The Clerks
"Congratulation for the newborn, Lee Jeno-ssi and Huang Renjun-ssi."
Pesan yang tertera dari layar canggih itu membuat Lucas mengerut bingung. Ia kemudian mengotak-atik layar persegi ipad-nya untuk memastikan kabar macam apa yang ia terima dari pengurus perumahan. Jarang sekali operator web resmi yang dimiliki perumahan ini memberitakan sesuatu yang berguna dan krusial. Kabar terakhir yang ia terima dari mereka, saversites, adalah kabar kematian anjingnya Nyonya Brent yang berjenis pug, jenis anjing yang kalau dibawa berjalan dan kebetulan berpapasan suka membuatnya bergidik ketakutan. Waktu menerima kabar kematian anjing itu sekitar dua minggu yang lalu, Lucas percaya bahwa operator bagian informasi dan kemasyarakatan di sini pasti selama ini memakan gaji buta.
"Aku sempat berpikir kalau yang lahir itu bayi anjing."
Pak Ahn, bapak setengah baya yang dipekerjakan pria tinggi itu untuk mengurus kebun, sedikit mengerutkan alis bingung waktu mendengar ujaran majikannya. Dengan masih memakai sarung tangan berkebunnya yang terbuat dari karet tebal, pria setengah baya itu ikut duduk di bangku taman tempat Lucas mendudukkan bokongnya sejak beberapa menit yang lalu. Ia meneguk segelas air putih yang ia ambil sendiri dari dapur lantas mencomot sepotong pie yang baru saja disajikan oleh sang majikan di sebuah nampan kecil.
"Ada anjing yang melahirkan?"
Lucas nyaris tersedak cola yang tengah ia minum dan dengan menahan tawa menatap wajah tua itu dengan jenaka, "Bapak peduli kalau ada anjing yang melahirkan?"
Pria berpostur tinggi dan tegap dengan topi baseball yang menutupi kepalanya yang sudah setengah beruban itu hanya mengangkat bahu acuh. Sebagai penguasa kebun sejati, iasudah banyak berkenalan, beradaptasi, dan berteman dengan berbagai jenis hewan—dananjing adalah salah satu hewan favoritnya. Nada mengejek yang tersirat dalam suara majikannya tadi tak membuatnya lantas tertarik untuk ikut menertawai jika memang benar ada anjing yang baru melahirkan dan kabarnya disiarkan secara resmi untuk diketahui para penghuni perumahan elit di sini. Bagi Lucas itu mungkin tampak seperti lelucon menggelikan, tapi hal yang sama tidak berlaku baginya. Bagaimanapun, anjing-anjing peliharan itu benar-benar menghibur dirinya di tengah para manusia elit yang kaku dan jarang bergaul.
Meski sejujurnya ia juga merasa bahwa hewan-hewan di sini tidak memiliki otentikasi layaknya hewan-hewan di ladang maupun di alam liar.
"Istrinya Jeno-ssi baru melahirkan."
Suara lain turut hadir bersamaan dengan presensi seorang pria manis berkulit tan yang masih mengenakan baju bepergiannya tadi; blouse polos yang dipadukan dengan kardigan dan celana bahan hitam yang menutupi seluruh kakinya yang jenjang. Ia sedikit menjawil hidung suaminya yang kembali menyinggung soal perkiraannya tentang adanya anjing yang baru saja melahirkan di komplek mereka.
"Kamu kenal dengan Jeno-ssi?"
Lucas tampak berpikir sebelum satu tangannya mencomot sisa kue pie yang ada, "yang dokter itu? Yang istrinya juga sama-sama dokter?"
"Coba biar kucek dulu di daftar nama penghuni komplek."
Sementara Lucas mengeluarkan ponselnya, perhatian Haechan kini teralih kepada si pria setengah baya yang tampaknya akan kembali sibuk dengan pekerjaannya; setapak lahan yang tanahnya baru saja digali untuk ditanami tanaman musim panas. Bibir pria manis itu tertarik sumringah saat tahu bahwa tanaman mawarnya akan berada di tengah taman mini yang cantik dan berwarna.
"Pak Ahn sudah dapat bubuk komposnya?"
Pria yang tengah memasang kembali sarung tangan karetnya itu mengangguk. Ia mulai sibuk dengan bubuk kompos yang dicampur ke dalam tanah galiannya tadi.
"Saya dapat dari pasar kemarin." Ujarnya lantas sedikit melirik si nyonya rumah, "saya dengar istri Tuan Jeno baru melahirkan ya?"
"Pak Ahn tahu?"
