13. Teater Interaktif
"Soren! Tunggu!"
Pria itu berhenti. Dia mengangkat wajahnya dan menoleh padaku. Biasanya dia hanya akan jalan terus sambil menghitung langkahnya, tidak mau repot-repot menungguku.
Aku melompati dua genangan besar di trotoar. Saat mendarat, kakiku terpeleset batu-batu trotoar yang licin, dan aku kehilangan keseimbangan.
"Ups!"
"Hei!" Soren melempar payungnya dan menangkapku pinggangku sebelum aku terjengkang. "Kenapa kau melompat-lompat seperti itu? Berbahaya, tahu!"
"Aku sedang senang. Aku hanya mengekspresikan perasaanku."
"Itu sangat kekanakkan."
"Kau menganggap orang yang sedang bersukacita itu kekanakkan?"
Soren tidak menjawabku, dia mencebik. Aku tahu dia tidak senang. Kami beradu pandang. Rintik-rintik hujan menetesi kepalanya, membuat rambutnya basah. Aku ingin sekali mengusap poninya yang menghalangi mata. Soren bilang Meg yang selalu memotong rambutnya, dan dia masih enggan mempercayakan kepalanya padaku.
"Sampai kapan kau akan terkulai begini?" protes Soren.
"Memangnya kenapa?"
"Kau berat."
Aku terkikik dan menegakkan diri. Soren melepaskan pegangannya di pinggangku, dan meraih payungnya. Dia bertambah kesal. "Payungku patah."
"Aku punya payung, lho."
"Tidak, terima kasih. Teaternya sudah dekat."
Setelah kupikir-pikir, rasanya aku mengerti kenapa pria ini tidak beruntung dalam urusan asmara. Dia terlalu ketus. Aneh, padahal setahuku orang Inggris itu suka berbasa-basi. Mungkin sebelum Bencana Besar mereka begitu, kata suara kecil dalam kepalaku.
Yah, kalau itu alasannya, aku bisa paham. Kurasa sifat keramahtamahan manusia merosot drastis sejak kedua Bencana Besar, digantikan kemauan untuk bertahan hidup.
Cepat-cepat kususul Soren, dan kusorongkan payungku di atas kepalanya, untuk menaunginya juga. Payungku tidak terlalu besar, jadi kami berdua harus berhimpitan di bawahnya. Kali ini, Soren tidak protes.
Kami melanjutkan perjalanan menuju Teater Piccadilly.
"Kau kesal karena Meg tidak jadi ikut, ya?" tanyaku.
Soren hanya mengembus keras. Kusodorkan sehelai saputangan supaya dia mengelap kepalanya yang basah. Meski Soren tidak pernah sakit, tetapi aku meragukan staminanya. Maksudku, dia kurus dan pucat, dan hujan hari-hari ini lebih berbahaya dari hujan sebelum Bencana Besar Kedua. Soren mengambil saputangan itu, menggumamkan terima kasih, dan mengeringkan rambutnya.
Aku bersenandung, sekedar mengikuti suasana hatiku. Soren mendesah.
"Eva, apa kau selalu bersemangat seperti ini?"
"Entah, ya. Menurutmu aku terlalu bersemangat, apa?"
Soren terkekeh getir dan mengangguk. Aku tidak bisa menerima ini. Kami akan pergi nonton teater interaktif, dan tingkah Soren membuatku kesal.
"Soren, apa kau selalu semuram ini?"
"Aku tidak muram. Aku hanya... menghemat energiku."
"Aku heran, nih. Kok bisa Meg tahan dengan pria yang begitu sendu seperti kau ini. Aku saja kadang-kadang kesal dengan sikapmu."
"Maksudmu aku ini merepotkan?"
"Aku tidak bilang begitu. Hanya saja, apa kau pernah bersenang-senang sekali saja dalam hidupmu?"
"Maksudmu seperti liburan? Liburan cuma buang-buang uang."
"Tidak harus liburan." Lagipula, siapa yang sempat pergi berlibur ketika dunia sedang kacau begini? "Kukasih contoh nih, ya. Aku senang saat mengobrol dengan Leah, Meg dan para tetangga di The Swindle. Aku senang saat merajut dan memasak. Aku senang saat membantu Deidre di Paw Friends. Hal-hal seperti itu."
Soren menggigit bibirnya dan tertunduk. Pelipisnya yang tegang jadi agak kendur, pertanda dia jadi lebih rileks.
"Kurasa... aku juga senang saat melakukan semua itu."
"Melakukan apa?"
"Menemanimu mengobrol dengan Leah, Meg, dan orang-orang di The Swindle..." Soren membuka jari-jarinya, seperti menghitung. "Melihatmu menyelesaikan rajutan dan masakanmu, lalu membagikannya pada orang-orang. Dikelilingi para hewan di Paw Friends... Tidak senang banget, tapi cukup senang."
