14. Pesta Ulang Tahun
"Kalian akan menikah?"
Itu bukan pertanyaan soal menikah yang pertama kali diterima Tristan Oberon hari ini. Sudah empat orang yang menanyakan pertanyaan yang sama.
"Kenapa tidak?" Tristan tersenyum. Wajan berdesis di depannya, dan aroma salmon panggang memenuhi udara.
"Tapi kalian baru kenal dua minggu," Enrique yang tadi bertanya, tampak khawatir. "Bukankah itu terlalu cepat?"
"Tracy itu sempurna, mate," Tristan menepuk pundak sahabatnya. "Kedua anakku suka padanya dan dia baik pada mereka. Obrolan kami selalu nyambung. Dia seakan bisa membaca pikiranku. Aku beruntung sekali dia datang."
Enrique meringis. Dia mengambil piring dan menuang salmon yang dipanggang Tristan ke atasnya. Ini jam makan siang dan para chef seperti Enrique dan Tristan harus bekerja cepat. Di akhir pekan begini, Hotel Ritz tempatnya bekerja selalu penuh tamu. Memasak adalah salah satu keahlian yang belum bisa dikuasai robot. "Waktu itu kau bilang Tracy berasal dari mana?"
"Lisbon," jawab Tristan. "Portugal."
"Ah. Eksotik. Tipemu, ya?"
"Umurku empat puluh dua tahun. Di zaman sekarang, aku terlalu tua untuk jadi pemilih," kata Tristan sungguh-sungguh. "Kau kan tahu setelah Rosa meninggal, aku sudah tidak berharap lagi. Tapi anak-anakku tetap butuh ibu. Dan wanita yang menyayangi anak-anakku sudah cukup baik bagiku. Tidak muluk-muluk lah."
"Kupikir survei yang kau isi itu tidak serius."
"Aku juga. Kan aku sudah cerita." Tristan menyiapkan porsi salmon yang kedua. "Aku sedang menonton film kartun di YouTube bersama Amerie ketika survei itu muncul. Amerie mulai menangis karena filmnya terganggu, dan survei sialan itu tak mau ditutup. Jadi aku mengisinya."
"Dan sekarang hidupmu sempurna!" Enrique kedengaran iri. "Kau punya pekerjaan yang bagus, anak-anak yang sehat, dan wanita cantik yang bersedia jadi pasangan hidupmu. Aku turut bahagia, mate!"
"Terima kasih," Tristan merona. "Mimpi betulan jadi kenyataan, kan?"
Enrique berdecak-decak geli. Dia masih tidak mempercayai keberuntungan yang diterima Tristan. Dapat sepuluh ribu pound beserta seorang wanita cantik, di usia empat puluh dua! Kejutan yang menyenangkan!
Dia menyikut Tristan. "Kapan-kapan kalau kau ketemu survei seperti itu lagi, beritahu aku, ya. Aku juga kepingin mengisinya."
Tawa Tristan pecah. Dia merangkul pundak Enrique dan pura-pura akan meninjunya. "Tentu. Setelah aku menikah dengan Tracy, berikutnya giliranmu."
...
Baru pertama kali ini Soren Adam merasa tidak nyaman berada di apartemennya sendiri. Dia menatap berkeliling dan menghitung.
Tujuh orang.
Ada tujuh orang asing di apartemennya. Well, Eva menyebut mereka teman, jadi... Entahlah, Soren tidak tahu harus berkomentar apa. Leah, Troy, Iris, Ella, Han Tsui dan Mrs. Esperanza sedang duduk di ruang tengah, minum jus dan berceloteh riuh seperti para sahabat lama (Jamie Curtis diundang tetapi tidak datang). Soren sendiri hanya terpojok di sudut, takut bergerak karena akan menabrak seseorang. Apartemennya tidak dirancang untuk menampung manusia sebanyak ini.
DING DONG!
