10 - Demam
Ketujuh kembar bersaudara itu siap untuk berangkat sekolah. Kau menyerahkan bekal makanan sebelum mereka benar-benar pergi. Tetap saja mereka tidak bisa menolak bekal makanan darimu meskipun si kakak tertua masih menatap bekal itu dengan tatapannya yang mengerikan.
"Kenapa? Kau tidak suka aku membuatkan bekal?" Kau bertanya pada Halilintar yang hanya diam saja dari tadi.
"Bukan begitu. Hanya saja untuk apa kau repot-repot mengurus kami? Umur kami bahkan sudah 17 tahun dan akan tamat sekolah sebentar lagi." Halilintar mengutarakan apa yang sebenarnya ia bingungkan.
Kau menyilangkan tangan didepan dada dan menyender di pintu. "Entahlah, kupikir sifat kalian masih kekanak-kanakan."
"Kami sudah dewasa, jangan anggap kami anak-anak lagi." Solar tiba-tiba nimbrung percakapanmu dengan Halilintar.
"Oh ya? Kupikir kalian belum cukup dewasa. Dan lagi perihal aku yang secara sukarela mengurus kalian, bisa kalian tanyakan pada ayah kalian sendiri nanti." Kau hanya menjawab acuh tak acuh saja, Solar terlihat kesal dengan jawabanmu.
"Bagaimana kalau dia tidak pulang? Bagaimana kau dia tidak akan pernah lagi kembali?" Halilintar menanyakan sesuatu yang sudah bisa kau tebak.
"Dia pasti pulang. Kalau yang kau maksud adalah mati, itu tidak mungkin karena mayatnya bahkan belum ditemukan sampai sekarang. Kalau maksudmu dia meninggalkan kalian, itu malah lebih tidak mungkin lagi." Kau memberikan jawaban dengan cepat. "Tenanglah, aku tau kau selama ini juga mencari tau tentang ayahmu kan?"
"A-aku tidak." Halilintar menjawab dengan gugup, skakmat. Halilintar yang cuek dan mengerikan itu diam-diam khawatir dengan ayahnya dan mencarinya. Kau diam saja tidak mau menanggapi, sudah paham kalau kakak pertama ini memang tsundere.
"Nah Solar, kau jangan pikirkan hal ini dan belajarlah dengan tekun." Solar mendengus dengan sombong dan memperbaiki kacamatanya. "Tanpa kau bilang pun, aku memang sudah mendapatkan nilai-nilai yang tinggi sejak dulu."
Perempatan siku muncul didahimu. "Kuperhatikan dari tadi, kalian memang sangat tidak sopan ya." Kau segera menjitak Halilintar dan Solar didepanmu. "Sudah kubilang panggil aku kakak." Kau terlihat kesal tapi mereka hanya diam saja.
"Pergilah, nanti kalian terlambat sekolah. Aku tidak mau dipanggil kesekolah lagi untuk ketiga kalinya." Kau menggerakan tanganmu dengan gerakan mengusir. Mereka segera pergi.
"Assalamualaikum."
"Walaikumsalam--eh tunggu!"
Mereka berhenti berjalan saat sudah didepan pagar. Kau berlari kearah mereka dan menghampiri Duri.
"Eh ada apa?" Duri terlihat gugup. Kau memegang dahinya yang panas. "Kau tidak usah sekolah hari ini. Solar bisa izinkan untuk Duri?"
"Tentu." Solar menjawab sekenanya.
"Duri gapapa kok. Duri baik-baik saja."
"Tidak bisa." Kau menahan Duri dan mengusir yang lainnya pergi.
"Oh iya Blaze kesini sebentar." Blaze segera mendekat kearahmu dan kau berbisik kecil. Blaze terdiam sesaat lalu mengangguk.
"Hati-hati dijalan. Belajar yang bagus." Setelah itu mereka segera pergi sebelum benar-benar terlambat kesekolah.
"Nah ayo Duri." Kau menarik Duri untuk kembali masuk kedalam rumah.
Kau membaringkannya diatas kasurnya, "jangan kemana-mana."
Kau segera pergi ke dapur untuk mengambil sebaskom air dingin, kain, obat demam dan termometer. Kau kembali kekamar Duri dan Solar lalu duduk disamping ranjang Duri sambil menaruh semua barang-barang tadi diatas meja.
"Lepaskan dulu jaketmu, itu panas." Kau membantunya duduk dan melepaskan jaketnya lalu membaringkannya kembali. Kau juga mengambil topinya dan menggantungnya.
Selembar kain kau celupkan kedalam baskom berisi air es dan memerasnya. Kau taruh kain itu diatas kepala Duri dengan rapi.
