28 - Penyihir atau Pangeran?
Pemuda itu diam ditempatnya, duduk diam dan tenang didalam kamarnya. Tampak sedang berpikir macam-macam tanpa ingin diganggu oleh siapapun. Kacamata jingga kebanggannya ia taruh begitu saja diatas meja tanpa ada niat untuk memakainya kembali. Jendela pun tidak dia buka sama sekali, sehingga tidak ada satu pun cahaya yang masuk menerangi kamar tersebut.
Tiba-tiba pintu dibelakang terbuka dan menampilkan sosok pemuda lain tengah menatapnya dengan mata hijaunya. Ia tengah ragu-ragu untuk berucap. "Solar, ayo pergi, sudah waktunya sekolah." Hanya kata-kata itu saja yang meluncur dimulutnya.
Pemuda beriris kelabu tadi terdiam sejenak. "Iya kak." Lalu memakai kacamatanya dan lantas pergi keluar menyusul kakak-kakaknya yang lain.
Seorang pemuda beriris biru tampak menyapanya dengan senyum lebar. "Pagi Solar!" Solar tak membalas, ia hanya tersenyum kecut.
Mereka pun berangkat didahului oleh si sulung yang sudah beranjak duluan mendahului mereka dengan langkah cepat. Adik-adiknya mengikutinya dibelakang dengan santai. Sesekali Gempa melirik kearah adik bungsunya itu, "tenanglah Solar, cerialah."
Bahkan ketika sampai disekolah pun, ia sama sekali tidak mengatakan apa-apa dan langsung memisahkan diri dari kakak-kakaknya. Duri selaku kembar yang paling dekat dengan Solar pun hanya bisa terus menemaninya dan berharap dia baik-baik saja. Sampai pelajaran berlangsung dan bunyi bel istirahat, Solar tetap saja muram dengan wajah takut-takut. Tetapi tetap saja Duri mengajak adiknya itu untuk menemui yang lain dan makan siang. Tapi Solar menolak, ia mengaku ingin sendirian saja.
Solar meninggalkan Duri begitu saja. Tapi kali ini Duri tidak mengikuti, Duri hanya diam ditempat sembari melihat punggung Solar yang hilang setelah keluar dari pintu kelas. Tidak apa, sebagai seorang kakak, Duri harusnya mengerti bahwa Solar ingin menyendiri.
Baru saja keluar beberapa langkah. Solar dihentikan oleh pemuda semirip dirinya dengan iris merahnya menatap Solar sambil tersenyum. "Yo, Solar! Duri mana?" Tanyanya. Pemuda serupa dengan iris aqua hanya diam melihat percakapan kakak-adik ini, tanpa berniat menganggu.
"Aku mau pergi sendiri, kalian makan saja tanpa aku." Selepas mengatakan itu, ia hendak pergi namun dihadang oleh Blaze dengan mata berkilat. "Kau sangat sedih, mana bisa begitu," ujarnya. "Ya kan Ais?" Ia menoleh ke adiknya yang dari tadi hanya diam disampingnya.
"Aku mana bisa ceria sepertimu atau kak Taufan. Sudahlah, aku ada urusan." Saat ia hendak lewat, lagi-lagi Blaze tetap menghadangnya. Ais kali ini buka suara, "Kalau kau sebegitu khawatirnya, kenapa tidak bantu kakak supaya sembuh?" Ujarnya yang membuat kedua tatapan beralih padanya.
Orang-orang disekeliling hanya berlalu melewati mereka tanpa peduli topik yang dibahas. Mereka juga tampak tidak peduli dengan kerumunan. Toh, kau tidak perlu takut jika pembicaraanmu kau batasi dengan kata-kata yang sulit dimengerti.
Sontak dahi Solar berkerut mendengar penuturan kakaknya yang hobi tidur ini. "Gimana cara--kau.. kau menyuruhku membuat ramuan penawar?" Solar langsung paham tanpa perlu Ais jelaskan lebih lanjut. Blaze mengangguk setuju dengan rencana adiknya namun tampaknya tidak begitu bagi Solar.
