34 - Sebuah perkumpulan

"Terima kasih atas kerja kerasnya."

Setelah mengatakan itu, orang-orang yang berada didalam ruangan segera bubar dan menyisakan dirinya serta tumpukkan berkas dihadapannya.

"Gempa."

Pemuda itu menoleh, terlihat pemuda lain bersurai ungu tengah menatapnya. "Ya, Fang?"

"Kau kenapa? Daritadi sepanjang rapat, kau terlihat sesekali melamun." Ia terlihat peduli, Gempa tersenyum kecil. "Tidak ada, hanya kepikiran sesuatu."

Gempa berdiri dan mengambil beberapa berkas lalu memasukkannya dalam tas. Fang hanya memperhatikannya dalam diam sebelum memutuskan sebuah kata. "Mengenai [Name] kan?"

Gerakan tangan Gempa seketika terhenti. Ia menghela nafas lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. "Kau selalu tau ya, Fang."

Fang mendengus sombong. Tidak ada sekalipun ia tidak sombong jika tidak mendengar pujian seperti itu.

"Tapi yaah... kurasa [Name] itu bukanlah seseorang seperti pengkhianat atau semacamnya. Dari matanya yang tatapannya selalu kosong seperti itu, ia pasti selalu mengikut perintah dengan baik."

Gempa terkekeh mendengarnya. "Terdengar seperti pembunuh bayaran."

"Hei kau tahu? Abangku pun seperti itu walaupun tatapannya tidak kosong seperti [Name]. Kadang-kadang aku merasa dia seperti pembunuh bayaran." Fang memeluk dirinya sendiri, merasa gemetar atas apa yang ia pikirkan sendiri.

Pembunuh bayaran memanglah orang-orang hebat yang bisa memendam rahasia sampai kapanpun. Tapi tentu, ada pekerjaan sejenis pembunuh bayaran yang tentu lebih hebat dari mereka.

"Kau tahu sebuah perkumpulan rahasia? Yang tragedinya dimulai sejak 30 tahun yang lalu."

"Apa itu?" Gempa selesai membereskan berkas-berkas dan mereka berjalan bersama menuju gerbang sekolah, sembari berjalan beriringan dan bercerita.

"Aku dengar dari banyak berita waktu itu. Nama perkumpulannya tidak diketahui namun tugas mereka itu biasanya memburu para buronan atau penjahat kelas kakap yang tidak bisa lagi ditangani polisi."

"Apa mereka bagian dari polisi?".

Fang berpikir sejenak. "Tidak, mereka bekerja atas suruhan seseorang yang mereka panggil komandan." Ia kemudian berdehem. "Ada satu orang yang pernah ditangkap waktu itu, bisa dibilang orang-orang disana memang dasarnya setia banget sama kumpulannya."

"Gimana?" Gempa mau tak mau akhirnya penasaran.

"Mereka bekerja minimal sendirian dan maksimal bertiga. Setelah selesai, biasanya barang bukti akan dihilangkan seperti di bom atau dibakar. Dan kalau mereka ketangkap biasanya mereka bakalan bunuh diri agar informasi tidak menyebar."

"Bunuh diri? Berarti orang yang ketangkap itu?"

"Iya, dia bunuh diri dengan menggigit lidahnya sampai mati."

Deg!

Langkah Gempa otomatis terhenti. Ia mengingat dengan jelas kejadian saat ia diculik dan kejadian baru-baru ini dirumah sakit. Penyelamat dan [Name], mungkin saja selama ini ada hubungannya dengan perkumpulan yang disebut-sebut Fang.

Saat ia diculik, jelas sekali bahwa yang menyelamatkannya hanya satu orang dan setelah itu, kapal pengangkut itu diledakkan agar barang bukti hilang tak bersisa. Meskipun itu mengorbankan diri mereka, entah kenapa mereka sangat setia pada perkumpulan seperti itu. Dan saat dirumah sakit, ia juga ingat dimana saat Hali menuduh bahwa [Name] adalah Gadis itu. Ia menggigit lidahnya sendiri sebelum dihentikan oleh Ais dan dia berkata bahwa itu adalah kebiasaannya.

Tidak salah lagi itu--

"Gempa!!"

"Eh, iya?"

