31 - Berpikir
"Kau adalah gadis itu, bukan?"
Kau terdiam saat Halilintar mengatakan hal yang terdengar menuduh itu. Saudaranya yang lain juga terkejut dan langsung melihatmu.
"Nggak mungkin kak, habisnya Duri sama kak Upan tadi lihat kakak masih tidur di ranjang rumah sakit." Duri membelamu namun sang saksi satu lagi hanya diam sambil menunduk. Kau merasa aneh, apa yang terjadi sehingga mereka semua bisa menuduhmu seperti itu?
Dahimu berkerut, "Apa maksudmu? Aku gadis itu? Kau bercanda?" Tanpa sadar kau menggenggam tanganmu begitu kuat namun rasa sakitnya tidak terlalu terasa. Mereka lagi-lagi hanya diam dan menundukkan wajah.
"Aku selama ini selalu mencari tau tentang gadis itu semenjak aku sadar ada yang ganjil dengan masalah Blaze waktu itu." Kali ini Taufan angkat bicara. "Dan semuanya selalu mengarah kepadamu." Ia meringis lalu mengigit bibirnya.
Matamu membulat, kau sama sekali tidak berniat untuk membalas ucapannya sama sekali atau membuka suara. Karena kau sendiri juga punya rahasia kecil yang harus kau sembunyikan dari mereka.
"Perempuan berambut coklat, bermata hitam, postur tubuh kecil, dan helaian rambut putih. Semua pelaku yang kutanya selalu bilang begitu!!" Pemuda riang itu berteriak frustasi.
"LALU MEREKA SELALU BILANG HATI-HATI PADA GADIS ITU!!" suaranya jauh lebih keras dari teriakan sebelumnya.
Ia terisak, menunduk dalam-dalam tanpa ada niatan untuk bertatapan mata denganmu. "Aku selalu tidak pernah mempercayai itu." Seluruh pertahanannya rapuh, ia ambruk ke lantai dan menangis kencang sembari menutupi wajah dengan kedua tangannya. Gempa langsung bergerak, ia berusaha menenangkan kakak keduanya itu dengan mengelus pelan punggungnya.
"Apakah itu benar?" Wajah Duri tampak ingin menangis. "Apakah kakak adalah dia?" Ia terisak-isak, Solar yang berada disampingnya langsung menarik kakaknya untuk menangis dibahunya.
Kau menunduk, memperhatikan kaki pucatmu ditutupi oleh sepatu kets hitam.
"Aku bukanlah gadis itu. Tapi aku tidak memiliki bukti untuk membuktikannya. Aku memang punya banyak rahasia tapi sesuatu menuntutku agar tidak berbicara."
Tanpa sadar, kau mengigit lidahmu dan membuat darahnya tertetes dilantai. Menodai keramik putih yang baru saja dibersihkan.
Tiba-tiba ada yang mengangkat kepalamu. Membuat matamu bertatapan dengan iris aquanya. "Jangan," tegurnya.
Oh, kebiasaan lamaku terulang.
"Maaf, aku tak sengaja."
"Ja-jadi bagaimana?" Blaze bersuara kecil. Wajahnya tampak panik dan bingung.
Kau berpikir sejenak, kemudian memutuskan sesuatu yang mungkin bisa membuat mereka tidak menganggu orang terakhir yaitu Gempa.
"Kalian boleh mengunciku dikamar, memata-mataiku atau mengawasiku dengan syarat, Gempa harus bersamaku."
Biarlah mereka semua semakin mencurigaimu atau apa. Setelah ini selesai, kau akan mencari paman Amato dan bisa bebas setelahnya. Sesuai janji paman Amato yang diberikan padamu.
.
.
.
Dering handphone memaksamu bangun, kau segera meraba-raba nakas untuk meraih handphone bercassing hitam itu dan melihat missed call dari nomor tak dikenal. Kau menggenggam erat handphonemu itu.
Apakah paman berusaha menelepon lagi?
Kemudian handphone tersebut berdering lagi, membuatmu cepat-cepat menangkat teleponnya dan memastikan.
"Assalamualaikum."
