36 - The End?
"Kak, bunga ini sangat cantik ya."
Seorang gadis kecil berumur 5 tahun tengah menatapi sebuah bunga putih dengan kelopak putih dan untaian serbuk sari ditengahnya. Gadis lain disampingnya yang lebih tua dari dirinya mengangguk setuju. "Seperti dirimu."
Gadis kecil itu tidak terlalu tersipu dipuji oleh kakaknya karena memang dia sudah sering mendengar kakaknya memujinya dengan kata apapun. Ia menganggap kakaknya hanya menyayanginya berlebihan dan itu mungkin sebuah kesengan tersendiri bagi seorang adik.
"Kak kita petik yuk. Aku akan menanamnya di balkon kamar."
Kakaknya itu diam sesaat. Kemudian mengangguk kecil, "Akan aku ambilkan."
Tepat sekali. Letak bunga tersebut berada pada pinggiran tebing tinggi. Sang kakak mencoba meraih namun gagal karena lengannya pendek. Ia lalu mendengus kesal dan kembali pada adiknya.
"Tidak bisa. Bunganya terlalu jauh untuk dipetik. Berbahaya." Kakaknya kali ini menolak permintaan adiknya. Namun sepertinya adiknya tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Ia lalu mengajak kakaknya tersebut untuk pulang ke tempat ayah dan ibunya karena hari menjelang sore.
Mereka sebenarnya sedang melakukan piknik disebuah villa yang jauh dari kota. Villa ini katanya milik teman ayahnya yang ia sewakan dengan harga murah. Jadi mereka memutuskan untuk piknik kesana karena tempatnya lumayan luas apalagi pemandangan yang luar biasa seperti ini. Dibagian timur sekitar 10km dari villa adalah pantai. Sedangkan sisanya hanyalah hutan tempat mereka masuk.
Perjalanan mereka tak cukup jauh. Cukup 30 menit dari jalan besar dan mereka sudah sampai di villa ini. Villa ini bahkan sangat bagus meski tidak berpenghuni selama hampir 10 tahun. Mereka benar-benar merawat tempatnya dengan sangat baik.
Seharusnya mereka piknik sampai 5 hari kedepan. Namun tepat malam ini, ayah mereka yang habis ditelepon oleh seseorang langsung memutuskan bahwa mereka harus pulang saat itu juga. Keluarganya tentu tidak masalah, lagipula anak mereka tidak terlalu bisa hidup di alam terbuka seperti ini. Apalagi kakaknya, bisa-bisa bakalan berubah jadi tarzan karena adiknya sering mengajaknya pergi ke hutan. Tidak jauh namun ibunya sangat yakin bahwa adiknya itu berusaha menjauhi tempat-tempat yang beresiko tinggi. Karena kakaknya itu memang bandel dan hanya mendengarkan apa kata adiknya. Kadang ibunya berpikir, apakah mereka bertukar. Soalnya sifat mereka saja jauhnya sudah sangat luar biasa. Bukan hanya sifat namun wajah mereka sangat berbeda meski mereka kembar.
Bisa dibilang kakaknya cacat sehingga kulit wajahnya seakan tipis, matanya hitam sipit dan bibirnya bengkak. Tapi perbedaan itu tidak membuat sang adik jijik ataupun sang kakak yang iri. Mereka tetap akur meski penampakan mereka sangat jauh, seperti hitam dan putih.
Tepat setelah dikatakan seperti itu, mereka segera pulang malam itu juga. Tapi ada yang berbeda, ayah mereka saat itu berkeringat dingin. Mereka semua tahu namun memilih untuk diam saja.
"Hei dik, maaf kakak tidak bisa mengambil bunga yang waktu itu." Kakaknya tampak menyesal, ia bahkan menunduk karena sedih. Namun adiknya terlihat biasa-biasa saja, "tidak apa-apa, itu hanya bunga."
