang muncul. Kota ini memang menyerupai kota mati. Jadi Soren memutuskan untuk berjalan kaki.
Karena tahu cuaca hari ini bakal tidak bersahabat, aku sudah membawa payung dari rumah. Dan payung yang ini spesial.
Soren ternganga ketika aku membuka payung itu. "Ini payung baru, ya?"
"Mm-hmm. Han meminjamiku. Besar, ya?"
"Kau kan sudah punya payung sendiri, Eva. Kenapa harus merepotkan orang lain begitu?"
"Aku tahu payungmu patah dan cuaca hari ini pasti akan merusak payungku juga. Setiap pagi aku melihat Han memakai payung seperti ini saat mengantar anak-anaknya ke sekolah. Dia dan tiga orang anaknya bisa muat di payung ini dan tidak pernah rusak. Karena tadi malam kau bilang kita akan ke Anchor Knight, jadi aku bertanya pada Han di mana dia membeli payung ini. Ternyata Han membuatnya sendiri. Keluarga Tsui terampil sekali membuat berbagai macam barang, termasuk payung ini. Han memberiku satu."
"Kau tidak membayarnya?"
"Tidak. Han menolak ketika kuberi uang. Dia bilang payung ini sebagai ungkapan terima kasih karena selalu kubuatkan kue dan kuundang di pesta ulang tahun Meg akhir pekan lalu."
Wajah Soren berubah seolah Han Tsui baru saja memberikan salah satu putrinya untukku, alih-alih sebuah payung. Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi turut berteduh di bawah payung raksasa itu bersamaku. Lalu kami mulai berjalan menembus terpaan hujan dan angin yang begitu liar.
"Ini..." Soren tiba-tiba melepas jaketnya. "Kau saja yang pakai."
Wah, ada apa ini? Biasanya Soren kesal kalau aku memakai barang-barang pribadinya tanpa izin. "Itu kan jaketmu."
"Pokoknya pakai saja."
"Kenapa? Dingin, lho."
Soren membuang muka. "Aku tidak kedinginan."
Aku menurut saja karena Soren tidak suka berdebat. Dia mengulurkan tangan meminta pegangan payung selagi aku menyampirkan jaketnya itu. Jaket itu pas dengan tubuhku (Soren kurus), tetapi kepanjangan sehingga menjuntai sampai ke betisku. Soren melirik jaket itu sekilas, lalu membuang muka lagi. Dia tidak mengembalikan pegangan payung padaku.
Kami meneruskan perjalanan. Soren beberapa kali mengusap rambutnya yang basah karena tempias hujan.
"Aku butuh potong rambut," keluhnya.
"Bukankah Meg yang selalu memotong rambutmu?"
"Iya. Seharusnya Meg sudah memotong rambutku. Aku potong rambut dua minggu sekali, setiap Rabu. Tapi Meg tidak datang."
"Mungkin Meg sibuk menggambar dan kelupaan."
"Tidak. Meg tidak pernah lupa. Dia ingat jadwalku. Saat kutelepon, Meg malah bilang tidak apa-apa sesekali melewatkan potong rambut."
Aku setuju dengan Meg. "Kau tetap keren kok dengan gaya rambut seperti ini. Sesekali mengganti model rambut tidak masalah, kan?"
"Aku merasa... berantakan."
Merasa berantakan? "Kau tidak berantakan, Soren."
Aku tidak mau menawarkan diri untuk memotong rambutnya, karena aku yakin Soren pasti menolak. Soren juga tidak mengatakan apa-apa lagi, tetapi aku tahu dia tidak setuju dengan pendapatku (aku sudah terbiasa). Belakangan Soren hanya mengungkapkan ketidaksetujuannya lewat keheningan. Sejak aku pingsan lagi di pesta ulang tahun Meg hari Sabtu lalu, Soren seperti menjaga jarak dariku. Aku tidak tahu apa alasannya. Mungkin suasana hatinya bertambah buruk gara-gara pengumuman perang yang diumumkan hari Minggu kemarin (pemerintah Inggris suka mengacaukan hari libur warganya). Meg bilang biarkan saja, Soren memang moody, nanti dia akan kembali ceria (ehm, mungkin istilah yang lebih cocok adalah "tanpa ekspresi") seperti biasa.