Bel pintu berbunyi. Eva menghambur dari koridor dan berbisik. "Oke, dia datang! Semuanya, bersiap di posisi masing-masing."
Orang-orang merapat ke dinding. Troy berdempetan di sebelah Soren. Dia menoleh dan menyapa sambil nyengir lebar. "Hai, Soren."
"Halo, uh—Troy."
Eva mematikan lampu. Dia memberi isyarat Soren supaya membuka pintu. Soren menekan tombol 'Buka' di ponselnya. Kunci menceklik lepas, dan Eva membuka pintunya dari dalam.
"Maaf, aku terlambat. Lilo ngadat jadi aku terpaksa meninggalkan—" Meg tersentak, bingung karena suasana apartemen yang gelap gulita. "Halo?"
"Selamat ulang tahun!" Eva memekik sambil menghamburkan konfeti, diikuti yang lain. Soren mengucapkan selamat ulang tahun dengan lemah, dia baru sekarang merayakan ulang tahun dengan heboh begini.
Meg mengipasi dirinya sendiri sambil terisak. "Ya ampun! Kalian..."
Mereka mulai bernyanyi "Happy Birthday to You." Eva menjadi dirigen, senang karena punya kesempatan untuk bernyanyi keras-keras. Soren mengamati wajah setiap orang di sana. Mereka semua gembira.
Selanjutnya acara tiup lilin. Dibantu Mrs. Esperanza, Eva sudah membuat kue ulang tahun tiga tingkat yang semarak sekali. Ada lilin dua dan enam di puncaknya, beserta beberapa kembang api. Meg terisak keras karena haru. Dia meniup lilin itu dengan keras, dan memekik gembira, rambutnya yang merah jambu seperti gula-gula kapas dipenuhi taburan konfeti. Lalu Eva memotong-motong kue itu dan membagikannya ke semua orang. Soren tidak lapar, jadi dia hanya memegangi piring kertas berisi kue itu selagi yang lain makan.
Selanjutnya adalah acara buka kado. Eva sudah menyiapkan sweter rajutan warna-warni yang pas sekali dengan selera Meg. Melihat sweter itu, Meg memeluk Eva sambil mengucapkan terima kasih, dan Soren tahu bahwa Meg sudah tidak lagi menganggap Eva sebagai ancaman. Yang lain juga memberikan Meg hadiah—sebetulnya mereka tidak kenal Meg, tetapi tetap datang hari ini karena tak enak menolak undangan Eva. Meg mengumpulkan beberapa hadiah kecil: topi baru (dari Leah), fitness tracker (Troy), penghangat telinga yang manis sekali (Iris), setoples besar biskuit kacang buatan sendiri (Mrs. Esperanza), dan ramuan herbal berbau menyengat yang katanya bisa melancarkan aliran darah (racikan keluarga Tsui).
Setelah hiruk pikuk itu, Eva mengeluarkan alat barbekyu listrik ke teras yang dipinjamnya dari Mrs. Esperanza, beserta dua nampan sosis dan kentang. Troy dengan sigap membantu, karena seperti laki-laki sejati lainnya, dia tahu persis cara memanggang daging.
Meg mendatangi sang tuan rumah yang sedang berdiri sambil memegang piring kertas berisi kue. "Soren."
"Meg. Selamat ulang tahun. Aku—"
"Terima kasih!" Meg menyingkirkan kue itu dan memeluknya. "Eva bilang padaku, kau yang merencanakan kejutan ini."
Soren jadi salah tingkah. "Aku cuma bilang ke Eva kalau hari ini kau ulang tahun. Biasanya kita cuma pesan kue dan tiup lilin, tapi Eva bilang itu tidak seru. Jadi dia mengundang, ehm... orang-orang ini, dan menyiapkan segalanya."
"Lebih banyak orang, lebih meriah!" pekik Meg.
"Lebih banyak orang, lebih meriah," ulang Soren tidak antusias. "Apa sebaiknya kutelepon Gary dan mengundangnya? Ini hari Sabtu, seharusnya Tesco tidak begitu sibuk."
