32 - Masa lalu Gempa
"Amankan barang ini, jangan sampai ditemukan."
Seorang laki-laki dewasa tampak mengatur orang-orang disekitarnya. Orang-orang itu hanya menuruti apa yang ia katakan. Sebuah kotak peti besar berwarna hijau diangkut pelan menuju kapal pengangkut besar.
Seorang gadis kecil berumur tahunan tengah mengintai dibalik tumpukan peti raksasa. Matanya memperhatikan sana-sini, mengawasi apapun yang dilakukan oleh orang-orang tersebut. Pakaian hitam membuat dirinya bisa dengan mudah berbaur dengan kegelapan. Ia kemudian berbicara sembari menekan sebuah tombol di earphone yang terpasang ditelinganya.
"Mereka tengah bersiap. Menunggu untuk arahan." Ia mengatakan kata arahan dengan sedikit penekanan.
"Tunggu aba-aba dariku."
Suara laki-laki dewasa terdengar diujung earphone. Gadis kecil itu hanya berdehem dan kemudian bersiap untuk serangan kejutan.
Mereka semua yang berada dibawah sana tampaknya tidak sadar akan keberadaannya. Begitu mereka menaruh kotak peti hijau besar itu, suara dari earphone kembali terdengar.
"Serang."
Gadis kecil itu menyeringai kecil. "Laksanakan, komandan."
Ia melompat turun dari tempat persembunyiannya dan langsung menyerang dua orang pekerja nyaris tanpa suara. Ia maju dan menyerang satu orang lagi, namun kali ini suara teriakannya terdengar hingga yang lain menoleh padanya.
Mereka menyerang secara ramai, gadis itu tak menghindar namun menyerang satu-persatu dengan belati kecil yang sudah ia olesi racun sebelumnya. Kemudian membereskam sisanya dengan tangan kosong, menghantam kepala mereka agar tidak sadarkan diri. Atau mematahkan tulang kering mereka hingga tidak sanggup bergerak.
Selesai dengan para pekerja dan bawahan. Ia mendelik tajam pada sang penyuruh tadi, yang ditatap lantas menodongkan pistol padanya.
"Berhenti!" Teriaknya dengan suara gemetar. Sang gadis kecil tidak peduli, ia terus saja berjalan mendekatinya hingga pistol itu menembak.
Tentu saja meleset, pistol yang diacungkan dengan gemetar itu takkan bisa menembak dengan benar. Gadis itu terkekeh kecil, "sampah."
Ia langsung maju dan menyerang dengan cepat. Ia gunakan kaki untuk menendang pistol dan menjatuhkan laki-laki itu.
Laki-laki itu kini tidak bisa melakukan apapun untuk menyerang. Gadis kecil itu mengambil pistol yang dia jatuhkan dan menodongkannya tepat ke kepala laki-laki itu.
Ia tersenyum sinis, seakan bernafsu ingin membunuh. "Kau dihukum mati atas dosa-dosamu." Senyumannya semakin mengerikan hingga lelaki itu bergetar hebat. "Selamat tinggal, sampah."
'Duar!'
Peluru itu berhasil menembus di kepalanya. Lelaki itu jatuh seketika tak bernyawa. Gadis kecil itu membuang pistol ke sembarang arah dan berjalan pelan menuju kotak peti hijau besar yang tadi mereka angkut.
Ia berhenti sebentar didepan peti lalu menekan earphonenya lagi.
"Saya sudah menyelesaikannya. Selanjutnya tinggal mengamankan barang bukti."
"Baik, tunggu disana."
Suara yang diketahui komandan tersebut tampak bangga. Earphone kembali dimatikan dan gadis itu membuka paksa kotak peti hijau raksasa itu sehingga menampakkan isinya.
Isinya terdapat puluhan anak-anak kecil yang lebih kecil darinya didalam sana. Mereka meringkuk ketakutan dan terkejut sewaktu gadis kecil itu membuka peti.
Ia tersenyum hangat, "Kalian semua selamat, ayo pergi. Maaf telah membuat kalian menunggu lama."
Anak-anak kecil itu awalnya ragu namun akhirnya mereka satu-persatu keluar dari sana. Diarahkan oleh gadis kecil, mereka semua bersama-sama keluar dari kapal pengangkut dan berdiri agak jauh dari pelabuhan.
