12. Produk Unggulan
"Kenapa kita harus ke apartemen Meg?" gerutu Soren.
"Kenapa tidak?" Dia cemberut lagi, tapi aku sudah menduganya. Hari ini seharusnya adalah Malam Minggu Film, dan aku telah mengacaukan jadwalnya (bekalangan dia selalu komplain seperti itu). "Selama ini Meg yang selalu datang ke tempatmu. Sesekali mengunjunginya balik bisa, kan?"
"Aku mampir ke tempat Meg, kok. Beberapa kali." Soren membuka telapak tangannya untuk menunjukkan berapa jumlah kunjungannya. "Meg tidak suka dikunjungi. Dia selalu sibuk menggambar."
"Kata siapa?" Sewaktu menginap di tempat Meg, aku tidak menangkap kesan dia gadis yang penyendiri, seperti Soren. "Orang pasti senang dikunjungi teman, apalagi dalam suasana serba tak pasti seperti ini. Hidup ini singkat, kan?"
Soren merapatkan lengan ke sisi tubuhnya dan mencibir. "Kau ini betul-betul bertekad meningkatkan jumlah sosialisasi antar manusia, ya?"
"Bertekad... apa?"
"Bukan apa-apa."
Soren berjalan mendahuluiku. Kubiarkan dia. Dengan begini aku bisa mengamati punggungnya. Dia sudah tidak begitu bungkuk karena selalu kudorong dari belakang supaya tegak, tetapi masih pucat dan muram. Rambutnya sudah agak panjang hingga menutupi tengkuknya yang kecil. Kalau aku menawarkan diri memotongi rambutnya, apa dia mau, ya?
Tiba-tiba Soren terhenti.
"Seratus tujuh," kataku. "Itu jumlah langkahmu dari halte bus."
"Bukan, bukan itu," kata Soren, dan itu membuatku kaget. Biasanya dia kaku sekali kalau menyangkut berjalan di atas garis, menghitung jumlah langkah, menyeberang pas di zebra cross, serta kebiasaan-kebiasaan lainnya yang unik itu.
Soren mengedik ke arah etalase kaca di depan kami. Beberapa android peraga berganti pose, tidak terlalu antusias menjual tren busana terbaru pada orang-orang yang tidak punya cukup uang untuk sekedar membeli makanan.
"Kurasa ada laki-laki yang mengikuti kita dari stasiun," kata Soren.
"Diikuti?" Kuamati bayangan para pejalan kaki lainnya yang terpantul di kaca etalase, mencari-cari sosok yang mencurigakan. Rasanya semua orang kelihatan biasa saja. "Untuk apa orang mengikuti kita? Kau kan tidak pernah melanggar hukum atau berurusan dengan penjahat."
Soren tertegun, rahangnya mengetat. Agaknya dia memikirkan kata-kataku barusan. Rahangnya bagus sekali, ramping dan tegas, membuat wajahnya tampak tirus secara proporsional.
"Hidupmu sangat teratur, Soren Adam," kuperingatkan dia, karena kurasa dia masih ragu-ragu. "Tidak ada alasan orang untuk mengikutimu."
"Hidupku tidak lagi teratur," kata Soren dingin. Dia menarik syalnya lebih rapat dan meneruskan berjalan. "Kau sudah mengacaukannya."
...
Beberapa menit sebelumnya, John Dallas tanpa sengaja melihat si pria pucat dan si gadis malaikat yang ditemuinya beberapa hari lalu di Tesco. Pasangan tidak serasi itu sedang menaiki tangga London Underground; si pria tertunduk seperti orang sakit, sementara si gadis mengikuti sambil nyerocos riang, seperti anak anjing yang kelewat aktif.
Jackpot.
Seminggu terakhir, John tak bisa mengenyahkan kedua orang itu dari kepalanya. Dia sudah meminta salah satu mekanik ARC mengecek detektornya kalau-kalau benda itu rusak. Detektor sudah membantu John mengidentifikasi puluhan ribu android yang amat mirip manusia. Tapi untuk yang satu ini, John harus memastikan sekali lagi.
Robot dengan kemampuan merasakan.
John berharap mendapat kesempatan untuk bertemu dengan kedua orang itu lagi.
'Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan itu...' Kejadian satu ayat dua puluh enam. Ayat Alkitab favorit John. Laki-laki dan perempuan. Manusia, bukan robot.
Jadi begitu melihat si laki-laki pucat dan si gadis malaikat, John langsung mengikuti kedua orang itu. Tanpa detektornya, John harus mengawasi dari jarak dekat. Dia berhati-hati sekali supaya tidak ada yang mengenalinya dan kedua target itu tidak tahu sedang diburu.