Kakaknya mengangguk senang mengetahui bahwa adiknya ini tidak marah padanya. Karena memang sang kakak sangat takut jika adiknya marah. Bisa kayak malaikat maut bentuknya karena serem banget. Karena sang adik paling gak suka tidurnya diganggu atau dia akan menatap tajam hingga penghujung hari. Hal itu membuat kakak tobat untuk tidak membangunkan adiknya lagi.
Sepanjang perjalanan, sang kakak terus berceloteh riang tentang mimpinya kemarin. Dimana didalam mimpi itu, ia menjadi seorang astronot yang suka menjelajah. Ia membawa ayah dan ibunya pergi ke angkasa namun sang adik masih berada dibumi. Ia sangat tidak mengerti maksud dari mimpinya sendiri. Ia yakin ada maksud tertentu namun sang ibu mengatakan bahwa itu hanyalah mimpi.
Sudah 20 menit mereka melakukan perjalanan dan sebentar lagi mereka akan sampai. Kakaknya kini diam karena bingung harus berbicara mengenai apa lagi. Mereka semua saling sunyi hingga suara meledak mengejutkan mereka semua.
Kakak dan adik menoleh ke belakang mobil. Terlihat jelas ada ledakan besar dan asap yang menggumpal dari arah didalam hutan. Sepertinya itu adalah villa yang mereka tempati tadi. Ayahnya tiba-tiba makin ngebut dan membuat yang lain juga khawatir.
Namun sesuatu didepan mereka menghadang. Sang ayah sontak membanting stir dan membuat mobil mereka terputar-putar beberapa kali sebelum akhirnya berhenti. Sang kakak menarik-narik pintu mobil namun tampaknya pintunya tersekat.
Sesuatu terlempar masuk membuat kaca jendela mobil tempat adik berada jadi pecah. Jantung mereka seolah berhenti berdetak. Sebuah granat terlempar masuk ke dalam mobil mereka. Tak ada waktu lagi untuk melarikan diri. Sang kakak lantas mendorong adiknya keluar dari jendela dan berakhir granat tersebut meledak sangat kuat.
Sang adik yang sudah berada diluar tetap terkena dan terlempar jauh. Ledakan selesai dan sang adik mendongak untuk melihat apa yang terjadi. Mobil mereka hancur beserta manusia-manusia didalamnya. Ia ingin berteriak namun tenggorokannya terasa tercekat. Ia ingat ucapan teriakan dari kakaknya.
"LARI!!"
Ia lantas berlari menjauhi mobil dan memasuki hutan. Ia berlari tak tentu arah hingga membuatnya entah berada dimana. Ia bertelanjang kaki karena memang melepas sepatunya didalam mobil tadi karena terasa panas. Wajah, badan hingga kakinya terlihat luka dimana-mana akibat dirinya yang terus berlari tanpa memperdulikan tempat.
Malam itu sangat gelap sehingga sangat sulit untuk melihat dengan jelas. Sehingga ia terpeleset dan terperosok jatuh ke tanah miring dan membuatnya terguling hingga tubuhnya menghantam batu. Ia masih belum mencapai dasar namun dirinya masih sadar betul.
Ia membuka mata dan mendapati sesuatu yang familiar. Sebuah bunga putih dengan serbuk sari yang menjuntai. Itu adalah bunga yang tadi ia dan kakaknya temukan ditepi tebing dekat dengan villa. Ia segera meraih bunga itu dan mencabutnya. Lalu berusaha naik perlahan-lahan keluar dari tanah miring tersebut.
Kini ia disana, sendirian diselimuti gelap dan hanya memegang sebuah bunga aneh nan asing ditangannya. Ia lantas kembali berlari tanpa arah dan tujuan. Semuanya gelap dan dimana-mana hanya ada pohon. Tidak ada petunjuk jalan keluar atau apapun yang bisa ia temukan dihutan seperti ini.
Tau-tau dia sudah kembali ke jalan aspal yang sepi. Dari ujung ke ujung hanyalah kekosongan. Namun ia melangkah tanpa peduli marabahaya mengejarnya. Orangtua dan kakaknya telah tidak ada, lalu apa yang harus ia lakukan? Tetap hidup dan menanggung beban ini?