Fang menepuk jidatnya. Langkahnya sudah agak jauh dari tempat Gempa berdiri. "Kau ini melamun terus, nanti kalau hilang bagaimana?"

Ia terkekeh dan menggaruk pipinya. "Maaf, ayo."

Mereka baru saja sampai digerbang namun tiba-tiba sekelompok orang datang dan menghadang mereka berdua. Badan mereka besar-besar meski mereka memakai seragam sekolah lain, namun tetap saja seperti preman jalanan.

"Ada apa?" Gempa menyahut berani, namun tetap dengan nada sopan.

"Ikut dengan kami." Lelaki yang paling depan menunjuk dirinya sendiri. Fang mengernyit heran dan tampak kesal, "untuk apa kami ikut dengan kalian, hah?" Suaranya benar-benar menantang. Gempa lantas mendorong Fang mundur karena merasa bahaya.

"Lihat bocah itu, songong sekali. Yang mau kami bawa itu bocah ini, bukan kau!" Suara lain menyahut dari kumpulan para lelaki itu.

"Aku tak akan biarkan kau membawa Gempa!" Fang tetap melawan walau Gempa sudah mendorong Fang untuk berdiri dibelakang tubuhnya. "Sudah Fang," ujarnya.

"Melawan sekali." Ia menjentikkan jari dan seketika mereka semua mengelilingi Gempa dan Fang. "Bawa mereka berdua."

"Baik!"

Mereka berdua ditarik namun Fang tentu saja melawan. Langsung saja seseorang memukul belakang kepalanya dengan kayu sehingga Fang jatuh terjerembab ke tanah. Setelah dipastikan tidak sadarkan diri, salah satu dari mereka mengangkut Fang. Gempa berteriak namun mereka menutup mulut Gempa dengan sarung tangan yang sudah dibius sehingga Gempa pun jatuh tak sadarkan diri.

Mereka segera membawa Fang dan Gempa sebelum ada saksi yang melihat mereka.

.

.

.

Gempa terbangun, manik keemasannya melihat ke sekitar dan mendapati ia berada didalam ruangan yang kosong dan kotor. Dia juga menemukan Fang yang berada disebelahnya, tampaknya sudah sadar sedari tadi. Tangan dan kaki mereka berdua diikat sehingga mereka pun tidak bisa melakukan apa-apa. Ruangan tersebut sepi, hanya ada mereka berdua didalam sana.

Fang berdecih kesal, "Apa-apaan mereka itu? Membawa kita kesini lalu apa? Bertemu gadis itu?"

Gempa tertegun sejenak mendengar penuturan Fang. Ia berpikir, jika ia bisa bertemu dengan gadis itu maka ia bisa tau apakah itu [Name] atau bukan. Selama ini ia terus memikirkan hal tersebut, mengenai sang penyelamat yang seharusnya sudah pasti mati namun muncul dihadapannya saat itu. Namun lupa atas segalanya, mengenai dirinya ataupun kejadian itu.

Tunggu, apakah dia berbohong?

Jika [Name] benar-benar kelompok yang dikatakan Fang maka sudah pasti dia tidak akan memberitahu informasi apapun. Jelas sekali seperti yang [Name] katakan saat dirumah sakit.

"Aku bukanlah gadis itu, aku tidak punya bukti. Aku juga punya banyak rahasia namun sesuatu menahanku agar tidak membicarakan hal itu."

"Fang."

Pemuda itu menoleh, "Ya?"

"Apakah dulu pernah ada kejadian mengenai perkumpulan tersebut yang menyelamatkan anak-anak dari penjual organ tubuh? Dan kapal pengangkut tersebut hancur tak bersisa ditengah laut?"

"Ya ada." Fang tertegun sejenak, "kenapa kau bisa tahu?"

Ia tersenyum simpul kearah Fang. "Tenang saja, kita akan diselamatkan."

Fang mengernyit heran. "Maksudmu?"

"Dia akan datang menyelamatkan kita. Sama seperti dulu."

.

.

.

"Wah~ kau sudah tahu ya?"

Halilintar mengambil langkah mundur dan menyiapkan kuda-kuda. Lantas perempuan itu terkekeh kecil sembari memainkan pisau lipat. Entah muncul darimana pisau lipat tersebut.