Ketika mereka berhenti di depan etalase sebuah toko pakaian, John ikut berhenti juga. Mereka sedang membicarakan sesuatu. John merapat ke balik sebuah tempat sampah besar supaya bayangannya tidak terpantul di kaca itu.
Dari jarak begini, John bisa melihat gadis itu dengan lebih baik. Kulitnya amat halus secara tak wajar, begitu juga rambutnya yang berkilau.
Tidak salah lagi. John yakin seratus persen. Itu sebuah robot.
John mengeluarkan ponselnya. Diam-diam, dia menjepret foto kedua orang itu.
...
Kami masuk ke lobi, menitipkan jaket yang basah diterpa hujan ke robot satpam (hari ini lebat ditambah angin kencang), menggesek sepatu-sepatu bot yang belepotan lumpur ke keset, lalu naik lift menuju apartemen Meg. Begitu sampai, kami tidak perlu memecet bel karena Meg langsung membukakan pintu. Hari ini dia memakai jaket bulu bertudung warna merah, rompi kuning, dan rok lebar warna biru yang membuatnya kelihatan seperti burung kakatua raksasa.
"Meg, maaf. Aku tahu kau sibuk." Soren langsung minta maaf begitu kami di ruang tengah. Di atas meja, sudah tersedia dua mangkuk besar popcorn, keripik kentang dan seteko jus. "Ini idenya Eva. Dia yang memaksaku."
"Oh, duduk saja, Soren." Meg mengibaskan tangan sambil lalu. "Hari ini film Disney, kan? Coba kulihat... kita punya The Lion King, Zootopia, Dumbo, dan Aristocats. Sebagai tribut atas kerja keras kalian di Paw Friends!"
"Film kartun tentang binatang?" tanya Soren.
"Mm-hmm." Meg mengangguk-angguk heboh sampai kacamatanya nyaris copot. "Pas banget, kan?"
Lihat, Soren? Meg tidak marah, kan? Kuberi senyum kemenangan pada Soren. Pria itu tidak mengatakan apa-apa dan hanya duduk di atas karpet sambil memeluk lutut, wajahnya masih cemberut.
"Meg," panggilku. "Aku punya hadiah untukmu."
"Meg, bagaimana komikmu?" Soren menimpali, sengaja mengalihkan topik. Sebal karena sikap murungnya, kutendang sedikit betisnya. Soren hanya berpura-pura tidak merasakan apa-apa. Huh, sok tegar! Padahal badannya ceking begitu.
"Aku sedang mengerjakan bab baru, tapi, whoa... tunggu sebentar." Meg meletakkan iPad yang dipakainya untuk memilih-milih film. "Tumben sekali kau menanyakan pekerjaanku, Soren."
Soren mengusap-usap lututnya. "Kau jadi repot karena menjamu kami..."
"Kau tahu, sudah lama aku justru kepingin jadi tuan rumah Malam Minggu Film!" Meg menyeringai lebar. "Tapi kau selalu ngotot. Aku dan Gary tidak enak memprotes karena kami tahu kau orang yang sangat, ehm..."
"Kaku," sambungku. "Dan membosankan."
"Aku tidak kaku dan membosankan," bantah Soren. "Aku teratur."
"Eva, tadi kau bilang punya hadiah untukku?" kata Meg lagi, membiarkan Soren yang kembali bermuram durja. "Ulang tahunku masih minggu depan, lho."
"Nah, hadiah untuk ulang tahunmu beda lagi." Aku mengeluarkan ponsel dan menunjukkan isi layarnya pada Meg. "Jadi Deidre memberiku dan Soren tiga tiket untuk pertunjukkan teater interaktif."
Meg menatapku. "Dan Deidre adalah..."
"Bos kami di Paw Friends," jawab Soren. "Eva, tidak semua orang tahu siapa saja temanmu. Lain kali, kenalkan dulu orangnya."
"Ya, Deidre itu wanita baik." Kutunjukkan tiga e-tiket itu pada Meg. "Jadi, apa kau mau pergi bersama kami? Pertunjukannya hari Rabu minggu depan."
"Tentu!" sambut Meg. "Tapi Eva, apa kau tahu tentang teater interaktif?"
...
Selagi Soren, Eva dan Meg menonton The Lion King (dan ikut menyanyikan lagu-lagunya untuk Eva dan Meg, sedangkan Soren hanya membisu), empat puluh delapan kilometer dari situ, di Dover, Ichiro juga menonton televisi tanpa suara.