Ada yang bergetar dalam dadaku mendengar jawabannya. "Itu bagus."
"Aku juga senang saat bekerja di Tesco," lanjut Soren. "Bob dan Anouk baik padaku. Gary... dulu dia baik, sebelum dia mendepakku dan Meg."
"Kau tidak butuh Gary," kuingatkan dia. "Kau punya teman-teman baru sekarang. Leah, Deidre, Troy, Iris dan putrinya: si cantik Ella. Dan Jamie Curtis, dan Mrs. Esperanza di apartemen 18B, keluarga Tsui di 19C, dan aku."
Soren mengulum bibirnya. Kesepuluh jari di kedua tangannya nyaris terbuka semua—dia seperti kaget sendiri melihat hasil akhir hitungannya. Kemudian Soren mengangkat wajahnya dan lurus-lurus memandangku. "Bukankah kau seharusnya jadi pendamping hidupku?"
"Seharusnya sih seperti itu, tapi..." Bisa jadi ini cuma bercanda, atau betulan serius, aku juga tidak tahu harus menganggap apa. "Aku akan pikir-pikir lagi kalau kau terus-terusan cemberut sepert ini."
Soren tertawa.
...
Kami sampai lima belas menit sebelum pertunjukan di mulai. Soren tidak pernah terlambat, jadi aku mengikuti kebiasaannya. Kami akan menonton pementasan musikal Beauty and The Beast.
Awalnya kupikir teater interaktif memakai teknologi hologram atau sejenis itu, tetapi rupanya itu pertunjukan yang betul-betul interaktif. Para aktor dan aktrisnya bisa mengobrol langsung dengan para penonton, dan kami boleh ikut bernyanyi dan menari. Pokoknya seru sekali! Kupikir sejak Bencana Besar Pertama, hiburan hanya terbatas pada film dan serial yang ditampilkan di layar. Namun ternyata masih ada sekelompok penggiat seni pertunjukan yang cukup kreatif dan membuat teater interaktif seperti ini. Siapa sangka di balik semua kengerian kedua Bencana Besar, masih ada pertunjukan yang menghibur seperti ini?
Sebagian besar penonton sudah hafal dengan dialog dan lagu-lagu yang dinyanyikan para pemain—tampaknya mereka rutin menonton teater interaktif. Tapi ada juga beberapa seperti aku dan Soren yang baru pertama kali mampir. Tidak masalah, aku bisa mencari dialog dan lirik lagunya di internet.
Kami sedang di bagian ketika Belle disambut di ruang makan oleh Lumiere dan Cogsworth ketika Soren tiba-tiba nyeletuk. Dia menuding seorang wanita yang ikut menyanyikan Be Our Guest bersama aktor pemeran Lumiere.
"Salah, seharusnya 'you're scared', bukan 'you're afraid'."
"Wah, kau hafal lirik lagunya?"
"Malam Minggu Film, ingat? Aku sudah sepuluh kali menonton Beauty and The Beast."
"Kalau begitu kenapa dari tadi kau diam saja?"
"Aku... tidak begitu pintar menyanyi."
"Aku juga. Kalau kau jago menyanyi, kau seharusnya ada di panggung itu, kan?" Kulambaikan tanganku tinggi-tinggi. "Hei! Di sini!"
"Eva!" Soren menarik turun tanganku. "Apa yang kau lakukan?"
Tidak kugubris dia. Aku berdiri di atas kursiku supaya para aktor itu melihat kami. Si aktor Cogsworth melihatku dan menyambangi kami. Lumiere menyusul. Soren merosot di kursinya hingga hanya puncak kepalanya yang terlihat. Aku mengambil mikrofon yang ditawarkan pada kami, dan memberikannya pada Soren.
"Kau gila?" Soren mendorong mik itu jauh-jauh, seakan aku menawarinya racun mematikan. "Mana mungkin aku menyanyi di depan orang-orang ini?"
"Oh, tidak perlu malu!" kata Lumiere dengan aksen Prancis-nya yang lucu. Aku tergelak mendengar suaranya. "Ayo menyanyi!"
"You're alone, and you're scared," Cogsworth bernyanyi.
"But the banquet's all prepared!" sambung Lumiere. Kudekatkan mik itu ke mulut Soren. Dia hanya menatap mik itu selama beberapa detik. Sumpah, seandainya dia akan tetap diam, aku akan menariknya ke atas panggung itu. Tapi akhirnya Soren membuka mulutnya dan bersenandung kecil:
"No one's gloomy or complaining, while the flatware's entertaining..."
Penonton bersorak. Lumiere dan Cogsworth menarik Soren ke depan. Pria itu mengikuti dengan terseok-seok, tetapi kutempelkan tanganku di punggungnya untuk memberinya dukungan.
