11. Pekerjaan Baru


Selama ini Soren Adam yakin dirinya tidak punya keahlian lain selain mengatur barang-barang di swalayan, tetapi Paw Friends membuatnya mempertanyakan keyakinan itu.

"Kenapa namanya Paw Friends?" Soren memberanikan diri bertanya setelah bekerja empat hari di penampungan itu. Penasaran seperti itu di luar kebiasaannya, tetapi ini adalah salah satu kebiasaan yang mulai dipertanyakan Soren. "Kan di sini tidak cuma ada anjing dan kucing."

Deidre, wanita gemuk berusia empat puluh satu ("Secara umur, semestinya aku sudah pantas mati," katanya saat pertama kali menyambut Soren dan Eva), menjawab dari balik rak pengering handuk. "Dulunya ini pet shop khusus anjing dan kucing, tetapi sejak Bencana Besar terakhir, orang-orang berpikir memelihara binatang itu buang-buang uang. Hanya sedikit yang tertarik untuk mengadopsi. Setiap hari kami menerima binatang-binatang yang ditelantarkan pemiliknya di depan pintu. Aku tidak bisa membiarkan mereka, jadi lambat laun tempat ini berubah jadi penampungan hewan."

"Untung ada Lady Jochebed Heinzenberg-Schnellbahnhof," Eva datang sambil memeluk Tibbles. "Dia yang menyelamatkan tempat ini."

"Lady... siapa?" tanya Soren.

"Jochebed Heinzenberg-Schnellbahnhof," ulang Eva lancar. "Bangsawan. Cicit kesekian dari Countess Kensington. Menikah dengan pengusaha energi terbarukan dari Mecklenburg-Vorpommern, Jerman. Suaminya meninggal saat Bencana Besar Kedua, dan dia diwarisi dua miliar pound. Lady Jo memakai hartanya untuk mendanai tempat-tempat penampungan hewan di seluruh Inggris. Intinya wanita itu kaya raya, sayang binatang, dan dermawan."

"Terberkatilah dia. Wanita berhati mulia," seloroh Deidre. "Aku mau ke belakang. Kalian berdua bisa mengurus anak-anak sebentar, kan?"

Yang Deidre maksud dengan "anak-anak" adalah delapan ekor anjing, enam kucing, empat kelinci, dua kakatua, dan satu akuarium penuh ikan.

"Tentu," sahut Eva riang.

Deidre mengangguk dan menghilang ke belakang. Soren menunggu sampai Deidre pergi lalu bertanya. "Dari mana kau tahu semua itu, Eva?"

"Soal apa?"

"Lady Jo."

"Aku tanya," Eva mengedik ke pintu belakang. "Deidre cerita padaku."

Soren mengambil Tibbles yang sudah sampai di dadanya, kuku-kuku anak kucing itu menembus kaosnya. "Kau pasti menginterogasinya."

"Tidak juga. Aku dan Deidre cuma mengobrol."

"Bukankah seharusnya kita membantunya di sini, bukan mengobrol?"

"Deidre tidak keberatan kok."

"Tidak sopan banyak bertanya."

"Oh, kau tidak tahu, ya?" Eva memakai lengannya untuk menghalau Bo, golden retriever sangat ramah yang sebelumnya bertugas sebagai anjing penolong orang tunanetra. "Setiap orang sebetulnya punya kisah yang menarik untuk dibagikan pada orang lain. Namun seringkali kita menuntut untuk didengarkan, bukannya mendengarkan, makanya kisah-kisah itu terkubur selamanya."

Soren merenungkan jawaban itu. Apanya yang menarik dari kisah seorang janda kaya yang menghabiskan warisannya untuk binatang?

"Kau juga punya kisah menarik, Soren," kata Eva. Dia mengelus-elus kepala Bo yang bersandar di pahanya.

"Tidak," Soren mengelak. "Hidupku biasa-biasa saja."