Kepala bertopi itu mengangguk sebelum kembali menunduk untuk mengolah tanah di bawah sana, "kabar itu sudah terdengar dari kemarin. Tapi barangkali baru disebar secara resmi sekarang."
"Oh benar! Itu Jeno dan Renjun, pasangan dokter itu."
Suara Lucas kembali hadir di tengah percakapan. Setelah memasukkan ponselnya ke saku, pria itu tersenyum mencurigakan ke arah sang istri yang tampaknya masih tak menyadari arti di balik sikap suaminya itu.
"Kamu tahu kan kalau ada sesuatu di sini, apa yang harus kita lakukan?"
Haechan bereaksi cepat dengan wajah merengut tak suka, "jangan macam-macam, Lucas Wong!"
Tapi suaminya itu hanya tertawa dan mulai pergi dari sana.
"Ayo bersiap-siap untuk menjenguk! Aku akan mengabari rencana kedatangan kita. Bagaimana kalau besok?"
.
.
.
Pria itu menatap layar intercom rumahnya dengan kosong. Beberapa notifikasi yang silih berganti masuk tak lantas membuatnya menyentuhkan jari-jemari pada layar canggih itu. Sebagian besar notifikasi berasal dari sesama penghuni perumahan yang sekadar berbasa-basi mengucapkan selamat, sementara notifikasi lainnya ia terima dari sanak kerabat terdekat.
Lee Jeno menghela napas berat. Kedua tangannya lantas terangkat untuk mengusak wajahnya yang terasa kaku dan kuyu. Meski pesan singkat yang sering ia terima dari ponselnya jarang sekali ia baca, namun entah mengapa notifikasi-notifikasi yang sekarang ia terima benar-benar membuatnya lelah, seolah ada banyak tenaga yang terkuras hanya dari mengetahui fakta bahwa notifikasi itu, bahwa ucapan-ucapan selamat tersebut, benar-benar ada untuk dirinya.
Tidak, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga mereka.
"Tuan Leeteuk baru saja menelfon secara pribadi tadi. Beliau menanyakan perihal pesta kelahiran yang mungkin Anda butuhkan."
"Tidak akan ada pesta."
Jeno menjawab cepat. Sebelum tubuhnya berbalik untuk menatap si asisten rumah tangga, pria itu kembali menghembuskan satu napas berat lantas mencoba menormalkan raut wajahnya.
"Aku menerima semua tamu yang mungkin akan datang tapi tidak akan ada pesta apapun."
"Tolong beritahu Tuan Leeteuk, Sungchan-ah."
Pria muda bertubuh kurus dengan tinggi menjulang yang hobi berpakaian rapi itu mengangguk patuh. Jung Sungchan berusia awal dua puluhan waktu melamar sebagai asisten serba bisa untuk dipekerjakan di rumah ini dengan tugas hariannya yang adalah menjaga gerbang, menerima pesan, dan terkadang menjadi asisten pribadi si tuan rumah. Ia adalah pria yang praktis, tangkas, dan tak banyak bicara. Di usianya yang kini akan beranjak pada angka akhir dua puluhan, Jeno melihat bahwa asistennya ini semakin terasah dan efisien dalam bekerja.
"Akan saya beri tahu. Mengenai tamu yang mungkin datang, apakah ada waktu-waktu tertentu yang tidak diperbolehkan?"
Tanpa banyak mempertimbangkan Jeno langsung menggeleng yakin, "kapanpun terima saja tamu yang datang. Kalau kebetulan aku tidak ada, tolong kamu saja yang nanti jamu mereka."
Sungchan mengangguk mantap lantas sedikit membungkukkan badan untuk pamit dari sana.
"Kalau Kim Ajhumma tidak mengerti soal minuman, tolong kamu juga tangani itu. Aku baru saja menyetok persediaan bir di kulkas bawah."
"Baik, Jeno Hyung."
Jeno tersenyum kecil sementara tubuh yang tadi kepergiannya sempat tertahan itu benar-benar hilang dari pandangan. Tepat setelah itu senyumnya perlahan hilang, dan ia tak mampu menahan helaan napasnya yang kembali terhembus berat.
Matanya lantas mengitari ruangan utama yang kini tengah kakinya pijaki sedari tadi. Kediamannya tak pernah terasa sesepi ini meski ia mengerti bahwa di hari selasa begini, anak-anak memang pergi ke sekolah dan tidak akan kembali sampai pukul dua nanti. Jeno merasa butuh distraksi, dan langkahnya yang seolah kehilangan kendali membawanya pada ruangan yang sejak tadi mati-matian ia hindari.
