29 - Good night

Ruangan serba putih yang awalnya dipenuhi dengan ketegangan itu akhirnya sudah bisa bernafas lega tatkala orang yang mereka tunggu akhirnya sadar. Gempa dan Halilintar langsung datang saat mereka mendapat kabar bahwa [Name] telah sadar. Tentu saja mereka meminta izin sekolah terlebih dahulu.

Keadaan perempuan itu sekarang sedang kembali tertidur lelap entah karena lelah atau semacamnya. Tapi mereka tidak perlu khawatir lagi karena semuanya sudah aman. [Name] masih akan bersama mereka dan terus bersama mereka selamanya.

Solar yang dari kemarin malam tidak tidur dan terus menunggu disamping [Name] juga sedang tertidur disofa dengan mata sembab. Tentu saja mereka sudah memaklumi tindakan Solar itu, karena mereka pun juga merasakan hal yang sama. Takut ditinggalkan lagi untuk yang kedua kalinya.

Halilintar dan Gempa sudah berbincang dengan dokter. [Name] bisa pulang dalam seminggu karena pemulihannya cepat sekali. Tiba-tiba sel-sel yang hancur ditubuhnya membaik sepuluh kali lipat cepatnya dibanding saat hancur. Ramuan milik Solar benar-benar berhasil dan itu adalah hasil yang memuaskan.

Ia sudah dipindahkan kamar dari ruang Icu kekamar lain. Ia sudah sadar jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Solar juga sudah mulai akan berhati-hati saat meninggalkan ramuannya itu. Dia tidak akan menaruh ramuannya sembarangan lagi.

Mereka juga masih dibingungkan dengan pencuri dan alasan kenapa [Name] bisa berada disana dengan keadaan mengenaskan seperti itu.

Halilintar makin tidak bisa membiarkan ini. Memang benar kata polisi tua satu itu, sepertinya ayahnya ada hubungan dengan gadis yang dibincangkan semua orang itu.

Mungkin kejadian yang menimpa [Name] juga salah satu ulahnya.

Mungkin ia akan bertanya alasan mengapa [Name] berada disana malam itu. Dan juga seolah mencari sesuatu yang hilang saat itu dengan tergesa-gesa. Seharusnya ia mengikuti perempuan itu agar tidak terjadi hal seperti ini.

Tapi melihat ia masih hidup dan bersama mereka. Halilintar menghembuskan nafas lega tanpa diketahui oleh adik-adiknya yang lain.

Yah, mau bagaimanapun. Halilintar itu Tsundere bukan?

Ia melirik kearah jam tangannya. Menunjukkan jarum pendek yang menunjuk ke arah angka 12. Sudah tengah hari, sudah saatnya pulang untuk makan siang dan sholat. Sisanya mungkin akan berjaga disini.

"Ayo pulang dulu. Cukup satu atau dua orang saja yang menemani [Name] disini," ujarnya. Mereka terdiam, saling menatap satu sama lain sebelum Ais tiba-tiba angkat tangan. "Biar aku dan Solar saja. Kebetulan Solar juga sedang tidur."

"Ta-tapi aku juga--" baru saja Taufan hendak menolak. Tapi ia lebih dulu ditarik oleh Halilintar untuk pergi dari sana. "Baiklah, jangan membuat kekacauan," pesan Halilintar sebelum pergi. Sisanya mengikuti kakak sulungnya itu dan menyisakan Ais, Solar dan [Name] yang tengah tertidur.

Tidak apa-apa. Walaupun sendiri, Ais bisa mengatasi hal ini.

Dan dia perlu membincangkan beberapa hal kepada [Name] atas kejadian kemarin.

.

.

.

Kau membuka mata begitu rasanya tubuhmu merasa sangat segar, entah kenapa. Kau melihat kekiri dan kekanan untuk mencari seseorang selain dirimu. Matamu terhenti ketika mendapati seorang pemuda sedang tertidur lelap diatas sofa. Kau tidak tau itu siapa karena dia memakai baju biasa dan tidak memakai topi. Dan juga matanya tertutup.