Ia akhirnya menangis disana sendirian. Meratapi nasib keji yang diberikan tuhan olehnya. Menyadari betapa kecil dan lemahnya ia menghadapi semua ini. Apa yang bisa ia lakukan? Menyalahkan tuhan dan takdirnya ini? Tentu saja tidak akan ada yang kembali meski ia melakukannya.
Ia hanyalah gadis kecil berumur 5 tahun yang diajak jalan-jalan oleh keluarganya. Bisa apa dia dalam menghadapi dunia seperti ini sendirian.
Suara langkah kaki terdengar. Ia menoleh dan mendapati seorang lelaki paruh baya dengan pakaian serba hitam tengah berdiri dekat dengannya. Gadis kecil itu hanya diam, sesekali menatap datar manusia dihadapannya ini.
Lelaki itu berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan sang gadis kecil. Ia membuka masker yang menutupi wajahnya.
"Kamu kenal paman? Aku Amato, adik dari ayahmu."
Hanya dibalas 'oh' kecil dari mulut kecilnya. Ia sangat tidak peduli dengan apa yang orang ini akan katakan.
"Apa kau yang membunuh ayah, ibu dan kakak?"
Lelaki itu tersentak sebentar lalu menggeleng. "Bukan, aku mau menyelamatkan mereka namun sepertinya aku telat."
"Begitu."
"Kau tidak sedih?"
"Aku sedih."
"Kenapa tidak menangis?"
"Memangnya menangis membuat mereka kembali?"
Amato jelas tersentak mendengar penuturan gadis itu. Apa yang sebenarnya diajarkan oleh abangnya itu sehingga anaknya bisa seperti ini. Sepertinya Amato memikirkan rencana lain.
"Hei nak, kau mau bekerja?"
.
.
.
"Kau sudah ingat? Bagus."
Perempuan di hadapan mereka terkekeh gembira. Namun masih ada satu hal yang menyangkut di hati [Name].
"Bagaimana kau masih bisa hidup?"
"Oh. Begitu bangun, aku sudah berada disebuah gubuk tua lusuh. Dengan sebuah bunga berkelopak merah disampingku. Kau tahu? Wajah dan tubuhku benar-benar hancur."
Sontak mata [Name] membulat. "Jangan bilang kalau--"
"Ya." Perempuan itu menyeringai. "Aku operasi plastik dan meminta dimiripkan denganmu."
"Begitu."
Mereka saling terdiam, apalagi Halilintar yang jelas sangat tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
"Lalu kenapa kau mengincar anak-anak paman Amato?"
"Kau tidak tahu? Karena dialah yang menyebabkan kematian ayah dan ibu beberapa tahun lalu."
Sontak dahi [Name] berkerut. Bagaimana bisa kakaknya itu mengatakan bahwa paman Amato adalah dalang dari semua perbuatan keji tersebut. Sedangkan jelas-jelas ia adalah adik dari ayah mereka. Bagaimana mungkin alasan yang membuat Amato harus membunuh kakaknya itu.
"Ayah dan ibu adalah mantan pekerja di organisasi. Mereka berhenti dari organisasi karena ingin hidup tenang bersama anak-anaknya. Namun organisasi tampaknya tidak terima keputusan itu."
"Bukankah kau sudah tahu hal itu sejak awal, [Name]?"
Mendengar hal itu membuat [Name] mengulum senyum tipis. Membuat perempuan itu dan Halilintar terkejut. "Kau benar, aku sudah sangat tahu dari awal. Orang-orang organisasi itulah yang membunuh ayah dan ibu dan terus mengejar mereka sewaktu masih hidup. Jadi aku terus-terusan dilatih oleh ayah entah untuk apa. Dan aku juga tahu benar bahwa bukan paman Amato yang membunuh."
Wajah perempuan itu tampak kesal. "Lalu? Apa yang kau lakukan selama ini?"
