33 - Terbongkar
[Ps: sori gaes, seharusnya up tadi pagi tapi saya lupa hehe :3 //peace]
Sekeliling tampak sepi, hanya ada suara ombak dan deru kapal yang terus terngiang dikepala. Sisa-sisa manusia yang hidup dikapal ini telah dimusnahkan, sudah tidak ada lagi saksi hidup yang perlu diwaspadai. Mayat-mayat laki-laki dewasa bergelimpangan disana-sini, darah ada dimana-mana memenuhi arena. Peti raksasa sudah ia buka satu persatu selagi kapal menjauhi pelabuhan dan ia tidak lagi menemukan apapun selain obat-obatan terlarang yaitu narkoba. Dan sisanya organ-organ tubuh yang dirapikan didalam kotak kecil berisi penuh es batu. Lagipula itu cuma organ tubuh, tidak begitu penting untuk dirinya.
Ia memasang satu-persatu bom yang ia rakit sendiri beberapa menit yang lalu, ia letakkan menyebar diseluruh penjuru kapal. Dia akan memastikan seluruh kapal ini hancur tak bersisa, memusnahkan segala hal busuk diatas kapal ini dan dosa-dosanya.
Ia memutuskan untuk berjalan kepinggir dan menjauhi ledakan besar ditengah-tengah kapal. Namun tanpa ia sadari, ada seseorang yang masih hidup tapi sekarat menembak tangannya. Tombol bom itu terlempar dan seseorang itu mendapatkannya. Ia lalu menekan tombol itu dengan wajah ketakutan tapi menyeringai lebar, "Kau akan mati bersama kami semua, gadis kecil."
Mata gadis kecil itu membulat. Satu-persatu bom mulai meledak silih berganti. Harusnya ia berada di dek agar aman namun kejadian barusan membuatnya tidak bisa bergerak karena ledakan dimana-mana. Salah-salah bergerak, dirinya bisa jadi bubur gosong. Ia mendengus benci pada sosok itu, ia lantas melempar belati miliknya tepat ke dada lelaki itu. Sontak saja lelaki itu jatuh dan meringkik karena efek dari racunnya itu.
Tangan kirinya terluka, karena tembakan dari makhluk sialan tadi. Ia memutuskan untuk keluar selagi kapal belum benar-benar hancur. Mencoba menghindari beberapa bom yang bisa aktif kapan saja.
Namun naas, dirinya tidak bisa memperkirakan hingga meledaklah sebuah bom tepat disamping, beberapa meter darinya. Ia sontak terpental jauh dengan kepala menghantam sisi kapal dan membuat genangan darah saat ia terdiam sejenak.
Ia meringis sesaat, telinganya berdengung karena ledakan yang bisa dikatakan cukup dekat tadi. Kepalanya pusing seolah dihantam palu berkali-kali, ia tidak bisa berdiri dengan benar dan selalu jatuh pada akhirnya.
Kemudian lagi-lagi ledakan muncul namun lebih besar karena itu adalah akibat dari tumpukkan api yang melahap narkoba. Ledakan itu menghempaskan gadis kecil tersebut keluar kapal dan membuatnya jatuh ke dalam laut dingin.
Ia diam, tidak sanggup berenang ke atas karena kesadarannya perlahan-lahan mulai menghilang. Makin jauh ia tenggelam, makin menghilang cahaya yang terlihat.
Inikah akhir dari dirinya? Inikah balasan atas semua yang dia lakukan? Apakah semesta tidak mengizinkan ia menyelamatkan lebih banyak nyawa tak berdosa?
"Kembalilah."
Suara anak kecil saat itu terngiang dikepalanya. Ia tersenyum kecil, janjinya pada anak kecil itu pada akhirnya tidak bisa ia tepati.
Namun ia merasakan tubuhnya ditarik naik keatas oleh seseorang hingga ia mencapai permukaan. Ia melihat kebelakang dengan sisa energinya. Terlihat seorang lelaki berumur belasan tahun dengan surai ungu dan mata merah tengah mengangkutnya dengan senyuman tipis.
Ia ditarik masuk ke dalam sebuah kapal kecil. Sekali lagi ia melihat kapal pengangkut tersebut, yang perlahan-lahan menenggelamkan diri kedalam laut.
"Kau berhasil melaksanakan tugasmu, sekarang beristirahatlah."
Ia tak bisa menahan kesadarannya lebih lama. Kepalanya yang bocor terasa membeku karena dinginnya air menusuk kulit. Kegelapan perlahan-lahan menggerogoti sekeliling. Dirinya menutup mata dan akhirnya tak sadarkan diri.
.
.
.