"Masa?" Eve memberenggut. "Bagaimana dengan masa sekolahmu? Pasti banyak hal seru saat kau bersekolah, kan?"

Soren mengingat-ingat masa kecilnya. "Tidak ada yang menarik."

"Kau yakin?" Eva nyengir. "Bagaimana waktu kau nyaris tenggelam itu?"

Ah, dia sudah tahu semuanya. Soren mendesah dan bermain-main dengan Tibbles. "Kau kan sudah menyelidikiku. Jadi apa gunanya aku cerita padamu? Kau tahu semuanya tentang aku."

"Tidak semuanya, sih..." kata Eva. Mata Bo terpejam dan anjing itu mulai tertidur. "Aku cuma tahu informasi yang bermanfaat sebagai pendampingmu."

"Apa hubungannya kejadian itu dengan pekerjaanmu ini?"

"Mungkin gara-gara itu kau jadi takut pada laut. Atau air. Bisa saja kau menderita trauma, dan aku harus berhati-hati supaya tidak mengajakmu ke pantai kalau kita berkencan," Eva menjelaskan dengan serius. "Kalau kau masih bertanya-tanya bagaimana caranya aku tahu, informasi seperti itu gampang sekali ditemukan. Polisi dipanggil saat kau nyaris tenggelam itu, kan? Ada catatannya."

Soren sendiri tidak ingat persis detail kejadian waktu itu. Air dingin yang menyeret ke dasar laut. Pelampung yang tidak mau terbuka. Dan Dad...

"Soren?" Eva melambaikan tangan di depan wajahnya. "Bumi kepada Soren Adam. Halooo?"

Soren tersentak dan kembali focus. "Organisasi yang mempekerjakanmu itu..." Dia sengaja mengganti topik pembicaraan. "Pasti tahu banyak hal."

"Bisa dibilang begitu," Eva mengangkat bahu. "Tapi bukan berarti mereka seenaknya mengorek-ngorek data pribadimu. Semuanya demi uji coba ini."

Uji coba. Soren mengingatkan dirinya sendiri karena dia hampir lupa. Semua ini hanyalah uji coba. Setelah tiga puluh hari, Eva akan pergi dan hidupku akan kembali normal.

"Aaaw, coba lihat dia!" Eva mengangkat Tibbles. "Bukankah dia sangat menggemaskan?"

"Dibandingkan Lilo-nya Meg, dia lebih baik," Soren setuju.

"Jangan dibandingkan dengan robot dong," protes Eva. "Ini binatang asli. Sudah pasti lebih baik. Lilo itu cuma logam dan kabel."

Logam dan kabel, ya? "Kau akan terkejut mengetahui bagaimana 'logam dan kabel' bisa jadi amat mirip makhluk hidup akhir-akhir ini. Apalagi manusia."

"Maksudmu para android itu?"

"Dan versi mereka yang lebih canggih."

"Secanggih apa pun, mesin tidak akan bisa mengalahkanmu. Iya, kan?" Eva mendekatkan Tibbles ke wajahnya. "Siapa kucing terlucu sedunia? Kau."

Suara bel mengalun dari pintu. Soren dan Eva menoleh. Seorang pria paruh baya masuk ke dalam. Dia melepaskan topinya dan mengangguk pada Eva.

"Halo," kata pria itu. Suaranya serak sekali. "Mrs. Duvall ada?"

"Mrs. Duvall?" tanya Soren.

"Ada." Eva bangkit berdiri. "Tunggu sebentar, akan kupanggilkan."

Eva pergi ke belakang dan kembali bersama Deidre. Soren sama sekali tidak tahu bahwa Deidre menikah dan Duvall adalah nama suaminya. Saat mengenalkan diri, wanita itu hanya menyebut diri sebagai 'Deidre' saja.