Kau menaruh termometer itu dimulutnya dan melihat angka 38°C disana. "Cukup panas. Untung aku melihatmu tadi, jika tidak, kau akan semakin parah nantinya."
Duri hanya diam saja sambil memperhatikanmu. "Kalau perutmu terasa mules atau apa, langsung katakan padaku. Aku tidak bisa membiarkanmu muntah disini."
Duri mengangguk lemah. "Baiklah, terima kasih."
"Tidurlah, aku akan menjagamu disini."
***
Malam itu semuanya--kecuali Duri--kembali berkumpul didepan televisi. Dari tadi kau sibuk bolak-balik kekamar Duri untuk mengecek apakah panasnya semakin naik atau turun. Solar yang melihat hal itu langsung mengusirmu dan berkata kalau dia akan menjaga Duri selagi dia mengerjakan pr dikamar.
Kau kini bersantai didepan dengan wajah yang masih saja gugup. Kau melihat rekaman dari video pengawas yang kau pasang dikebun dan tidak menemukan adanya keganjilan. Hari itu para murid klub berkebun melakukan tugas seperti biasanya.
Kau mendengus kesal, dengan segera kau mematikan handphonemu. Kau memperhatikan televisi yang menampilkan iklan game yang pernah kau bincangkan dengan Blaze hari itu.
Dan ternyata besok adalah hari peresmian tokonya.
"HAAHH!!?" kau dan Blaze teriak bersamaan membuat yang lainnya secara terkejut melihat kearah kalian.
"Besok? Aku mana bisa pergi kalau besok, siapa yang akan merawat Duri kalau aku pergi?" Kau berteriak frustasi.
"Tidaaak! Uangku belum cukup walau game itu sudah diskon sekalipun." Blaze juga berteriak frustasi. Kalian berdua tampak kompak waktu melihat game itu ditampilkan.
"Besok Weekend, kau bisa pergi karena semuanya berada dirumah dan bisa menjaga Duri." Halilintar tampak menyusup masuk dalam ke frustasianmu.
Kau langsung menoleh kearahnya. "Memangnya kalian bisa merawat orang sakit? Bagaimana jika Duri nanti sekarat gara-gara kalian yang malah memberikan obat diare padanya?" Kau semakin bingung begitupun Halilintar yang terperangah mendengar penuturanmu.
"Begini-begini kami sudah kelas 3 SMA. Kami sudah tau mana obat demam dan mana obat diare apalagi ada Gempa disini." Taufan menyela pembicaraan. Gempa yang dipanggil hanya menoleh sambil bingung.
"Ah tidak, pokoknya Duri tidak boleh dijaga oleh orang jahil sepertimu. Bisa-bisa nanti Duri keracunan garam." Kau mencemooh Taufan gara-gara kejadian saat dimana dia menjahilimu dengan banyak gula dan garam.
"Aku tidak sejahat itu untuk melakukan itu pada orang sakit." Dia membela dirinya sendiri, kau menunjukkan wajah tidak peduli. "Tidak peduli, kau tidak boleh menyentuh Duri."
"Tidak masalah lagipula aku harus pergi untuk klub skateboard besok." Taufan menyerah untuk berdebat denganmu. Kau mendapatkan bendera kemenangan untuk perdebatanmu dengan Taufan.
"Kalau begitu kuharap kau digilas skateboard besok." Kau mengolok-olok Taufan lagi. Sebelum Taufan membalas, kau sudah beralis pada Ais didepanmu.
"Hei kau harus ganti perban, sini biar kuganti." Kau menarik kotak P3K disamping kursi yang memang kau letakkan disana kemarin, saat kau selesai dengan perban Ais.
Ais tanpa banyak tanya langsung menyerahkan tangannya padamu. Kau membuka perbannya dan melemparkan bekas perban itu kewajah Taufan sehingga Taufan kesal. "Apa-apaan?"
"Hei bencana, sana buang bekas perbannya."
Taufan terlihat kesal. "Kenapa aku dipanggil bencana?"
Kau memiringkan kepalamu. "Memang bencana kan? Taufan itu kan hanya bisa menghancurkan sama sepertimu. Ga ada manfaat."
"Hei!" Taufan terlihat mengamuk dan hendak melompat untuk berkelahi denganmu tapi Halilintar yang berada disampingnya menahan agar tidak terjadi porak-poranda.
Kau kembali memerban tangan Ais seolah tidak ada hal yang terjadi sebelumnya.
To be continued...
A/n:
Ups salah, ternyata pelakunya belum ditemukan di chapter ini.
Mungkin chapter depan?
Salam,
Ruru
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top