Suara derit pintu membuatmu menoleh ke arah sebaliknya. Disana ada pemuda lain beriris aqua yang terhenti begitu mendapati dirimu telah sadar. Ia kembali berjalan mendekat dan menghampirimu.

Cahaya jingga kemerahan yang menembus dari jendela menandakan bahwa hari telah sore. Kau menghela nafas mengetahui sudah jam pulang sekolah. Setidaknya mereka tidak perlu bolos sekolah untuk menjagamu.

Ais yang dari tadi mengobrak-abrik isi belanjaannya, mengeluarkan sebotol air mineral yang kemudian dia tuang ke gelas di atas meja. Selanjutnya menyerahkan segelas air itu padamu dengan tatapan datarnya. "Minumlah."

Kau menerima gelas itu dan mulai minum dengan perlahan. Rasanya tenggorokanmu yang kering itu akhirnya basah. Segar juga rasanya dan jangan lupa berterima kasih pada sang beruang kutub. Untunglah ia membeli air mineral.

Ais menyeret sebuah kursi dan duduk didekatmu. Ia mengambil sebungkus camilan dan mulai memakannya sendrian. Tentu saja, kau harus sadar bahwa pasien rumah sakit dilarang memakan keripik kentang berbumbu pengawet yang sangat dilarang untuk orang baru sadar. Kau harus sabar, setelah keluar dari sini maka kau bisa makan sepuasnya.

Ais berhenti makan dan meremas cemilannya tersebut. "Yang menyerangmu waktu itu bukankah ada salah satu dari anak yang membullyku waktu itu?" Ujarnya tiba-tiba yang membuatmu tersentak kaget. Kau lantas menoleh kearah Ais dengan wajah bingung. "Bagaimana kau bisa tau?"

Ais diam sejenak lalu melanjutkan, "Aku hanya menebak."

"Oh." Kau baru saja berpikir apakah Ais memiliki kekuatan untuk membaca pikiran. Tapi walau cuma tebakan, bisa benar seperti sangat luar biasa.

"Aku mendapat kabar beberapa hari lalu mengenai tiga pembully itu," Ia menatapmu dengan iris aquanya. "Dua dari tiga orang itu telah tewas, ditemukan di belakang sekolah dengan keadaan jantung mereka ditusuk. Yang menemukan mereka saat itu adalah temannya yang sisa satu orang itu." Jelasnya. Kau terdiam dan bulu kudukmu berdiri, jelas apa yang dikatakan pemuda itu malam itu, temannya telah dibunuh.

Dahimu berkerut, "gadis itu pasti yang telah membunuhnya."

Ais mengangguk.

Kau memegangi dahimu, ingin berpikir. Jelas sekali gadis itu membunuh dua sisanya karena mereka gagal membuat Ais mengadu kepada Gempa dan membuat masalah. Itu pasti, dia pasti marah karena rencananya telah gagal satu persatu.

Lalu satu lagi alasan mengapa salah satunya dibiarkan hidup adalah masalah yang belum kau mengerti. Mungkin sebab ramuan emas itu tapi entahlah. Untuk apa dia melepaskan pemuda itu kalau ujung-ujungnya dia bunuh juga dengan meminumkan ramuan emas itu padanya. Sungguh sesuatu yang bahkan tidak terpikirkan olehmu, cara berpikir gadis itu sangat berbeda sekali denganmu.

Tipikal psikopat seperti itu.

"Oh iya Ais, apakah--"

"Assalamualaikum."

Terdengar suara salam ramai dari pintu yang terbuka. Menampilkan para pemuda-pemudi yang familiar dimatamu. Mereka semua masuk tanpa membuat kebisingan yang berlebih.

"Kakak baik-baik saja? Kami dapat kabar kalau kakak sekarat." Yaya yang memulai percakapan, gadis disebelahnya mengangguk, menyetujui ucapan Yaya. Kau tersenyum tipis, "Aku sudah baik-baik saja, terima kasih telah khawatir."

