35 - Kebenaran yang asli

Kau berlari tak tentu arah untuk mencari letak-letak diruangan mana Gempa berada. Matamu menelusuri sekitar sembari membuka satu persatu ruangan yang berakhir kosong. Bangunan tersebut sunyi, hanya ada suara derap langkah kakimu yang menggema dilorong dan suara deru nafasmu yang kian menguat. Heran sekali, kenapa suhu dibangunan ini tiba-tiba menurun drastis.

Hampir sudah ada puluhan pintu yang kau buka namun tak kunjung menemukan Gempa. Kau sesekali meneriaki namanya namun tentu tak ada jawaban. Kau berhenti untuk mengatur nafas dengan kedua tangan yang bertumpu dilutut. Sembari mengatur pernafasan, kau berdecak kesal merutuki bangunan yang luasnya tidak terkira ini. Ini malah terlihat seperti kastel tua daripada bangunan tua. Kau tidak menyangka ada tempat seperti ini di pulau rintis.

Kali ini kau berjalan dengan perlahan, tidak terburu-buru seperti tadi. Sambil memperhatikan sekeliling dengan seksama, kau menemukan banyak foto yang terpajang didinding. Mulai dari foto manusia hingga foto anjing, sepertinya mereka adalah penghuni ditempat ini sebelum kastel ini menjadi terbuang.

Dilihat baik-baik pun sepertinya kastel ini dihancurkan. Terlihat dari banyaknya sisi yang retak, hancur atau bahkan seperti bekas bakar. Malahan ada satu ruangan yang seperti habis kena bom. Namun entah kenapa kastel ini terlihat familiar bagimu.

"Kenapa kau melakukan itu padanya, komandan?"

Kau tersentak lalu berhenti. Kau jelas-jelas mendengar suara tadi. Matamu terhenti disebuah pintu yang terbuka sedikit dan menunjukkan cahaya didalamnya. Kau mengendap kesana perlahan-lahan.

"Itu tugasnya sebagai ahli pasukan. Kau tak paham?"

Itu suara yang berbeda, pasti sedang mengobrol.

"Dia hampir mati, kalau saja Kaizo tidak menyelamatkannya."

Suara ini terdengar familiar, apalagi nama 'kaizo' yang baru saja diucapkan. Terdengar seperti kau mengenalnya dibenakmu.

"Kau tahu Amato? Kita harus segera menyingkirkannya segera, dia berbahaya."

Kau tertegun sejenak, mereka jelas-jelas mengucapkan nama paman Amato di kata-kata mereka. Apa maksudnya ini? apakah ini obrolan atau apa?

Rasanya semuanya terdengar familiar dibenakmu.

"K-kenapa?"

Suara helaan nafas panjang terdengar.

Kau sudah sampai didepan pintu dan memutuskan untuk mengintip.

"Dia itu memiliki kepribadian ganda dimana hobi sekali membunuh orang-orang dan..."

Kau mengintip. Didalam sana kosong, hanya ada seorang perempuan tengah berdiri sendirian sambil memegangi rekaman suara. Perempuan itu lantas menoleh ke arah dirimu. Matamu membulat tak percaya, dirinya sangat serupa dengan dirimu.

"...dia punya kembaran yang selalu berada disisinya tanpa kita ketahui."

Kalian berdua bertatapan. Kau yang merasa tegang sedangkan perempuan itu tersenyum menyeringai.

"Dia adalah mesin pembunuh dengan perlindungan mutlak yang tidak bisa dikalahkan."

"Terlihat familiar ya, [Name]?"

.

.

.

Peluh membasahi tubuhnya. Ia selesai dengan semua orang disini. Dipastikan tidak ada lagi yang bergerak, Halilintar mengembuskan nafas lelah. Ia lantas melirik ke arah bangunan tua tersebut. Berpikir apakah [Name] sudah berhasil menemui Gempa.

Tapi tentu saja ia harus tetap berjaga-jaga. Segera ia menelepon nomor lain melalui handphonenya.

