3 - Sebuah Rencana
Kau menyerahkan bekal-bekal buatanmu saat mereka hendak berangkat sekolah. Tapi tentu saja mereka tetap tidak suka padamu karena kau adalah suruhan Amato--ayah mereka--yang mereka benci.
Entah apa alasan mereka sangat tidak suka sekali dengan ayahnya. Yang pasti, kau harus menyelesaikan itu dan membuat paman Amato tidak mengusikmu lagi.
Lagipula ditelepon setiap hari dan mendengarkan ceritanya yang panjang mengenai anak-anaknya bisa membuat telingamu tuli. Yang kau tau dia sangat menyayangi anaknya tetapi sepertinya ada sesuatu yang tidak diketahui olehmu disini.
Mereka bertujuh sudah berangkat bersama-sama kesekolah. Kau yang mengambil cuti dicafe tempatmu bekerja--karena harus menjadi babysister dirumah ini--akhirnya memutuskan untuk melakukan kegiatan daripada gabut dirumah.
Kau mulai dengan membersihkan debu-debu, merapikan kamar dari ketujuh bocah kembar, menyapu hingga mengepel. Dipikir-pikir rumah ini tidak terlalu kotor untuk 7 anak laki-laki yang tinggal bersama.
Kau tentu saja tau ini adalah ulah Gempa, kembar ketiga yang dewasa dan bertanggung jawab. Padahal dia adalah anak ketiga tapi entah kenapa dia lebih waras ketimbang kedua kakaknya. Yang satu berwajah seram dan yang satu sangat jahil.
Sepertinya mereka berebutan ingin keluar dari perut ibu mereka yang sempit. Kasihan sekali bibi, perutnya pasti sakit karena harus mengandung 7 anak kembar sekaligus dalam waktu 9 bulan 10 hari.
Tapi kau bersyukur setidaknya melakukan pekerjaan rumah dirumah ini jadi lebih mudah.
Selanjutnya kau pergi mencuci baju dan menjemurnya dipekarangan rumah. Bajunya sangat banyak dan bau, anak laki-laki memang berbeda. Jika dilihat-lihat pun baju mereka semua hampir sama saja, yang berbeda cuma warna. Kau mendengus, sudah pasti ini ulahnya paman Amato.
Belum lagi topi-topi yang mirip semua itu. Bagaimana bisa paman Amato mendapatkan semua topi yang sama tapi berbeda warna itu. Ia benar-benar ayah yang gigih.
Selesai dengan pakaian. Fyuh, baju mereka benar-benar sangat banyak. Beginikah rasanya punya saudara? Benar-benar melelahkan untukmu.
Kau yang hendak istirahat kemudian melihat bunga-bunga yang tumbuh dipekarangan tampak indah. Sudah pasti si Duri yang mengurus bunga-bunga ini.
Kau mengambil air dan menyiram bunganya dengan rata. Bunga-bunga ini benar-benar telah diurus dengan baik. Sepertinya Duri benar-benar menyukai alam, walaupun kau hanya mendengar dari mulut paman Amato saja.
"Indah."
Kau bergumam sendiri. Sesekali memperhatikan jalanan yang dilalu lalang oleh beberapa orang. Cukup sepi karena memang jarang orang-orang berlalu lalang.
Selesai dengan beres-beres rumah, kau kembali merasa bosan.
Tapi kemudian handphonemu kembali berbunyi dan kau sudah tau ulah siapa itu.
"Bagaimana? Kau merawat mereka dengan cukup baik tidak?"
Suara riang yang ingin sekali kau jejali mulutnya dengan sayuran.
"Entahlah, anak-anakmu tidak menyukaiku karena aku adalah suruhan ayahnya." Kau mendengus kesal, sepertinya memang ada sesuatu yang tidak diberitahu paman Amato padamu.
"Wah aku juga tidak tau. Cari tau saja sendiri, sampai nanti~"
Lagi-lagi paman Amato yang mematikan telepon begitu saja. Kau kembali memasukkan handphonemu kedalam saku celana. Kau masih duduk diteras rumah sambil melihat langit biru yang cerah.
"Sepertinya aku harus mencari tau dan menyelesaikan semuanya sendiri. Paman Amato memang tidak bisa diandalkan." Kau menghela nafas panjang sebelum akhirnya memilih untuk kembali masuk kedalam rumah dan beristirahat.
***
"Assalamualaikum." Suara laki-laki yang familiar membuatmu menoleh dan mendapati bocah kembar masuk kedalam rumah dengan sopan.
"Walaikumsalam." Setelah menjawab, kau kembali menghadap kearah televisi yang sedari tadi kau tonton karena menarik. Ini pertama kalinya kau bisa seluang ini dalam beberapa tahun. Sesekali menonton televisi mungkin bisa menambah pengetahuanmu tentang dunia.