Dia sengaja mengecilkan volume televisi karena tidak ingin mengganggu sosok yang sedang tertidur di sofa di sampingnya. Seorang pemuda, usianya sekitar lima belas tahun, sedang terlelap di balik selimut. Wajahnya tampak damai, karena dia baru saja menghabiskan hari yang menyenangkan.
Padahal cuma jalan-jalan ke pantai. Di cuaca begini pula. Tapi girangnya bukan main.
Ichiro mensyukuri acara jalan-jalan yang basah dan dingin itu, lalu mengusap poni si pemuda dengan amat hati-hati supaya tidak membangunkannya. Ren, panggilnya dalam hati, berharap jika mungkin, anak itu mendengarnya. Kuharap hidupmu bisa terus sedamai ini.
Ren menjalani hidup yang sulit. Di usia sepuluh tahun, Ren sudah kehilangan segalanya; seluruh keluarganya tewas dalam Bencana Besar Kedua. Lima tahun belakangan dia dipindah-pindah ke empat panti asuhan, dan tidak ada yang mau mengadopsinya. Bukan berarti Ren anak yang bandel. Orang-orang tidak punya cukup uang untuk bertahan hidup setelah Bencana Besar, apalagi mengadopsi anak. Panti asuhan yang terakhir bangkrut, sehingga Ren dan anak-anak asuh yang lain terpaksa dilempar ke jalanan untuk menggelandang.
Cahaya lampu teras yang samar-samar diterpa hujan menerobos ke dalam, menyinari bekas-bekas luka di lengan dan wajah Ren. Ichiro terenyuh melihat torehan-torehan itu—cinderamata dari perjuangan Ren bertahan hidup di jalanan.
Dia hampir kehilangan nyawa gara-gara mempertahankan tempat ini.
Tempat yang sekarang ditinggali Ren dan Ichiro kondisinya sangat menyedihkan. Itu adalah sebuah rumah bobrok yang pernah disapu banjir bandang saat Bencana Besar Kedua, dan sudah ditinggalkan oleh pemiliknya. Dindingnya lapuk dan lembab, lantainya pecah-pecah, sepertiga atapnya sudah rontok, tetapi panel suryanya masih bekerja. Ren dan teman-temannya sesama pemuda jalanan menemukan rumah ini. Mereka memperbaikinya sebisanya dan mengisinya dengan perabot alakadarnya sehingga tempat ini bisa ditinggali. Lalu suatu hari polisi menggerebek daerah itu—bukan robot, tetapi polisi sungguhan. Membersihkan jalanan dari orang-orang berbahaya. Para sahabat Ren tertangkap, dan dia tidak pernah melihat mereka lagi sejak hari itu. Ren lolos—karena tubuhnya kecil, dia mengumpet di salah satu tempat sampah. Sejak saat itu Ren hidup sendiri di sini; ketakutan, kelaparan dan tanpa tujuan, sampai dia melihat survei Proyek Deus dari ponsel yang dicurinya.
Ichiro membelai kepala Ren. Aku akan terus menjadi temanmu.
Dua minggu lalu, saat pertama kali bertemu, Ren menuduh Ichiro sebagai orang gila. Pedofil, pedagang organ, polisi berpakaian preman. Ichiro mencoba menjelaskan tentang uji coba Proyek Deus, dan bahwa dia tidak berbahaya. Ren masih tidak percaya. Jadi akhirnya Ichiro menyerahkan uang kompensasi survei sepuluh ribu pound itu (Ren tidak punya rekening bank). Ren menerimanya, seumur hidup dia belum pernah memegang uang sebanyak itu.
Kuanggap itu sebagai ucapan selamat datang.
Awalnya Ren hanya menganggap Ichiro sebagai mesin ATM, tetapi lambat laun pemuda itu mulai membuka dirinya pada Ichiro. Di balik kata-katanya yang kasar dan sikapnya yang seenaknya, Ichiro menemukan sosok pemuda berhati lembut yang terluka, marah dan kesepian. Ichiro belum pernah merasa begitu bersyukur dengan pekerjaannya. Aku tahu aku datang di saat yang tepat. Ichiro pun mencoba menjadi sosok kakak sekaligus ayah bagi Ren.
Ren merespon dengan baik.
Pemuda itu tidak lagi memanggil Ichiro dengan 'oi'. Dia membalas kalau dipanggil—awalnya Ren hanya pura-pura tuli atau memarahi Ichiro. Dan kini Ren sudah menurut kalau Ichiro menegurnya. Ren berhenti mencuri, dan lewat dukungan Ichiro, berhasil mendapat pekerjaan sebagai pembersih dek di pelabuhan.
Dia menyukaiku.
