10. Berbelanja


Hari itu, pukul satu siang, John Dallas melenggang memasuki swalayan Tesco tanpa seorang pun memperhatikannya.

John menahan tertawa menyadari betapa konyolnya situasi ini. Dia mengerling ke arah layar pengumuman digital raksasa di pintu masuk Tesco. Wajahnya muncul setiap sepuluh detik di layar itu, dilengkapi citra tiga dimensi. Ada tulisan 'WANTED' ditulis besar-besar dengan warna mencolok di setiap poster-poster itu.

Aku adalah orang paling dicari nomor satu di Inggris, pikir John sambil menarik troli belanja. Namun mereka tidak bisa menangkapku. Tak akan pernah.

John tidak sedang membual. Dia mengatakan hal yang sesungguhnya. Sejak mulai bergerak, ARC sudah dicap sebagai organisasi antipemerintah dan masuk ke kategori itu otomatis menjadikan para anggota ARC kriminal. John adalah pemimpin ARC. Dirinya dihargai sepuluh juta poundsterling—hidup atau mati. Namun John selalu berhasil meloloskan diri dari para pemburunya karena dia punya keahlian menyamar yang hampir tidak masuk akal.

Sepuluh tahun bertugas sebagai mata-mata CIA, dan tujuh tahun menjadi agen MI6 di Moskow. John mengelus-elus jenggot palsunya dan menarik turun topi ceper-nya. Semua alat dan trik penyamaran itu memang tidak pernah gagal.

Dengan santai John mendorong trolinya melewati gerbang detektor dan melempar senyum manis pada si lelaki petugas keamanan.

Pip!

Detektor yang terpasang di lensa kontak John bereaksi. Petugas keamanan itu ternyata android. John tersenyum pada si android dan melenggang masuk.

Tidak, pikirnya. Tidak perlu.

John memasang detektor itu di matanya untuk memudahkannya mengenali android dengan segera. Tetapi untuk yang satu ini, John memilih menahan diri. Tentu saja dia bisa meledakkan android yang membalas senyumnya itu. Bukan berarti John peduli pada android itu. Toh dia tidak jadi pemimpin ARC karena punya welas asih pada robot. Prinsip hidup John jelas: bantai semua robot.

Yang ini cuma robot petugas keamanan. Tidak terlalu berguna.

John mulai menyusuri lorong-lorong swalayan yang lengang ditemani trolinya. Dia menikmati hal-hal sepele seperti ini, suatu selingan ringan yang dia perlukan di antara rentetan serangan gerilya yang dilancarkan ARC. Ini adalah"me time" seorang John Dallas. Sekedar melihat-lihat rak belanja, mencari-cari keripik kentang atau soda, tanpa perlu meledakkan sesuatu atau bersembunyi.

Swalayan itu sepi, satu lagi berkah untuk John hari ini. Dia ingat hari-hari ketika swalayan selalu ramai dengan pengunjung, terutama saat jam makan siang seperti ini. Sebelum Bencana Besar. Waktu orang-orang masih belum terlalu takut untuk keluar rumah. Waktu manusia masih bisa bersosialisasi, dan belum digantikan oleh robot-robot sialan itu...

John merindukan masa itu. Kenyataannya, John bukanlah satu-satunya. Saudara dan saudarinya di ARC juga punya harapan yang sama. Seperti John, awalnya mereka tidak terlalu ambil pusing dengan robot. Hanya sekedar mesin untuk membantu kehidupan, tidak lebih. Mau bagaimana lagi. Tapi teknologi kecerdasan buatan membuat mesin-mesin itu tak lagi menjadi sebatas alat saja. John ngeri melihat bagaimana dalam beberapa tahun terakhir, para robot sudah jauh lebih cerdas ketimbang penciptanya.

Dan Hitobot bertanggungjawab atas malapetaka ini.

John mengambil sekotak biskuit bayi dari rak dan mengamati foto bayi di kardusnya. Bayi dua dimensi bermata biru cerah itu balas menyeringai pada John, kedua tangannya yang mungil gempal memegang biskuit. Kalau perjuangan ARC berhasil, manusia akan kembali merajai dunia. Sudah sepantasnya begitu. Para robot itu adalah penghinaan besar; ciptaan yang mengungguli penciptanya.

