6 - Kesepakatan

KAU dan Duri akhirnya sampai dirumah tepat sebelum semuanya bangun, kecuali mungkin Gempa yang sekarang sedang berbelanja.

Kau duduk di sofa dengan lelahnya. Rasanya tubuhmu terlalu lelah untuk melangkah lebih jauh kedalam rumah.

Duri ikutan duduk disebelahmu, sepertinya dia sedang mengantuk. Sedari tadi dia terus-terusan menggosok matanya.

Matahari baru saja terbit dan cahaya belum terlalu terang untuk membangunkan para ayam jantan untuk berkukuk dipagi hari.

Kau menguap, kau mengosok air matamu yang keluar karena terlalu lelah.

Kau mengeluarkan handphonemu dan melihat rekaman. Disana belum ada tanda-tanda kedatangan seseorang yang akan merusak kebun tersebut.

"Bagaimana?" Tanya Duri penasaran. Kau menggeleng, "Belum ada."

"Sepertinya antara siang saat semua siswa sedang belajar atau sore saat semuanya sudah pulang nanti." Kau menduga-duga kapan lagi pelakunya akan mengobrak-abrik kebun. Kau juga bingung apa masalah orang tersebut hingga repot-repot menghancurkan kebun daripada menyelesaikan masalahnya langsung.

"Begitu ya. Semoga nanti kebunnya tidak terlalu hancur." Duri menyender di sofa.

"Oh iya, bukankah kebun kaca ini kuncinya hanya dimiliki oleh beberapa saja? Siapa saja yang memegang kuncinya?" Kau merasa curiga, sedikit menanya-nanyai sepertinya boleh juga.

"Duri punya kunci kebun dan kunci gudang. Sisa kunci kebun dipegang guru pembimbing klub berkebun dan wakil ketua klub berkebun." Duri tampak berpikir. "Kunci gudang satunya dipegang oleh anggota yang dipercayai satu lagi.

"Siapa wakil ketua klub berkebun itu?" Tanyamu penasaran.

"Yuni dari kelas 3-B, sekelas dengan Blaze dan Ais."

Kau menjentikkan jarimu. "Tadi kulihat dipintunya tidak ada bekas-bekas dibuka secara paksa yang berarti pelaku mempunyai kunci. Kita bisa memasukkan Yuni ke daftar tersangka."

"Duri tinggal menemui Yuni?" Duri bertanya dan sepertinya dia tidak mengerti.

"Tidak! Tidak! Kau tidak boleh melabrak Yuni atau masalah akan semakin melebar. Kita masih harus menunggu."

Duri mengangguk mengerti.

"Yang pasti, setelah kita mendapatkan wajah pelaku didalam cctv. Maka kita menang." Kau masih memperhatikan handphonemu yang belum menunjukkan adanya tanda-tanda pelaku akan datang kembali.

"Duri harap begitu." Duri tersenyum senang kearahmu.

Kau kemudian merebahkan diri diatas sofa sambil menutup matamu. "Kau sebaiknya bersiap untuk sekolah, kau tidak boleh bolos sekolah hanya karena ini."

Kau mendengar Duri berdiri dari sofa dan beranjak pergi.

Setelah itu kau mendengar langkah kaki lainnya yang tampak keluar dari kamar mereka masing-masing beserta Gempa yang pulang kerumah.

"Assalamualaikum." Gempa masuk. Tidak ada yang menyadari kau tengah tertidur diatas sofa. Mereka sibuk bersiap serta Gempa yang memasakkan makanan.

Kau mengetahui itu hanya dari suara saja.

Dan kau sedikit merasa bersalah karena terlalu lelah untuk memasakkan mereka sarapan. Untung ada Gempa yang sudah bisa diandalkan dalam hal memasak.

Lagipula kau tidak perlu memaksakan diri. Toh, saat paman Amato kembali nanti. Kau akan pergi dan meninggalkan mereka semua. Kau harus kembali ke pekerjaanmu sebagai koki. Cuti terlalu lama itu tidak baik untuk reputasimu.

Semakin lama kesadaranmu semakin memudar, rasa kantuk itu tidak bisa lagi kau tahan lebih lama.

****

Kau terbangun disiang hari karena merasa lapar. Karena sudah tidak terlalu lelah lagi, kau pergi ke dapur untuk memasak sesuatu.

Melihat dapur yang sedikit berantakan, sepertinya Gempa tidak sempat untuk membereskan ini. Kau berinisiatif membersihkannya selagi memasak makanan untukmu seorang. Koki handal sepertimu tak butuh waktu lama dan jadilah beberapa lauk yang tampak lezat.