"Apanya yang baik-baik saja? Kakak itu hampir mati loh. Jantung Taufan rasanya mau loncat keluar waktu Solar menelpon kalau ramuannya gagal." Taufan tiba-tiba memotong dengan teriakan frustasi. Ia mendekat dan memegangi tanganmu, sesekali menyeka bulir air yang hendak jatuh dari matanya. "Padahal kejadian satunya juga sudah membuat semuanya cemas, luka bakar itu aku yakin tidak hilang dari punggungmu." Mata biru milik Taufan terlihat berkaca-kaca. Kau mengelus kepalanya pelan, "Yang penting aku masih disini."

Dia mengangguk lalu tersenyum. "Benar."

"Ngh!" Rintihan pelan terdengar dari sofa. Terlihat pemuda--yang tidak kau ketahui siapa--duduk dan mengucek matanya sebelum akhirnya mata kelabunya bertatapan dengan matamu. Ia hendak berbicara namun mulutnya kembali tertutup.

"Solar! Solar! Wah akhirnya Solar bangun. Duri bawain makanan buat Solar nih." Duri mendekati Solar dan menyerahkan bekal makanan ke tangan Solar. Solar menerima bekal itu dan tersenyum kepada kakak keenamnya itu, "Terima kasih, kak."

Fang yang dari tadi diam akhirnya buka suara, menyuarakan rasa penasarannya. "Kak, kalau boleh tau, kenapa kakak bisa berada digang gelap itu bersama anak-anak yang dikaitkan adalah bawahan dari gadis itu?"

Kembar Boboiboy yang lain lantas tertegun. Fang dengan mudah menanyakan itu padahal mereka saja berpikir berulang kali untuk menanyakan pertanyaan yang merujuk seperti 'menuduh' tersebut. Apalagi Halilintar yang paling penasaran terhadap hal tersebut.

Kau terdiam sesaat, "Tahu dari mana kalau aku ada di gang gelap?" Fang menunjuk Halilintar dengan dagunya, "Hali, dia yang menemukanmu disana." Yang kemudian mendapat sikutan keras dari Halilintar.

Kau lantas menyernyit. "Kenapa Hali bisa ada disana?"

Mereka semua menatap Hali tak terkecuali si Fang dengan wajah tanpa dosanya. Halilintar mendengus kesal, "Aku mengikuti polisi untuk mencari gadis itu dan menemukanmu disana."

Kau mangut-mangut. "Mencari ayahmu ya?"

Halilintar sedikit tersentak, ketahuan dari tubuhnya yang bergetar ketika kau mengucapkan hal itu. Kau memainkan jari-jarimu tanpa menoleh kepada Halilintar, "Aku minta kau berhenti, jangan cari ayahmu lagi."

"Kenapa?"

"Kau menduga bahwa gadis itu ada hubungannya denganmu, bukan? Aku juga merasa begitu tapi dia terlalu berbahaya untuk diatasi apalagi pemuda umur 17 tahun sepertimu."

"Lalu apa bedanya? Kau juga hanya berbeda satu tahun dariku dan kau membahayakan dirimu dengan pergi ketempat nongkrong mereka." Pekiknya kesal. Yang lain hanya terdiam, tidak ada yang berani memotong ucapan Halilintar ketika dia marah, kecuali Taufan mungkin.

"Jangan berteriak begitu kak! [Name] baru saja sadar." Baru saja dibilang dan Taufan benar-benar membalas perkataan Halilintar tanpa takut. Halilintar memelototi adiknya tersebut. Kemudian memilih untuk beranjak keluar sebelum kata-katamu membuat dia terhenti sesaat.

"Tapi terima kasih. Kalau kau tidak ada disana saat itu, entah bagaimana nasibku." Kau tersenyum miris, "Mungkin aku akan diduga sebagai gadis itu dan mati keesokan harinya."

Halilintar melirik sebentar kearahmu. "Jangan buat hal yang gegabah. Dan aku akan berhenti mencari ayah jadi diamlah dan jangan membuat masalah juga." Wajahnya terlihat memerah saat mengatakan itu. Yang kemudian dia keluar dan menciptakan keheningan yang cukup lama.