"Halo kak Hali?"

Terdengar suara yang serupa dirinya diujung telepon. Terdengar khawatir dan cemas.

"Aku dan [Name] sudah menemukan lokasi Gempa. Aku akan kirim letak tempatnya lewat chat dan kau segera bawa polisi kesini."

Ada jeda sebentar seolah Taufan ragu.

"Dia bukan gadis itu?"

Halilintar terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. Namun kita tahu bahwa senyuman tersebut adalah senyuman bahagia. "Bukan."

"Baiklah! Aku akan segera memanggil polisi. Jaga dirimu dan [name] baik-baik."

'Tut!'

Telepon dimatikan dengan cepat. Halilintar tentu ingin cepat-cepat masuk ke dalam sana dan menyelamatkan Gempa. Rasanya ia merasakan sesuatu yang tidak beres. Namun ia berdoa semoga tidak terjadi apa-apa.

Halilintar segera berlari memasuki bangunan tersebut. Semua pintu tampak terbuka. Sepertinya itu adalah ulah [Name] yang mencari-cari keberadaan Gempa disetiap ruangan. Berarti perempuan itu ada didepan sana sedikit lagi untuk menemukan Gempa di bangunan tua ini.

Ia sampai di lantai atas. Dirinya menemukan [name] tengah berdiri di tengah lorong dan menatap sebuah ruangan yang mengeluarkan cahaya. Namun semakin Halilintar mendekat, dirinya bisa dengan jelas melihat seperti apa wajah [name] saat itu.

Wajah ketakutan dan kebingungan.

Perempuan itu menoleh ke arah Halilintar. Tubuhnya bergetar seolah ingin menangis. Dia berucap lirih, "Lari Halilintar."

Halilintar jelas diam terpaku ditempat. Terdengar suara derit pintu dan terlihatlah seorang perempuan serupa dengan [name] keluar dari sana sambil tersenyum. Mata Halilintar membulat, sebenarnya apa yang terjadi beberapa menit yang lalu tanpa ia sadari?

"[Name]...?" Halilintar berucap terbata-bata. Jelas dirinya tau mana [name] yang asli dari matanya. Namun terlihat keraguan dari dirinya tatkala melihat [name] seolah dibelah dua. Tidak seperti dirinya yang kembar tujuh namun dibedakan oleh warna mata dan sifat. [Name] dan perempuan satu lagi jelas tidak memiliki perbedaan mencolok. Kecuali jika perempuan di ambang pintu itu malah menyeringai kepadanya.

"Halilintar bukan? Anak dari Amato?" Perempuan di ambang pintu itu terkekeh. "Sekarang dia sedang sekarat namun tidak ada yang menjemputnya. Sayang sekali bukan [name]?"

"Siapa kau!?" Halilintar berteriak marah. Seringaian perempuan tadi berubah menjadi wajah muak, membuat Halilintar sedikit tersentak. "Jaga mulutmu bocah, aku tidak sedang berbicara denganmu."

[Name] yang dari tadi diam saja justru bergumam kecil. "Kau... siapa?"

Lagi-lagi perempuan itu terkekeh. "Jahat sekali kau lupa padaku. Padahal aku yang menyelamatkanmu di kecelakaan waktu itu."

Kecelakaan?

"Apa maksudmu?" Dahi [name] tampak berkerut. Sepertinya dirinya sama sekali tidak mengingat apapun tentang perempuan dihadapannya ini atau masalah kecelakaan yang ia ungkit-ungkit.

Mendengar hal itu justru membuat perempuan dihadapannya ini sedikit kecewa. Namun ia berusaha biasa saja dan terkekeh riang.

"Akan aku jawab pertanyaanmu bocah. Aku adalah yang sering kalian sebut-sebut sebagai gadis itu. Tapi karena aku sendiri anonim alias tidak memiliki nama maka sah-sah saja kalian memanggilku begitu." Ia mengangkat kedua bahu tanda tak peduli. Halilintar hanya terdiam, didalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia sangat senang bahwa [name] bukanlah gadis itu. Namun sekarang bukan waktunya untuk mengkhawatirkan itu. Mereka harus segera menyelamatkan Gempa.

