Overture

Jeno masuk ke ruangan dengan wajah muram. Tangannya terasa kotor meski berjam-jam tadi ditutupi sarung tangan. Wastafel akan menjadi tujuan saat pintu ruangannya terbuka dan menampilkan seorang pria muda yang tampak panik dengan nurse cap yang masih bertengger di kepala.

"Aku minta maaf Dokter Lee. Yang tadi itu benar-benar tak terduga."

Kang Taehyun berbicara dengan ragu dan sedikit terbata-bata. Dokter residen itu bukannya tidak tahu bahwa sang senior sedang tidak dapat diganggu. Namun tetap saja, ia merasa bahwa meminta maaf adalah sebuah keharusan sekarang.

"Aku akan lebih cermat lagi setelah ini."

"Dan kamu harus bisa mengantisipasi situasi nanti." Jeno menambahkan dengan suara datar. Ia tersenyum simpul setelahnya, menyadari bahwa Taehyun tampak semakin gugup dan takut. Rasa kesal akibat panggilan operasi yang tiba-tiba kini sudah menguap, jauh sebelum juniornya ini datang dan meminta maaf dengan penuh sesal.

"Kalau yang tadi kamu mintai tolong adalah Dokter Jang, mungkin nilaimu akan buruk setelah ini."

Setelah menepuk bahu yang terbalut baju operasi orang di depannya, dokter bedah itu beranjak dari sana demi mencuci tangannya yang tadi sempat tertunda.

"Sekarang pergi temui keluarga pasien. Laporkan hasil operasi kita tadi."

-

Parkiran rumah sakit pagi itu tampak jauh lebih lenggang dari biasanya. Seorang pria keluar dari mobil dengan tangan yang bertengger di perutnya yang menonjol besar. Perjalanan yang tak lebih dari lima kilo meter itu terasa berat untuknya yang sedari tadi menahan perasaan tidak nyaman—gejolak yang ditimbulkan akibat gerakan dari janin di dalam sana.

"Wah wah wah! Coba lihat siapa yang masih berani nyetir sendirian?"

Sebuah suara familier menyapa gendang telinga, dan membutuhkan beberapa saat untuknya celingukan dalam rangka mengira siapa sosok yang tiba-tiba hadir di dekatnya. Senyumnya lantas terkembang lebar saat rupa dari sosok yang dikenalnya muncul mendekat dengan jas putih yang tersampir di lengan.

"Gimana perkembangannya? Sudah USG lagi?"

Renjun mengangguk ramah dan mengelus perut buncitnya, "sudah paman~" ujarnya, menirukan suara anak-anak, "rencananya dua minggu lagi akan USG terakhir."

"Kabari saja pastinya, nanti aku akan mengosongkan jadwal."

Mata Renjun berbinar dan ia mengangguk senang, "gratis?"

"Kalau aku minta bayaran, nanti kamu bayar dua kali lipat, oke?"

Keduanya tertawa lepas, menertawai ucapan masing-masing. Dokter lelaki berkulit tan itu—Kim Jongin—mengikuti si pria hamil yang mulai mengambil langkah memasuki rumah sakit. Mereka berjalan bersama hingga terpisah di sebuah koridor yang memisahkan ruangan masing-masing.

"Pastikan untuk tidak terlalu lelah, kondisimu saat ini sedang rentan-rentannya."

Yang diberikan perhatian sederhana itu mengangguk-angguk pasti dengan wajah yang tersenyum cerah. Jempolnya teracung mantap dan tangannya melambai-lambai setelah itu seiring dengan tubuh si senior yang mulai menghilang di balik ruangannya di ujung sana.

Huang Renjun menghela napas saat sosok dari rekan se-profesinya itu sudah tak lagi terlihat. Tangannya kembali mengelus-elus perutnya, mencoba meredakan rasa tidak nyaman yang masih sekali kentara.

Tiga puluh dua minggu. Perhitungan itu muncul dalam kepala, sementara benaknya mencoba untuk tetap tenang dan santai.

Toh, ini bukan kehamilannya yang pertama, kan?

-

Jalanan pagi itu sudah cukup macet meski jarum panjang jam baru mencumbu angka sebelas. Hari sabtu adalah hari di mana kebanyakan orang memiliki banyak waktu lenggang, namun itu juga berarti bahwa jalanan akan menjadi tempat mereka mencari kesibukan.

Mark Lee terpengkur sendiri di kursi kemudi. Lampu merah yang sudah menyala sejak satu menit yang lalu masih belum juga terganti, pun dengan padatnya sisi-sisi jalan yang masih sama tanpa perubahan berarti. Satu menit kemudian waktu terlalui dan helaan napas Mark sudah terus terdengar entah untuk yang keberapa kali. Lampu lalu lintas dengan merah sebagai simbol penandanya tak pernah terasa semenjemukkan ini.