Kami terus berjalan. Beberapa kali aku harus berlari-lari kecil untuk menyusul Soren. Dia berjalan cepat sekali—sama seperti warga London lainnya, dia tidak suka hujan. Kalau soal hujan aku netral; air yang jatuh dari langit tidak lebih baik dibandingkan hujan salju seperti yang kami alami di Reykjavik.
Sepatu botku sudah belepotan lumpur ketika kami tiba di Anchor Knight. Soren juga kebasahan, tetapi dia tidak banyak komplain. Kami disambut oleh Siobhan di lobi. Dia melihat kami yang basah dan penuh lumpur, lalu menyilakan kami menghangatkan diri di ruang rekreasi. Ruangan itu sudah didekorasi dengan pita warna-warni, balon-balon, dan hiasan kertas yang berkelap-kelip. Huruf-huruf yang membentuk kalimat "HAPPY PARENTS'DAY' diterbangkan drone mini di langit-langit. Ada juga meja tempat makanan dan minuman ringan, serta satu set peralatan audio untuk memutar musik.
"Kami membuat pesta kecil-kecilan untuk memperingati Hari Orangtua!" kata Siobhan setelah menangkap ekspresi bingung di wajah Soren. "Aku senang sekali kalau Anda berdua bisa bergabung."
Wah, jadi hari ini Hari Orangtua! Aku baru tahu, karena peringatan Hari Orangtua di Inggris berbeda dengan di Islandia.
Soren menggeleng pada si perawat. "Aku hanya ingin bertemu ibuku, Siobhan."
"Aku suka pesta!" Siobhan, tolong abaikan saja laki-laki pemurung ini! "Hari Orangtua harus dirayakan dengan meriah!"
"Aku suka semangatmu, Eva!" pekik Siobhan. Dia mengajakku tos. "Semua penghuni panti akan ikut pesta, termasuk Eleanor, Mr. Adam. Anda tunggu saja di sini, saya akan mengantarkan Eleanor dan penghuni panti yang lainnya kemari. Dua puluh menit lagi, acaranya akan dimulai."
Sebelum Soren memprotes lebih jauh, Siobhan sudah pergi. Akhirnya dia hanya duduk di salah satu kursi dekat perapian untuk mengeringkan celananya. Aku melihat setumpuk kertas warna-warni di dekat rak televisi. Sebuah ide melintas di kepalaku.
"Eva," Soren memelototiku. "Kau mau apa?"
"Aku mau membuat ini..." Kuambil gunting di samping tumpukan kertas dan mulai bekerja. "Hadiah kecil-kecilan untuk para penghuni panti."
"Jangan ganggu kertas-kertas itu! Nanti Siobhan bisa ma—ah."
Kuraih tangan Soren dan kuletakkan bunga kertas hasil karyaku di atas telapak tangannya. Soren menatap bunga itu dan berkedip-kedip.
"Di Islandia, kami memberi bunga untuk para orangtua di hari seperti ini," kataku. "Karena bunga asli sudah nyaris punah, kupikir kita bisa memberi bunga-bunga kertas sebagai gantinya."
"Ta-tapi—"
"Ini..." Kuambil gunting kedua dan kuserahkan pada Soren. "Kau bantu bikin juga. Perhatikan caraku membuatnya. Buat yang banyak, supaya semua penghuni panti kebagian. Akan kubuatkan yang besar untuk Eleanor. Cepat, waktu kita tidak banyak!"
Soren menggerutu, tetapi dia mau mencontohku menggunting kertas-kertas itu. Kupikir dia bakal kesulitan, tetapi ternyata tidak. Meski hanya melihatku sekali, Soren langsung bisa melakukannya sendiri tanpa masalah. Dan hasil guntingannya rapi sekali, seolah dilakukan mesin.
"Kau ternyata lebih berbakat dariku, Soren."
"Penghuni panti ini ada sekitar lima puluh orang dan waktu kita sedikit."
"Terima kasih sudah mau membantuku."
Soren terdiam. Tangannya bergerak sistematis memotong kertas-kertas itu, seperti tupai menggerogoti biji pinus. Dia bahkan tidak perlu menontonku lagi untuk mencontoh pola bunganya, tetapi hasilnya sempurna.
"Kenapa kau selalu memberi, Eva?" tanya pria itu tiba-tiba. "Kue, rajutan, makanan kecil... waktu, tenaga dan perhatianmu untuk mendengarkan cerita orang-orang serta membantu mereka... Menurutku kau terlalu banyak memberi."
Kenapa, ya? "Memberi membuatku senang."
