25. THE PAST
Suasana cukup canggung antara Nick dan Erika setelah pembicaraan mereka tempo hari. Mereka tengah menikmati sarapan dalam diam. Nick tidak menyangka kalau Erika akan menolaknya. Namun dia juga tidak akan memaksa wanita itu. Dia membiarkan Erika memilih keputusannya sendiri. Lalu apakah Nick akan menyerah begitu saja? Tentu saja tidak karena Nick hanya perlu memberikan waktu untuk Erika berpikir. Dan dirinya hanya cukup menunggu.
"Aku telah memutuskan untuk pergi besok ke Louisiana," Erika berkata setelah menimbang beberapa saat.
"Aku akan mengantarkanmu," ucap Nick dengan ekspresi datar.
"Tidak perlu, aku cukup naik pesawat sendiri dan ayahku akan menjemput." Erika tidak ingin merepotkan Nick apalagi mereka sekarang dalam suasana yang sangat canggung. Dia tidak ingin diam sepanjang waktu ketika Nick berada di sampingnya.
"Tidak, aku akan tetap mengantarkanmu sampai Louisiana, setelah itu terserah kau." Nick menghela napas kemudian meletakkan alat makannya.
"Maaf Tuan, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda," ucap Hannah tiba-tiba datang ke ruang makan.
"Siapa?" tanya Nick heran karena ini masih terlalu pagi untuk seseorang yang ingin bertamu.
"Tuan Mark."
Jawaban Hannah membuat Nick sedikit tercengang. Pasalnya dia sudah tidak ingin lagi berhubungan dengan laki-laki itu. Nick merasa urusannya telah selesai dengan Mark. Dan Erika tampak terkejut dan bingung karena sebenarnya dia tidak tahu apa-apa tentang hubungan keduanya.
"Mark?" tanya Erika yang sedikit ketakutan.
"Benar Nyonya."
Nick mengamati perubahan wajah Erika yang terlihat sedikit gugup dan pucat.
"Tidak apa-apa, kau tak perlu cemas." Nick mencoba menenangkan Erika seolah tahu kecemasan hatinya.
Sebenarnya Erika masih penasaran kepada Mark. Dia masih bingung bagaimana bisa laki-laki itu melepaskannya begitu saja?
Erika masih sibuk dengan pikirannya ketika Nick telah beranjak menuju ruang tamu untuk menemui Mark. Dia terkesiap ketika mendapati kursi Nick telah kosong.
***
"Aku pikir kita sudah tidak ada urusan lagi," ucap Nick setelah sampai di hadapan Mark.
"Aku masih perlu penjelasan." Mark menatap lurus Nick.
"Penjelasan apa lagi?" Nick bertanya sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
"Tentang Ellisa."
Nick berdecak. "Bukankah surat itu cukup jelas."
"Kenapa kau baru memberikan surat itu sekarang? Kenapa bukan tiga tahun yang lalu setelah Ellisa meninggal?" cerca Mark mulai tidak bisa mengontrol emosinya.
Nick tersenyum miring. "Lalu ke mana kau setelah malam itu? Kau menghilang setelah merenggut kesucian Ellisa."
Ucapan Nick begitu sinis membuat Mark merasa ditikam tepat di bagian jantung. Rasanya sakit. Namun apakah semua itu setimpal untuk menebus semua kesalahannya.
"Sebenarnya aku tidak berniat memberikan surat itu, aku berencana membakarnya setelah Ellisa memberikan padaku." Nick menatap tajam wajah Mark.
"Bajingan kau!" Amarah Mark mulai tersulut.
"Apakah kau marah jika aku benar-benar membakar surat itu?"
Mark tidak menjawab pertanyaan Nick, tapi raut wajahnya menyiratkan kebencian.
"Aku malah lebih suka kau tidak akan pernah mengetahuinya." Nick tersenyum sinis.
"Kau benar-benar brengsek!"
"Benarkah? Lalu bagaimana denganmu?" Nick membalikkan perkataan Mark.
"Aku mencintai Ellisa sebelum kau hadir dan menghancurkan semuanya."