"Soren, lupakan Gary, oke? Kita punya teman-teman baru sekarang, dan sepertinya..." Meg melirik Eva dan Han yang sedang melakukan chicken dance, si kecil Ella melonjak-lonjak di dekat mereka. "Mereka lebih menyenangkan."
"Aku tahu, Meg. Hanya saja ini terasa... aneh."
"Kau hanya perlu membiasakan diri," Meg menepuk pipinya. "Selama ini kau bekerja, bekerja dan bekerja. Seandainya kau betul-betul mati saat usiamu empat puluh tahun nanti, apa kau tak akan menyesal karena menghabiskan sebagian besar hidupmu dengan membuat kaya pemilik Tesco?"
Soren hanya tersenyum lemah. Meg punya pandangan yang berbeda soal bekerja—itulah alasan utama kenapa Meg jadi komikus alih-alih programmer. Dia termasuk penganut paham bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja.
Pinggul Meg mulai bergoyang-goyang mengikuti irama musik.
"Kau sudah tidak benci pada Eva, ya?" tanya Soren.
Meg memberenggut. "Aku tidak pernah bilang aku membencinya."
"Tapi waktu pertama kali Eva datang, kau mencak-mencak, Meg."
"Waktu itu aku cuma waspada, karena dia orang asing. Tapi ternyata dia... di luar ekspektasiku. Kau kan lihat sendiri. Dia sangat cekatan dan bisa macam-macam. Dia juga cerdas, ramah dan pandai bergaul. Selera humornya bagus. Semua orang menyukainya untuk alasan yang masuk akal. Dan dia cantik sekali. Eva itu..." Meg terhenti dan menggerak-gerakan tangannya, mencari jawaban yang tepat.
"Sempurna?" usul Soren.
"Bisa dibilang begitu," angguk Meg. "Serius, kalau aku cowok, aku pasti akan jatuh cinta padanya. Apa kau sudah mulai tertarik padanya?"
Soren mendengus. "Tak akan pernah."
...
Sambil menunggu bus tiba di tujuan, Tristan Oberon menggulir layar ponselnya, mencari-cari cincin yang tepat.
Kira-kira Tracy suka yang mana, ya?
Wanita itu tenang dan penyabar, seperti Rosa. Jadi mungkin dia memilih cincin yang sederhana tetapi manis. Ya, pasti dia suka yang seperti ini.
Tristan memilih salah satu cincin dan membayarnya. Cincin itu akan sampai dua hari lagi, tetapi Tristan tidak masalah menunggu. Aku berencana melamar Tracy setelah masa uji coba ini berakhir.
Bukannya Tristan terburu-buru, dia hanya memikirkan kedua anaknya. Mereka sudah lengket dengan Tracy, wanita itu pintar mengambil hati. Sejak Rosa meninggal, mereka jadi kurang perhatian. Pekerjaan Tristan sebagai chef banyak menyita waktunya. Sebelum Tracy datang, Tristan menitipkan kedua anaknya pada Mrs. Ipswich, tetangga mereka yang mengelola toko kue di bawah apartemen mereka. Tapi kalau anak-anak punya ibu, bukankah itu lebih baik?
Apalagi ibu yang menyayangi mereka.
Bus itu akhirnya sampai. Tristan turun, dan berjalan menuju rumahnya. Hujan yang tidak pernah berhenti membuat trotoar lumat jadi seperti bubur, dan Tristan berhati-hati supaya tidak terperosok. Dia ingin tahu sedang apa kedua anaknya bersama Tracy. Sekarang pukul delapan. Pasti mereka sedang makan malam. Tracy pintar memasak, apa dia pernah sekolah masak sepertiku?
Toko kue Mrs. Ipswich terlihat. Namun tidak seperti biasa, toko itu gelap. Tristan mengecek rumah-rumah lain di daerah itu. Tidak ada pemadaman listrik. Kenapa tokonya gelap?