Suara dari balik earphone kembali terdengar, sang komandan memerintahkan sesuatu lagi padanya.
"Rencana berubah, polisi akan segera datang kesana sebentar lagi. Sisa barang bukti harus dihancurkan, aku percayakan sisanya padamu."
Ia terdiam sebentar, menatap beberapa anak kecil yang lingung. Ia meringis pelan, pasalnya kedatangan polisi ini sangat tidak terduga. Seharusnya sisa barang bukti dihancurkan oleh agent lain. Tanpa berlama-lama ia lantas menjawab sang komandan.
"Baik komandan."
Baru ia hendak melangkah, seorang anak kecil menarik bajunya sehingga ia terhenti sesaat.
"Mau kemana?" Tanyanya dengan suara parau, dipastikan ia habis menangis.
Mata keemasannya menatap dengan penuh haru. Si gadis kecil mengusap pelan surai coklatnya yang dihiasi rambut putih.
"Aku harus bekerja," ujarnya pelan. Anak kecil itu terkejut lalu menggeleng enggan. "Jangan kembali ke kapal itu."
"Kenapa?"
Ia tampak berpikir sebentar. "Kapal itu mengerikan, pokoknya jangan kembali." Ia hendak kembali terisak namun lebih dulu si gadis mengusap pelan kedua pipi bocah itu.
"Aku tidak akan kenapa-napa."
"Benarkah?" Matanya berkaca-kaca. "Kakak janji akan kembali?"
Gadis itu terdiam sebentar, ia kemudian tersenyum miris. Namun membuat pinky promise dengan sang bocah, "kakak janji."
Anak kecil itu membalas pinky promise dan kemudian tersenyum riang. "Kalau begitu tepatilah dan kembali."
Gadis itu mengangguk. Ia kemudian berjalan menjauh anak-anak yang berada disana dan menuju kapal.
Anak kecil itu memandangi sesosok penyelamatnya yang kembali ke kapal sendirian. Berjalan dengan tegapnya meski dirinya hanya seorang anak kecil, sama seperti yang lainnya.
Beberapa saat kemudian. Kapal itu berlayar dan menjauhi pelabuhan hingga akhirnya ia berhenti ditengah-tengah laut yang jauh.
Anak kecil tersebut melihatnya dan terus berdoa didalam hati. Berdoa semoga sang penyelamat tersebut kembali bersama mereka dan bahagia bersama mereka.
"Kumohon, kumohon kembalilah, kak."
Tapi takdir berkata lain. Terdengar suara ledakan beruntun dari kapal, membuat kapal itu terbakar disegala penjuru.
Anak kecil itu terdiam. Tubuhnya menegang, tidak membiarkan matanya melepaskan diri dari kejadian itu.
Suara sirene polisi terdengar. Anak-anak disana bersorak bahagia saat kapal hancur dan mereka selamat. Berbanding terbalik dengan dirinya sekarang yang rasanya ingin menangis sekecang-kencangnya.
Saat ia ditarik oleh sang polisi untuk segera pergi dari sana. Ia memberontak dengan wajah yang memerah karena menahan tangis.
"KAK!! KAKAK!! KEMBALILAH!!"
Ia menangis saat sang polisi memaksa menarik dirinya.
"Kakak ada disana! Kakak!"
"Sudahlah nak. Dia tidak akan selamat disana, melihat kalian berhasil selamat disini adalah sebuah keberuntungan."
Ia akhirnya terdiam dan menurut untuk ditarik. Ia sempat menoleh, ketika kapal meledak dengan dahsyatnya dan pelan-pelan tenggelam ke dasar laut yang dalam.
Hatinya hancur berkeping-keping. Sang penyelamat telah tiada, kini apa yang harus ia lakukan?
.
.
.
Cahaya menerobos masuk melewati jendela, angin sepoi-sepoi menampar pelan wajah pemuda itu. Ia melamun menatap langit melalui jendela yang terbuka lebar. Tangannya menopang dagunya sembari menikmati semilir angin yang membuat rambut coklatnya berterbangan kesana-sini.
"Gempa!"