"Tetapi bukankah jauh lebih menyenangkan untuk menerima? Aku melihat Meg bahagia sekali saat mendapat banyak hadiah di pesta ulang tahunnya."
"Meg memang bahagia saat menerima hadiah-hadiah itu, tetapi orang-orang yang memberikannya juga bahagia, kan?" Soren suka mendadak filosofis begini. Entah apa yang dipikirkannya saat dia berdiam diri. "Jadi kupikir memberi dan menerima itu sama-sama menyenangkan. Aku tak pernah terlalu memikirkannya."
"Kau memang tidak pernah memikirkan apa pun," ulang Soren sinis. "Apa kau pernah berpikir sebelum melakukan sesuatu?"
"Terlalu banyak berpikir juga tidak baik, Soren." Aku punya otak, dan aku tahu otakku bekerja dengan baik. Tapi aku juga punya hati yang bekerja sama baiknya. "Selama pendapat, kata-kata atau perbuatanku tidak merugikan orang lain atau membahayakan diriku sendiri, kulakukan saja. Apalagi kalau bisa membuat orang senang. Aku hanya mengikuti suara hatiku, Soren."
"Mengikuti suara hatimu, ya?" Soren menatapku, alisnya terangkat. Dia berhenti menggunting. "Memangnya suara hati itu apa?"
"Aku tidak bisa mendefinisikannya dengan tepat..." Kutaruh guntingku dan kutunjuk dada Soren. "Tetapi suara itu berasal dari sini. Dia selalu tahu harus berbuat apa. Dan kata-katanya selalu benar, makanya aku mempercayainya."
Soren terbelalak. Dia menunduk menatap dadanya sendiri, lalu gantian menatapku. Reaksinya membuatku heran. Apa jangan-jangan pria ini tidak pernah mendengarkan suara hatinya?
Pintu ruangan itu terbuka. Siobhan dan para perawat yang lain masuk sambil menuntun para penghuni panti. Sebagian perlu memakai kursi roda. Kukumpulkan bunga-bunga kertas yang sudah dibuat dan memberikannya pada Soren.
"Berikan pada mereka. Satu orang satu."
"Ke-kenapa aku? Kau saja!"
"Kau sendiri yang bilang aku terlalu banyak memberi. Sekarang giliranmu!" Kutepuk bokong Soren. Pria itu terlonjak. "Jangan lupa tersenyum dan ucapkan 'Happy Parents' Day!' Aku akan membuat bunga-bunga lainnya."
Soren meraup bunga-bunga kertas itu dan menghampiri para penghuni panti. Langkahnya takut-takut, seolah aku memintanya memberi makan seekor singa. Dia menoleh padaku sekilas. Kuberi anggukan yang menyemangati, lalu Soren mulai bekerja.
Diam-diam kuamati dia. Berkomunikasi dengan orang asing bukan keahlian Soren, tetapi dia mencoba. Senyumnya masih ragu-ragu, tetapi setidaknya dia tersenyum. Beberapa penghuni panti mengalami masalah pendengaran, sehingga Soren harus berbicara dengan keras dekat telinga mereka. Satu demi satu, bunga-bunga kertas itu menjadi hadiah bagi para penghuni panti. Senyum-senyum bermekaran di ruangan itu, termasuk senyumku sendiri. Semoga dengan melakukan ini, Soren jadi paham betapa menyenangkan bisa memberikan sesuatu untuk orang lain.
"Mereka senang," Siobhan mendatangiku. "Oh, bunga-bunga kertas itu ide yang bagus sekali. Untung saja Anda dan Mr. Adam mampir hari ini!"
"Bukan masalah," kuremas lengan Siobhan dan memberinya satu bunga kertas besar. Perawat itu tertawa dan menyematkan bunga itu ke topinya. "Kapan pestanya dimulai?"
"Seharusnya lima menit lagi," Siobhan mengecek jam tangannya. "Kami sudah memesan pelawak dan grup orkes. Namun sepertinya mereka terlambat."
"Pasti karena cuaca ini."
"Ah, Anda benar," Siobhan meringis cemas. "Saya rasa sebaiknya kita menonton televisi sambil menunggu."
Semua penghuni panti sudah menerima bunga kertas. Para perawat juga sudah bergabung. Soren sedang mengobrol dengan Eleanor di dekat meja kue. Siobhan maju ke depan dan meminta semua orang menunggu para penghibur yang terlambat. Lalu dia menyalakan televisi, tepat di saluran berita.