Tristan sampai di toko itu dan mengintip ke dalam. "Mrs. Ipswich?"
Tulisan "Buka" masih menggantung di pintu kaca, dan rak-raknya masih dipenuhi roti, seakan-akan ada toko itu tiba-tiba ditinggalkan saat jam buka.
Tristan meraih gagang pintu dan membukanya. Pintu itu tidak terkunci. Rasa penasarannya berubah menjadi rasa cemas. Apa toko ini dirampok? Tristan memanggil-manggil lagi, tetapi tidak ada jawaban. Dia mengecek saklar lampu, dan ternyata listrinya mengalir. Mesin kasir masih terkunci, uang di dalamnya tidak tersentuh sama sekali.
Apa yang terjadi?
Tristan berlari menuju tangga di samping toko, yang mengarah ke tempat tinggalnya di atas. Dia terkejut ketika melihat bahwa apartemennya gelap gulita. Tristan terhuyung-huyung menyusuri koridor yang gelap itu, menuju ke pintu apartemennya. Tiba-tiba di dekat pintu, kakinya menabrak sesuatu di lantai.
Tristan mengambil ponselnya dan menyalakan senter. Dia menjerit.
Wajah keriput Irma Ipswich balas menatapnya dari bawah. Matanya mencelat dan mulutnya membuka. Wanita itu sudah tidak bernyawa.
...
"Soren?" Eva mengibas-ngibaskan tangannya dengan penuh semangat. "Bisa ke sini? Aku ingin mengenalkanmu pada teman baruku."
Teman baru lagi?
Soren mengerang. Dia yakin yang dimaksud Eva dengan 'teman baru' adalah orang asing lain yang membalas sapaannya di taman. Dan Eva ngotot mengundang orang-orang asing ini ke pesta, karena menganggap mereka 'teman'. Meg sang ratu pesta hanya tertawa, dan mendorong pergi Soren.
"Ini Lou," Eva menunjuk seorang laki-laki kulit hitam memakai kupluk dan jaket kulit yang lusuh sekali. "Dia beberapa kali mampir ke Paw Friends."
"Halo, Lou..." sapa Soren. Dia bertukar salam dengan laki-laki asing itu. "Aku belum pernah melihatmu di Paw Friends."
"Oh, aku tidak masuk. Hanya melihat-lihat dari luar," kata Lou, suaranya dalam seperti penyanyi opera. "Aku belum bisa memutuskan mau mengadopsi hewan apa. Eva melihatku dan menyapaku. Sejak itu kami mulai mengobrol."
"Dan akhirnya kami jadi teman!" sorak Eva bangga.
"Pastilah begitu," kata Soren, sama sekali tidak terkejut.
"Ini Soren Adam, dia tinggal di sini. Tapi bukan dia yang berulang tahun—Meg, gadis berambut pink yang di sana itu... nah, iya. Ini pesta ulang tahunnya," kata Eva sambil tersenyum lebar. "Meg dan Soren bersahabat karib. Soren suka membaca buku, situs berita dan menonton film-film jadul. Dia selalu bangun pukul enam pagi. Dia berolahraga setiap hari. Dulu dia bekerja di Tesco, tetapi dipecat karena digantikan robot. Tingginya seratus delapan puluh senti, beratnya sekitar enam puluh kilogram, rambutnya pirang, warna matanya biru. Ibunya bernama Eleanor, dan sedang dirawat di panti jompo karena menderita demensia, sementara ayahnya meninggal dalam Bencana Besar Kedua. Waktu usianya delapan belas, dia hampir tenggelam saat—"
"Wow, wow, wow!" Lou terpana. Soren bersyukur Lou menghentikan Eva sebelum gadis itu membeberkan semuanya. "Dari mana kau tahu semua itu? Soren, kau memberitahunya? Kupikir kalian baru saling kenal selama dua minggu."
