27 - Harapan

Beberapa orang tampak sibuk dengan pekerjaannya. Orang-orang berbaju putih itu keluar masuk dalam satu ruangan dengan tergesa-gesa. Didalam ruangan itu terdapat seorang perempuan tengah tak sadarkan diri. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya babak belur seperti dihantam berkali-kali.

Pemuda bercorak hitam bergaris merah ini hanya duduk dibangku panjang sambil sesekali melirik. Belum ada tanda-tanda mereka akan selesai dengan urusannya.

Ia menggurutu pelan, sedikit takut dengan kejadian barusan.

Ia, [Name].

Ia melihat gadis itu terbaring disana dengan tubuh babak belur dan mulut yang tampak basah, sepertinya habis diminumkan sesuatu.

Keadaannya sangat mengenaskan. Wajahnya pucat pasi entah karena takut atau kelelahan, disekitaran bibirnya yang basah oleh cairan asing berwarna emas dan pakaiannya yang compang-camping. Seolah-olah dia habis dikeroyok sendirian ditengah massa.

Memangnya apa yang dilakukan perempuan itu disana?

Wajahnya tampak berkerut, makin keras ia berpikir tapi tetap tidak menemukan jawabannya sama sekali. Tidak mungkin jika dia adalah 'gadis' yang dibicarakan orang-orang dikepolisian.

Melihatnya mengenaskan begini, maka itu sangatlah tidak mungkin.

'Gadis' yang dibicarakan orang-orang itu kuat dan menakutkan bahkan bisa dibilang tidak manusiawi.

Itu adalah gadis gila sedangkan yang sedang tidak sadarkan diri itu masihlah waras.

Bukannya Halilintar tidak mau mengakuinya. Hanya saja, ia dan adik-adiknya sudah dipesankan hal itu. Kata-kata yang membuat mereka bingung sekaligus takut, namun harus mereka ikuti karena itu adalah sebuah peringatan mutlak.

Tapi satu-persatu adiknya sudah membuka diri pada perempuan itu dan hanya tersisa Gempa dan dirinya. Lambat laun, Solar pun akan luluh dan mengakuinya juga.

Dan mereka juga harus menghadapi konsekuensi yang sama besarnya.

Halilintar harus tetap berhati-hati, tidak semua orang bisa dipercaya termasuk perempuan yang selama beberapa minggu ini terus-terusan bersama mereka.

Akhir-akhir ini, [Name] mulai bersikap aneh. Dia jadi pelupa dan kadang tidurnya malah mengalahkan rekor tidur Ice dalam sehari.

Bukan itu saja, pelupanya terlalu akut hingga lupa untuk memasak makan malam ataupun sarapan sehingga Gempa mulai mengambil alih tugas itu kembali. Terkadang saat mereka baru pulang, disana ia masih tertidur dengan tenangnya.

Malah kadang tertidur dimeja makan saking ngantuknya.

Sifatnya memang berubah, pertama kali ia sama sekali tidak tersenyum namun lama-kelamaan bahkan ia sudah bisa terkekeh atau sekedar bercanda.

Tapi tetap saja, tatapan matanya tidak pernah berubah.

Tatapan mata sejak kecil itu, tidak pernah berubah hingga sekarang.

Tatapan yang kosong.

Seolah-olah ingin mengakhiri hidupnya sekarang juga.

Menakutkan. Hanya itu satu-satunya kata yang dipikirkan Halilintar untuk mengomentari tatapan dari [Name].

Tapi selain dari itu semua, masakannya masihlah enak, sangat enak malah.

Halilintar ingat sekali bahwa [Name] pernah mengatakan bahwa dirinya adalah seorang koki di cafe terkenal. Bisa jadi kemampuan memasaknya yang luar biasa itu bisa membawanya menjadi koki profesional.

Tapi terdengar janggal.

Sangat janggal.

Seolah ada sesuatu yang menyangkut dari penjelasan hidup [Name].

Dimana ia mengaku seorang koki, menjadi seorang koki karena tidak sengaja menghidangkan makanan lezat pada seseorang yang ternyata adalah koki.

Dan menjadi koki di cafe terkenal dengan bayaran yang lumayan besar.

Itu benar-benar terdengar janggal sampai rasanya Halilintar tidak mau mempercayainya sama sekali.