"Ah! aku lupa bertanya. Ying, Yaya, apakah guru disekolahmu atau orang lain mengetahui bahwa aku yang merekam video tentang Ais saat itu?" Ujarmu. Mereka saling bertatapan lalu menggeleng, "enggak ada kok kak, kami melakukan apa yang kakak suruh saat itu."

Kau kembali tampak berpikir sebelum tiba-tiba wajah Gopal yang mendekat membuatmu terkejut. "Ish aneh! Mata kau nih kenapa kosong gitu? Kayak orang gak sanggup hidup--umph!" Tiba-tiba tangan Blaze menutup mulut Gopal dan menariknya menjauh darimu.

"Duh maaf kak, Gopal mulutnya memang asal." Lalu ia menarik pemuda gempal itu keluar ruangan.

Kau terdiam sesaat, merasa sedikit bingung namun akhirnya memilih untuk tidak terlalu memikirkannya.

.

.

.

Seminggu sudah berlalu dan ini saatnya menjemput [Name] pulang kerumah. Halilintar sedang pergi untuk ekskul karate. Ais menemani Blaze disekolah karena Blaze sedang ekskul sepak bola, takutnya Blaze mengamuk lagi jika tidak ada yang mengawasi. Solar sedang disekolah juga untuk menyelesaikan pelajaran-pelajaran yang tertinggal akibat diskors. Sedangkan Gempa ada rapat osis. Sisa hanya ada Taufan dan Duri untuk menjemput [Name] pulang kerumah.

Seharusnya begitu namun jadwal karate Halilintar tiba-tiba saja dibatalkan karena sang pembimbing sakit. Mau tak mau Halilintar pun pulang kerumah.

Namun saat berada didepan gerbang sekolah. Ia dicegat oleh dua orang perempuan, satunya tampak malu dan yang satunya tampak antusias.

"Hei! Kau Halilintar bukan? Apa aku salah orang lagi? Kembaranmu terlalu banyak." Perempuan yang antusias itu tertawa tanpa malu. Membuat teman disebelahnya semakin ciut. Dilihat dari pakaiannya, ia tahu bahwa mereka dari sekolah lain, seragam sekolah lain.

Halilintar menghela nafas. "Ya."

"Oh benar Halilintar?" Dia lantas menoleh kiri dan kanan seolah mengecek sesuatu. Halilintar merasa ada yang lain dari tatapan perempuan itu saat menoleh, seolah-olah takut sesuatu. Namun pernyataan Halilintar terbantahkan saat dia kembali melihat ke arah Halilintar sambil tersenyum. "Mau main bersama kami berhubung saudaramu yang lain belum pulang?"

Halilintar mengernyit, "Main?"

Perempuan itu mengangguk. "Menghabiskan waktu sampai saudaramu yang lain pulang dan kalian bisa pulang bersama," ucapannya lantas membuat Halilintar heran. Kenapa dia harus pulang bersama saudaranya yang lain kalau bisa pulang sendiri.

"Tidak, terima kasih." Halilintar melengos pergi namun kali ini ditahan oleh perempuan disebelahnya, ia menarik baju belakang Halilintar. Iyap baju belakang bukan tangannya. Halilintar sontak berhenti dan melihat perempuan yang mukanya sudah memerah itu.

Ia menunduk, "Ja-jangan pergi, ka-kami bilang begini karena pe-peduli padamu." Ia makin erat mencengkram baju belakang pemuda itu. "Kumohon."

Halilintar menghempaskan tangan perempuan itu hingga yang satunya berteriak marah. Ia mendelik tajam, "Aku tidak kenal dengan kalian, jadi jangan ganggu aku." Ia beranjak pergi. Namun salah satu perempuan tadi berteriak marah kearahnya, "Sia-sia kami membuang nyawa untukmu, silahkan saja pergi dan lihat apa yang akan terjadi padamu!!".

"Sudah! Jangan..." perempuan yang tadi pemalu itu tampak menghentikan temannya, berusaha jangan sampai ia memukul Halilintar. Matanya berkaca-kaca entah karena apa.