Pemuda itu tidak menggubrisnya, ia hanya terus melamun menatap jauh keluar jendela. Pemuda bersurai ungu yang memanggilnya tersebut tampak keheranan. Sejak kapan Gempa jadi budeg begini?
"Gempa!"
Yang dipanggil akhirnya menoleh dengan raut terkejut. "Fang, ada apa?"
Fang lantas berkacak pinggang dan mendengus kesal. "Ngelamunin apa? Fokus banget, orang manggil dari tadi nggak nyahut," ujarnya. Gempa terkekeh kecil sambil menggaruk kepalanya, "hanya mengingat masa lalu."
Ya, masa lalu. Masa dimana ia pernah diculik sekelompok orang berwajah sangar. Dan ia menemukan dirinya diantara banyak anak-anak lain yang bernasib sama. Ia saat itu pernah mendengar kisah mengenai penculikan anak kecil. Ia tahu ia akan mati saat itu juga, orang-orang jahat itu pasti akan membunuhnya untuk mengambil organ dalam tubuh dan menjualnya di pasar gelap.
Gempa sudah pasrah, ia tidak bisa melakukan apapun selain duduk diam ditempat sebelum tiba-tiba pintu terbuka dan menampilkan seorang gadis kecil yang sebaya. Bajunya hitam-hitam seperti ninja, namun ia tidak memakai penutup wajah seperti ninja pada umumnya.
Ia senang dirinya selamat namun ketika sang penyelamat itu tiba-tiba memutuskan untuk pergi dan meledakkan diri ditengah laut. Ia tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya menangis seharian penuh karena kejadian itu.
Beberapa bulan kemudian. Ayahnya membawa seorang gadis kecil yang ia ingat wajahnya, penyelamat yang meledakkan diri itu. Dialah [Name], perempuan pendiam dengan tatapan mata kosong menghiasi wajahnya. Tapi sayangnya, dia sama sekali tidak mengingat kejadian itu.
"Jadi, ada apa memanggil, Fang?" Gempa mengalihkan pikirannya, tidak mau terbawa-bawa masa lalu.
"Yah, aku penasaran dimana si gledek itu."
Oh, lihat! Dan sekarang dia menanyakan perihal Halilintar yang tidak masuk sekolah. Tadi pagi, mereka sepakat untuk merahasiakan tentang Halilintar yang kena tusuk diperut. Mereka tidak bisa menyebarkan hal itu, bisa saja jadi masalah besar karena melibatkan gadis itu yang dicurigai adalah [Name].
"Dia sakit." Jawaban yang klise dari seorang Gempa. Fang ber-oh-ria, "Bisa juga makhluk satu itu sakit."
Gempa hanya menanggapinya dengan kekehan kecil.
"Halo!~ wah! Kalian ngobrolin apa nih?~" muncul pemuda lain yang seenaknya saja mengejutkan mereka berdua.
"Woe muson! Kalo datang tuh aba-aba dulu." Fang berucap marah. Dadanya kembang kempis gara-gara makhluk periang satu ini muncul entah darimana sambil tersenyum bahagia.
"Latihan jantung, hahaha!! Oh iya Gemgem, kok gak turun? Ayo makan siang." Taufan beralih ke adik pertamanya itu. Gempa mengangguk, "Maaf."
"Entah, ngelamunin masa lalu." Fang menjawab sekenanya. Membuat dahi Taufan berkerut, "Masa lalu? Oh yang waktu Gemgem dicul--hmph!" Belum selesai ia bicara, tau-tau Gempa sudah membungkam mulut kakaknya dan menyeretnya pergi.
"Jumpa lagi, Fang!"
Fang hanya diam ditempatnya sembari melihat dua kembar itu keluar kelas. Sudah biasa, mereka memang selalu makan bersama walau sunyi-sunyian. Tapi sekarang sudah berubah, sunyi itu sudah berubah.
Fang tahu itu, selama ini mereka bersama hanya karena tidak ingin dianggap keluarga yang berpecah karena ayah mereka yang jarang pulang serta ibu yang sakit-sakitan dan tidak bisa mengurus mereka. Apalagi atok mereka meninggal saat itu.
Tapi sejak beberapa bulan kedatangan seorang perempuan dikeluarga kembar Boboiboy itu. Air muka mereka berubah agak berwarna, ditambah Taufan yang makin riang dan selalu membuat masalah diantara mereka bersama Blaze dan Duri.