"Kau... kau gadis itu?"

Perempuan itu sontak terdiam sebentar.

"Kak Hali! Ada apa?"

Telepon jelas belum dimatikan dan terdengar suara Taufan yang khawatir. Halilintar berdecih pelan, "Tidak ada, aku matikan."

"Kak--"

'Pip'

Halilintar memutus sambungan telepon secara sepihak. Lalu memasukkan handphone ke dalam saku. Ia memperhatikan perempuan dihadapannya yang masih terdiam.

"Gadis itu? Sebutan yang menarik." Ia lagi-lagi terkekeh namun tampaknya tidak memperdulikan Halilintar yang menatapnya bingung. Ia terus-menerus memainkan pisau lipatnya dengan lihai dan berakhir memasukkannya kembali kedalam saku.

Ia berjalan dengan arah sebaliknya dari tempat Halilintar berdiri. Tidak memperdulikan Halilintar yang memanggilnya dan menyuruhnya berhenti. Ia berjalan dengan santai sembari menerjang-nerjang rumput.

Hari jelas sudah malam, sangat minim untuk melihat jelas sekeliling saat ini. Untuk sebentar, perempuan itu menoleh ke arah Halilintar yang mengikutinya dalam diam. "Mau menyelamatkan Gempa bukan? Kemarilah, biar kutunjukkan tempatnya."

Halilintar masih diam ditempat, tampaknya tidak mau mendekatinya karena ia tidak bisa dipercaya. Lagi-lagi ia tertawa melihat perilaku Halilintar, "aku takkan menyakitimu."

Halilintar akhirnya menurut. Ia berjalan beriringan bersama-sama walaupun sesekali ia memperhatikan karena was-was. [Name] dengan kepribadian lain ini tampaknya tidak peduli. Ia terus saja berjalan hingga berhenti ketika sampai digerbang sekolah. Ia memperhatikan kanan-kiri lalu kembali berjalan meninggalkan sekolah.

Halilintar hanya diam, dia tidak bisa mengambil kesempatan untuk menanya-nanyai [Name] karena ia memberitahu bahwa ia akan menunjukkan dimana Gempa berada.

Halilintar tak bisa berpikir, jadi apakah ia benar-benar gadis yang menyerang pulau rintis atau bukan?

[Name] tiba-tiba berhenti dan membuat Halilintar yang tak fokus lantas menabraknya. Ia menyuruh Halilintar untuk bersembunyi dipinggir tembok. Halilintar ikut mengintip apa yang ada dibalik tembok mengikuti arah pandang [Name]. Terlihat banyak sekali orang yang berjaga disekitar sebuah bangunan tua kecil yang terlihat lusuh. Mereka berbadan besar-besar dengan senjata mereka masing-masing seperti kayu, pemukul baseball atau botol kaca.

Kenapa mereka sebegitunya menjaga Gempa?

"Lihat? Banyak banget mangsa kali ini fufu. Pasti lemah-lemah." Halilintar dapat dengan jelas menangkap gumaman [Name]. Rasanya jelas aneh mendengar [Name] yang daritadi terus saja berbicara dengan riang. Ia sama sekali tidak bisa terbiasa.

"Nah kalau begitu, kuserahkan semuanya padamu dan [Name]." Ia berkata begitu namun Halilintar langsung mencengkram lengannya. "Tunggu!"

Kepribadian [Name] tersebut tampak menunggu Halilintar untuk berbicara sebelum dia menghilang. "Kau... kau adalah gadis itu?"

Ia menyeringai. "Menurutmu?"

Halilintar tertegun, ia memalingkan wajah entah karena malu untuk mengatakannya atau bingung. "Aku... tidak tahu..."

"Hmm...? Apaa...?" Ia menempelkan tangannya dipinggir telinga dengan wajah jahil. Seringaian masih menghiasi wajah rupawan miliknya. Wajah Halilintar lantas memerah, ia menutupinya dengan tangannya satu lagi.

"Tidak. Ku-kurasa kau bukan gadis itu."

[Name] memundurkan lagi tubuhnya. "Kalau begitu bukan, sudah?"

"Lalu kalau bukan kau. Siapa gadis itu?"

