15. Dalam Bayang-bayang
Aya memijat-mijat dahinya. Tidak, tidak lagi.
Dia menekan tombol Mute dalam panggilan telepon itu, berteriak keras-keras dan meluapkan kekesalannya pada ponselnya. Benda itu melesat ke seberang ruangan, menabrak dinding dan pecah berantakan. Aya mengambil ponsel lain dari dalam laci dan melanjutkan percakapannya dengan Irving.
"Anda baik-baik saja, Ma'am?" tanya Irving peduli.
"Aku kesal," Aya mengaku terang-terangan. "Tracy adalah produk kedua kita yang dijagal. Kalau teus-terusan begini, Proyek Deus terancam gagal!"
"Salah satu pelanggan toko roti Irma Ipswich sudah curiga pada Tracy sejak dia muncul di rumah keluarga Oberon," kata Irving. "Dia orang ARC."
"Para tukang jagal ARC itu memakai sejenis detektor di mata mereka." Aya harus mondar-mandir untuk melancarkan darah yang mengendap di kepalanya. "Pasti itu cara mereka mengenali produk-produk kita."
"Menurut saya, belum tentu karena detektor itu, Ma'am. Arthur, Tracy dan yang lainnya sudah memakai teknologi kamuflase tercanggih. Satu-satunya cara mengetahui siapa mereka sebenarnya adalah dengan membongkar tubuh mereka."
"Detektor ARC juga canggih." Penjahat selalu lebih pintar dari polisi, kan? Aya bergidik membayangkan itu. "Aku yakin ARC mempreteli robot-robot kita sebelum membantainya, untuk mencuri teknologinya. Kemampuan kamuflase produk-produk kita yang lain harus segera ditingkatkan."
"Tapi kita tak bisa menarik mereka di tengah-tengah masa uji coba," kata Irving. "Akan sangat mencurigakan bagi para partisipan jika kita menarik produk-produk itu saat ini."
Atasan dan bawahan itu terdiam. Tapi aku juga tidak sudi mahakaryaku dihancurkan begitu saja oleh orang-orang John Dallas! Aya menarik napas dalam-dalam. Sampai kapan polisi akan berleha-leha dan membiarkan ARC merajalela? Sebelumnya para maniak di ARC itu sudah mengebom pabrik-pabrik Hitobot, dan sekarang mereka memburu para partisipan Proyek Deus? Aya memaksa otaknya untuk memikirkan solusi ampuh untuk urusan ini. Tidak bisa dibiarkan. Aku harus memikirkan sesuatu. Kalau bisa, secepatnya.
"Kematian Arthur dan Tracy mirip-mirip," kata Irving tiba-tiba.
"Mirip-mirip bagaimana, Irv?"
"Mereka berdua menimbulkan kecurigaan, terutama bagi orang-orang yang jeli seperti pendukung ARC," jawab Ivring. "Mungkin karena kita membuat mereka terlalu, ehm... sempurna."
"Tidak, tidak. Mereka memang harus sempurna," bantah Aya. "Manusia tidak sempurna, makanya mereka memerlukan pasangan hidup yang sempurna untuk menutupi ketidaksempurnaan itu."
Irving bergumam setuju. "Apa kita harus bicara lagi dengan pemerintah? Kita sudah setuju mengirim sepuluh ribu pasukan robot."
"Mereka buta sama sekali soal keberadaan John Dallas. Entah mereka yang memang tidak becus memburunya, atau laki-laki itu bisa menghilang." Pembicaraan di Jalan Downing tempo hari menyadarkan Aya bahwa Hitobot harus berjuang sendiri untuk mempertahankan Proyek Deus. "Pokoknya Tornbridge tidak bisa diharapkan, Irv. Saat kuminta dia mengubah Tiga Hukum Dasar, dia kelihatan seolah aku meminta sebelah tangannya."
"Tapi bukankah Anda bilang Perdana Menteri sudah setuju?"
"Dia bilang akan mengusulkannya ke parlemen." Wanita harus berjuang mati-matian untuk sampai di puncak kekuasaan. Tapi ketika sudah berhasil berkuasa, Tallulah Tornbridge malah membiarkan dirinya diatur oleh sekumpulan laki-laki brengsek di parlemen. Aya benci wanita lemah seperti si Perdana Menteri. "Menurutnya permintaanku 'berat'. Dia tak bisa langsung mengabulkannya."
"Menambah Hukum Keempat memang bukan perkara mudah, Ma'am."
"Ini bukan soal mudah atau susah. Tapi perlu dilakukan."
"Jadi..." Irving kedengaran galau. "Kita akan membalas ARC?"