Fang tersenyum tipis. "Begitu ya, perempuan itu sangat berharga."
Kemudian ia beranjak dari tempat Gempa dan memutuskan untuk ke kantin, membeli donat lobak merah tentunya yang unlimited sekali di kantin.
.
.
.
"Kak Hali dirumah gimana ya sama kakak?"
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut anak kedua. Adik-adiknya melihat kakaknya tersebut dan merasakan perasaan yang sama.
"Aku berharap dia baik-baik saja. Dan aku yakin dia bukan gadis itu." Blaze berucap sambil menggenggam erat paha ayam gorengnya. Lalu memakan ayam itu dengan cepat. Yang lain tampak sedih namun Duri mencoba memperjernih keadaan.
"Kakak bukan gadis jahat itu. Duri sangat yakin, dia itu berbeda dan sangat baik." Duri sampai menghentak-hentakkan garpu dimeja yang seharusnya untuk menusuk bakso.
"Alasan kakak menginginkan kak Gempa untuk bersamanya mungkin saja karena kak Gempa adalah orang terakhir yang belum diganggu." Solar tiba-tiba menginterupsi sambil memperbaiki letak kacamata jingga miliknya.
"Maksudmu?" Tanya Gempa bingung. Apa yang dimaksud Solar dengan orang terakhir? Gempa benar-benar tidak mengerti sama sekali.
"Kak Gempa gak tau? Kami semua mengalami musibah satu-persatu dan kak [Name] yang selalu menyelesaikannya." Kali ini Blaze yang kembali menjawab. Dahi Gempa bekerut, "kalian terkena musibah satu-persatu? Yang kutahu hanya Blaze, Solar, kak Taufan dan kak Hali."
"Sungguh Gem. Kau terlalu sibuk dengan osis." Taufan memilih untuk menyedot minuman miliknya, biarkan saja adiknya yang lain mengatakannya pada Gempa.
"Ais dan Duri kapan?"
Mereka saling bertatapan sejenak.
"Ais kena bully tiga orang berbadan besar dan Duri kebunnya dihancurkan berkali-kali serta dituduh mencuri bibit." Solar dengan pelan menjelaskan. Raut wajah Gempa langsung panik. "Aku tidak tau."
"Wajar karena kejadian Ais yang begitu singkat dan Duri yang memang diam-diam bersama [Name]," ujar Taufan tanpa ingin menyalahkan adik pertamanya. Memang Gempa sama sekali tidak salah, itu semua karena tugas sialan dari osis terkutuk yang merenggut perhatian adik tercintanya ini.
"Aku juga baru tau dari [Name] sendiri." Solar angkat bicara, tidak ingin kakaknya yang paling waras itu menyalahkan diri sendiri dan berubah menjadi 'tidak waras' bersama. Lagipula Solar memang tidak tahu apapun saat itu, dirinya hanya terus mengunci diri di kamar sebelum [Name] akhirnya datang ke kamarnya dan membicarakan hal-hal itu.
Dan akhirnya kejadian itu juga menimpa dirinya.
"Berarti... dia ingin menyelamatkanku?" Gempa bertanya dengan gugup. Yang lain justru mengangguk mengiyakan.
"Sama seperti dia yang menyelamatkan kami semua. Aku yakin, dia pasti berhasil menyelamatkanmu, Gempa." Senyuman Taufan kali ini terlihat teduh, adik-adiknya yang lain tersenyum dengan yakin.
Gempa terdiam sembari tersenyum tipis. Ia menunduk menghadap makanannya yang daritadi belum tersentuh.
Tapi aku, tidak mau diselamatkan lagi.
Karena bisa saja akan terulang seperti dulu.
.
.
.
Tbc
A/n:
Iya yang awal itu masa lalunya Gempa. Aku ragu buat bikin tulisannya jadi miring karena bakal menganggu ketika si gadis kecil menelepon komandannya lewat earphone.
Jadi disini mereka tetap percaya bahwa kamu bukanlah si gadis.
Namun, apakah kamu sendiri berpikir seperti itu? :3
Penuh cinta,
Ursus Maritimus
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top