7 - Tolong jaga anak-anak

Terdengar suara berderit saat kamu menutup pintu berbahan kayu tersebut. Kamu terdiam sejenak menatap seisi kamar sebelum akhirnya beranjak mengambil tas besar dan mengisinya dengan pakaian dan barang yang tersisa.

Sesekali tatapmu berlabuh para rembulan yang bersinar terang di malam hari. Dimana cahayanya masuk menembus jendela dan menerangi sebagian kamar yang gelap tanpa cahaya lampu.

Gerakmu terhenti, meremas tas besar tersebut sambil mengernyitkan dahi.

Bukan sekali dua kali rasa overthinking itu menyerang sel-sel di otak dan membuatnya berdenyut hebat. Saking seringnya, rasanya begitu muak dan menyebalkan.

Tidak ada komunikasi yang bisa kamu raih jika membahas tentang ini dengan mereka. Memang benar jika dulu kamu membantu mereka untuk keluar dari masalah. Namun, beda ceritanya jika kamu adalah tokoh utama dari masalah tersebut.

Dan lambat laun, masalah yang dulu hanya benih ini mulai berakar untuk menjadi pohon besar. Menancap kuat pada tanah.

Sesuatu yang tidak bisa lagi dicabut.

Mengapa segala menjadi begitu rumit?

Kenyataan-kenyataan yang menyerang bertubi-tubi tanpa jeda. Membuatmu sadar bahwa hal ini sudah tidak bisa lagi kamu abaikan.

Entah itu soal kamera tersembunyi di dalam kamar atas perbuatan Taufan. Atau juga ratusan foto dirimu yang tersimpan rapi di folder laptop Halilintar.

Kejutan apa lagi nantinya yang akan mereka berikan?

Kamu menghela napas berat. Sejenak, kamu pandangi ponsel milikmu di atas nakas.

Terlalu lama berpikir. Akhirnya kamu raih ponsel tersebut dan menelepon satu nomor.

Satu-satunya orang dewasa yang bisa kamu telepon sekarang.

Amato.

Meski nama itu tertera di layar ponsel dan berdering sejak beberapa detik yang lalu. Kenyataannya, telepon itu tidak diangkat.

Yang membuat rasa kecewamu tidak bisa lagi ditawar.

.

.

.

Kamu mengusap kaca bening cafe karena terlihat kotor.

Pagi ini, di cafe yang baru buka itu. Semua karyawannya beres-beres sehingga jadwal buka cafe jadi agak lambat.

Tetapi entah kenapa masih saja ada pelanggan yang mengetuk pintu bertuliskan 'closed' itu dan enggan pergi sebelum salah satu karyawan memberitahunya bahwa cafe belum buka.

Selagi kamu membersihkan noda pada kaca. Kamu melihat kumpulan anak-anak lewat sambil bersendau gurau. Dan di antara mereka, ada Blaze dan Ais juga.

Begitu tampaknya kamu berpikir mereka berdua mau ke suatu tempat. Bahkan Ais masih membawa tas kampusnya.

Tanpa kamu sadari, ada seseorang yang mengendap di belakang mereka. Lalu tiba-tiba saja menarik tangan Blaze dan melayangkan sebuah belati ke arahnya.

Meski itu terjadi dengan cepat. Nyatanya Ais masih mampu untuk mendorong Blaze dan merelakan dirinya tertusuk.

Teriakan kencang Blaze membuat gema di jalanan. Orang-orang berhenti untuk melihat. Sementara sang pelaku langsung tancap gas untuk lari.

Kamu berlari keluar dari cafe dengan tergesa-gesa. Menghampiri Blaze yang dengan kuat menahan luka di perut Ais. Ais sibuk berusaha sadar, napasnya tersengal.

"Blaze, telpon ambulans!" katamu.

Blaze mengangguk, tangannya yang berlumuran darah itu bergetar hebat saat mengetik nomer darurat di ponselnya.

Daripada itu, kamu memilih untuk berlari mengejar sang pelaku yang masih tampak berlari.

Menembus keramaian. Ketika kamu hampir berhasil meraih pelaku itu. Ia berlari ke arah taman kota dan mengampiri satu sosok yang familiar sedang duduk di skateboardnya.

Belati berlumuran darah itu mengarah ke leher Taufan. Membuatmu terdiam atas sandera yang berada di tangannya.

"Sialan," gerutumu.

"Ap--ukh!" Taufan dicekik untuk bungkam. Sedangkan pelaku tidak bicara apa-apa. Hanya sorot matanya yang menatap penuh emosi.

"Lepaskan dia!" pekikmu. Meski itu justru membuat sang pelaku semakin memutar otak tentang bagaimana cara untuk kabur.

Taufan tidak tinggal diam. Ia menggigit tangan yang melingkar di lehernya itu, dan juga menginjak kuat kakinya. Hal itu membuat ia berhasil melepaskan diri.

Namun belum juga sepersekian detik untuk bahagia. Belati itu menancap di betisnya, membuatnya berteriak kesakitan dan jatuh ke tanah.

"Taufan!"

Ketika belati itu kembali dicabut. Pelaku menarik kaki pemuda itu dan melempar raganya ke danau yang terletak tepat di samping mereka.

Memilih antara Taufan yang tercebur ke danau atau pelaku yang melarikan diri. Kamu lebih memilih untuk melompat ke danau dan menyelamatkan Taufan.

