25 - Pencuri

"Kau... tahu dimana ayah, bukan?"

.

.

.

Orang-orang bilang bahwa seorang anak itu memiliki insting yang kuat terhadap ayahnya. Begitu juga dengan kakak pertama dengan insting yang begitu kuat untuk melindungi semua keluarga.

Tak terkecuali dengan pemuda beriris ruby dihadapanmu ini. Ia menatapmu lekat-lekat, berharap kau memberi jawaban yang sesuai dengan yang ia harapkan.

Tapi kau memang seharusnya tidak memberi tahu siapapun tentang ayah mereka, termasuk keluarga mereka sendiri. Hanya kau satu-satunya orang yang dipercaya paman Amato untuk mengurus mereka. Yang artinya, tidak membiarkan mereka untuk tahu keberadaan ayah mereka sendiri.

Walaupun kau sendiri sebenarnya tidak tau lokasi tepat dimana ayah mereka berada.

Bayangkan saja jika kau memberitahu mereka, bisa-bisa gaduh satu rumah. Belum lagi Gempa dan Halilintar akan langsung pergi ke tempat paman Amato karena ingin menyelamatkan ayah mereka itu.

Apalagi paman Amato sedang ditangkap. Paman Amato bukanlah mata-mata sembarangan, meski dia jahil dan ceroboh, dia belum pernah sekalipun tertangkap ketika sedang menjalankan misi. Tapi kali ini... itu membuatmu berpikir bahwa musuh paman kali ini cukup kuat dan cerdas.

Dan ia adalah gadis yang berusaha menghancurkan keluarga paman Amato.

Entah apa alasannya.

Kau memandang kembali bocah sulung itu dengan tatapan polos. "Kenapa kamu berkata begitu? Mana mungkin aku tau, kan?"

Saudara lain yang tadinya harap-harap cemas langsung menghela nafas kecewa.

Kau terkekeh kecil, "Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?"

Yang ditanya diam sesaat, kemudian memalingkan wajah. "Karena kau terlihat tenang-- tidak! Sangat tenang," akunya.

Awalnya kau sedikit bingung dengan ucapan Halilintar. "Tapi, Ais pun juga sangat tenang kan?" Kau menunjuk Ais yang sedang berbaring dikarpet. Ia terlihat melirikmu sebentar lalu kembali memejamkan mata. Lalu kau sadar, dia itu tipe tidak pedulian bukannya sangat tenang.

"Ah, sudahlah!" Halilintar sedikit menggertak kemudian beranjak menuju kamarnya. Sudahlah, lagipula kau tidak ada urusan untuk memperbaiki mood hatinya yang buruk itu. Dan juga, kau sudah terlalu nyaman untuk berdiri dari sofa yang nyaman ini.

Lumayan, istirahat dengan tenang dulu sebelum masalah selanjutnya.

.

.

.

Kau berjalan dengan mengendap-endap saat berhasil masuk kesekolah lewat pagar belakang, tentu saja dengan melompatinya.

Saat ini sedang jam pelajaran sehingga semua murid berada dikelasnya dan dirimu bisa dengan leluasa menyelinap masuk kedalam lab dan mengambil ramuan yang disebutkan paman Amato sebelumnya.

Dan tentunya, kau sudah menghapal denah sekolah sebelum sampai disini. Jadi kau bisa tau dengan mudah letak lab itu tanpa perlu berkeliling sekolah.

Kau mengingat-ingat denah dan berhenti disebuah ruangan. Sebenarnya kau berada diluar sehingga satu-satunya cara untuk masuk adalah melewati jendela.

Tapi tenang saja, kau sudah membawa kawat untuk jaga-jaga jika jendelanya terkunci.

Dipastikan sekeliling benar-benar sepi. Kau mencongkel salah satu jendela dan setelah berhasil, kau cepat-cepat masuk ke dalamnya.

Kau mengelap dahimu yang dipenuhi peluh keringat.

Sudah lama tidak seperti ini.

Oke, saatnya lanjutkan rencana.

Kau memperhatikan sekeliling lab dan matamu terhenti saat melihat beberapa ramuan disebuah meja putih.

Ada banyak ramuan sebenarnya di atas meja itu. Tapi hanya satu ramuan berwarna keemasan saja yang dibedakan sendirian daripada ramuan yang lain.

Sepertinya ini.

Kau mengambil ramuan itu, yang sudah tertutup rapat tentunya. Kemudian melilitnya dengan sebuah kain dan memasukkannya dalam saku jaketmu.

Ini sudah saatnya bergegas pergi sebelum muncul masalah nantinya.