Suara yang familiar, lembut dan hangat. Siapa lagi kalau bukan bibi--istri paman Amato--yang juga ikut menghilang dalam kecelakaan. Kau mengerti, ia pasti rindu dengan anaknya apalagi suaminya yang tidak kunjung pulang.
"Walaikumsalam." Jawabmu. Tanpa sadar bibirmu menekuk, membuat senyuman samar meski tak ada seorang pun yang bisa melihat senyum itu dikala kau sendirian.
"Apa kabar? Bibi kangen sekali."
Suara yang begitu halus itu bisa-bisa membutakanmu. Entah kenapa tapi rasa-rasanya seperti bertemu ibu kandung sendiri. Walaupun sejak dulu, kau tidak pernah tau wajah mereka seperti apa wajah orang tuamu sendiri. Itu disebabkan kejadian yang merenggut kedua orang tuamu itu ketika kau masih berumur 5 tahun.
"Aku baik. Bibi juga baik-baik saja disana?"
"Iya alhamdulillah baik."
Jeda sesaat sebelum bibi mengatakan hal yang ingin dia tanya.
"Bagaimana dengan anak-anak bibi? Mereka baik-baik saja?"
Kau tersenyum kecut, menyadari betapa akan hancurnya hidup mereka seandainya dirimu tidak ada disana untuk membantu.
Blaze yang melakukan kekerasan fisik hingga diancam dikeluarkan dari sekolah. Duri yang kebunnya dihancurkan dan dituduh mencuri bibit--walaupun sebenernya yang ini adalah salahmu. Ais yang dibully tiga orang berbadan besar tanpa ada yang bisa menolong. Taufan yang kabur saat skateboard kesayangannya dicuri. Solar yang hampir saja dituduh menjadi pembunuh karena ramuannya. Dan Halilintar yang perutnya ditusuk oleh si gadis.
Tapi kau tidak mungkin mengatakan hal itu bukan?
"Mereka baik-baik saja, bibi tidak perlu khawatir," ujarmu. Lalu kau menunduk, "Soal paman juga jangan terlalu dipikirkan, aku yakin dia pasti akan baik-baik saja."
Kekehan kecil terdengar di ujung telepon. Namun kau bisa menebak bahwa tadinya sang bibi tengah menahan derai air mata.
"Iya, terima kasih banyak [Name]."
"Sama-sama."
Setelah itu telepon dimatikan. Jelas sekali, kalian tidak boleh menelepon terlalu lama karena dikhawatirkan akan ketahuan. Resiko itu besar sekali, tidak seperti paman Amato yang waktu pertama kali itu, meneleponmu hingga dua jam untuk menunjukkan jalan yang memutar jauh.
Tapi sekarang tidak bisa menelepon lama-lama. Sebab, kau sedang diawasi.
'Kriet'
Kau menoleh, ada pemuda dengan iris merahnya menatapmu.
"Kak, ayo sarapan."
Iya, kau sedang diawasi oleh ketujuh kembar Boboiboy dan tidak akan bisa bergerak bebas sampai orang terakhir berakhir diselamatkan.
Kau mengangguk membalas lalu beranjak dari kamar dan mengikuti anak keempat itu berjalan menuju ruang dapur.
Disana sudah ramai, mereka semua sudah berkumpul dengan seragam sekolah rapi termasuk Gempa dengan celemek coklatnya. Ia menghidangkan sarapan yang biasa seperti nasi ayam dan segelas susu atau teh. Terkecuali untuk Halilintar yang minum kopi, dia terlihat seperti bapak-bapak omong-omong.
Kau duduk diantara Blaze dan Gempa. Kemudian melihat nasi ayam dan segelas tehmu. Setelah doa bersama, mereka mulai menyantap sarapannya masing-masing dengan sunyi. Hanya ada suara denting sendok yang beradu. Membuat atmosfir disana terasa tegang.
Kau menguap, lagi-lagi merasakan kantuk padahal baru saja bangun tadi. Kau bahkan jadi tidak memerlukan obat tidur lagi, karena sekarang kau bahkan bisa tidur seharian penuh.
Kau memakan sarapanmu dengan perlahan.
"Lidahnya sakit?"