"Karena waktu ditelepon. Ayah bilang 'tolong bunuh aku dan ambil si kecil untuk jadi penebusku di organisasi, Amato' begitu katanya."
"Jadi selama ini... kau...?" Perempuan tadi kini benar-benar terkejut dan tampak tertekan. Bahunya sampai bergetar karena tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Sedangkan [Name] hanya terus tersenyum tipis, seolah tidak ada dosa disana.
"Aku sedang melakukan perintah ayah."
"Tolong jadilah penganti ayah di organisasi. Hiduplah bersama paman Amato dan keluarganya. Jadilah keluarga mereka dan kemudian..."
"...matilah dan buat mereka sengsara."
Baik Halilintar maupun perempuan itu sama-sama terkejut. Mereka sama sekali tidak sadar dengan melihat [Name]. Ia sangat pintar dan bertalenta, bahkan tahu dirinya digunakan sebagai alat diumur yang masih sangat belia.
[Name] mengangkat bahu sembari tersenyum kecil. "Maafkan aku kak, dari awal kita takkan pernah bisa hidup bersama-sama. Semua sudah direncakan bahkan kematiannya. Tapi kemunculanmu berada diluar dugaan. Aku senang kau hidup tetapi..." ia menarik baju didada kirinya.
"...aku hanyalah alat yang tidak bisa memikirkan hati orang lain."
Perempuan tadi melotot. Ini semua sudah sangat jauh dari perkiraannya. "Tidak! Tidak! TIDAAK!!" Ia berteriak frustasi dan menarik-narik rambutnya. [Name] perlahan mendekati ke arah kakaknya dan kemudian merengkuhnya dalam dekapannya.
"Maaf dan terima kasih. Kau adalah kakak terbaik sepanjang hidupku. Kau rela mati demi mendorongku keluar. Kau rela melakukan apa saja demi diriku. Kau juga yang melakukan semua hal itu untukku. Aku berterima kasih."
Ia kira kakaknya akan membalas pelukannya namun sang kakak malah mendorong adiknya mundur. Ia mendengus sambil sedikit tersenyum. Ia menoleh ke arah Halilitar, "Jaga dia baik-baik ya bocah."
"Mau kemana?" Tanya [Name] saat tahu-tahu kakaknya beranjak pergi. Dia melambaikan tangannya, "orang mati melakukan apa yang orang mati lakukan."
"Ah, maksudmu..."
Perempuan itu melirik lewat ekor matanya. "Aku akan menyelesaikan ini dan menghilang. Sampai berjumpa di organisasi, adikku."
Halilintar dan [Name] hanya diam ditempat. Mereka memperhatikan dari jauh hingga akhirnya perempuan yang adalah saudara kembar [Name] tersebut menghilang di setelah menuruni tangga.
Suara sirene polisi terdengar. Sontak [Name] langsung berlari masuk ke ruangan yang tadi. Melihat kiri kanan sebelum matanya terhenti di sebuah pintu lain didalam ruangan. Halilintar hanya mengikuti dalam diam.
Dengan cepat, Name membuka pintu itu dan menemukan Gempa bersama Fang tengah terikat.
Gempa menoleh bersamaan dengan Fang. Mata Gempa membulat begitu melihat [Name] bersama Halilintar adalah yang membuka pintu. Disana [Name] tersenyum sembari terkekeh kecil. "Seperti de javu bukan? Gempa."
Gempa ingat benar perasaan ini. Perasaan dimana dirinya tahu tidak akan bisa apa-apa. Namun lagi-lagi dia muncul dan menemukannya. Gempa mengigit bibirnya, air meluncur dari matanya. "Ke... napa? Kupikir kau... kau sudah lupa."
[Name] langsung datang memeluk Gempa dengan lembut. Gempa tersentak namun berusaha menyembunyikannya. Sembari melepaskan ikatan tangan, [Name] berbisik kecil.
"Maaf ya, setiap orang punya rahasia kecil. Dan sekarang sudah tidak apa-apa."