Pemuda itu memalingkan wajahnya, menghadap keramik petak berwarna putih yang tampak retak. "Aku... mana bisa membuat ramuan lagi. Ji-jika gagal gimana--"
"Tidak Solar! Kau pasti berhasil." Suara lain terdengar dibelakang Solar. Ternyata Duri yang baru mau menyusul mendadak terhenti saat kakak-kakak dan adiknya tengah membincangkan sesuatu. Membincangkan sesuatu didepan pintu kelas Blaze dan Ais. Tentu saja Duri ingin ikut, ia juga mau menyemangati adik satu-satunya itu.
"Kalau gagal bagaimana?" Tanya Solar dengan raut wajah sedih. "Yang membuat dia sekarat itu, ramuanku loh."
Duri menggeleng, "Tidak, itu semua bukan salahmu. Jika kakak bangun, mungkin dia akan mencubit pipimu karena mengatakan hal itu." Ia mengucapkannya dengan tegas. "Kakak itu kuat Solar, ia pasti menunggumu untuk membuatnya bangun. Seperti sebuah dongeng yang kubaca dibuku dongeng."
Solar tersenyum miris. "Aku... baiklah. Aku mengerti." Ia menghela nafas dengan agak hendak tertawa geli. Solar mereka telah kembali, tak perlu bersorak ria, kesenangan itu muncul lewat mata mereka masing-masing.
Ais memegang bahu adiknya. "Semoga berhasil." Ujarnya yang lalu ia pergi diikuti Blaze dan Ais. Meninggalkan Solar disana sendiri dengan raut wajahnya yang sudah kembali.
Ia berbalik arah, berjalan kearah Lab. Untungnya tidak ada orang disana karena memang kegiatan Lab sendiri adalah waktu pulang sekolah, sama seperti klub lain.
Ia masuk dan mengunci pintunya, agar ia tidak diganggu oleh siapapun. Tidak perlu khawatir, sesuatu yang dibutuhkan Solar sudah siap tersedia didalam Lab. Ia hanya tinggal menyiapkan ramuan penawar tersebut dengan sempurna.
Tidak peduli apapun, [Name] harus selamat dan kembali kepada mereka semua.
Kepada Solar.
Ia tersenyum tipis lalu memegang beberapa botol. Terkekeh kecil lalu berkata, "Tunggulah tuan putri, aku akan membangunkanmu dari tidur panjangmu."
.
.
.
Hari ini rumah sakit tidak terlalu ramai oleh para penjenguk. Sepulang sekolah, Solar langsung pulang menuju rumah sakit. Meninggalkan kakak-kakaknya yang sedang mengikuti kegiatan klub--kecuali Ais yang mungkin sedang tidur dirumah.
Ia berdiri didepan pintu kamar ruangan dimana [Name] tengah tertidur. Masuk dengan perlahan dan sosoknya terlihat.
Perempuan itu tengah tertidur dengan tenangnya diruang Icu dan tampak tidak akan bangun dalam waktu dekat. Tentu saja, yang ada malah mati bukannya bangun.
Ia mendekat lalu memperhatikannya dari ujung rambut hingga ujung kaki, yang dari pinggang hingga kaki sebenarnya tertutup oleh selimut. Wajah perempuan itu pucat, berbagai penopang kehidupan itu terpasang dipenjuru tubuhnya. Denyut jantung tertampil disebuah monitor dengan bentuk garis-garis merah yang bergerak setiap jantung berdetak.
Solar menggenggam erat ramuan penawar buatannya itu. Tapi seorang perawat masuk dan membuatnya menyembunyikan penawar itu didalam sakunya. Perawat itu senyum sejenak lalu memeriksa keadaan [Name] yang kritis.
"Bagaimana keadaannya?" Tanya Solar memastikan. Perawat itu menoleh lalu tersenyum kecut, "Sel ditubuhnya yang hancur makin lama makin banyak dan mulai menggerogoti tubuhnya. Sekitar satu atau dua hari kemudian, seluruhnya akan hancur dan--" Ia sadar berbicara terlalu jauh dan sontak berhenti saat mata kelabu itu menatapnya takut
"Tidak apa-apa, dia pasti akan baik-baik saja." Kemudian perawat tersebut beranjak dari sana dan lagi-lagi meninggalkan Solar bersama [Name] didalam ruangan.