Acara "menjelajahi swalayan" itu berlanjut. John berbelok menuju bagian lemari minuman dingin. Dulu ini adalah bagian terfavorit di setiap swalayan, tapi sejak iklim berubah dan hujan turun setiap hari, selera orang berubah.

Pip!

Si pemimpin ARC itu mengumpat tertahan dan refleks menunduk untuk mengecek sekitarnya. Dia tidak mempercayai laporan yang diberikan detektornya: android lain dengan level kecerdasan buatan yang sangat tinggi.

Bukan, ini kecerdasan buatan level tertinggi yang pernah kutemui!

"Bagaimana kalau es krim?"

Seorang gadis mengambil satu ember kecil es krim dan menawarkannya pada laki-laki di sebelahnya. Laki-laki itu menggeleng lemah.

Pip! Pip! Pip!

Dia?

John memperhatikan kedua sosok itu dengan seksama. Si laki-laki tampak seperti laki-laki Inggris mana pun yang bertahan melewati kedua Bencana Besar: pucat, kurus dan lelah. Tapi gadis itu... John betul-betul terkesima. Gadis itu nyaris setinggi si laki-laki pucat. Rambutnya berwarna cokelat karamel, matanya hijau terang dan amat ekspresif, seperti mata anak-anak. Kulitnya halus seperti ditenun dari sutra. Dan dia cantik, sangat cantik, jenis cantik yang mustahil diraih manusia tetapi amat mungkin untuk produk artifisial buatan pabrik. Seperti malaikat.

Android.

"Bagaimana kalau kita bikin barbekyu dan mengundang teman-temanmu malam ini?" bujuk si gadis malaikat. Suaranya jernih dan pengucapannya amat jelas—satu lagi kemampuan yang tidak mungkin dicapai manusia.

"Aku tidak punya teman selain Meg," kata si laki-laki dengan lesu.

Detektor di mata John sudah begitu bising sehingga harus dimatikan. Detektor itu sudah memberitahu segala hal penting yang perlu John ketahui, dan sekarang sang pemimpin ARC itu terkesan sekaligus tergelitik.

Kecerdasan emosional.

Sampai hari ini, John bersama ARC sudah membantai sekitar tiga puluh ribu robot, dan belum pernah bertemu satu pun yang punya kecerdasan emosional. Kalau detektor di lensa kontaknya tidak keliru—dan John yakin sensornya tepat, maka yang ada di hadapannya ini adalah sebuah mahakarya mesin.

Sebuah robot yang dapat merasakan emosi.

Ciptaan yang mengungguli penciptanya.

John bergidik memikirkan ini. Dia mengendap-endap di belakang kedua orang asing itu dan membuntuti mereka. Siapa android ini? Rupa-rupa pertanyaan menyerbu kepala sang pemimpin ARC selagi dia menjaga jarak supaya tidak ketahuan. Siapa laki-laki yang bersamanya? Siapa yang memproduksi robot ini? Apa ini produk terbaru Hitobot? Minggu lalu aku baru saja meledakkan kantor Hitobot yang lain dan tidak menemukan robot seperti ini. Android jenis apa dia?

"Yang itu sedang diskon."

John terlonjak dan menubruk trolinya. "Di-diskon?"

"Mm-hmm. Potongan setengah harga, Sir," kata wanita kulit hitam yang tiba-tiba muncul. Dia mengedik ke biskuit bayi yang dipegang John. Papan nama di dadanya bertuliskan 'Anouk'. "Kami punya jasa pengiriman gratis kalau Anda mau pesan dalam jumlah banyak."

"Tidak, terima kasih." John berkelit dan mendorong trolinya pergi. Sial! Benar-benar sial! Dia menyalakan sensornya. Di mana android itu?

John menelusuri seluruh lorong di swalayan itu dan memeriksa lapangan parkir. Selain robot-robot pegawai Tesco, dia tidak menemukan apa-apa.

Si android yang diincarnya sudah lenyap bersama pasangannya.


...


Pantas saja dia kurus.

Tadi pagi saat menunggu Soren menjemputku, Meg bilang kalau laki-laki itu punya nafsu makan yang rendah, dan suka marah kalau disuruh makan banyak. Mungkin dia sedang berhemat energi. Atau uang. Aku sudah mencoba menawarinya di Tesco tadi, mulai dari es krim (favoritku), popcorn (favoritku juga), kue cokelat (ini juga sih), dan macam-macam makanan lainnya, tetapi semuanya ditolak. Soren hanya membeli sebotol air.