"Siang tadi Perdana Menteri melepas sepuluh ribu pasukan Inggris untuk berperang melawan Pihak Timur di Laut Cina Selatan. Pasukan yang terdiri dari tentara gabungan robot dan manusia ini akan turut serta dengan pasukan dari Pihak Barat dalam perjalanan menuju lokasi perang..."
Para penghuni panti terbelalak melihat berita itu. Mereka mulai saling bisik dengan cemas. Para perawat juga tampak resah. Kami semua adalah penyintas kedua Bencana Besar, dan perang bukanlah jenis berita yang dinantikan semua orang.
"Inggris yakin pasukan gabungan Pihak Barat akan memenangkan perang ini..." kata Perdana Menteri dalam konferensi pers di depan kantornya. "Kami berterima kasih pada Hitobot karena telah ikut serta berkontribusi dalam menjaga perdamaian dunia..."
"Perdana Menteri!" salah satu wartawan berteriak keras. "Apa kontribusi Hitobot ada hubungannya dengan wacana penambahan Hukum Keempat dalam Tiga Hukum Dasar Robotika?"
Perdana Menteri Tornbridge terkesiap. Aku dan para penonton di ruangan ini juga. Siobhan sampai berdiri untuk melihat lebih jelas. Hukum Keempat?
"Saya tidak akan membahas desas-desus yang belum jelas," kata Perdana Menteri dengan nada diplomatis khas politikus. "Wewenang mengubah hukum ada di tangan Parlemen, dan saya yakin Parlemen kita bekerja tanpa tekanan dari pihak manapun."
"Tapi Perdana Menteri—"
Pemimpin Inggris itu mengibaskan tangannya dengan lagak menyudahi. "Saya mengimbau seluruh warga untuk bersiaga. Kita telah resmi berada dalam situasi perang. Silakan mengikuti petunjuk keselamatan yang sudah disebarkan dalam kondisi darurat. Polisi dan Angkatan darat siap membantu Anda mencari tempat pengungsian jika diperlukan..."
Semua orang yang menonton mulai heboh. Rupanya Perdana Menteri belum puas mengguncang Inggris dengan mengumumkan perang hari Minggu kemarin.
"Sementara itu, di dalam negeri, sepak terjang ARC telah memakan korban manusia..." lanjut si pembaca berita. "Dua wanita ditemukan tewas dan dua orang anak terluka akibat serangan ARC di Reading hari Sabtu lalu. Menurut keterangan korban luka-luka, ARC telah membunuh tamu keluarga mereka. Tracy Lynn-Cruz asal Portugal, dihabisi secara tragis..."
Tracy Lynn-Cruz?
Tracy... Aku merinding. Dia wanita dalam mimpiku!
PIP!
Tiba-tiba Siobhan mematikan televisi itu. "Beritanya tidak cocok dengan acara hari ini, ya?" kata wanita itu dengan nada yang sengaja diriang-riangkan. "Bagaimana kalau kita mulai saja pestanya?"
"SIOBHAN!"
Ruangan itu mendadak hening. Semua mata tertuju padaku. Tanpa sadar aku sudah berdiri, sisa-sisa guntingan bunga kertas berserakan dari pangkuanku.
Siobhan berjengit karena kaget. "Ya, Eva?"
"Televisinya..."
"Ke-kenapa televisinya?"
"Itu..." Bagaimana aku harus menjelaskan ini? Wanita yang ada dalam mimpi burukku waktu itu rupanya nyata, dan dia memang dibunuh. Dua anak kecil yang ikut menjadi korban luka-luka itu pastilah Amerie dan Caleb, sementara wanita lainnya yang meninggal adalah Mrs. Ipswich. Tracy tinggal di Reading, dan rasanya mustahil aku pernah bertemu dengannya di London ini. Tapi bagaimana bisa peristiwa pembunuhan Tracy menjadi mimpiku? Ini sungguh gila.
Tatapanku beradu dengan Soren, matanya mendelik waspada. "Ehm..." Aku jadi tidak enak. "Kurasa... kita bisa menyanyi dan berdansa."
"Menyanyi dan berdansa?" Soren berseru dari pojok ruangan.
"Oh, usul yang brilian!" gelegar Siobhan sambil sumringah lega. "Ya, kita tinggal memutar musik, kan? Dan berdansa itu olahraga, jadi... kenapa tidak?"
...