Pintu itu terbuka, dan seberkas cahaya yang masuk bersamaan dengannya menyinari seorang pria yang tengah duduk bersandar di ranjang king size mereka.
"Renjun-ah...."
Jeno menahan napas saat mulutnya menyebut satu nama dari sosok yang kini terlihat seperti tanpa nyawa di tempatnya. Pria itu lantas menghembuskan napas kasar sebelum memberanikan diri untuk duduk di pinggir ranjang.
"Kita mungkin akan kedatangan tamu," ujarnya, dengan serak, "mereka akan memberi selamat... untuk kita."
Pria itu tersenyum getir tanpa menatap wajah istrinya, "aku sudah memberi tahu Sungchan untuk menerima mereka.
Kamu tidak apa-apa?"
Yang tengah diajak bicara tak memberikan reaksi berarti. Renjun hanya mengalihkan tatap lantas memandang punggung suaminya dengan sayu. Mereka tidak saling berbagi tatap, namun ia tahu bahwa ada kemurungan yang tengah pria itu dekap sendirian.
"Bagaimana denganmu?" Jawabnya kemudian, dengan suara yang sedikit serak. Diam-diam dan tanpa sadar hatinya membuat pengharapan bahwa tubuh itu akan berbalik dan mereka akan saling menjatuhkan diri dalam lautan tatap masing-masing.
"Aku sudah mengiyakan. Aku meminta persetujuanmu."
Renjun tertawa getir, "kamu tidak usah bertanya padaku kalau begitu."
Hening mendera keduanya setelah itu. Masing-masing dari mereka masih tidak saling melihat wajah satu sama lain. Dan meski tanpa kata, masing-masing dari mereka sama-sama mengakui bahwa keadaan macam ini benar-benar terasa seolah mencekik kenyamanan keduanya.
"Aku berharap—"
Jeno kembali membuka suara setelah itu, terdengar serak dan sedikit berat. Diam-diam ia memberanikan diri untuk melihat presensi sang istri. Dan waktu sosok favoritnya itu tampak asing di matanya, Jeno merasa seolah ada yang menyakiti hatinya.
Renjun yang tampak terluka benar-benar menyakiti hatinya.
"—kau, kau tidak terganggu."
Setelah kata itu terucap, Jeno mulai beranjak pergi. Hati kecilnya merutuk ribut, menyayangkan bagaimana mulutnya itu mengucapkan sesuatu yang tak sesuai dengan suara yang sedari tadi berteriak di dalam kepalanya. Pria itu mengepalkan tangan saat pintu kamar mereka tertutup dan sebuah isakan mulai samar terdengar.
"Aku berharap kamu baik-baik saja, Sayang...."
.
.
.
"Komplek kita kedatangan bayi baru!"
Keheningan yang melanda ruang musik berdinding putih dengan detail dekorasi coklat hangat itu pecah saat pintu terbuka dan menampilkan seorang pria cantik bersurai keperakan yang masuk dengan senyum cerah di wajah pucatnya. Si pria dalam ruangan, Jaehyun, sontak mengalihkan tatap dan mengerutkan alis bingung. Untuk sesaat gramophone barunya tak lagi menjadi atensi utama.
"Bayi baru?"
"Hum!" Jaemin mengangguk semangat, mendekati sang suami lantas duduk di bangku piano tempat sosok tampan itu biasa mendudukkan diri untuk menyalurkan bakat bermusiknya yang luar biasa, "bayinya Renjun-ssi dan Jeno-ssi."
"Oh...."
Jung Jaehyun masih tampak bingung, tapi kebingungan di wajahnya sirna oleh selebar senyuman senang saat ia lihat antusias yang masih sama di wajah istrinya. Diam-diam matanya lantas menyusuri bagaimana detail dari sosok di hadapannya kini. Jaemin tengah mengenakan baju rumahan favoritnya. Rambut keperakannya yang sudah sedikit memanjang kini semakin terlihat indah membingkai wajahnya, dan Jaehyun tak bisa mendeskripsikan apa-apa lagi selain analogi bahwa sosok sang istri kini benar-benar cocok dengan ruangan musik favoritnya.
Jaemin tampak hangat dan nyaman.
"Jeno ya? Sepertinya aku kenal. Lee Jeno, kan?"
"Dia dokter di rumah sakit yang sama denganmu.... kalau aku tidak salah."
"Ah!"