Kau kembali melihat kearah bocah kembar dan mendapati mereka hanya berenam saja. "Dimana Blaze?" Tanyamu.
Duri yang masih melepas sepatu menjawabmu, "Dia dihukum."
"Dihukum? Dia berbuat nakal lagi?" Kau mengernyitkan alismu heran. Ini baru hari kedua sejak kau disini dan salah satu kembar malah membuat masalah.
Bunyi dering telepon rumah membuat semuanya termasuk dirimu menoleh. Kau berjalan kesana dan mengangkat telepon.
"Halo, ini dengan guru dari sma pulau rintis. Kami ingin menyampaikan sesuatu perihal anak anda."
"Aku tidak punya anak. Orang tua mereka hilang, aku walinya." Kau mengerutkan keningmu jengkel, memangnya pihak sekolah tidak mengetahui tentang hilangnya kedua orang tua mereka?
"Oh maaf, saya ingin menyampaikan bahwa Blaze tadi melakukan kekerasan pada beberapa murid. Jadi saya memanggil anda sebagai wali untuk datang besok dan menyelesaikan masalah ini."
"Ya aku mengerti."
PRAK!
Kau menutup telepon dengan keras sehingga beberapa kembar yang sedang melihat tadi jadi sedikit tersentak. "Kekerasan, huh?" Gumammu dengan nada agak kesal.
Tepat pada waktunya, orangnya pulang dan kau memelototinya sehingga ia sedikit terkejut.
"Jelaskan padaku, kenapa kau bisa melakukan kekerasan?"
Blaze menunduk dan tampak sedikit gugup. Tapi kemudian dia berlari masuk, "Bu-bukan urusanmu."
Saudaranya yang lain hanya terdiam melihat kejadian barusan. Sepertinya mereka tidak ingin terlalu terlibat dengan amarahmu.
"Ah saya bisa menyelesaikan masalahnya sendiri jadi tidak perlu datang." Gempa sang kembar yang dewasa sepertinya ingin menangani masalah adik pertamanya tersebut. Tapi tentu saja kau tidak bisa membiarkannya begitu saja, pasti ada alasan Blaze memalukan kekerasan disekolah.
Karena api itu hanya akan membesar ketika ada yang meniupnya. Itu artinya ada dalang dibalik ini.
Kau berjalan maju membuat Gempa menyingkir dari jalanmu. "Tidak usah sok bisa. Sekarang aku walinya disini jadi aku yang akan bertanggung jawab." Kau melangkah dengan penuh percaya diri meninggalkan Gempa yang merasa tidak berguna walaupun ia adalah ketua osis.
Kau berjalan naik keatas dan berhenti dikamarnya Blaze dan Ais. Sudah pasti pintunya tidak dikunci jadi kau langsung membukanya begitu saja dan menyender dipinggir pintu.
Terlihat Blaze yang terkejut melihatmu tapi ia hanya pura-pura tidak tau. Ditubuhnya banyak luka memar dan lecet, pasti sakit rasanya.
"Sakit tidak memar dan lecet itu? Aku belum pernah merasakannya." Kau membuka topik obrolan tapi yang ditanya hanya diam saja. Sepertinya ia benar-benar ingin mengabaikanmu.
"Kau yakin mau terus menganggapku tidak ada disini? Mau tidak mau, kalian akan membutuhkanku disini sebagai wali kalian."
"Apa maumu?" Pada akhirnya Blaze menjawab juga. Sudah tentu, ia tidak bisa melawan dirimu yang lebih tua darinya.
"Apa alasanmu melakukan kekerasan?"
Blaze awalnya diam namun pada akhirnya memilih untuk menjawab karena kau tak kunjung pergi. "Bukan masalahmu." Jawabannya tetap sama seperti tadi.
"Duh dinginnya, padahal kau itu api. Api itu harusnya panas." Kau terdiam sejenak. "Dan api itu tidak akan membesar jika tidak ada yang meniupnya."
Blaze sedikit tersentak, sepertinya ia mengetahui apa maksudmu dari umpamamu itu. Tapi ia tetap gigih tidak mau memberitahukan alasannya.
"Hei aku punya rencana, kau mau ikut?"
Blaze menoleh kearahmu dengan wajah bingung. Tapi sepertinya kau sungguh-sungguh dengan sebuah rencana.
"Rencana ini mungkin terdengar gila tapi mungkin berhasil. Dan aku butuh kau sebagai pionku."
To be continued...
A/n:
Rencana apa sih yang kalian pikirkan? Kalian sepertinya sangat jenius.
Mungkin ini adalah langkah awal kalian agar 7 saudara kembar itu menyukai kalian.
Dan paman Amato? Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu darimu.
Salam,
Ruru
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top