Halilintar menoleh kearah mereka berdua dengan raut bingung. "Apa yang kau maksud? Membuang nyawa?"

Perempuan itu mendengus kesal. "Dia ada dirumahmu." Dahinya berkerut dan mengigit bibirnya sambil meringis, "Menunggu kepulangan seseorang."

Perempuan itu kembali menatap Halilintar dengan tatapan meyakinkan.

"Gadis itu ada dirumahmu."

.

.

.

Halilintar berlari dengan terburu-buru. Keringat bercucuran ditubuhnya hingga membuat baju seragamnya basah. Suara deru nafas menulikan segalanya. Jantungnya berdetak cepat, entah karena lari atau sesuatu yang lain.

Ia sampai didepan rumahnya. Rumah tempatnya bernaung bersama saudara-saudaranya di pulau rintis. Ia berhenti dan menetralkan nafasnya lalu berjalan dengan biasa menuju pintu.

Jantungnya berdegup kencang tatkala sampai didepan pintu rumah.

"Gadis itu ada dirumahmu."

Ucapan perempuan asing tadi terngiang dikepala Halilintar. Ia menjadi ragu ingin membuka pintu tersebut, padahal ia sudah ada didepan mata.

"Jangan cari gadis itu, dia berbahaya."

Suara lain muncul dikepala Halilintar. Kali ini suara yang sangat familiar.

'Cklek'

Halilintar terdiam ditempat saat pintu rumah tiba-tiba saja terbuka dan menampilkan sosok yang familiar baginya.

"[Name]? Kau sudah pulang rupanya."

Perempuan itu hanya diam saja, dengan masih memakai pakaian rumah sakit. Ia mundur tatkala Halilintar masuk dan menutup pintu.

Tapi ruangan yang sunyi tersebut membuat Halilintar bertanya-tanya. "Mana Taufan dan Duri? Kau pulang bersama mereka bukan?"

Perempuan itu hanya menggeleng.

"Tidak? tapi mereka berdua menjemputmu--"

"Gadis itu ada dirumahmu."

Halilintar terasa tercekat. Ia meraih lengan Perempuan dihadapannya ini dan hendak menariknya pergi.

Berbahaya jika mereka masih berada dirumah ini. Jika Gadis itu benar-benar ada dirumah ini maka mereka berdua dalam bahaya.

Tapi ia terhenti saat yang ditarik justru hanya diam tak bergeming. Halilintar menoleh, "Apa yang kau tunggu? Kita harus keluar dari sini."

Diam beberapa saat hingga tiba-tiba dia maju dan memeluk Halilintar. Halilintar sontak mengangkat tangannya keatas karena terkejut dan tidak tau harus berbuat apa.

"Apa yang kau lakukan? Kita harus kel--"

'Jleb'

Suara yang muncul itu diketahui asalnya darimana saat pelukannya terlepas. Terdapat pisau dapur yang menancap tepat diperutnya. Ia memegangi perutnya tersebut dan jatuh berlutut.

Ia melihat kearah [Name] yang kini melihatnya dengan tatapan--

Mata Halilintar sontak membulat. Sejak kapan tatapan mata [Name] berubah seperti itu? Jelas-jelas [Name] dari dulu hingga sekarang tidak pernah berubah.

Perempuan itu berjongkok dihadapannya dan tersenyum sinis. Ia menyingkirkan poni milik Halilintar dan lantas mencium keningnya.

"Selamat tidur, Ksatria."

.

.

.

TBC

A/n:

Humm chapter kali ini nembus 2000+ kata lagi hehe

Gimana2? Apa yang kalian pikirkan setelah membaca chapter ini?

Halilintar dalam keadaan gawat tuh, harus segera telpon ambulan.

Niu~ niu~

Btw, upnya random hehe sesuai mood

Tapi gak lama2 kok. Dalam seminggu pasti ada update.

Kalo moodku bagus banget mungkin bisa up setiap hari UwU atau dua hari sekali hehe♥♥

Semoga suka~

Salam dingin,
Ursus Maritimus

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top