Solar mengambil ramuan itu dengan tangan bergetar, seolah tidak yakin ingin memberikan ramuan itu padanya.
Bagaimana kalau gagal?
Ia menggeleng, menepis perkataan itu kuat-kuat. Tentu saja pasti akan berhasil, Solar sudah sangat yakin penawarnya sempurna.
"Aku... aku akan menyelamatkanmu," ujarnya dengan suara bergetar. Kemudian ia memasukkan penawar cair tersebut kedalam mulut [Name] setelah membuka atribut diwajahnya. Tapi ia langsung memakaikannya lagi setelah penawar tersebut berhasil ia masukkan dalam mulutnya.
Hening.
Tidak ada reaksi apapun. Tapi tetap saja detak jantung Solar berdetak cepat karena takut, sangat takut. Ia takut kalau ternyata ramuan itu gagal dan malah membunuh [Name] lebih cepat.
Tapi saat menoleh kearah monitor yang menampilkan detak jantung. Garis merahnya semakin mengecil setiap berdetak, seolah-olah akan berubah menjadi lurus.
"Tidak."
.
.
.
Malam makin lama semakin larut. Pengunjung juga makin lama makin berkurang. Ketujuh pemuda itu ada disana dengan raut wajah takut mereka masing-masing. Menatap pintu ruang icu dengan takut-takut.
Solar selaku pelaku sendiri sedang duduk dengan wajah ketakutan. Berkali-kali bergumam seolah sedang merapal, mengulangi kata "jangan mati" berulang-ulang. Membuat kakak-kakaknya merasa kasihan dengan Solar sekaligus khawatir. Tapi mereka tidak ada satupun yang menyemangati Solar karena mereka pun sama takutnya.
Pintu ruang icu terbuka dan menampilkan seorang perawat keluar dengan tergesa-gesa. Taufan yang melihat hal itu langsung berdiri dan menghadang sang perawat, "bagaimana? Apa yang terjadi padanya?"
Perawat itu mengigit bibirnya. "Tiba-tiba saja penghancuran sel tubuhnya makin cepat dari sebelumnya. Diperkirakan besok pagi, seluruh tubuhnya akan hancur." Perawat itu berucap dengan tidak tega. Namun ia harus menjawabnya karena Taufan yang tampak memaksa.
Mereka semua yang mendengar itu sontak merasa bahwa jantung mereka telah terlepas dari tempatnya.
"A-apa?" Taufan sontak meluncur kebawah dan terduduk. Yang lainnya pun terdiam karena ketakutan mereka semakin menjadi-jadi. Solar sang pelaku, tubuhnya bergetar hebat lalu tanpa sadar air mata keluar dari pelupuk matanya dan meluncur bebas membasahi pipi dan kacamatanya.
"Memang dari awal aku bukanlah pangerannya. Aku adalah sang penyihir yang memberikan apel beracun, "suaranya bergetar. "Apapun yang kulakukan, aku hanyalah seorang penyihir." Suaranya tenggelam oleh tangisan. Mereka semua terdiam tanpa bisa melakukan apa-apa.
Duri tiba-tiba datang mendekat dan memeluk adiknya itu dengan erat. "Tidak Solar, seorang penyihir pun bisa menyembuhkan sang putri." Ia bergumam kecil di telinga adiknya. "Seperti Maleficent yang membangunkan Aurora dengan cinta yang tulus."
.
.
.
Semuanya sudah selesai. Subuh sebelum matahari terbit, Solar sudah ada disana dan duduk disamping [Name]. Menatapnya sendu.
Sudah tidak ada harapan.
Ia mengigit bibirnya agar tidak menangis. Ia ingat kata-kata dokter tadi malam. Sekitar 13 jam dari malam itu, seluruh tubuh [Name] akan rusak dan dia akan mati.