"Apa kau pikir aku tidak mencintainya, huh? Lalu ke mana saja kau selama ini, kalau memang perkataanmu itu sungguh-sungguh." Suara Nick cukup keras hingga menggema ke seluruh ruangan.
"Aku menghilang agar Ellisa bahagia."
"Omong kosong! Kau tidak tahu kalau Ellisa diam-diam mencarimu tanpa sepengetahuanku." Suara Nick naik dua oktaf.
"Harusnya kau menjaganya dengan baik."
Mark memberikan tatapan benci.
"Hei, kau pikir apa yang aku lakukan selama ini? Membiarkan Ellisa menderita? Atau mengabaikannya setelah tahu bahwa dia mengandung anakmu?" tanya Nick yang mulai naik darah.
Mark terdiam. Dia tidak akan menang melawan Nick saat ini karena sepenuhnya memang dia yang bersalah. Namun Nick juga bersalah karena menyembunyikan surat itu selama tiga tahun.
"Kalau kau tidak punya urusan lagi, pergilah!" Nick mengucapkan kalimat tersebut kemudian meninggalkan Mark yang masih mematung.
"Tunggu."
Langkah Nick terhenti mendengar perkataan Mark.
"Apakah wanita itu ada di sini?"
Nick menoleh kembali dan tersenyum sinis. "Itu bukan urusan Anda, Tuan Taylor."
Mark memberikan tatapan mencemooh, ada sedikit perasaan tidak suka yang bergelayut dalam hatinya.
"Aku pikir, kau akan cukup setia hanya dengan Ellisa." Mark memberikan penekanan pada setiap kata yang dilontarkan pada Nick.
"Apakah aku harus setia pada satu wanita yang bahkan mencintai orang lain?" Perkataan Nick membuat Mark bungkam sekaligus menyesal telah membuka topik pembicaraan tersebut.
"Dan aku pikir, kau tidak perlu ikut campur dalam urusanku, Mark." Suara Nick terdengar dingin dan mengintimidasi.
Nick kembali berbalik dan hendak melangkah, namun lagi-lagi suara Mark menghentikannya.
"Apakah kau mencintainya?"
Nick menghela napas mencoba menekan segala bentuk amarah yang bisa saja membuat orang di sekitarnya mati sia-sia. Dia benar-benar tidak suka Mark terlalu ikut campur dalam urusan pribadinya.
"Sudah kubilang, itu bukan urusanmu!" Nick mengucapkannya tanpa menoleh dan langsung melangkah kembali tanpa harus menunggu Mark melontarkan pernyataan yang membuatnya semakin bertambah kesal.
Mark menghembuskan napas kemudian berjalan meninggalkan ruang tamu megah rumah Nick. Dan tanpa mereka sadari ada sepasang mata yang telah mengawasi dan mendengarkan setiap perdebatan antara Nick dan Mark.
Erika.
****
"Apa hubunganmu dengan Mark?" tanya Erika yang sudah berada satu ruangan bersama Nick. Laki-laki itu sedang berdiri di depan jendela kamarnya, memandang jauh ke luar.
"Nick...," panggil Erika yang merasa diabaikan oleh Nick.
"Dia sahabat Ellisa."
"Maafkan aku, tadi tidak sengaja mendengar percakapan kalian berdua."
Nick menghela napas. "Aku tahu kau pasti penasaran."
"Apakah mungkin kau yang membebaskanku dari Mark waktu itu?" Erika mencoba menerka karena sesungguhnya dia tidak tahu alasan apa hingga Mark mau melepaskannya begitu saja.
"Aku hanya memberikan sebuah benda peninggalan Ellisa."
"Apa itu?" tanya Erika penasaran.
"Sebuah surat dan kalung." Nick membalikkan badan dan menatap Erika.
"Dia mencintai Mark?" Itu bukan pertanyaan tapi lebih kepada pernyataan. Namun Erika mengucapkannya dengan hati-hati.
"Kami terjebak cinta segitiga."
Erika terdiam sejenak mendengar perkataan Nick. Dia sendiri tidak menyangka kehidupan cinta laki-laki yang tadi malam telah menciumnya begitu sangat rumit.