"Aku menyelidikinya," Eva mengaku dengan bangga, pipinya bersemu merah. "Sebelum aku bertemu Soren. Kami sedang dalam masa uji coba. Maaf, Lou. Aku tak bisa memberitahumu tentang uji coba itu."
Lou terbahak. Dia menunjuk Soren. "Apa yang kau tahu tentang Eva?"
Tak mau dianggap kurang usaha, Soren langsung menjawab, "Dia berasal dari Reykjavik, Islandia. Usianya... mungkin sekitar dua puluh tiga tahun."
Alis Lou terangkat. "Mungkin sekitar dua puluh tiga tahun?"
"Atau dua puluh dua," Soren melirik Eva meminta bantuan, tetapi gadis itu hanya senyam-senyum. "Dia suka memasak dan menyulam. Selain itu... ehm..."
Soren mengacak-acak ingatannya, mencoba mengingat informasi tentang Eva. Lou menunggu sambil tersenyum. Apalagi yang aku tahu tentang gadis ini? Selama ini Eva selalu bertanya tentang diriku, dan tidak pernah menceritakan apa-apa tentang dirinya. Perlahan-lahan, senyum Lou berubah menjadi cengiran sangsi. Aku tidak ingat apa-apa lagi! Hanya itu yang kuketahui tentang Eva!
Kecuali informasi itu.
Soren menelan ludah. Apa aku akan memberitahu Lou tentang siapa Eva sebenarnya? Aku punya dugaan kuat, tetapi ada kemungkinan tipis aku salah.
Akhirnya Soren hanya menarik napas dalam-dalam dan menggeleng kalah. "Hanya itu yang aku tahu tentang Eva."
...
Sembilan puluh kilometer dari The Swindle, di daerah Bedford, Tristan Oberan dicekam ketakutan. Dia membeku.
Siapa yang melakukan ini pada Mrs. Ipswich?
Dia menerjang pintu apartemennya. Seperti pintu toko di bawah, pintu ini juga tidak terkunci. Lampu-lampu belum dinyalakan. Jantung Tristan langsung meluncur ke dasar perutnya. Berbagai ide gila berpusar di kepalanya, seperti burung-burung pemakan bangkai yang kelaparan.
"Amerie?" Tristan mengarahkan senter ponselnya ke dalam ruang tamu. "Caleb? Tracy?"
Klik! Dia menyalakan lampu.
Karena tidak ada jawaban, Tristan mulai mendobrak setiap pintu kamar. "Amerie? Caleb? Tracy?" Suaranya yang memanggil-manggil kian gemetar karena rasa takut. Jangan bilang mereka diculik. Aku tidak punya musuh. Kami sudah tinggal bertahun-tahun di lingkungan ini tanpa masalah.
Tristan tiba di kamar tidur utama. Dia mengayunkan daun pintunya hingga terpentang lebar-lebar, dan menjerit ngeri.
Ada tiga sosok di atas tempat tidur. Amerie dan Caleb Oberon tergeletak di atas kasur, tumpang tindih seperti balok-balok Lego yang berantakan. Dan di kepala tempat tidur tersandar Tracy. Wajahnya tak terlihat karena kepalanya mendongak, lehernya terpuntir dalam posisi yang janggal seperti dipatahkan dengan buru-buru, dan ada sebuah lubang besar menganga di perutnya. Dari dalam perut itu, Tristan melihat untaian-untaian kabel memburai, dan remah-remah logam yang hancur.
...
Di The Swindle, tiba-tiba saja Eva jatuh pingsan di tengah-tengah pesta. Tak berapa jauh dari situ, Ren melihat Ichiro tersungkur di bak mandi, sama sekali tidak tahu tentang rasa sakit luar biasa yang mendadak menyerang pria itu.
Dan di kompleks perumahan karyawan Hitobot di Paddington, ponsel Aya Takeuchi berdering.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top