"Saat ini Inggris bergantung pada pasukan robot kita untuk memenangkan perang. Kalau kita melawan ARC, akan pecah pertempuran. Masyarakat akan tahu tentang Proyek Deus, termasuk para partisipan kita." Ini ternyata lebih pelik dari dugaanku. Aya malah jadi tambah pening. Tapi menjadi visioner memang selalu berisiko. "Yang kontra dengan Proyek Deus pasti akan meragukan produk-produk kita, termasuk para pasukan yang sedang berperang. Ini bisa merusak citra Hitobot."
Irving bergumam lagi. Sama seperti Aya, si sekretaris juga paham betul bahwa Proyek Deus berpotensi lebih banyak menimbulkan kontroversi ketimbang dukungan. "Kalau begitu, apa yang akan Anda lakukan, Ma'am?"
Aya menarik napas dalam-dalam, membiarkan oksigen menjernihkan pikirannya. Dua dari sepuluh anak-anakku sudah tewas. Orangtua yang baik akan melakukan segala cara untuk menyelamatkan anak-anaknya.
Atau setidaknya memberitahu anak-anaknya bahwa mereka dalam bahaya.
"Kirim sinyal bahaya."
"Bagaimana dengan Eva dan Ichiro?"
Aya memikirkan kedua partisipan untuk produk-produk itu. Soren Adam dan Ren Toyama. Butuh pacar dan sosok ayah. Mereka beruntung bisa 'mencicipi' kedua anak-anak terbaikku.
"Kita tidak akan memberitahu Eva dan Ichiro."
"Tapi—"
"Kita akan memastikan mereka selamat sampai masa uji coba ini." Ya, hanya itu satu-satunya cara. Kedua produk unggulan harus tetap bertahan. Kalau aku memberitahu mereka, aku akan merusak hubungan yang sudah terjalin. "Irv, bisakah kupercayakan Eva dan Ichiro padamu?"
"Tentu, Ma'am."
...
Lolongan seorang wanita menyayat gendang telingaku.
"Itu Mrs. Ipswich!" Gadis kecil di hadapanku mendekatkan tubuhnya yang gemetar padaku. "Kita harus menolongnya!"
"Tidak, Amerie! Jangan keluar kamar! Tetap di sini!"
"Tapi Mrs. Ipswich terluka!"
Tidak, bukan cuma terluka. Tapi sudah mati.
Bocah laki-laki di sebelahku melompat turun dari tempat tidur. "Aku akan menelepon Papa. Rumah kita kena rampok!"
"Kembali, Caleb!" Kutarik kerah piyamanya. "Di sana berbahaya!"
"Tapi Tracy—"
Kata-kata Caleb terputus. Daun pintu berdebam membuka, dihempaskan oleh kekuatan besar. Caleb terlempar mundur, kurengkuh dia dalam pelukanku supaya kepalanya tidak terluka. Amerie menjerit ketakutan.
Dua orang pria menerobos masuk. Keduanya memakai helm, sehingga wajahnya tidak terlihat. Salah satunya menenteng kamera, yang lain membawa senapan listrik.
"Siapa kalian? Apa yang kalian lakukan pada Mrs. Ipswich?"
Mereka tidak menjawab. Pria yang membawa kamera melontarkan sebuah bola kecil, dan tiba-tiba gas perak pekat menyembur ke seluruh kamar. Amerie dan Caleb terbatuk-batuk. Kucoba melindungi mereka dengan selimut, tetapi gas itu amat mencekik. Dalam beberapa detik saja, kedua anak itu sudah pingsan.
Kedua laki-laki ini berniat jahat!
"Oh, jadi betul," kata si pria berhelm yang melemparkan gas tidur tadi. "Kau memang bukan manusia. Gas itu tidak berdampak padamu."
"Namaku Tracy," kataku. "Silakan ambil apa pun yang kalian mau, tetapi kumohon, jangan sakiti anak-anak ini!"
"Kau boleh-boleh saja mengecoh Tristan Oberon dan semua orang di kompleks ini," sahut si pria bersenjata. "Tapi kau tidak bisa membohongi kami."
"Bohong? Apa maksud kalian?"
"Robot, identifikasikan dirimu!" hardik pria pertama.
"Sudah kubilang, namaku Tracy—"
"Kuulang sekali lagi!" Pria itu mendekatkan kameranya ke wajahku. Kuangkat tanganku untuk menghalau wajah, tetapi temannya mengacungkan senapan listrik itu ke perutku. "Sebutkan nomor serimu sekarang juga, atau salah satu anak-anak ini akan cacat permanen!"
Nomor seri? Apa maksudnya? "Aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan! Namaku Tracy Lynn-Cruz, aku datang dari Lisboa, Portugal dua minggu lalu. Tristan sudah menerimaku dalam keluarga—"
Sebuah sinar merah yang membutakan muncul dari ujung senapan listrik itu. Sesuatu berdesis, dan disusul bunyi ledakan. Ada yang menghantam perutku, kekuatannya begitu dahsyat sehingga Amerie dan Caleb terpental dari tempat tidur. Lalu tiba-tiba saja seluruh energi dalam tubuhku terkuras habis, seolah-olah disedot oleh sinar merah misterius tadi.