Kau terbangun begitu seseorang menepuk pelan pipimu. Terlihat pemuda tengah menatapmu dengan iris birunya.
"Kenapa tidur disini? Mending tidur dikamar."
Ia berucap dengan pelan. Dirimu menguap sejenak sambil mengucek mata. Saat menoleh kesamping, terdapat Halilintar yang juga ikutan tidur disofa dengan lelapnya. Kau menyisir rambutmu dengan tangan sembari menyingkirkan rambut yang menghalangi wajah.
"Ketiduran. Hari ini pulang cepat?"
Taufan mengangguk. "Hari ini ada rapat guru, jadi kami pulang lebih cepat."
"Begitu, mana Gempa?"
Taufan sontak terkekeh kecil sambil menggaruk pipinya. "Dia sedang ada pertemuan osis."
Kau mengerutkan dahi. "Sendirian?"
Taufan mengangguk. Kau sontak berdiri dan hendak pergi namun Taufan menarik tanganmu. "Kak, jangan keluar. Orang-orang masih heboh dengan keberadaan si gadis akhir-akhir ini. Kalau kakak keluar maka kakak bakal dicurigai." Taufan memegang tanganmu erat, tidak mau melepasnya.
Kau akhirnya diam. "Tapi dia sendirian."
"Tenang saja, dia bersama para anggota osis jadi dia takkan sendirian. Kami menyuruhnya untuk berada ditempat ramai agar aman." Solar menyahut dari arah dapur. Ia sedang meminum air es ditemani Duri yang sedang membawa beberapa buket tanaman. Entah untuk siapa buket tanaman itu.
"Itu tidak menjamin. Kalau salah satu anggota osis juga bawahannya gimana?"
Mereka terdiam. Namun Taufan segera angkat bicara, "kita percayakan saja semuanya pada Gempa."
Setelah lama diam dan menimbang-nimbang, akhirnya kau mengangguk walau enggan. Kau menggigit bibirmu, apakah tidak apa-apa membiarkan korban terakhir sendirian? Bukankah malah akan jadi tambah berbahaya?
"Kaakk!! Aku lapaar." Blaze dan Duri datang dari dapur sambil memegangi perut. Kau menepuk pelan dahimu, kau lagi-lagi lupa untuk memasak. Kenapa tingkat kelupaanmu ini luar biasa sekali? Apakah itu artinya dirimu sudah pikun.
"Maaf, tunggu sebentar biar aku masak." Kau beranjak ke dapur lalu kembali menoleh, "Mau makan apa?"
"Ayam goreng!!" Blaze berteriak dengan lantang meneriaki nama makanan kesukaannya.
"Sup ayam!!" Duri ikut-ikutan namun kau tahu, nanti dia bakalan minta banyakin sayur didalamnya. Mungkin buket sayur tadi bisa untuk memasak.
"Oke, ayam goreng dan sup ayam saja ya," katamu. Lalu mulai memasak dalam diam didapur tanpa menoleh-noleh. Mereka berdua bersorak ria.
Kau hanya tersenyum tipis menanggapi tingkah kekanak-kanakan mereka. Sudah biasa, mereka dari dulu memang begitu.
Iya, dari dulu.
Beberapa menit hingga selesai memasak. Kau menghidangkan semuanya diatas meja, dibantu oleh Duri dan Solar. Ada banyak ayam goreng dan semangkuk besar sup ayam.
Halilintar yang tadi tertidur sudah terbangun begitu mendengar bunyi gemerisik dari arah dapur. Walau begitu, mungkin saja ia juga bangun karena mencium bau masakan.
Kalian semua berkumpul dimeja makan kecuali Gempa. Taufan yang cekikikan tiba-tiba saja mengeluarkan handphone dan menjepret makanan itu lalu mengirimnya pada seseorang. Duri yang berada disampingnya mengintip handphone kakaknya tersebut, "Hee, dikirim ke bang Gempa?"
"Iya nih, mana tahu dia jadi cepat pulang hahaha!"
Halilintar tampak tidak peduli dengan tingkah adiknya itu. Ia sudah menyendok penuh bersendok-sendok cabai kedalam piringnya sendiri. Kau meneguk ludah, gila juga manusia satu ini dihadapan yang baginda cabai merah.
Sedangkan Blaze sendiri bahkan tidak bisa makan pedas dan tidak suka sesuatu yang panas. Sangat berbeda sekali dari namanya. Kecuali Ais yang suka makan apapun tentunya, hanya saja ia juga takkan bisa tahan makan pedas seperti Halilintar.