Tidak ada yang bisa ia lakukan lagi untuk menyelamatkannya. Rencana terakhir sudah gagal total dan malah memperparah keadaan.
Solar tidak sendirian, ia ditemani oleh Blaze, Taufan, Ais dan Duri. Halilintar entah dimana dan Gempa setahu mereka sedang meminta izin untuk mereka karena tidak bisa datang kesekolah hari ini. Tapi Gempa harus tetap bersekolah karena banyak hal yang harus ia urus sebagai ketua osis.
Mereka disini untuk melihat detik-detik kematian [Name]. Jahat memang tapi mereka tak mau beranjak dari sana karena sebenarnya tidak rela sama sekali.
Tidak rela [Name] pergi begitu saja.
"Mau kemana?" Suara Solar terdengar diantara isak tangisnya. Bukan hanya dia namun Duri, Taufan dan Blaze pun sudah terisak dengan gaya mereka masing-masing.
"Jangan pergi," suaranya terdengar lirih.
Cahaya matahari mulai menampakkan cahayanya. Membuat Solar tahu bahwa jaraknya mulai menipis. Ia berharap waktu berhenti saja agar kematian [Name] juga terhenti.
Lagi-lagi air mata meluncur dari pelupuk mata Solar dengan bebasnya. Ia memegangi tangan [Name] dan mengenggamnya dengan erat. "Jangan pergi," isaknya.
"Tinggallah bersama kami. Hiduplah bersama kami. Baik sekarang ataupun selamanya."
Kali ini Solar menangis dengan bebasnya.
"Jangan pernah pergi."
"Karena kau tak sendiri."
Solar semakin menggenggam erat tangan [Name] hingga matahari pun telah terbit. Terdengar suara 'Tit' panjang yang berasal dari monitor. Tanpa menoleh ia sudah tau betul apa arti suara tersebut. Ia sama sekali tidak mau mengangkat kepalanya dan menaruh tangan pucat milik [Name] dipipinya.
Lalu suara 'Tit' panjang itu hilang.
Digantikan oleh suara lembut dan sesuatu yang menyentuh kepala Solar.
"Pagi."
Mata Solar membulat. Ia segera mengangkat kepalanya dan melihat [Name] disana, tersenyum kepadanya. Pemandangan yang sudah tidak dia harapkan lagi karena mustahi. Tapi itu benar-benar dia.
[Name] kemudian bergerak sedikit dan merengkuh pemuda dihadapannya ini. Memeluknya sambil mengelus-elus kepalanya pelan. Tangis Solar pun semakin menjadi-jadi. Keempat kakaknya yang melihat hal itu hanya terpaku sambil sesenggukan.
"Aku takkan pergi, takkan pernah."
Solar membalas peluk perempuan dihadapannya ini dengan erat. "Jangan pergi, jangan... tetaplah disini bersama kami selamanya."
[Name] mengangguk-angguk kecil. "Iya... iya..."
"Jangan pergi lagi..."
Solar menyadari dirinya bukanlah pangeran. Dirinya adalah seorang penyihir yang memberikan sihir tidur pada sang putri dan dia pula yang membangunkannya.
Ya, seperti Maleficent yang membangunkan Aurora dengan cinta yang tulus.
Sekarang dan selamanya, ia akan terus menjadi penyihir yang mencintai sang putri dengan tulus.
.
.
.
TBC
A/n:
Gimana chapter kali ini? Penuh tentang Solar gyahaha!!
Btw kalian tau film maleficent?
Itu cerita tentang penyihir bernama Maleficent yang memberikan sihir tidur pada sang putri dan pada akhirnya dialah yang mematahkan kutukannya.
Aku suka ceritanya tau>< yang belum nonton, nonton gih //dih malah rekomendasi film
Gapapa :v manatau jadi mengerti maksud Duri dan Solar dicerita ini.
Nggak semua penyihir jahat. Walaupun jahat, pasti ada sesuatu dibaliknya gituh.
Semoga kalian suka dengan cerita ini ya hehe<3
Babay~
Salam,
Beruang Kutub
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top