"Dan kau [name]. Sepertinya kau harus dengan jelas mengingat masa lalumu." Ia menyeringai, "akan aku ceritakan kisah itu hingga kau sendiri muak untuk mendengarnya."

.

.

.

"Gempa." Suara bisikan terdengar jelas dari samping. Manik keemasannya menoleh dan melihat teman bersurai ungunya itu tengah melihatnya.

"Ada apa Fang?"

Ia menengok ke arah pintu. Membuat Gempa juga melihat arah pandangnya. "Kau dengar suara itu?"

Dahi Gempa mengernyit. "Suara apa?"

Fang tidak membalas pertanyaan Gempa. Ia justru menutup mata seolah ingin mendengar lebih jelas. Gempa paham dan menutup mulut agar temannya ini bisa fokus. Kemudian ia kembali membuka mata dan melirik Gempa dengan manik delimanya.

"Aku mendengar suara lain diluar. Tapi sedikit aneh." Fang lantas memandang lantai. Merasa tidak yakin atas apa yang ia dengar.

"Apanya yang aneh?"

Fang terdiam sejenak, ia lalu menghela nafas. "Aku mendengar suara [name] dan Halilintar didepan sana."

Gempa terlihat sumringah. "Kalau begitu kita harus--"

"Tidak bisa. Sudah kubilang ada yang aneh bukan? Suara [name] ada dua." Perkataan itu membuat senyum Gempa memudar. Ia menatap Fang dengan tatapan bingung. "Apa maksudmu?"

"Ini hanya asumsiku tapi...," Fang memutuskan untuk menatap manik keemasan milik Gempa, "Aku rasa itu kembaran [name]."

"Kem... kembaran?" Ulang Gempa dengan tatapan tak percaya. Ia lantas hanya terduduk diam sambil mengulum senyum kecil. "Berarti dia bukan gadis itu kan?"

"Kurasa."

Mereka saling diam. Dengan Fang yang terlihat sedang memikirkan sesuatu. Dan Gempa yang mengulun senyum kecil dibibirnya.

Ia memang yang paling cuek pada [name] dari kembarannya yang lain. Namun sebenarnya Gempa juga sangat merindukannya. Gempa menganggap bahwa [name] adalah penyelamatnya dan Gempa menyukainya. Namun ia sadar bahwa dirinya dan [name] adalah sepupu. [Name] adalah anak dari abang ayahnya. Maka dari itu Gempa tidak boleh memiliki perasaan ini.

Yang ia boleh miliki hanyalah perasaan senang.

Sebenarnya Gempa merasa sedih melihat [name] yang terus berjuang untuk mereka. Sejak pertama ia bertemu, saat ayahnya membawa [name] kerumah bahkan hingga saat ini. Ia selalu menyaksikan [name] diambang kehancuran.

Berada di kapal dan meledak ditengah laut. Menjadi yatim piatu di umur 5 tahun dan menyaksikan sendiri kematian orangtuanya. Merasakan sendiri kecelakaan yang merenggut kedua orangtuanya. Hingga kejadian-kejadian yang sepertinya terus berusaha untuk merenggut nyawa [name]. Namun ia masih disana, masih hidup meski Gempa tahu benar bahwa [name] itu selalu ingin mengakhiri dirinya sendiri.

Sebagai seorang anak kecil, tentu Gempa merasa ikut sedih melihat [name] seperti itu. Selalu terlibat dalam bahaya. Bahkan seringkali tubuhnya diperban bagai mumi. Walau Gempa mengakui bahwa [name] lebih cantik daripada mumi.

Dari dulu Gempa sangat penasaran dengan wajah [name] jika saja matanya tidak sekosong itu. Pasti [name] akan terlihat sangat cantik dan disukai oleh semua orang. Paras cantiknya terbuang sia-sia karena tatapan kosong dan wajah yang seringkali memunculkan tatapan benci. [Name] yang seperti itu terlihat seperti pembunuh bayaran. Kadangkala Gempa sendiri akan merinding melihatnya.