Sebelum keluar dari jendela, kau memastikan diluar aman dan segera kau melompat keluar. Setelah menutup lagi jendelanya dengan rapat, kau kembali mengendap-endap untuk keluar dari sekolah ini lewat pagar belakang sekolah.

Sejauh ini berjalan lancar. Memang benar, ini sangat berbeda dari misi-misimu sebelumnya. Tapi kau tidak boleh meremehkan itu, bisa saja gadis itu tiba-tiba datang didepan matamu dan kemudian merebut ramuan itu.

Entah apa gunanya ramuan itu, tapi tetap harus diamankan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

.

.

.

Kau mendengar ocehan panjang lebar dari ruang tamu. Terdengar Solar tengah depresi karena kehilangan ramuannya yang berharga itu. Kau hanya diam sambil menyeruput teh yang kau buat sesaat sebelum mereka pulang.

"Duh, gimana ini? Padahal ramuan itu belum selesai..." Solar menarik rambutnya sendiri pertanda frustasi. Duri datang dan menepuk pelan bahu adiknya itu, "Sabar Solar."

Kau yang merasa penasaran apa sebenarnya guna ramuan itu, sehingga ingin direbut oleh musuh akhirnya bertanya. "Memangnya, apa gunanya ramuan itu sampai kau begitu panik?"

Solar melihat kearahmu begitu kau bertanya. "Itu sebenarnya kubuat untuk membuat pertahanan pada tulang tubuh lebih bagus dan cepat pulih. Tapi..."

"Tapi?" Ulangmu penasaran.

Solar mendengus. "Karena kurang satu bahan dan aku baru saja membelinya. Ramuan itu belum sepenuhnya jadi dan itu bisa menghancurkan sel tubuh seseorang atau bisa saja orang itu jadi mati."

Prrrfffffttt!!

Teh yang baru saja kau seruput langsung menyembur begitu Solar menjelaskan pasal ramuannya itu. Kau menatapnya dengan mata terbelalak, "Itu berbahaya."

"Kan?"

"Duh jadi kotor." Taufan yang melihat kejadian 'menyemburmu' tadi langsung cemberut saat tempat duduknya basah kena semburanmu. Kau hanya cengengesan dengan wajah tidak bersalah. Kau bergumam 'maaf' dengan sangat kecil.

"Jadi, bahan apa yang jadi pelengkap akhir itu?" Kau lanjut mengobrol dengan Solar. Mengabaikan Taufan yang tengah mengelap tempat duduknya dengan wajah kesal.

"Ini." Dia menaruh sebuah botol plastik berwarna biru. Kau mengucap 'oh' dengan mulutmu. "Sekarang ini untuk apa?"

Solar mengendikkan bahu. "Tidak ada, kau bisa mengambilnya jika mau."

Kau terlihat senang. "Sungguh? Terima kasih." Kau mengambil botol biru itu dan kemudian berjalan menuju kamarmu.

Mereka tidak tau sebenarnya bahwa kau lah yang mengambil ramuan itu.

.

.

.

Bodoh.

Itulah satu-satunya kata yang keluar dari mulutmu begitu ramuan keemasan yang masih digulung kain itu lenyap dari atas meja. Dengan jendela yang terbuka lebar dan gorden yang berterbangan, gadis itu pasti sudah mencurinya, bagus sekali.

Kau merasa bodoh karena tidak waspada sama sekali. Kau lupa karena ini adalah rumah, bukan markas seperti tempatmu sebelumnya.

sial!

Kau berlari keluar dari kamar dengan wajah kesal. Kau membuka tutup botol biru itu dan meneguknya sampai habis. Solar yang melihat itu langsung memelototimu. "Hei! Kau pikir itu cola? Kenapa diteguk habis seperti itu?"

Kau berhenti sebentar dan menatapnya. "Aku kesal."

Setelah itu, kau berlari kepintu dan memakai sepatu. Melihat hal itu, tentu saja sang pemuda beriris merah menghampirimu. "Mau kemana kak? Kok buru-buru gitu?"

Selesai memakai sepatu. Kau segera berlari keluar pintu, namun sempat memberi pesan sebentar. "Aku mau pergi, kalian makan malam lah tanpa aku. Setelah itu tidurlah dan kunci semua pintu, jangan khawatirkan aku."

Setelah itu kau menutup pintu rumah. Meninggalkan mereka semua dengan wajah bingung.

.

.

.

TBC

A/n:

Yahooo!!

Hayoloh malah kecuriankan?

Siapa suruh pelupa? //digebuk ramai-ramai

Salam,
Ruru

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top