Pasti ini salah satu informasi yang didapat Eva dari obrolannya dengan Deidre, pikir Soren, setengah takjub, setengah malu. Dia selalu penasaran. Pasti bisa jadi wartawan yang baik, alih-alih pendamping hidup.

Deidre mendatangi Soren. "Nah, sekarang kau punya keluarga baru," kata wanita itu tiba-tiba. Sebelum Soren bertanya lebih jauh, Deidre mengangkat Tibbles dan menyerahkannya pada sang tamu. "Ini Henry. Ayah barumu."

"Sebentar." Soren langsung berdiri. "Tibbles diadopsi?"

"Aku akan mengurusnya dengan baik," kata Henry si pria itu. "Istriku meninggal bulan lalu dan rumahku jadi sepi..."

Soren tidak sanggup berkata-kata. Dia hanya menonton Deidre yang mengikatkan pita ke leher Tibbles, lalu menyerahkannya pada Henry. Pria itu mendekap Tibbles dengan sayang, wajahnya kelihatan lebih riang dibanding saat dia masuk ke kios tadi. Deidre kembali ke belakang.

Soren mendekati Eva. "Kenapa kau tidak bilang Tibbles akan diadopsi?"

Eva tertunduk, tangannya menggulung pita leher yang tadi dipakaikan pada Tibbles. "Kupikir kau sudah tahu."

"Aku tidak tahu. Deidre juga tidak bilang apa-apa!"

"Kita tidak bisa menampung mereka selamanya, Soren. Para binatang ini perlu makan. Kalau ada yang bersedia mengadopsi mereka dan menyayanginya dengan sepenuh hati, kenapa tidak?"

Soren tercekat. Ada suatu perasaan aneh yang menggerogoti hatinya. Belum seminggu aku bermain-main dengan Tibbles. Kucing itu sudah mulai akrab denganku dan tiba-tiba saja...

Bukan, bukan aneh. Soren cepat-cepat menghalau perasaan aneh itu. Aku pernah merasakan ini sebelumnya. Aku ingat betul rasanya. Aku tidak mau merasakan hal seperti ini lagi.

Di sebelahnya, Eva menyedot ingus dan mengusap matanya.

"Eva, kau... menangis?"

Eva membuang napas lewat mulut dan mengambil selembar tisu.

"Kenapa kau menangis?"

"Karena Tibbles sudah pergi," ujar Eva pendek.

"Kau baru empat hari mengenal Tibbles. Tak seharusnya kau merasa sedih."

"Aku memang tidak sedih." Eva menghapus air matanya. "Aku bahagia, Soren. Tibbles sudah menemukan keluarganya yang baru." Dia menambahkan cepat-cepat sambil menyikut Soren. "Memangnya kau tidak terharu, apa?"

Soren mengetatkan rahang. Dia telah belajar untuk tidak terlalu terikat dengan sesuatu. Atau seseorang. Karena hari seperti ini pasti akan datang: yang kita kasihi itu akan diambil dari kita. Rasa sayang itu tidak sebanding dengan rasa sakit yang akan timbul saat perpisahan. Perasaan aneh yang dirasakannya tadi adalah rasa sakit karena kehilangan.

"Tibbles cuma kucing."

Eva mengelap hidungnya yang beler dengan punggung tangan dan menyenggol bahu Soren. "It's okay to cry. Cowok boleh menangis kok."

"Aku tidak terharu, atau sedih, atau apa pun. Aku tidak ingin menangis."

"Betulkah? Kau kelihatan seperti ingin menangis. Matamu merah, lho."

Soren berbalik dan mendekati Bo, kehilangan minat untuk menggubris Eva. Saat berlutut untuk mengelus Bo, Soren menarik napas dalam-dalam. Tanpa sepengetahuan Eva, pria itu membelalakkan mata lebar-lebar, berusaha menahan sesuatu yang siap meluncur turun dari sudut-sudut matanya.


...


Tak berapa jauh dari Paw Friends, Aya Takeuchi sedang menyesap teh hangat yang dihidangkan untuknya di Jalan Downing Nomor Sepuluh.