Seorang laki-laki dewasa dengan memakai setelan putih keluar dari ruangan sambil melirik kiri kanan. Mengetahui apa yang sedang ia cari, Halilintar beranjak dari tempat duduknya dan mendekati dokter tersebut.

"Kamu saudara dari gadis didalam?" Tanyanya, Halilintar mengangguk mengiyakan. Ia berdehem sejenak, "Luka yang didapatnya terlalu parah. Tulang rusuk bagian kiri patah dan aku mendapatkan sesuatu yang aneh."

Halilintar mengerutkan dahinya. "Apa itu?"

"Bagian sel tubuh didalamnya perlahan-lahan menghancurkan diri dan diperkirakan dalam waktu 3 hari, semua sel ditubuhnya akan hancur dan dia akan tewas."

Mata Halilintar membelalak terkejut. Suaranya terdengar tercekat, "Kenapa--"

Dokter tersebut menghela nafas dan menunjukkan sebuah cairan didalam tabung kecil. Itu mirip seperti cairan emas yang berada dimulut [Name] sebelumnya. Sepertinya memang benar-benar ada sesuatu dicairan tersebut. "Barusan diteliti dan penyebab semuanya adalah cairan ini," dokter tersebut menggoyang-goyangkan tabung kecil itu dan membuat isinya terguncang.

"Aku penasaran, siapa yang membuatnya," ujar dokter itu dengan nada sedikit terpana(?).

Halilintar memutar otak. Lalu kemudian sebuah nama terbesit dikepalanya.

Ya, siapa lagi kalau bukan anak itu.

.

.

.

"Apa!? [Name] dirumah sakit!?"

Teriakan melengking itu berasal dari pemuda beriris biru. Ia tampak terkejut sekaligus khawatir, itu tersirat dari kedua matanya. Yang lain pun juga sama khawatirnya, lagi dan lagi, perempuan itu berkali-kali mendapat kemalangan.

Dan sekarang, ia berada dirumah sakit untuk kedua kalinya.

"Masalah apa yang membuat dia berada dirumah sakit untuk kedua kalinya?" Kali ini terdengar Gempa berseru, merasa penasaran. Halilintar menghembuskan nafas sejenak, "Aku menemukannya berada di gang gelap dengan tubuh babak belur dan.."

Halilintar melihat kearah Solar yang sontak menunjukkan wajah bingung. "...terdapat sisa cairan emas disisi bibirnya."

Solar yang mendengar itu langsung melotot tak percaya. Taufan langsung menoleh kearah Solar, "jangan-jangan, itu adalah ramuan Solar yang hilang itu?" Ia berseru. Membuat yang lainnya juga sontak melihat kearah Solar, dimana dirinya juga terlihat terkejut.

"Kenapa? Kenapa ramuan itu bisa--" Ia terbata-bata, daripada rasa terkejutnya, ia lebih menunjukkan rasa ketakutan yang luar biasa lewat matanya yang kelabu. "Itu berarti.. dia sekarat?"

Pemuda beriris ruby tersebut mengangguk. Hal itu malah membuat raut wajah Solar berkali-kali jauh lebih ketakutan. Ia melangkah mundur karena rasa sakit yang tiba-tiba menyerang kepalanya. "A-aku seharusnya tidak membuat ramuan itu."

"Kalau dia mati berarti.. itu salahku. Aku pembunuh!" Sontak ia teriak membuat saudaranya yang lain terkejut. Duri yang berada disampingnya langsung menarik tangan Solar yang memegangi kepala. "Tidak Solar! Tidak! Kau bukan pembunuh." Duri meyakinkan lewat matanya tapi tetap saja Solar merasa takut.

"Aku membunuh. Dan juga, kenapa harus dia..." suaranya bergetar. Duri merengkuh Solar dalam pelukannya seraya menepuk-nepuk pelan bahunya. "Tidak Solar. Kau tidak membunuh dan kakak akan baik-baik saja. Aku yakin." Suara Duri terdengar seakan berbisik. Solar hanya diam, wajahnya tenggelam dibahu kakak kelimanya itu.

Gempa yang melihat kejadian itu sontak melihat kakak pertamanya dengan tatapan ingin tahu lebih jauh. Halilintar memakluminya, ia memalingkan wajah. "Aku meminta ikut ketika katanya mereka ingin menangkap gadis itu."