Jaehyun mengangguk-angguk, seolah sudah dapat mengingat siapa sosok yang kini tengah menjadi subjek pembicaraan. Pria tampan itu mundur beberapa langkah untuk melihat rupa sang istri di ujung sana, di kursi piano yang menyatu langsung dengan kaca jendela mereka yang besar dengan pemandangan mendung dari langit di luar sana. Jaehyun seolah menemukan sesuatu yang familier yang selama ini tak pernah dapat ia deskripsikan, dan itu saat ia menyadari bahwa sosok pucat dengan presensi menakjubkannya itu selalu tampak hangat meski kini tengah beradu dengan langit muram yang dingin.
Deskripsinya barangkali keliru—karena ia adalah orang yang cenderung peragu--namun satu yang pasti adalah bahwa ia menyukai itu.
Jaehyun diam-diam tersenyum dan ia sedikit tersipu saat objek matanya kini menangkap bagaimana senyuman manis itu terkembang tiba-tiba.
"Kamu suka bayi?"
Pertanyaan singkat itu membuat Jaemin sedikit terperangah sebelum tertawa geli.
"Anak kita sudah dua, mana mungkin aku tidak suka bayi?"
"Bukan itu, maksudku—"
Jaehyun tertawa kikuk dan menggaruk tengkuk, "bayinya Jeno-ssi.... kamu senang mendengar itu hm?"
Jaemin mengangguk semangat dan satu senyuman lebar kembali ia terbitkan, "ya! Sudah lama rasanya kita tidak mendengar kabar kelahiran bayi di sini, kan? Terakhir itu siapa ya?"
"Haruto?"
"Haruto sudah terlalu besar, Jaehyun!"
"Buatku rasanya ia masih seperti bayi."
Keduanya tertawa lepas. Jaehyun menunggu tawa dari sosok di depannya itu untuk terhenti agar ia dapat mengutarakan suara dalam benak yang tiba-tiba muncul tanpa terucap sama sekali. Bukan tanpa alasan ia menjadi agak canggung begini. Ini adalah kali pertama setelah sekian lama mereka dapat bersama dan terlibat dalam obrolan ringan semacam ini. Jaehyun ingat bahwa belakangan baik ia maupun sang istri sedang sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Dan di tengah kesibukan yang mencekik itu, obrolan yang terucap dari mulut keduanya hanyalah obrolan basa-basi tanpa substansi.
"Jaemin?"
"Ya?"
"Tadi katamu bayinya perempuan ya?"
Sosok berambut keperakan itu mengangguk setelah ekspresinya tadi menunjukkan bahwa otaknya tengah memastikan sesuatu.
"Ya.... ya! Bayi perempuan, itu salah satu yang bikin aku semangat untuk memberi tahu kamu!"
Jaemin masih mengharapkan bayi perempuan. Jaehyun diam-diam berkata dalam hati. Pria itu tersenyum tipis dan dengan ragu sedikit menghapus jarak demi menjangkau sosok di depannya.
"Kalau kita buat juga.... bagaimana?"
Hening menyelimuti mereka setelah itu. Jaemin mengatupkan mulut, sementara Jaehyun yang sadar bahwa besar kemungkinan akan ada ucapan dengan substansi penolakan mulai berekspresi gusar. Pria itu coba sembunyikan kekecewaan dengan tersenyum simpul waktu sosok sang istri mendekat dan memberikannya usapan lembut di rambut.
"Aku mau, tapi kalau nanti saja bagaimana?
Kan kamu juga sedang sibuk-sibuknya, Jaehyun."
Justru karena itu, aku harap bisa dekat lagi denganmu.
"Aku mengerti." Ujarnya, pahit. Pria itu lantas merangkul lembut pinggang ramping sang istri dan membiarkan tangan Jaemin turun untuk mengelus pipinya.
"Kamu tidak nyaman? Aku minta maaf ya?"
Sebelum Jaemin sempat menjawab, bunyi ketukan di pintu mengalihkan atensi mereka berdua. Lim Halmoni, si asisten paling handal yang sudah dianggap seperti nenek di rumah mereka, memberitahu dua tuan rumah itu bahwa mereka kedatangan tamu. Setelahnya, dengan gaya seorang neneknya yang khas, wanita di usia enam puluhan itu sibuk mengomel tentang hujan yang masih turun dan membuat tamannya rusak. Jaemin hanya tertawa dan menanggapi dengan ringan ujaran dari si paruh baya, sementara Jaehyun sudah memimpin jalan untuk melihat siapa tamu yang datang.
"Mark!!"
.
.
.
The Clerk, tbc.
(Btw, kalau ini jadinya GS kalian setuju ga? Hehe)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top