Soren menyandarkan tubuhnya ke jok kursi yang empuk, sambil meluruskan kedua tungkai kakinya. Rasa pegal itu baru menyerangnya sekarang. Suasana bus sepi, dan dia berharap bisa tidur sebentar sebelum sampai ke London.
Di sebelahnya, Eva sedang menggumamkan nada-nada dari lagu I Wanna Dance With Somebody, dari penyanyi jadul Whitney Houston. Kakinya mengetuk-ngetuk, seperti mengikuti irama musik.
"Soren, kau tertidur?"
"Belum. Aku hanya kelelahan."
"Makanya kau harus makan lebih banyak, supaya energimu cukup."
"Bukan energiku yang tak cukup, tapi energimu yang tidak ada habisnya," kata Soren. Dia melonggarkan sabuk pengaman yang mengikat perutnya supaya bisa lebih rileks. "Kau melakukannya lagi, Eva."
"Melakukan apa?"
"Menguasai pesta..." Soren mengamati butiran-butiran air yang meluncur di kaca mobil seperti komet-komet bening. "Kau menari, menyanyi dan melucu sepanjang acara tadi. Semua orang terhipnotis olehmu."
"Terima kasih."
"Aku tidak memujimu."
"Kuanggap itu sebagai pujian," balas Eva. "Eleanor juga tadi memujiku. Dia bilang, dia belum pernah segembira itu sejak tinggal di Anchor Knight."
Soren tidak habis pikir bagaimana Eva bisa menari nonstop diiringi enam lagu, ikut karaoke sepuluh lagu, membagikan kue dan minuman bagi para penghuni panti, melontarkan lelucon-lelucon selama setengah jam, ikut membantu beres-beres sesudah pesta, dan masih punya tenaga mengobrol dari para penghuni panti. Siobhan dan para petugas Anchor Knight sampai berniat menyewa Eva sebagai pengisi acara jika mereka bikin pesta lagi lain waktu.
Tapi energinya memang tidak ada habisnya, pikir Soren.
"Apa kau bersenang-senang, Soren?"
"Pesta itu melelahkan."
"Pesta itu untuk merayakan Hari Orangtua. Para orangtua di panti itu layak menikmati pesta yang meriah. Aku hanya mencoba membuat pesta itu jadi menyenangkan meski tanpa kehadiran pelawak atau grup orkes. Kau harusnya bersyukur ibumu masih ada."
Bahu Soren menegang. Dia tidak menyangka Eva akan merespon seperti itu. Biasanya gadis itu hanya tertawa dan memaklumi sifat murungnya.
"Aku tidak begitu ingat lagi pada kedua orangtuaku," kata Eva tiba-tiba.
Soren tergelitik untuk bertanya lebih, tetapi dia menahan dirinya. Bukan urusanmu. Lagipula tidak sopan bertanya-tanya tentang latar belakang seseorang. Tapi rasa penasaran itu sudah terlalu menguasainya. Eva tahu banyak hal tentang diriku, sementara aku tidak tahu apa-apa soal dia, Soren teringat sindiran Lou di pesta ulang tahun Meg. Dan aku ingin tahu apa saja yang diingat Eva.
"Apa yang terjadi pada kedua orangtuamu, Eva?"
"Mereka meninggal saat Bencana Besar Pertama," jawab Eva. "Aku ingat sekolah dibuka kembali setelah vaksin utama sampai ke Islandia. Waktu itu aku kelas satu SD. Anak-anak yang lain diantar oleh orangtua mereka. Aku datang ke sekolah seorang diri."
"Bagaimana dengan keluargamu yang lain? Kakek atau nenek?"
"Mereka semua juga sakit-sakitan dan miskin. Aku hanya menjadi beban untuk mereka..." Eva memainkan ujung rambutnya. "Bagaimana denganmu, Soren? Apa waktu itu Eleanor dan Theo mengantarmu ke sekolah?"
"Aku tidak mau membicarakan orangtuaku."
"Kenapa?"
"Aku tidak ingat."
"Eleanor juga tidak, sih..." Eva mengembus pasrah. "Tapi ibumu memang tidak ingat karena demensia. Sejujurnya aku tidak tahu apa-apa tentang masa kecilmu, Soren. Aku tidak menyelidikimu sampai sejauh itu."
"Kau sudah tahu cukup banyak tentangku, Eva."
"Aku pernah baca di suatu buku..." Eva memutar posisi duduknya sehingga berhadapan dengan Soren. "Pola asuh orangtua membentuk kepribadian anak."