Mata Gempa membulat. "Gadis yang akhir-akhir ini berbuat onar di pulau rintis?" Halilintar mengangguk kecil.

"Tapi saat aku kesana. Hanya ada beberapa orang yang tergeletak ditanah termasuk dia." Halilintar melihat kearah Duri yang masih menenangkan Solar. "Disana kacau sekali, hanya [Name] satu-satunya yang paling babak belur dan cairan itu--" ia menghentikan bicaranya agar tidak terlalu tau. Tanpa perlu menjelaskannya, Gempa sudah mengerti.

"Dia bukan gadis itu kan?"

Alih-alih menjawab, Halilintar berjalan menuju Solar yang sudah duduk diam ditemani Duri yang masih mengelus-elus punggungnya. "Pergilah kesana, temani dia."

"Kak! Tapi Solar sedang seperti itu.." Taufan menyahut dengan nada kesal. Halilintar tak menoleh, ia melanjutkan jalan hingga sampai dikamarnya.

"Aku akan pergi." Ucap Solar tegas. Ia terdengar sudah yakin sekali dengan keputusannya. Yang lain juga mau tak mau menerima keputusan Solar.

Solar tidak boleh putus asa terlalu jauh.

.

.

.

Tempat yang kosong dan berwarna putih adalah sesuatu yang pertama kali terlihat ketika kau membuka mata. Berpaling kearah manapun, semuanya tetap sama, hanya ada putih.

Lantainya putih seolah tidak ada tempat untuk berpijak. Dengan ragu-ragu, kau melangkahkan kakimu kedepan dan tiba-tiba lantainya berubah menjadi cermin. Menampilkan dirimu tengah menatap dirimu sendiri dicermin itu.

Rambut tergerai dan baju putih polos tergantung ditubuhmu. Begitulah dirimu yang ditampilkan oleh cermin dbawahmu. Merasa sudah menatapnya cukup lama, kau lanjut melangkahkan langkahmu hingga tiba-tiba ruangan tersebut penuh dengan sesuatu seperti kertas film yang menampilkan banyak film singkat yang terasa familiar bagimu.

Kau tampak tidak peduli dengan segala hal yang ditampilkan. Kau terus berjalan maju hingga tiba-tiba kertas film itu hanya menunjukkan sesuatu yang hitam.

Kau sontak menghentikan langkahmu karena terasa janggal.

Kau perlahan mundur beberapa langkah sebelum kertas film tersebut hitam. Disana seperti memorimu, dimana kau tergeletak ditanah dengan sebuah kaki diatas kepalamu. Lalu kaki tersebut hilang dan berganti dengan rambutmu yang ditarik dengan kasarnya, membuatnya lepas beberapa helai.

Disana terdapat seseorang yang asing bagimu menenggakkan isi ramuan itu kemulutmu. Kau berusaha menolak tapi tenaga tidak mendukung.

Pada akhirnya ramuan keemasan itu terteguk sampai habis dan dirimu merasakan sakit disekujur tubuhmu. Seakan satu-persatu tulangmu dipatahkan secara perlahan-lahan, meninggalkan rasa sakit yang pelak membuat kesadaranmu semakin menghilang.

Orang-orang didepanmu tertawa. Pemuda sma yang sebelumnya memukul belakang tubuhmu dengan kayu tampak menatapmu serius. "Ini semua salahmu, kau membunuh dua temanku. Ini salahmu."

Kemudian menggelap.

Dan disanalah dirimu, berada diujung kertas film yang tampak sobek. Seolah-olah semuanya berhenti disana, nafasmu tercekat.

Aku mati.

Kau melirik kesamping dan menemukan seseorang yang serupa dirimu, sangat mirip hingga tampak seperti dirimu. Tapi tatapan matanya berbeda, sangat berbeda.

Tatapan yang dipenuhi kebencian.

Dia melangkah maju dan berada tepat dihadapanmu. Kau jadi dapat melihat wajahnya dengan jelas. Wajah yang tatapannya bengis itu, kau mendapati wajahnya yang tersayat diberbagai sisi dan matanya yang bengkak seolah habis menangis.

Apakah itu aku?

Tangan kanannya terangkat kemudian mendorong bahumu tanpa tenaga yang kuat, seakan hanya
membelai. Tapi dirimu terjatuh hanya karena sentuhan itu dan melihat wajahnya saat itu.