Bahkan seandainya [name] itu normal seperti kebanyakan gadis.

Namun Gempa tidak boleh terlalu berharap. Mungkin saja [name] jadi seperti itu sejak kedua orangtuanya meninggal. Andai saja ada cara untuk mereka membuat [name] merasa hidup dan ceria. Pasti akan mereka lakukan apapun caranya.

Gempa menghela nafas pelan. "Fang. Apa menurutmu para pembunuh seperti perkumpulan rahasia itu jahat?"

"Tentu tidak. Menurutku mereka melakukan itu untuk menyelamatkan orang-orang tak berdosa meski melakukan cara sadis."

"Tapi meski mereka membantu polisi menangkap buronan kelas kakap. Mereka pun juga termasuk buronan bukan?"

Fang terkekeh kecil. "Kau benar. Mereka pun juga dicari oleh polisi."

"Tapi Fang. Jika pembunuh di perkumpulan itu adalah saudaramu. Apa yang akan kau lakukan?" Fang sedikit tersentak dengan pertanyaan Gempa. Ia tersenyum sinis, "Ini pasti tentang [name] kan?"

"Iya memang." Gempa tampak malu. Ia bahkan memalingkan wajah agar Fang tak melihat semburat merah merona diwajahnya.

"Tapi yah. Aku pasti akan melindunginya. Karena kau tahu Gempa? Aku juga mencurigai kakakku adalah salah satu dari mereka."

Gempa menoleh cepat kearah Fang. "Kaizo?" Fang mengangguk mengiyakan.

"Tapi entahlah. Kakakku hanya diam saja namun aku tahu bahwa kadangkala ia pulang dengan tubuh luka-luka."

Kali ini gantian Gempa yang terkekeh. "Persis seperti [name]. Bahkan seringkali dibantu perban hingga bentuknya seperti mumi."

Mereka berdua tertawa namun tidak terlalu keras. Mereka tidak ingin membuat kericuhan hanya karena tawa mereka menggema disepanjang lorong.

"Sepertinya kita kebanyakan ngobrol deh." Gempa terlebih dahulu berhenti tertawa. Ia mencoba melepaskan tali yang mengikat tangannya namun ikatannya terlalu kuat. Fang sendiri berdecih, "aku sudah coba lepaskan selagi kau pingsan. Tapi ikatannya benar-benar kuat sampai aku tidak bisa melepaskannya."

"Rasanya pergelangan tanganku sakit. Kenapa [name] dan kak Hali gak muncul-muncul ya?"

Fang angkat bahu. "Entahlah, mungkin mereka lagi berantem sama kembarannya [name]."

"Iya juga."

"Tenang saja. Kalau [name] gak berhasil nyelamatin kita. Kakakku pasti datang menggantikan [name]." Fang membuat wajah sombong. Bukannya tampak keren, namun bisa membuat Gempa muntah ditempat.

"Enak aja. [Name] yang bakalan nyelamatin kita tahu!" Gempa membalas tak terima. Perkataan Fang justru jelas-jelas mengatakan bahwa [name] itu lemah.

"Mustahil. Aku yakin kakakku yang bakal datang kesini."

"Pokoknya enggak. [Name] yang bakalan berhasil nyelamatin kita."

Mereka berdua terus berseteru tanpa mengetahui apa yang terjadi diluar sana. Perdebatan mereka yang tidak berguna itu berlanjut sampai keduanya lelah dan memilih untuk berhenti berdebat.

.

.

.

Tbc

A/n:

Nggak tau deh gimana chapter kali ini //angkat bahu

And yes, gadis itu adalah kembarannya [name] bukan kepribadian lain [name] muehehe~

Kenapa? Serah2 saya dong sebagai author //digebuk readers

Okeh tinggal beberapa chapter lagi menuju tamat

Babay~

Salam,
Sleepy Polarie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top