Sekarang laki-laki itu sedang tertunduk memandangi kakinya. Dia sudah seperti itu sejak kami keluar dari pintu swalayan.

"Itu," kuberitahu dia. "Garisnya ada di situ."

"Garis apa?"

"Garis jalan." Aku maju dan berdiri di atas garis itu. "Kau mencari garis itu, kan? Kau selalu berjalan di atasnya."

"Oh." Soren melirikku sekilas dan cepat-cepat menunduk lagi.

"Kau juga menghitung jumlah langkahmu." Kujulurkan kedua tanganku, kurengkuh wajahnya, dan kuluruskan lehernya. "Coba begini."

Soren terseok-seok mundur. "Apa yang kau lakukan?"

"Menyelamatkan tulang punggungmu." Kutunjuk postur tubuhnya yang condong ke depan seperti kakek-kakek. "Kenapa kau selalu menunduk begitu?"

"Kupikir kau sudah tahu alasannya?"

"Angkat kepalamu. Cobalah melihat ke depan. Dunia tidak akan kiamat kalau kau berhenti berjalan di atas garis dan berhenti menghitung langkahmu."

"Dunia sudah kiamat. Dua kali."

Aku tidak mau melepaskan kepalanya. Kenapa sih pria ini?

"E-eva..." cicit Soren. "Tolong lepaskan kepalaku."

Di bawah cahaya matahari, mata Soren terlihat lebih biru dari biasanya. Namun ada sesuatu di dalam sana yang membuat warna biru itu tidaklah indah, tetapi dingin membekukan seperti es. Aku mencari-cari apa yang salah dengan tatapan Soren.

"E-eva..."

"Kau..." Aku masih belum menemukan jawabannya. "Sedih?"

Soren memejamkan mata dan mendesah. "Aku hanya terkenang," katanya lambat-lambat. "Hari-hariku sebagai pegawai Tesco. Aneh sekali berkeliaran di lorong-lorongnya bukan sebagai karyawan, tetapi sebagai pengunjung."

"Kau kangen pada Gary, Bob dan Anouk?"

Soren mengangguk dalam-dalam. Sedih sepertinya bukan jawaban yang benar, tetapi mendekati, dan sayangnya aku tidak tahu apa jawaban sebetulnya. Kupaksakan diriku untuk puas dan melepaskannya.

"Aku tahu tempat yang bagus," kutarik tangannya. "Ayo."

Soren mengerjap-ngerjap. Raut wajahnya langsung berubah waspada. Aku sudah membiasakan diri dengan reaksi itu. "Kita mau ke mana, Eva?"

"Tadi kulihat ada tempat penitipan hewan di sekitaran sini." Kupercepat langkahku supaya Soren berlari mengikutiku. Dia butuh olahraga. "Mereka punya beberapa anak kucing yang lucu. Kau suka binatang?"

"Umm, tidak terlalu sih..." Soren terlontar-lontar seperti anak kecil karena kutarik, tetapi aku menikmatinya. "Bukankah kita hanya merepotkan kalau cuma mampir? Pegawainya pasti tak akan senang."

"Oh, kita tidak akan cuma mampir." Hoho, kurasa dia bakal menyukai ini! "Aku melihat tulisan 'Butuh Pegawai' di kaca jendelanya. Selama ini kau merasa risih karena menganggur, kan? Nah, ini kesempatan bagus."

"Tidak." Soren menyentakkan tangannya hingga terlepas. "Itu ide buruk. Seharusnya toko itu menyewa jasa robot pengasuh."

"Kau tega membiarkan kucing-kucing mungil itu diurus oleh robot?"

"Bu-bukan begitu. Hanya saja... Aku tak tahu apa-apa soal kucing. Gary saja yang sudah sembilan tahun mengurus Cathy masih sering kebingungan."

"Kau hanya mencari-cari alasan, Soren Adam."

"Aku..." Soren menggigit bibirnya. "Kita harus mengajak Meg juga."

"Meg sibuk menyelesaikan komiknya. Lagipula kau bersamaku." Kutarik lagi tangannya supaya dia tidak kabur. "Kita akan baik-baik saja."

Soren Adam menelan ludah dan mengangguk pelan. Dari sorot matanya, ketahuan sekali dia sama sekali tidak mempercayaiku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top