Ia tersenyum tipis, sangat tipis dengan raut kesedihan diwajahnya.

Kau membuka mata sesaat setelah terjatuh dan menyadari bahwa tidak ada rasa sakit.

Kini dirimu berada diruangan lain. Seperti salah satu ruangan yang berada didalam rumah. Ruangan tersebut kosong dan sunyi namun terdapat beberapa balon yang memenuhi setiap sisi. Saat sedang menyisir ruangan, pandanganmu terhenti pada seorang anak kecil yang meringkuk didekat meja belajar. Tubuh kecilnya terlihat bergetar.

Kau mendekatinya dan jongkok didepannya. Kemudian menyentuh rambut coklatnya yang dihiasi beberapa helai rambut putih.

Kepala anak itu terangkat dan mata rubynya menatapmu lekat. "Kenapa kau sendirian disini?" Tanyamu.

Anak itu tampak sedih, "mereka semua sedang merayakan pesta ulang tahun. Mereka tidak tahu jika aku takut balon." Suaranya bergetar. Kau lantas bergerak untuk mengambil semua balon yang berada disetiap sisi ruangan dan menerbangkannya lepas diluar jendela. Kau melihat anak itu yang juga melihat kearahmu, "sudah hilang."

Anak kecil itu tersenyum sambil menghapus air mata yang ada dipinggir matanya. "Terima kasih."

Kau kembali membuka mata dan mendapatimu dirimu di tempat lain lagi. Kali ini kau berada seperti taman yang ada dipulau rintis. Kau sedang duduk diayunan dan disebelah ayunanmu ada anak bersurai coklat yang juga duduk diayunan. Tetapi dia menunduk dan tampak bersedih.

"Kenapa?" Suara itu meluncur dari mulutmu begitu saja. Anak itu dengan iris birunya menoleh melihatmu. "Aku sedih, hatiku sedih, tapi aku tidak mau orang-orang disekitarku ikut bersedih." Akunya dengan wajah sendu. Dia menatap bayangannya sendiri yang tampak membesar.

"Kalau begitu tertawalah, tidak peduli seberapa sedihnya itu, tertawalah sehingga beban itu hilang. Luapkan dengan cara lain seperti bermain skateboard atau memasak kue."

Anak itu tampak terpana, terlihat dari sepasang mata birunya yang berbinar-binar. Senyuman lebar terpasang diwajahnya, "Terima kasih."

Lagi-lagi kau membuka mata dan mendapati dirimu ditempat yang berbeda pula. Kau sedang duduk didepan seorang anak kecil yang mata emasnya menatap benci dengan beberapa buku pelajaran diatas meja.

"Kau benci belajar?" Tanyamu yang membuat anak itu melirikmu. "Aku benci, sangat benci." Ia terdengar kesal tapi pada akhirnya wajahnya tetap sedih.

Kau mengambil salah satu buku dan mendekapnya erat. Anak tadi bingung melihat perilakumu. "Aku suka belajar, aku suka buku, aku ingin menjadi buku." Ungkapmu. Anak itu mengerutkan dahi, "kenapa?"

"Karena orang-orang akan memperhatikanku, membacaku, membawaku dan mempelajari diriku." Mata anak itu berkilat sedikit kagum. "Kau.. suka buku?"

Dia mengangguk yang membuatnya sedikit menggemaskan. "Ya."

"Aku suka buku, aku suka belajar, dan aku menyukai kamu."

Kau membuka mata untuk kelima kalinya. Sekarang kau berada sebuah lapangan dan duduk berdampingan bersama seorang anak kecil yang sedang memeluk bola. Wajahnya benar-benar terlihat kesal.

"Dimarahi?" Tanyamu. Ia menoleh dengan iris merahnya. "Mereka bodoh, padahal aku hanya melakukan apa yang aku suka. Tapi mereka marah dan melarangku ini dan itu." Dia memprotes lalu kembali memeluk bolanya dan semakin erat.

"Lakukan apa yang kau suka. Tidak peduli apapun yang mereka katakan. Kalau kau tidak salah, kenapa harus merasa sedih?"

Matanya memancarkan semangat. "Benar. Aku melakukan apapun sesukaku."

"Tapi jangan melukai orang lain. Jangan membuat orang-orang merasa rugi karena perbuatanmu."