Ini menggelikan, pikir Aya, memandangi perangkat minum teh berukir di atas meja. Dunia di ambang kehancuran, dan di sinilah aku, minum teh dan makan biskuit sambil menunggu.

Pintu di belakang Aya terbuka, dan seorang pelayan mengangguk padanya. Aya mengikuti pelayan itu menuju ke ruangan lain yang lebih megah. Si pelayan mempersilakan Aya masuk. Di dalam ruangan, seorang wanita lain sedang menunggu di balik meja kerja yang terlalu rapi untuk ukuran meja kerja seseorang sekaliber wanita itu.

"Perdana Menteri," sapa Aya sambil membungkuk. Dia masih belum bisa menghilangkan kebiasaan dari tanah leluhurnya itu.

"Miss Takeuchi."

Perdana Menteri Tallulah Tornbridge keluar dari meja kerjanya dan menunjuk sofa tamu yang nyaman. Pelayan yang tadi datang dan menuangkan teh lagi. Aya dan sang tuan rumah berbasa-basi sejenak ("Hujan terus. Cuaca yang mengesalkan, ya?") sebelum akhirnya sampai ke topik utama pertemuan hari ini.

"Saya ingin memastikan kembali komitmen Hitobot pada kepentingan nasional kita," kata Perdana Menteri, kedua mata kakinya beradu rapat. "Serangan perdana akan dilakukan dua minggu lagi. Saya baru selesai mengecek angkatan udara kita. Mereka sudah tidak sabar ingin mengebom pihak lawan."

Aya meletakkan cangkir tehnya. Minum teh sambil membahas serangan bom terasa sureal. "Anda tentu paham bahwa perang terbuka akan memakan banyak korban, Perdana Menteri?"

"Karena itulah saya mengharapkan dukungan maksimal dari Hitobot," kata Perdana Menteri. Dia kelihatan gugup, tangannya terus-terusan mengelus kalung mutiaranya. "Teknologi Hitobot adalah faktor penting supaya Pihak Barat bisa memenangkan peperangan ini."

"Maksud Anda, para robot kami?"

Perdana Menteri tersipu. "Anda paham apa maksud saya, Miss Takeuchi."

"Anda meminta Hitobot menurunkan sepuluh ribu pasukan robot untuk berperang melawan Pihak Timur di Laut Cina Selatan dua minggu dari sekarang." Langsung ke intinya saja. "Itu kan maksud Anda memanggil saya ke sini?"

"Tentara nasional juga akan ikut, itu sudah pasti." Perdana Menteri tanpa sadar sudah meremas bahu kursinya. "Hanya saja, pemerintah berpikir bahwa... mengingat jumlah manusia yang sangat sedikit, akan lebih bijaksana untuk tidak menyia-nyiakan nyawa."

"Dan mengirim robot sebagai gantinya?"

"Kami yakin Pihak Timur juga akan mengirim pasukan robot mereka."

"Sepuluh ribu itu jumlah yang sangat banyak, Lula—bolehkah aku memanggilmu dengan nama itu saja? Kurasa kita seumuran."

"Tentu," kata Perdana Menteri, kedengaran tidak sudi sama sekali.

Aya menangkap kesan formal yang sudah luruh dari lawan bicaranya. "Pabrik-pabrik Hitobot masih terus diserang, dan polisi belum berhasil meringkus satu pun pelakunya. Akan sangat sulit memenuhi target produksi sepuluh ribu robot dalam dua minggu jika kami tidak bisa bekerja dengan tenteram, Lula."