Ichiro tidak sedikit pun ragu bahwa Ren sanggup berubah menjadi pemuda yang lebih baik. Dan aku tidak sabar menunggu akhir masa uji coba ini, Ichiro membetulkan selimut Ren yang tersingkap sedikit. Saat aku dan Ren menjadi keluarga yang sesungguhnya. Setelah semua kekacauan ini berakhir, mungkin Ren mau kuajak kembali ke Jepang, ke tanah leluhur kami, dan memulai hidup baru di sana.
Ichiro kembali menatap televisi. Tanpa sadar, tangannya bergerak ke arah keningnya. Saat menyentuh kulitnya, Ichiro teringat sesuatu.
Rasa sakit itu.
Seminggu lalu, Ichiro merasakan kesakitan luar biasa di kepalanya. Rasa sakit itu muncul mendadak dan amat dahsyat, sampai-sampai membuat Ichiro pingsan. Waktu itu Ren sedang di pelabuhan, sehingga tidak melihat apa yang terjadi. Saat tidak sadar, Ichiro melihat sesuatu... sejenis gambaran yang samar-samar, tetapi begitu nyata, seperti film. Seseorang mendatanginya dengan gergaji listrik, mengayunkannya ke pangkal lehernya, disusul lecutan rasa sakit tak terperikan dan kelebat delapan wajah pria dan wanita asing yang tak dikenalnya. Lalu sekonyong-konyong, Ichiro sudah tersadar kembali.
Ichiro tidak memberitahu Ren, karena tidak ingin membuat Ren khawatir. Hidup di jalanan membuat Ren selalu waspada, dan Ichiro tahu kalau dia cerita pada Ren soal mimpi anehnya itu, pemuda itu akan gelisah. Jadi Ichiro merahasiakannya rapat-rapat. Tapi aku tahu itu sesuatu yang sangat penting.
Ichiro tidak mengerti bagaimana caranya dia tahu, pokoknya dia tahu saja. Seakan ada sosok kasat mata di kepalanya yang membantunya memahami semua ini. Seseorang telah dibunuh. Dan orang itu ada hubungannya denganku. Begitu pula dengan delapan wajah asing itu. Kami ada bersepuluh.
Bisa jadi ini sejenis telepati, kontak batin, atau firasat—apa pun namanya, Ichiro yakin yang dilihatnya itu bukan mimpi. Dia tidak tahu siapa orang yang dibunuh itu, begitu pula dengan delapan orang lainnya, tetapi Ichiro yakin sekali kalau mereka sedang diincar. Siapa yang mengincarnya, Ichiro tidak tahu. Yang pasti, sang pemburu ini sanggup memenggal kepala dengan gergaji mesin.
Dan kalau mereka menangkapku, Ren akan ikut celaka.
Ichiro memijat-mijat keningnya. Sudah tak sakit lagi, tetapi tanganku refleks bergerak ke sini setiap kali teringat peristiwa itu.
Ichiro mengambil bantal untuk menyangga kepala Ren. Lalu dia bangkit berdiri, dan berjinjit ke wastafel kusam di sudut untuk mengambil air. Saat memutar keran, Ichiro mengamati pantulannya sendiri di cermin. Seorang pria Asia berumur tiga puluhan balas menatapnya, sorot matanya kelihatan cemas.
Apa yang telah berubah darimu? Ichiro bertanya pada sosok di cermin.
Kau sudah punya tujuan sekarang, jawab suara di kepala Ichiro. Pantulan Ren yang sedang terlelap di belakang, terlihat di cermin.
Kalau begitu kau harus melakukan sesuatu.
Ichiro meraba lagi keningnya, di tempat rasa sakit itu melumpuhkannya. Dia meraba dengan hati-hati, cermat merasakan keanehan apa pun di kulitnya. Di sini. Pasti ada di sini. Sesuatu yang menghubungkan kami bersepuluh.
Ichiro mendekati lampu di puncak cermin untuk mendapatkan cahaya ekstra. Kontur lekuk uratnya membekas, pori-pori kulitnya yang halus tampak, begitu juga dengan bayang-bayang pembuluh darah di baliknya.
Tiba-tiba Ichiro melihat sesuatu. Sebuah titik merah yang sangat kecil, sehingga akan dengan mudahnya luput dari pengamatan yang tidak teliti.
Dan titik itu berdenyut, seolah hidup.
--------------------
Catatan Penulis (11 November 2021)
Cerita ini tamat di bab 30, ya. Kalau lancar di 30 November 2021.
Sejauh ini apa udah kebayang kira-kira mau jadi gimana ceritanya? :)
Yang pasti, seperti cerita-ceritaku yang lain, yang ini pun akan penuh kejutan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top