Si pria yang memegang senapan melepas helmnya dan mendekatiku.
"Sampai bertemu lagi, Eva."
...
"Tracy?"
Seorang pria memanggilku dari kejauhan. Dunia dipenuhi warna merah.
"Tracy? Siapa yang melakukan ini padamu?"
Pria berhelm itu. Aku melihat wajahnya. Aku pernah bertemu dengannya di suatu tempat. Aku mengenalnya.
"Eva?"
Mataku terbuka. Warna merah itu memudar, digantikan oleh warna lainnya. Merah jambu. Seperti gula-gula kapas.
"Meg?"
Margaret O'Sullivan sedang menundukkan wajahnya, menatapku. Soren ada di sebelahnya, sedang mengamatiku juga, tetapi dia kelihatan tidak nyaman.
Aku duduk. Suasana kamar tidur Soren yang familier mengisi pandanganku. Alunan musik, suara tawa dan celotehan riang terdengar dari luar kamar. Aroma daging panggang menggantung di udara. Pesta ulang tahun Meg.
"Apa yang terjadi, Meg? Kenapa aku ada di kamar?"
"Kau pingsan, Eva. Apa kau sakit?"
"Tidak. Aku baik-baik saja."
"Ini kedua kalinya kau pingsan," kata Soren. Dia tidak mendekatiku, dan hanya duduk bersedekap di ujung tempat tidur. "Kau kenapa, Eva?"
"Aku tidak tahu." Apa iya aku pingsan? "Tadi aku sedang mengenalkan Lou padamu, Soren."
"Ya, dan tiba-tiba kau ambruk."
"Berapa lama aku pingsan?"
"Sekitar lima belas menit," sahut Meg. "Ini lebih lama dari pertama kali kau pingsan. Kurasa sebaiknya kita ke rumah sakit sekarang, Eva."
"Tidak perlu. Aku merasa bugar!" Aku melompat dari tempat tidur untuk membuktikan bahwa aku sehat-sehat saja. "Ayo kita lanjutkan pestanya!"
"Tunggu dulu. Kau tidak bisa berpura-pura kau baik-baik saja." Soren menghadangku di depan pintu kamar. "Kau harus memberitahu kami."
"Memberitahu apa, Soren?"
"Kau menyebut dua nama saat kau pingsan tadi," kata Soren. "Amerie dan Caleb. Siapa mereka?"
Oh. Mimpi aneh itu. Rasanya memang nyata sekali, sampai aku mengigau. Kuceritakan soal mimpi aneh itu. Meg mengernyit, sementara ekspresi Soren tetap datar seperti biasa.
"Dalam mimpimu, kau adalah wanita bernama Tracy, bukan Eva?" tanya Meg. "Dan dia berasal dari Portugal, bukan Islandia?"
"Ya. Aku tidak tahu siapa dia."
"Dan Tracy ini... ditembak?"
"Mungkin. Aku cuma ingat dua pria berhelm itu mendekatiku dan bilang, 'Sampai bertemu lagi, Eva.'"
"Jadi di akhir mimpimu, kau kembali menjadi Eva?" selidik Soren.
"Ya ampun! Itu cuma mimpi buruk!" Heran, biasanya Soren tidak terlalu memedulikanku, dan sekarang dia menginterogasiku seakan aku ini seorang penjahat. "Bisa saja Tracy ini salah satu teman yang kujumpai di halte bus. Aku mengajaknya mengobrol, mendengarkan kisah hidupnya yang tragis, dan terkenang saat pingsan tadi. Kurasa dia bukan siapa-siapa."
"Kau memang suka mendengarkan cerita orang-orang," Meg setuju. "Dan tidak semua cerita itu berakhir bahagia."
Aku mengedik pada Meg, berterima kasih atas dukungannya.
"Tapi kau mengingatnya saat kau pingsan," desak Soren lagi. "Kita harus mencari tahu siapa Tracy ini."
"Soren, dengar. Mungkin aku cuma kelelahan." Dia pikir menyiapkan pesta ulang tahun itu gampang? "Jangan pusingkan aku. Kita harus kembali ke luar. Tidak sopan meninggalkan para tamu itu sendirian."
"Kalau kau pingsan lagi, kau harus dibawa ke rumah sakit," kata Soren.
"Ya, ya. Tentu. Sekarang, boleh aku pergi?"
Soren mengangguk. Dia menyilakanku dan Meg keluar lebih dulu. Sebelum menutup pintu kamar, kulihat Soren melirik ponselku yang terletak di atas nakas, seperti ingin menelepon seseorang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top