Ia mengangguk semangat. "Tentu." Kemudian mengajak pingky promise. Saat kau hampir menyentuh kelingkingnya. Kau berubah tempat lagi.

Kau berada dikamar dan saat berbalik kebelakang. Ada seorang anak kecil yang berbaring dikasurnya. Mata aquanya menatapmu dengan mata yang sembab.

"Kenapa?" Tanyamu.

"Orang-orang itu selalu mengangguku. Mereka melempariku dengan batu dan merobek bukuku." Ia terdengar kembali terisak. Kau mendekat dan mengelus rambut coklatnya. "Tidurlah, lupakan semuanya, berlabuhlah dalam mimpi seolah mimpi adalah duniamu. Lupakan mereka, anggap mereka hanyalah bagian dari mimpi yang akan hilang."

Anak itu menutup mata, "Iya."

Kau berpindah tempat lagi. Kali ini berada di sebuah padang bunga yang luas, entah dimana. Seorang anak kecil berlari kearahmu dengan menginjak-injak bunga hingga mereka layu.

Mata hijaunya menatapmu. Kau menghentikan aksinya. "Jangan, kasihan bunganya."

"Kenapa?" Tanyanya. "Kan hanya bunga."

Kau menggeleng lalu jongkok menyamakan tinggimu dengannya. "Bunga itu makluk hidup. Mereka itu saudara."

Anak kecil itu terkejut dan menutup mulutnya. "Saudara?" Ulangnya. Kau mengangguk. Ia menatap bunga-bunga itu dengan raut sedih. "Maaf ya bunga." Ujarnya.

Lalu dia memetik beberapa bunga, memilinnya dan berubah menjadi mahkota bunga yang indah. Dia terkekeh, "aku takkan menginjak atau menghancurkan bunga lagi, tapi merangkainya dan membuatnya jauh lebih indah."

Ia kemudian meletakkan mahkota bunga itu dikepalamu.

Lagi-lagi tempatmu berubah. Kali ini lagi-lagi didalam sebuah kamar dan ada seorang anak kecil, menatapmu dengan mata kelabunya. Ia duduk di meja belajar dengan bermacam-macam buku.

"Kau sangat rajin ya." Ujarmu.

Dia hanya diam sambil terus memperhatikanmu.

"Kau mau kemana?" Tanyanya. Kali ini terdengar serius. Kau agak terdiam sesaat karena bingung dengan pertanyaannya.

"Kemana?" Ulangmu.

"Jangan pergi."

Tiba- tiba dari pintu kamar tersebut, memancar cahaya putih yang terang. Kau sontak melihat kearah pintu tersebut. Kau merasa penasaran, hingga tak sadar kau melangkah maju dan hendak menggapai gagang pintu sebelum sebuah suara kembali menghentikanmu.

"Jangan pergi."

Kau berbalik, mendapati anak itu--bukan, pemuda itu. Dengan mata kelabunya yang menatapmu erat dan tangannya yang beralaskan sarung tangan, menggenggam lenganmu dengan erat.

Pemuda--yang seharusnya anak kecil--itu tampak menatapmu sendu dengan bingkai mata berwarna oranye yang menghiasi matanya. Pakaiannya yang berwarna putih dicampur perpaduan kelabu dan oranye tampak mencolok.

"Jangan pergi." Ucapnya lagi dengan lirih.

Kau mengangguk. "Aku takkan pergi."

Tiba-tiba saja, ruangan tersebut retak dan mulai hancur. Tapi baik dirimu maupun anak itu sama sekali tidak merasa ketakutan. Ia tersenyum yang membuat wajahnya terlihat manis.

"Tinggallah bersama kami. Hiduplah bersama kami. Baik sekarang ataupun selamanya."

Kemudian pemuda itupun juga mulai menghilang.

"Jangan pernah pergi."

"Karena kau tak sendiri."

.

.

.

TBC

A/n:

Yhaaaa... panjang bet chapter kali ini. Fuh! //mengelap dahi

Nembus 2000+ kata hahaha!!

Capek gak kalian bacanya? -'

Atau seru? Hehe

Gimana chapter kali ini? Lumayan membingungkan?
Iya, Author juga bingung :) //digebuk massa

Semoga kalian suka~

Salam penuh cinta,
Beruang kutub

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top