Tak disangka Blaze yang duduk disebelahmu terdengar khawatir. Dia benar, kau bahkan lupa kalau punya luka dilidah akibat kejadian kemarin.
"Nggak, sudah terbiasa seperti ini." Kau melihat piring Blaze dimana ayamnya sudah kandas. "Omong-omong, kau tidak memakan nasinya?"
Blaze terkekeh. "Aku suka ayam."
Kau memalingkan wajah, masih tetap makan. "Aku tidak akan menyerahkan ayamku padamu," ujarmu yang disambut derai tawa oleh Blaze. "Pelit."
Selagi kau dan Blaze meributkan ayam, Gempa bak malaikat datang memberikan kalian masing-masing ayam baru. Taufan yang melihat kejadian itu tidak bisa menahan tawanya sedangkan Duri tampak antusias dan ikutan rebutan ayam. Sisa yang lain hanya diam dan memperhatikan tingkah kalian. Kau sampai sesekali memukul wajah Blaze dengan tulang ayam.
Hingga akhirnya acara makan selesai dan mereka harus berangkat sekolah, kecuali Halilintar yang masih harus berada dirumah untuk perawatan.
Bagaimana dia bisa nggak dirumah sakit? Tanyakan pada wajahnya yang seram saat dokter menyuruhnya untuk tetap tinggal. Hingga akhirnya dia diperbolehkan pulang asal tidak melakukan sesuatu yang bisa melukai perutnya lagi.
Eh, sepertinya dia tidak boleh minum kopi hitam dulu.
Kau menatapi kepergian keenam bersaudara yang pergi meninggalkan rumah dan berangkat bersama-sama menuju sekolah. Kau masuk dan mencuci bekas sarapan tadi pagi lalu memutuskan istirahat disofa sambil menonton kartun.
Banyak kartun yang lumayan kau gemari termasuk salah satunya tentang superhero bumi yang melawan alien jahat. Kalian sudah pasti tahu judul film itu.
Kau menyender dan terlalu asyik menonton hingga tidak sadar bahwa si sulung juga duduk disampingmu. Ia diam saja memperhatikanmu menonton acara kartun. Tidak perlu heboh, umur 18 tahun itu masih wajar jika menyukai kartun. Contohnya saja kartun buatan disney yang selalu memiliki teori gelap didalamnya.
"Hei."
Kau menoleh, memperhatikan sang pemanggil yang kini diam mematung saat kau menatapnya. Ia terlihat fokus dengan matamu yang kemudian tatapannya beralih ke hal lain.
"Kalau kau benar-benar bukan gadis itu. Apakah mungkin kau memiliki penyakit tidur berjalan?" Halilintar mengajukan sebuah pertanyaan. Kau terdiam sebentar lalu berpikir dengan jempol dan telunjuk yang menjepit dagumu--pose andalanmu ketika berpikir. Matamu memandang jauh ke arah langit-langit rumah, "Entahlah, aku tidak ingat punya penyakit seperti itu."
"Begitu."
Kalian berdua terdiam lagi. Kau kembali melihat ke arah televisi sedangkan si sulung entah melamun apa. Kau kemudian menoleh lagi padanya, "Bagaimana kejadiannya kau bisa ditusuk?"
Dia menoleh, diam sebentar lalu menutup matanya seolah berpikir sebentar.
"Ekskul karate dibatalkan jadi aku putuskan untuk pulang kerumah. Namun dicegat oleh dua perempuan asing dari sekolah lain."
"Di-dicegat?" Mungkin saja jika Halilintar memiliki banyak penggemar diam-diam. Tapi buat apa dia menceritakannya jika itu tidak ada hubungannya.
"Iya, mereka bilang ada gadis itu dirumahku."
Kau menjentikkan jari tanda mengerti. "Lalu kau langsung pulang kerumah karena berpikir bisa menemukannya. Tapi yang kau temukan adalah aku?"
Pemuda itu lantas mengangguk. Kau bersungut-sungut dengan gaya seolah-olah mengelus janggut walau kau tidak memilikinya. Kemudian menggaruk kepalamu yang tidak gatal.