"Ya. Aku tahu."
[Name] selesai melepas ikatan dan melepas pelukannya. Ia lantas mengacak rambut pemuda itu. "Panggil aku kakak dong. Kayak dulu."
Gempa menghela nafas lalu terkekeh kecil. "Iya kak."
"Hei."
Gempa, [Name] serta Halilintar langsung menoleh kearah pemuda berambut raven. Terlihat pemuda itu dengan wajah kesal, "mesra-mesraannya udah dong. Ikatanku lepasin juga."
"Pfft-"
"Heh gledek! Jangan ketawa kau ya!"
"Ahahaha!! Kasian abangnya nggak jemput." Gempa tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. [Name] hanya mengeluarkan senyuman sinis yang membuat Fang makin kesal.
Halilintar menendang-nendang kecil kaki Fang. "Ganggu suasana aja kau landak."
Tapi kemudian kesenangan mereka dihentikan oleh beberapa polisi yang masuk ke dalam sana. Salah satu polisi tersebut melihat [Name] dan terkejut.
"Dia gadis itu!"
Salah satu polisi mengangkat senjata dan mengarahkan senjata tersebut pada [Name]. Halilintar yang menyadari hal tersebut langsung berlari ke arah [Name]. [Name] baru hendak menoleh namun naas, peluru itu lebih cepat menembus di perutnya daripada langkah Halilintar untuk menyelamatkannya.
[Name] melihat perutnya sendiri. Darah terus mengucur dari perutnya seakan hendak membentuk danau dilantai. Suara-suara panik dan teriakan terus berputar dikepalanya. Ia terjatuh namun dengan sigap Gempa menangkapnya.
Halilintar berteriak marah, mengamuk di ruangan itu sambil meneriaki para polisi. Gempa menangis, sembari menekan tempat keluarnya darah, namun percuma karena peluru tersebut berhasil menembus di perutnya. Fang terlihat sedang menelepon dengan raut panik dan cemas, sesekali mengumpat dan melirik [Name].
Sedangkan [Name] sendiri menatap langit-langit bangunan dengan tatapan kosong. Pikirannya membawanya jauh ke masa lalu. Mengenai setiap kematian yang menghampiri dirinya dan membuat kepalanya sakit. Dan lagi-lagi ia merasakan hal tersebut.
Apa ini akhirnya?
Apakah ini ending yang dia dapatkan?
Tugasnya sudah selesai. Semua kembar dia berhasil selamatkan. Kesepakatan dengan Amato berhasil dia dapatkan. Kini ia telah bebas.
Benar. Inilah yang ia inginkan sejak dulu.
Mati dan bebas.
Suara-suara mulai menghilang dari pendengarannya. Penglihatan semakin menggelap dan memudar. Ia bahkan tidak bisa merasakan tubuhnya lagi. Darah yang keluar terlalu banyak sehingga mustahil untuk dihentikan.
Hingga ia tersenyum lirih.
Dan semuanya gelap seketika.
.
.
.
Tamat
Tapi bo'ong :v
Ehehe
.
.
.
Tbc
A/n:
Oke2 saya tahu kalian kesal tapi dilarang memukul saya
Karena saya ini orang baik2 //hilih
Duh..
Bentar lagi tamat ga tuh? 0_0
Oh iya mau kasih tau ini sebelum lupa
Mungkin banyak dari kalian yang 'gak ngerti' alur cerita dari ceritaku
Yamaap ceritaku emang gaje //nangis alay
Dan mungkin tersisa dua chapter. Chapter terakhir dan epilog. Sepertinya...
Dan karena itulah saya membuka QnA
Boleh tanya2 apa yang gak dimengerti atau penasaran sesuatu. Akan saya jawab di chapter berikutnya //eak
Okeh tanya disini. Iya disini. Jan lupa ketik #QnA biar saya tahu kalo anda mau nanya ya hehe :3
Okeh sampai jumpa chapter depan. Babay~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top