"Pelakunya ARC," tukas Lula. "Kami sudah dapat informasi—"

"John Dallas sudah buron selama lima tahun," potong Aya serius. Dia tahu seharusnya dia tidak boleh menyela kata-kata lawan bicaranya, tapi persetan dengan semua protokoler itu. "Aku pesimis dia bisa ditangkap dalam waktu dekat. Hitobot akan memenuhi komitmen ini dengan bayaran yang besar, Lula. Sangat besar. Kami harus mengerahkan seluruh sumber daya kami untuk perang, dan tidak ada jaminan sepuluh ribu robot itu akan kembali dalam keadaan utuh."

Perdana Menteri Tallulah Tornbridge menyipitkan mata. Cuping hidungnya menipis. Lalu dia melepaskan tangan dari kalung mutiaranya dan melonggarkan kedua tungkai kakinya yang terjalin erat.

"Saya mengerti," kata wanita itu. "Perang ini tidak dapat dihindari lagi. Pemerintah siap untuk, ehm... memberikan kompensasi yang pantas."

"Terima kasih," Aya membungkuk lagi. "Tapi Hitobot tidak butuh uang."

"Oh," Perdana Menteri terkesiap. Seperti politisi manapun, dia percaya teguh bahwa semua urusan bisa diselesaikan dengan uang. "Kalau begitu, apa yang bisa kami berikan, Miss Takeuchi?"

"Saya punya satu permintaan. Ini tentang Tiga Hukum Dasar Robotika."

Perdana Menteri memicing waspada. Dia tidak mengantisipasi topik ini. "Apa yang ingin Anda lakukan dengan ketiga hukum itu?"

Aya menarik napas dalam-dalam, dan membetulkan postur tubuhnya agar tampak berwibawa. "Saya pikir sudah saatnya menambah hukum keempat."

"Hukum keempat?" Perdana Menteri terbelalak. "Bukankah ketiga hukum yang ada saat ini sudah bekerja dengan baik?"

"Kau benar," angguk Aya setuju. "Sudah baik, tetapi belum sempurna. Tiga Hukum Dasar Robotika yang ada saat ini mengatur supaya robot bekerja mengikuti arahan dan perintah dari manusia. Dan setiap robot diprogram untuk mematuhi ketiga hukum dasar itu tanpa terkecuali, dalam situasi apa pun. Namun teknologi kecerdasan buatan sudah berkembang pesat sejak ketiga hukum itu pertama kali dicetuskan. Makanya Tiga Hukum Dasar itu harus disesuaikan."

"Aku tahu apa yang kalian kerjakan," sela Perdana Menteri tajam. "Di Hitobot. MI6 sudah menyelidiki. Kalian sedang menggodok sebuah proyek yang amat berbahaya."

"Kau tidak perlu meminta intelejen Inggris untuk memata-matai kami. Aku sendiri yang akan mengajakmu mengecek langsung proyek itu." Aya tak bisa menahan senyumnya karena tingkah si Perdana Menteri. Paranoid. Pantas saja kau ketakutan setengah mati soal perang ini. "Dan proyek itu tidak berbahaya. Dengan pengaturan yang tepat, proyek itu justru bisa jadi penyelamat manusia."

Keengganan di wajah sang Perdana Menteri jadi kian jelas. Tanpa sadar, dia mengetuk-ngetukkan jarinya di atas paha, pertanda risau.

"Biar kuperjelas ini," kata wanita itu tanpa tedeng aling-aling. "Hitobot bersedia membantu kami saat perang, asalkan aku mengambulkan permintaanmu untuk mengubah Tiga Hukum Dasar Robotika?"

"Bukan mengubah. Hanya menyempurnakan hukum itu. Dan akan baik sekali jika para perusak pabrik kami bisa segera ditangkap."

Perdana Menteri menarik napas dalam-dalam, dadanya membusung ke ukuran tidak wajar. "Apa usulan hukum keempat ini?"

"Para robot dengan kecerdasan buatan diberi hak penuh, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan humanis, serta tanpa intervensi dari manusia..." Aya mengamati perubahan ekspresi si Perdana Menteri. "Untuk menentukan sikap dan pilihan mereka sendiri."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top