"Mungkin saja kalau aku benar-benar tidur sambil berjalan atau memiliki kepribadian ganda. Tapi..." ada jeda sebentar sambil dirimu berdecak kecil. "Kurasa aku tidak memiliki penyakit semacam itu."
"Oh dan, bagaimana bisa kau ditusuk tanpa ada terlibat perkelahian sedikitpun? Apa kau ditusuk begitu membuka pintu rumah?" Kau bertanya lagi. Namun kali ini Halilintar agak ragu untuk menjawab, pipinya terlihat sedikit memerah.
"Kau memelukku."
"...."
Kalian berdua terdiam dimana Halilintar dengan tatapan datarnya dan Kau yang hampir tercengang. Hampir saja rahangmu jatuh namun kau langsung mengatup mulutmu kuat-kuat.
"Permisi, apa?"
"Kau memelukku."
Lagi-lagi kau terdiam dan wajah Hali semakin memerah pada puncaknya. "Hei, itu belum tentu aku jadi jangan bilang seolah-olah aku memelukmu," bantahmu. Tidak ingin dianggap gila karena sudah memeluk, menusuk pula. Lagipula dirimu tidak senafsu itu untuk memeluk anak umur 17 tahun. Yah walaupun kau sendiri cuman beda setahun.
"Ya."
Itu balasan yang sangat singkat dari makhluk cuek bebek satu itu. Ia memalingkan wajah, jelas sekali dia malu. Entah karena kata peluk atau karena kau tidak mau disamakan dengan si gadis buronan yang dicari satu pulau.
Lagipula dirimu hebat sekali bila bisa menjadi teroris hanya dengan kepribadian ganda.
Tapi kau merasa tidak terlalu merasa kesepian hingga perlu mendatangkan satu kepribadian atau sesuatu yang mengundang penyakit tidur berjalan. Setahumu, dirimu normal bahkan sebelum berada disini.
Tapi kalau gadis itu benar dirimu...
Eh, tunggu sebentar!
Kau ingat jelas saat paman Amato terakhir kali meneleponmu saat itu. Ia mengatakan gadis itu yang berarti menjelaskan bahwa itu bukanlah dirimu. Atau paman juga tidak tahu mengenai gadis itu? Entahlah, kau sendiri pun tidak pernah melihat wajah gadis itu sama sekali.
Tapi kalau memang benar, maka apa yang harus kau lakukan selanjutnya? Menyelamatkan para kembar Boboiboy menjadi mustahil karena musuhnya adalah diri sendiri. Belum lagi jika kau ternyata adalah dalang dari semua masalah yang terjadi.
Tapi kau yakin dan sangat yakin bahwa gadis itu bukanlah dirimu.
Kau menggenggam bantal disampingmu erat. Lalu memasang wajah marah, "akan aku buktikan pada kalian semua, aku bukanlah gadis itu."
Halilintar hanya diam sambil melihatmu dari netra ruby miliknya. Dia juga merasa bimbang apakah kau benar-benar gadis itu. Lagipula, semuanya sekarang menjadi lebih rumit.
Halilintar bergerak dengan tidak terduga dan mendekapmu dalam pelukannya. Kau terdiam sesaat namun tidak memilih melepaskannya karena aroma tubuh pemuda itu yang tercium familiar.
Ya, ini adalah aroma tubuh milik seseorang yang menggendongmu tiap malam menuju kamar.
"Ternyata kau," gumammu kecil.
Ia mengelus pelan kepalamu dengan tangannya yang besar. Kepalanya yang berada dibahumu membuatmu geli namun kau tidak ingin melukai hati tsundere ini.
Ada deheman kecil dari Halilintar. "Berjuanglah membuktikan dirimu, karena aku menginginkan hasil yang bagus."
Kau tersenyum samar. Lalu terkekeh, "pasti."
Setidaknya Hali sudah mulai menerimamu bukan?
.
.
.
Tbc
A/n:
Nah sip, si gadis masih dipertanyakan di chapter ini.
Apakah chapter depan adalah milik gempa?~
Ikuti terus ceritaku ya~
Terima kasih
Penuh cinta,
Ursus Maritimus
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top