Kau menikmati semua makananmu dengan pelan. Tidak perlu terburu-buru karena semua Boboiboy kembar itu akan pulang nanti sore.

Kau menaruh piringmu dan kembali mencucinya.

Kau baru saja duduk disofa dan mendapat panggilan telepon dari nomor asing, dan kau sudah tau siapa itu.

"Halo! Apa ada kejadian lagi hari ini?"

Suara diseberang sana berbicara dengan riang seolah-olah sama sekali tidak bersalah. Jika saja kau tidak berutang budi pada paman bodohmu itu. Kau bisa saja melaporkannya pada polisi agar mata-mata aneh itu segera ditangkap.

Tapi tidak mungkin, selain kau memiliki hutang budi. Paman Amato memiliki 7 anak yang harus ia urus. Bayangkan ketika ketujuh anaknya ini harus mandiri karena ayahnya masuk penjara.

Mungkin mereka akan membuat masalah lebih dari ini.

Tapi kau yakin bahwa bukan hanya Blaze dan Duri saja yang mendapat masalah disekolah itu. Kau yakin bahwa yang lain pun mengalami hal yang sama hanya saja mereka memilih untuk diam saja.

Tetap saja suatu hari nanti kau akan mengetahui semuanya dan menyelesaikannya sebelum paman Amato pulang.

"Lucu sekali paman pura-pura tidak tau. Kau itu adalah seorang mata-mata. Aku yakin kau mengetahui hampir semua anakmu itu mungkin sedang dibully di sekolah." Suara di ujung telepon tampak hening. "Dan kau hanya diam saja, paman?"

Hening beberapa detik hingga paman Amato kembali dengan suara menjengkelkannya.

"Ahaha! Apa sih yang kau bicarakan? Mana mungkin anak-anakku dibully kan?"

Kau mengernyit sesekali memijit kepalamu. Rasanya kepalamu akan meledak karena menahan amarah untuk tidak mengata-ngatai pamanmu itu.

"Berpura-puralah selagi bisa paman. Dengan keadaan Blaze yang setiap saat masuk BK karena memukul anak yang seenaknya mengatai keluarganya dan Duri yang kebunnya entah dihancurkan oleh siapa."

"Duri terkena masalah?"

Suara disana tampak bingung. Tapi kau tau itu tidak mungkin, pastilah pamanmu hanya bersandiwara.

"Yep, kebunnya hancur. Aku sedang menyelidikinya. Paman tidak perlu ribut atau ikut campur."

"Wah, memang bisa diandalkan [Name]. Paman bangga--"

"Tetapi mungkin bukan hanya Duri dan Blaze saja. Setelah ini mungkin saja semua anakmu ternyata sedang terkena masalah. Kalau benar begitu maka aku--"

"Kalau begitu." Suaramu dibalas potong oleh pamanmu. "Bagaimana kalau kita buat kesepakatan?"

"Kesepakatan?" Kau mengulaingi perkataannya.

"Jika kau berhasil membuat semua anak-anakku mengakuimu maka aku akan mengabulkan permintaanmu. Tapi jika tidak bisa maka kau harus mengabulkan permintaan paman."

Suaranya terdengar serius.

Kau mengernyitkan dahimu. "Apa permintaan paman?"

"Mudah saja, paman ingin kau menjadi keluarga paman. Tapi kalau kau yang menang?"

Kau terdiam sesaat. Memikirkan sejenak keinginanmu dengan matang.

"Kalau aku yang menang. Aku ingin bebas."

"Hoo."

Suara paman terdengar mengerti.

Yah selama ini kau merasa terkekang oleh pamanmu karena ditelpon hampir setiap hari dan ditransfer uang setiap bulan. Tapi kau selalu mengembalikan uang paman dan terus menolaknya.

Dan juga karena balas budi. Kau selalu tidak bisa menolak permintaan paman dan selalu menurutinya.

Tapi kau ingin bebas, kau ingin bebas dari terkekang kata 'balas budi' itu. Itu semua sangat menganggu, paman seolah-olah hanya memanfaatkan itu semua. Seperti ada yang dia inginkan darimu selama ini.

"Oke deal. Selamat berjuang."

Ia mematikan teleponnya. Kau menaruh handphonemu diatas meja dan bergegas mengerjakan pekerjaan rumah lainnya sebelum yang lainnya pulang.

Setidaknya selama sementara ini, kau harus bekerja dengan sebaik-baiknya sebagai seorang profesional.

Sebagai koki profesional.

Dan sebagai mantan mata-mata.

To be continued...

A/n:

Kesepatakan?

Wah! Wah! Selamat berjuang ya

Semoga kau bisa mengalahkan paman Amato

Salam,
Ruru

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top