Kemudian kami mulai bernyanyi lagi dan menari. Tepuk tangan serta sorakan penonton mengiringi setiap nada yang kami lantunkan, dan setiap gerakan yang kami lakukan.
...
Soren Adam yakin malam ini dia akan mimpi.
Bukan berarti selama ini tidurnya terganggu. Dia bisa tidur dengan baik setiap malam, hanya saja dia tidak pernah bermimpi. Dia pernah membaca bahwa tidur yang betul-betul lelap—alias deep sleep—selalu disertai mimpi.
Soren sudah menghabiskan seluruh energinya (yang tidak terlalu banyak itu) untuk teater interaktif tadi. Dia sendiri heran bahwa dia bisa menikmati pertunjukan hiburan itu. Semula Soren beranggapan teater interaktif itu hanya untuk anak-anak, apalagi setelah tahu dia dan Eva akan menonton Beauty and The Beast. Soren menerima ajakan Eva semata-mata supaya tidak mengecewakan Deidre yang sudah memberi mereka tiket gratis. Namun saat menyanyi Be Our Guest tadi, Soren merasa dirinya menjelma menjadi sosok yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Soren Adam yang selama ini diketahuinya.
Apa ini artinya aku punya alter ego? Aku menari sambil menyanyi!
Seingat Soren, dia tidak pernah ikut kursus menyanyi atau menari. Tapi saat diminta ke depan panggung, Soren hanya melakukan begitu saja. Musik dan gerakan itu mengalir dengan lancar dari dalam dirinya, dan dia menikmatinya.
Mungkin karena aku rutin senam setiap pagi.
Saat ini pertunjukan sudah selesai. Beberapa pengunjung setia sedang mengobrol dengan para pemeran di backstage. Eva menawari Soren untuk ikut menyelamati para pemeran karena pertunjukannya sangat menghibur, tetapi Soren menolaknya. Aku tidak kenal mereka. Setidaknya belum cukup akrab untuk berbincang-bincang seperti itu.
Sekarang Eva sedang di kamar kecil, jadi Soren memotret jadwal pertunjukan teater interaktif di papan pengumuman. Siapa tahu aku kepingin nonton lagi. Kali berikut, aku akan mengajak Meg. Eva juga bilang, dia menyukai acara ini. Dia semangat sekali saat ikut bernyanyi.
Soren tersenyum sendiri memikirkan itu. Tapi Eva memang selalu begitu.
"Ayo kita pulang!"
Eva muncul dari koridor menuju kamar kecil. Dia menyelipkan sesuatu ke dalam saku mantelnya. Soren sempat melihatnya, setangkai mawar merah. Objek itu dipakai di pertunjukan tadi, sebagai mawar yang diberikan si penyihir kepada Beast saat mengutuknya menjadi buruk rupa.
"Eva, dari mana kau dapat mawar itu?"
"Aku minta ke pemeran Beast." Eva mengeluarkan bunga itu dari sakunya "Namanya Jordan, dan dia ramah sekali. Kubilang padanya mawar sudah punah di Islandia, dan dia memberikan sekuntum ini untukku."
Soren mengamati bunga di tangan Eva.
"Ini bunga sungguhan!"
"Aku tahu. Cantik sekali, kan? Makanya berbeda dengan bunga imitasi."
"Dan kau memetiknya?" Soren terperanjat. "Mawar termasuk langka saat ini. Nyaris semua bunga-bungaan musnah setelah Bencana Besar Kedua, masa kau tidak tahu?"
"Justru karena itu aku memetiknya," kata Eva riang. "Jordan bilang bunga ini akan layu satu dua hari lagi, jadi menurutnya lebih baik diberikan padaku, supaya aku bisa menikmati keindahannya."
Soren tidak pernah memikirkan hal-hal romantis seperti itu. Dia marah karena sikap lancang Eva. "Seharusnya kau biarkan saja mawar itu."
"Aku juga tidak menyangka akan diberi," Eva mengangkat bahu. "Aku hanya bilang, 'Mawar yang cantik, ya.' Dan Jordan bertanya apa aku mau. Aku bilang iya, makanya dia mengizinkanku memetiknya. Kau tidak pernah tahu kalau tidak bertanya, Soren. Lagipula, mawar itu dirawat dengan baik. Dia akan berbunga lagi suatu saat nanti. Bukankah hidup memang seperti itu?"
Soren tidak menggubris Eva dan langsung berderap keluar gedung teater. Dia menyesal telah memarahi Eva. Seharusnya dia sadar, gadis itu tak akan pernah memahami arti kehidupan. Apalagi menghargainya.
Karena dia sendiri sebetulnya tidak benar-benar hidup.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top