Setelah selesai doa bersama. Kalian mulai makan diiringi candaan Taufan dan tingkah Blaze serta kepolosan Duri. Pas sekali mereka dijuluki trio troublemaker, pembuat masalah disini hanya ada mereka bertiga. Sesekali Halilintar memarahi Taufan karena terlalu ribut atau Solar yang berakhir disuapi kakaknya dengan sayur.
Kau menyendok nasi dan makan pelan-pelan saja. Rasa masakanmu tetap sempurna, tidak ada sesuatu yang janggal sama sekali. Setidaknya penyakit pelupamu tidak sampai membuat rasa masakanmu menurun.
.
.
.
Langit tampak kemerah-merahan, menandakan hari telah sore. Matahari hampir tenggelam disana dan yang ditunggu belum pulang juga. [Name] tidak bisa diam dan terus memandangi jam dihandphone. Sembari memperhatikan pemuda yang berdiri disebelahnya dengan cemas.
"Maaf kak, dia tidak menjawabnya."
[Name] sudah tidak tahan. Segera ia berdiri dari kursinya dan mengambil hoodie hitam. Tapi Taufan menariknya, "Tapi jika kakak keluar--"
"Aku tak peduli!"
Ia hempaskan tangan Taufan begitu saja dan berlari keluar. Segera saja ia memakai hoodie hitamnya dan menjauhi rumah. Tidak mengindahkan panggilan-panggilan dari dalam rumah yang terus menyuruhnya pulang dan menunggu.
Kemudian seseorang menarik bahunya. "Jangan sendirian." Ia menyipitkan mata, "Kami belum bisa mempercayaimu."
[Name] mendengus pelan. "Terserah."
Perempuan itu bersama Halilintar bersama-sama pergi mencari Gempa yang tak kunjung pulang dari tugas osisnya dan tidak mengangkat telepon.
Halilintar sembari berlari terus saja mencoba menelepon Gempa. Sudah puluhan bahkan mencapai ratusan, Gempa tak juga mengangkat teleponnya.
Mereka pergi kesekolah dan menemukan sekolah sudah sepi sejak jam 3 sore tadi. Taufan tadi sudah menelepon teman-teman osisnya Gempa, tapi mereka bilang sudah pulang dari tadi. Gempa sama sekali tidak ada petunjuk.
"Aku ada firasat, coba masuk ke dalam gedung sekolah ini." Setelah [Name] mengatakan itu, ia melompati pagar sekolah dan nyelonong begitu saja. Halilintar terdiam sebentar lalu melakukan hal sama dan mengejarnya.
Perempuan disampingnya terlihat fokus dan teliti mencari kesana-kemari. Halilintar merasa heran, kenapa perempuan disebelahnya ini terlihat seperti tidak cemas sama sekali. Mirip seperti pembunuh bayaran yang ia tonton dilaptop Taufan.
Halilintar hanya mengikuti kemana [Name] pergi dan tetap memperhatikan sekeliling dengan teliti. Tapi keadaan sekolah benar-benar kosong, tidak ada keberadaan siapapun selain dirinya dan [Name] disini.
Sekolah mulai gelap, [Name] berlari ke lapangan dan terdiam sesaat. Terlihat seperti mengatur nafas.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Halilintar di belakangnya. [Name] menoleh sesaat dan tersenyum, "aku baik-baik saja, hehe."
Halilintar terdiam.
Dia... tertawa?
Suara dering ponsel menghentikan aktifitas mereka. Halilintar mengecek ponselnya dan melihat nama Taufan tertera dilayar ponsel. Ia segera mengangkatnya.
"Kak! Kakak masih bersama [Name]?"
Suara Taufan terdengar buru-buru. Halilintar mengernyit, apakah Gempa sudah pulang?
"Ya, ada apa?"
"Ada dua orang asing datang kerumah kita."
"Lalu?" Halilintar heran, apakah itu polisi? Atau tetangga baru yang hendak memberi hadiah?
"Dia memberitahu kami sesuatu, menjauhlah dari kak [Name] sekarang!"
Halilintar makin bingung. Ia menoleh kearah perempuan itu yang masih membelakanginya.
"Kenapa? Cepat beritahu aku."
"Dia itu..."
Taufan menjeda sebentar. [Name] yang tadinya membelakangi kini melihat kearah Halilintar karena penasaran.
Tunggu--
"...punya kepribadian lain."
Tatapan [Name] tiba-tiba saja berubah, ia tidak kosong lagi. Mendadak Halilintar serasa membatu, ia membalas tatapan [Name] yang diarahkan padanya.
Perempuan itu tersenyum menyeringai.
"Wah~ kau sudah tahu ya?"
.
.
.
Tbc
A/n:
....
Kenapa?
Ya udah :v
No comment, babay!! //kabur
Penuh cinta,
Ursus Maritimus
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top