Perempuan itu diam dan meraih tangan Halilintar yang menutupi wajah. Lantas ia menyatukan tangannya dan tangan Halilintar yang besar itu, tangannya terlihat kecil jadinya. Lalu menggenggam tangan itu dengan lembut.

Ia tersenyum lembut.

"Yang membunuh semua orang saat hendak menyelamatkan Gempa dulu itu adalah aku. Yang memperhatikan kalian dalam diam adalah aku. Dan yang menusuk perutmu adalah aku. Maafkan aku, Halilintar."

Halilintar terdiam, perempuan itu memeluknya dalam diam. "Tapi gadis itu bukanlah aku. Dan [Name] lah yang akan menyelamatkan kalian semua."

"Dan kalian juga yang akan menyelamatkan [Name]."

Pelukannya terasa melonggar, Halilintar dengan cepat menahannya. Ia mengetahui bahwa kepribadiannya pasti sudah berubah dan dihadapannya ini adalah [Name] yang asli.

Suara rintihan kecil terdengar. "Loh? Kita kok disini?"

Mereka masih dalam posisi berpelukan, namun tampaknya [Name] tidak memperdulikannya sama sekali.

"Kau tertidur tadi, dijalan."

Perempuan itu tampak terdiam, ia berpikir sesaat. "Waw, hebat juga."

Setelah lama diam, tampaknya ia baru menyadari sesuatu. "Kok posisi kita gini? Mau ngapain?" [Name] hendak melepas namun Halilintar menahannya. "Jangan, diluar sana ada banyak orang-orang yang menahan Gempa sedang berkumpul."

Perempuan itu hanya ber-oh-ria.

Padahal keliatan sekali modusnya. Jelas-jelas tempat mereka berdua masih luas, kenapa mesti dempetan coba?

Tinggi antara [Name] dan Halilintar tak jauh beda karena [Name] sendiri lebih tua. Tapi tetap saja lebih pendek perempuan itu daripada Halilintar. Sehingga kepalanya menyangkut dibahu Halilintar karena Halilintar tak kunjung melepas.

Terbesit ide jahil dikepala [Name].

"Eh? Apa yang kau lakukan?" Halilintar terkejut.

"Baumu enak ya. Jadi pengen kumakan."

Halilintar langsung melepaskan tangannya. Membiarkan [Name] lepas dan perempuan itu langsung mundur. Wajahnya terlihat sekali memerah, perempuan itu merasa lucu walaupun wajahnya tetap pada mode datar.

Halilintar sontak memegangi lehernya.

Sudah yang keberapa kalinya ini?

Perempuan itu mengintip dibalik dinding. Seperti sebelumnya, jelas sekali ada banyak orang disana, sekitar puluhan. Namun ia yakin bisa mengatasinya walau tidak se-fit dulu. Apalagi ada ahli karate disini, lumayan habis dibabat itu satu geng.

"Nah, mari kita menyelamatkan Gempa."

Halilintar hanya menurut saja. Biarlah, lagipula baik dirinya maupun perempuan dihadapannya ini tidak bisa diremehkan. Juara karate berturut-turut dan seorang ahli yang bisa membunuh satu kapal sendirian berduet. Memangnya siapa yang bisa mengalahkan mereka berdua?

[Name] maju duluan dan langsung menangani dua orang tanpa suara. Namun tetap saja yang lain melihatnya. Saat mereka hendak menyerang beramai, muncul Halilintar dibelakang dan langsung menyerang yang datang. Mereka berdua masih bertarung karena yang menyerang tak kunjung habis.

"Mereka terus-terusan memanggil bantuan, kita tertipu. Aku akan menyelamatkan Gempa, kau bereskan yang disini." Selesai membabat orang-orang dihadapannya, serta dibalas anggukan oleh Halilintar. [Name] segera berlari masuk ke dalam bangunan tua tersebut.

Sialnya, ruangan tersebut banyak dan terpaksa ia harus membuka satu-persatu ruangan tersebut hingga menemukan Gempa.

Gempa, tunggulah!

.

.

.

Tbc

A/n:

Maaf kalo tulisanku udah mulai ngawur atau banyak typonya

Biasalah, lelah hayati wkwk

Tetap nungguin cerita ini kan?

Dan aku juga sedang ulangan matematika. Doakan aku manteman :'D

Salam,
Ursus maritimus

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top