Soren berusaha menjauh tetapi tidak bisa. Dia duduk di kursi yang bersisian dengan dinding bus. "Kau mau bilang aku jadi pemurung karena salah didik?"
"Aku tidak bilang begitu," Eva terkikik, matanya yang hijau seperti zamrud berkilau akibat cahaya lampu kabin. "Beberapa anak punya masa kecil yang bagus, sementara yang lain tidak. Tapi hidup kan memang tidak adil. Menurutku, manusia punya hak menentukan mau jadi apa dirinya."
Pemikiran yang terlalu idealis. "Seringkali kita tak punya pilihan."
"Kita selalu punya pilihan," Eva menyibakkan poninya yang menutupi wajah dan Soren bisa melihat alis gadis itu dengan lebih jelas. Alisnya tebal dan rapi sekali, seperti diukir dengan penggaris, membingkai kedua matanya yang besar itu dengan sempurna, seperti awan-awan yang mengelilingi bulan purnama.
Dan mata itu begitu hidup serta penuh semangat...
"Lihat saja aku..." kata Eva, dan entah kenapa Soren merasakan dorongan yang kuat untuk menatap gadis itu lurus-lurus. "Beberapa bulan sejak kembali ke sekolah, keluargaku memberikanku pada pemerintah. Mereka terang-terangan bilang tidak sanggup mengurusku. Aku dikirim ke keluarga asuh, tetapi mereka juga hanya mengasuhku alakadarnya karena uang dari pemerintah kecil. Kelas dua SD aku mulai bekerja sebagai pembantu rumah tangga, itu pun dengan gaji yang tidak seberapa karena waktu itu para robot mulai mengambil alih.
Kalau menurut buku yang kubaca itu, harusnya aku tumbuh jadi anak yang merana karena masa kecilku yang kelam itu, kan? Tapi aku memutuskan tidak akan berkubang dalam penderitaan. Hidupku boleh jadi tidak seindah di film-film, tetapi bukan berarti aku tidak berhak bahagia."
Bahagia.
Sesuatu berdesir di dada Soren. Sebuah perasaan aneh yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dan perasaan asing ini membuat Soren cemas sekaligus tergelitik. Dia ingin membiarkan perasaan itu menyelubunginya, tetapi tidak ingin bersikap ceroboh.
"Menurutmu..." Napas Eva yang hangat mengenai ujung hidung Soren. "Semua orang berhak bahagia?"
"Tentu," Eva tersenyum, bibirnya membentuk garis lengkung yang manis. "Tapi tidak semua orang bisa bahagia. Menurutku kau hanya bisa bahagia jika kau mengizinkan dirimu untuk berbahagia."
Itu pemikiran yang sangat mendalam, batin Soren. Selama ini dia merasa hidupnya sudah cukup bahagia, sampai Eva datang dan mengacaukan segalanya. Dia menganggap gadis itu pengacau, tetapi bertahan meladeninya demi uji coba itu. Tapi kurasa belakangan aku sudah jadi lebih bahagia. Meskipun tingkah Eva betul-betul di luar dugaan, entah kenapa, sejak dia datang aku jadi lebih bahagia.
Apa sebutan untuk perasaan lebih bahagia dari sekedar bahagia?
Perasaan itu.
Soren tertegun. Dia akhirnya tahu apa arti perasaan asing yang telah muncul tadi. Perasaan yang telah menghangatkan hatinya. Seketika perasaan itu jadi tidak asing lagi, melainkan sangat dekat, sangat familier, dan sangat... normal. Tapi apa nama perasaan ini?
"Tidurlah, Soren." Eva menyikut dadanya dengan lembut.
"Aku tidak mengantuk."
"Tapi kau lelah. Kelihatan kok dari matamu." Eva menyentuh ujung hidung Soren, dan dia membiarkannya. "Aku tahu kau ini tidak dirancang untuk ikut dua pesta berturut-turut."
"Bagaimana denganmu? Kau tidak mengantuk?"
"Mungkin sebentar lagi."
Gadis itu menyeringai jahil dan berbalik memunggungi Soren, membuat pria itu sekonyong-konyong merasa nelangsa. Dia tidak ingin Eva berbalik. Dia ingin Eva tetap dekat seperti tadi, karena entah bagaimana caranya, kedekatan itu tidak lagi membuatnya merasa terusik, tetapi memunculkan perasaan hangat yang tidak bernama itu dalam hatinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top