"Aku mencintai Ellisa sejak kami pertama bertemu di salah satu Yayasan panti asuhan, ketika Ellisa dengan cantiknya memainkan piano untuk anak-anak panti." Nick mulai menerawang, mengingat masa di mana dia bertemu dengan Ellisa untuk yang pertama kali.
"Aku sadar telah jatuh hati padanya dan ternyata dia juga sama. Akhirnya kami menjalin hubungan."
"Bagaimana dengan Mark?" tanya Erika.
"Dia masih bersahabat dengan Ellisa, bahkan mendukung hubungan kami."
"Lalu bagaimana Ellisa bisa hamil anak Mark?"
Nick terdiam, paru-parunya sesak ketika harus mengingat saat di mana dia merasa bahagia sekaligus hancur.
"Aku tahu sejak awal."
"Maksudmu?" Erika tidak mengerti.
"Aku tahu itu bukan anakku karena aku sama sekali tidak pernah tidur dengan Ellisa."
"Apa?" Erika terkejut sambil menutup mulutnya dengan tangan.
Nick tersenyum getir kemudian menatap Erika. Ekspresi wajah Nick terlihat kecewa.
"Kau diam?" Erika melanjutkan pertanyaannya.
"Apakah itu penting ketika wanita yang kau cinta telah menjadi istrimu, tapi mengandung anak orang lain?" Nick membalikkan pertanyaannya pada Erika.
Erika menghela napas. "Aku tak tahu kalau kau mempunyai pemikiran seperti itu."
Erika beranjak dari tempatnya. Rasanya pembicaraan ini tidak penting untuknya. Lagi pula ini bukan urusannya. Jadi dia tidak perlu repot-repot bertanya. Dan lagi melihat wajah Nick, Erika tidak ingin menguak kisah masa lalunya.
"Kau mau ke mana?" tanya Nick yang melihat Erika berjalan beberapa langkah.
"Aku harus berkemas."
"Kau benar-benar akan pergi?" tanya Nick heran dengan kekeras kepalaan Erika.
"Terima kasih telah banyak membantuku dan mungkin aku tidak akan pernah bisa membalasnya...,"
"Apa kau benar-benar ingin membalasnya?" potong Nick cepat.
"Kalau aku bisa, tapi rasanya kau tidak membutuhkan uang atau semacamnya."
Erika kembali melangkah.
"Kalau aku ingin kau sebagai balasannya? Apa kau bersedia?"
Erika berbalik dan menatap lurus wajah Nick. Tidak ada senyum jahil atau yang lain karena Erika juga tidak pernah melihat itu. Dia hanya melihat keseriusan dalam manik mata Nick.
"Sebagai jaminan lagi?" Erika menghembuskan napas kasar.
"Mungkin sudah menjadi takdir hidupku menjadi sebuah jaminan balas budi." Erika tersenyum getir.
Nick mendekati Erika kemudian mendekap pipinya dengan kedua tangan. "Aku ingin kau menjadi jaminan seumur hidupku."
Mata Erika menatap lekat-lekat wajah Nick.
"Erika, entah sejak kapan tapi aku merasa harus melindungimu, menjaga dan mempertahankanmu di sisiku."
"Nick...."
Erika mencoba mengelak dengan melepaskan tangan Nick di wajahnya tapi, Nick semakin mengeratkannya.
"Aku mohon Nick."
Nick tidak menjawab permohonan Erika tapi terus menatap mata hitam milik wanita itu. Jantung Erika terasa berdetak semakin cepat. Ada kehangatan menjalar ke seluruh ruang hatinya.
"Apakah aku tidak mempunyai kesempatan?" tanya Nick masih tidak melepaskan pegangan tangannya.
"Maafkan aku."
Pegangan tangan Nick luruh seketika. Erika menghela napas kemudian melangkah meninggalkan laki-laki yang telah beberapa kali menyelamatkannya. Dia tahu Nick berharga baginya tapi bukan sekarang. Erika hanya ingin mengatur hati dan pikirannya saat ini. Apalagi setelah mendengar cerita Nick, dia tidak ingin menyakiti laki-laki itu seperti masa lalunya.
***
***
Maafkan saya lama tidak update karena sibuk sekali.
Happy reading...
Senin 09 januari 2017
Vea Aprilia 😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top