Atau barangkali, pikirannya sendirilah yang membuat waktu terasa merangkak lambat dan diam-diam menelannya dalam rasa jemu yang tak ia mengerti sama sekali.

Hidup. Berat. Lelah. Sendirian.

Langkah kaki yang membawanya pada koridor rumah abu terasa ringan dan seolah tak nyata. Mark tak mengerti mengapa rasanya hari ini semuanya begitu tidak seimbang dan membingungkan. Ia masih merasa risau meski telah melihat senyum putrinya. Ia masih merasa penat meski telah berhasil keluar dari macetnya jalanan yang padat. Ia merasa kepalanya begitu berat dengan banyak substansi yang tak terlihat, sementara kakinya dapat dengan mudah melangkah seolah tanpa beban apa-apa.

Ia masih merasa sepi dan sendiri, meski kini tengah menatap potret sang istri yang terpajang di tempatnya meleburkan diri sebagai abu yang mati.

Jika hari ini agenda Mark adalah untuk menghadapi berbagai macam paradoks, maka yang terakhir itu adalah yang paling ia benci.

-

Jaemin tahu bahwa hari ini jadwalnya tidak akan terlalu padat. Ia punya janji dengan klien jam dua nanti dengan durasi pertemuan yang tak akan lebih dari satu jam—sesuai dengan ketentuan sesi. Saat ini jam masih menunjukkan pukul sepuluh kurang dua puluh tiga, tapi rasanya pekerjaannya belum juga selesai meski sarapan telah habis dan bekas piringnya sudah tertata bersih di rak cuci.

"Jisungie daripada tiduran di lantai mending mandi. Itu lantainya kotor lho, terus kan katanya baju anjing itu kesayangan!"

Satu-satunya yang belum ia lakukan adalah membersihkan lantai dapur yang sedikit kotor dan licin. Dan penyebab terhambatnya niat itu adalah karena seonggok anak enam tahun yang kini tengah asyik merebahkan diri di lantai marmer dapur yang dingin. Kaus tidur bergambar anjing Basset Hound favoritnya sedari tadi terus menyapu lantai seiring dengan pemiliknya yang asyik beraktivitas di sana; berguling-guling hingga menggesek-gesekan punggung dengan lantai. Meski terdengar hiperbolis, namun Jaemin yakin bahwa apa yang dilakukan oleh putra sulungnya itu secara tidak langsung mampu membersihkan lantai dapur yang kotor.

"Aku nggak mau mandi!!"

"Yaudah kalau gitu jangan tiduran di lantai, Mama jadi susah mau bersihin lantainya Kak."

"Aku bosen banget Mamaaa~"

Si bocah berkulit pucat yang sedari tadi asyik menyapu lantai dengan tubuhnya itu mulai angkat bicara dengan suara merajuknya yang kekanakan. Jung Jisung mendongak dengan bibir merah mudanya yang cemberut lucu, membalas atensi sang ibu yang kegiatannya terdistraksi oleh aksinya selama beberapa saat tadi. Bocah itu tampaknya tak main-main dengan kata-katanya barusan. Ia sedang bosan, dan itu memang terbukti dari bagaimana dirinya yang tampak tak bersemangat meski telah mendengar serangkaian penawaran menarik yang ditawarkan sang mama.

"Mau apa Kak Jisungie? Mau main ke luar? Nanti Mama anter ya?"

"No!!"

"Terus? Mau Mama anter ke lapangan basket? Atau mau Mama minta supaya kelas musiknya Jisungie dipindah jadi hari ini?"

"No Mama aku nggak mau!"

Jaemin diam setelah penolakan kedua yang diberikan si sulung, pun Jisung yang setelah itu kembali tutup mulut dengan bibir yang masih mengerucut maju. Meski sebagai seorang ibu ia tahu bahwa putranya ini biasanya berisik dan penuh semangat alih-alih merajuk seperti sekarang, namun ia mencoba untuk memaklumi sekaligus bertanya-tanya dalam hati, mencoba memikirkan segala kemungkinan yang mungkin menjadi penyebab si sulung menjadi murung seperti ini.

"Lho, Jisungie udah bangun?"

Keterdiaman keduanya buyar oleh suara berat yang menyapa rungu secara tiba-tiba. Sosok yang beberapa saat lalu sudah berpamitan untuk pergi itu kini muncul lagi tanpa membawa barang bawaan. Jung Jaehyun yang tahu bahwa kehadirannya membuat bingung sang istri hanya tersenyum simpul lantas merangkul pinggang itu diam-diam.

"Jisungie udah bangun tapi katanya bosen, jadi sekarang guling-guling di lantai." Jawab Jaemin, seolah tak sadar bahwa kini ada sebuah wajah yang semakin merajuk saat mendengar jawabannya barusan.

"Kok kamu belum berangkat? Kan Sakuya juga udah masuk ke mobil?"

Jaehyun menggeleng kecil lantas tersenyum kikuk.

"Kamu.... belum cium aku?" Ujarnya, sembari diam-diam mencuri pandang ke arah si sulung. Harus ia akui bahwa kata-katanya barusan akan sedikit terdengar memalukan di telinga anak-anak mereka yang besar kemungkinan sudah mengerti maksud ucapannya tadi.

"Eh?"

Jaemin menggumam bingung meski setelah itu tersenyum gemas. Secepat kilat ia cium pipi suaminya; kanan, kiri, dan bonus di kening—sesuatu yang membuatnya sampai harus berjinjit penuh usaha. Jaehyun tersenyum malu-malu meski setelah itu semakin merapatkan tubuh dengan memeluk pinggang istrinya secara penuh. Bibir keduanya nyaris menyatu setelah itu, seolah tak mau ambil pusing pada satu eksistensi lainnya di sana—

TIIIIT TIITTTT

"PAPA CEPET DONG NANTI AKU TELAT NIH KELASNYA!!"

—dan pada eksistensi lain yang sedari tadi menunggu dengan tak sabar di mobil.

"Yah...."

Jaehyun bergumam dengan wajah kecewa, sementara Jaemin sudah sibuk menertawai.

"Buat nanti aja, oke?"

Keduanya sama-sama tertawa setelah itu—untuk tingkah konyol mereka, untuk si sulung yang seolah tak sadar terhadap apa yang dilakukan mama dan papa, serta untuk si bungsu yang kini merajuk di dalam kursi penumpang akibat menunggu sang papa terlalu lama. Pagi itu mereka berpisah saat mobil meninggalkan pekarangan dan penanda waktu sudah bergerak menuju siang.

"Mama aku mau main piano aja yah!!"

Jaemin kembali ke dalam rumah saat ia mendengar teriakan familier sang putra yang kini sudah kembali menjadi Kak Jisungie yang ceria dan penuh semangat. Ibu dua anak itu mengangguk-angguk mantap saat putranya datang menghampiri dengan langkahnya yang penuh antusias dan senyuman lebar yang membuat matanya hanya serupa garis.

"Boleh, mau pake piano yang punya Papa?"

Jisung mengangguk dan dengan manja memeluk mamanya, "tapi Mama temenin yah, dengerin aku main piano!!"

Jaemin melihat jam yang rasanya sebentar lagi akan meninggalkan angka sepuluh. Ia menghela napas saat menyadari sesuatu, bahwa dirinya belum mandi, bahwa pekerjaan rumahnya belum sepenuhnya selesai, bahwa ia harus bersiap-siap untuk kliennya di jam dua, dan bahwa sekarang yang ia lakukan adalah sesuatu yang tanpa intensi berarti—menemani si sulung bermain piano alih-alih mengerjakan keharusan-keharusannya tadi.

Jaemin masih memeluknya penuh harap, dan ia tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.

"Oke. Mama temenin Kak Jisungie main piano sepuasnya, mau sekalian Mama buatin cemilan?"

Kepala bersurai halus kecoklatan itu mengangguk-angguk penuh semangat dan cekikikan kekanakannya terdengar memenuhi ruangan, penuh kepuasan. Jaemin yang tadi penuh kebimbangan kini ikut tersenyum lebar dan dengan sayang mengelus surai si putra kesayangan.

"Aku mau makan mie please ya Mamaaa~"

"Kak Jisungiee~"

"NANTI AKU CIUM PIPINYA MAMA DEH!!"

"Hum...." Jaemin tampak menimbang meski setelah itu senyum jahilnya terkembang lebar.

"Oke."

"YEAYYYYY!!"

-

12 missed call from Jeno.

Jam makan siang nyaris berakhir saat Renjun baru kembali ke ruangan setelah menangani satu pasien yang membutuhkan banyak asesmen untuk dilakukannya tindakan lanjutan. Dengan tubuh pegal dan perutnya yang masih terasa tak nyaman, ia coba fokuskan perhatiannya pada layar ponsel yang sesaat tadi tampaknya sibuk menampilkan panggilan-panggilan suara dari seseorang yang namanya sudah terlalu familier. Jeno jarang sekali menghubungi di jam sibuk seperti ini, dan kalau itu dilakukan secara tiba-tiba, maka pasti ada suatu urgensi yang perlu ditunjukkannya sekarang.

"Kamu sudah sampai?"

"Gimana kondisi di sana? Sedang banyak pasien ya?"

"Hati-hati. Aku khawatir dengan kondisimu. Kasih kabar kalau kamu perlu aku jemput, oke?"

Senyuman Renjun perlahan terkembang sementara tiga pesan singkat itu menjadi fokus dari atensinya sekarang. Pegal dan sakit yang ia rasakan seolah menguap begitu saja, tergantikan oleh rasa hangat yang secara kasat mata menyebar di dalam dada.

Pesan-pesan singkat yang sederhana, yang entah mengapa selalu membangkitkan euforia.

-

Overture, tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top