Taufan tidak bisa berenang naik. Kaki kirinya tidak sanggup ia gerakkan. Yang membuatnya justru tenggelam semakin dalam.

Kamu berenang, menarik baju belakang pemuda itu. Lalu berenang ke permukaan.

Setelah mendorong tubuh Taufan ke darat. Lelaki itu terbatuk hebat. Lalu meringis saat menyadari betisnya terluka paling parah.

"Taufan. Bernapas!" Kamu menepuk pipi pemuda itu. "Aku akan membawamu ke rumah sakit."

.

.

.

"Beneran enggak sakit?"

"Sudah mendingan kok," tawa Taufan dikala para saudaranya khawatir.

Meski begitu, rona pucat itu tidak mengartikan bahwa betisnya baik-baik saja.

Ais masih terlelap dalam tidurnya setelah operasi tadi. Jahitan pada perutnya masih basah, karena itu ia terus-menerus tidur dan tidak melakukan apa-apa.

Sementara Taufan bukan tipe yang mudah diam. Berkali-kali ia tak sengaja mengangkat kaki kirinya itu. Bahkan awal terbangun, ia justru turun dari tempat tidurnya dan terjatuh. Beruntung lukanya tak semakin robek.

"Pelakunya masih dicari, aku harap dia mendapatkan balasan setimpal." Gempa menggenggam erat tangannya. Terlihat tidak terima ada perlakuan seperti ini kepada para saudaranya.

"Aneh ya, dari sekian banyak orang, dia menargetkan Ais dan Taufan yang memang sedarah." Solar berkata. "Seolah ada motif lain," ujarnya yang entah sengaja atau tidak, matanya melirik ke arahmu.

Kamu hanya diam, tak menatap balas.

"Dia sebenarnya menargetkanku, tetapi Ais menarikku sehingga Ais yang kena." Blaze memegang erat tangan Ais. "Harusnya aku yang kena saat itu."

"Bang Blaze," lirih Duri.

Suasana sedih itu selesai ketika terdengar seseorang masuk ke dalam ruangan. Saat kami semua menoleh, terlihat sosok Halilintar yang masuk dengan menenteng beberapa tas.

Ia taruh tas itu di lantai. Membuka jaket yang ia pakai dan melipatnya.

"Pulang kalian, biar aku saja yang berjaga disini."

Sebuah cara mengusir pulang yang unik.

"Aku juga bisa bantu jaga, Bang." Gempa mengajukan diri.

"Gempa, pulang."

Melihat tampaknya Halilintar keras kepala. Yang lain hanya bisa meneguk ludah lalu mengajak Gempa untuk pulang saja.

"Hati-hati ya Bang."

Entah kata-kata itu ditujukan untuk Halilintar yang akan berjaga sendirian. Atau justru kepada Ais dan Taufan yang akan dijaga oleh seorang Halilintar.

Begitu semua yang lain sudah keluar. Manik ruby itu menatapmu, memperhatikan sosokmu yang tak juga keluar.

Belum sempat Halilintar membuka mulut untuk berbicara. Kamu memotong ucapannya.

"Jangan terlalu egois."

Ungkapan itu tentu saja membuat Halilintar membelalakkan matanya, terkejut. Namun segera ia mengernyitkan dahi.

"Apa maksudnya?"

Kamu menatapnya lagi. Lalu menghela napas. Segera kamu pergi dari sana tanpa berkata apa-apa lagi. Meninggalkan mereka dalam senyap.

.

.

.

Kamu memasak makananmu sendiri di sore hari karena lapar. Dengan handuk yang masih bergantung di rambut yang basah. Kamu menggoreng sebutir telur di teflon.

Selagi menaruh garam pada telur. Kamu mendengar samar-samar suara batuk-batuk yang tak jauh dari tempatmu berdiri.

Begitu kamu meniriskan telur itu ke piring putih. Kamu berjalan ke sisi luar dapur untuk mengintip.

Dari posisi yang agak jauh. Kamu bisa lihat sosok Solar yang tengah terbatuk di depan pintu kamar miliknya, sambil memegangi dadanya sendiri.

Setelah batuk itu reda. Solar melanjutkan langkahnya untuk kembali ke dalam kamar.

Baru saja kamu mulai berpikir akan sesuatu. Perhatianmu dialihkan oleh nada dering ponsel milikmu yang ada di atas meja makan.

Kamu mengusap rambutmu dan mengeringkannya dengan handuk. Lalu menaruh handuk itu sembarangan di atas kursi.

Setelah duduk dan menarik piring berisi telur itu mendekatimu. Kamu raih ponsel yang terus-menerus berdering itu. Melihat nama familiar di layar ponsel.

Kamu mengangkat teleponnya.

"Halo, paman."

Telepon dari pamanmu, Amato.

"[Name], apa kabar. Paman mendapat kabar kalau terjadi kecelakaan pada Ais dan Taufan. Apa mereka baik-baik saja?"

Pikiranmu berlabuh pada kejadian itu.

"Mereka sedang dirawat dan baik-baik saja."

"Untunglah."

Terdengar helaan napas lega dari ujung telepon.

Tetapi entah kenapa, kamu malas menanggapi pamanmu itu.

"Kapan paman akan pulang?"

"Entahlah, [Name]. Terlampau sibuk, tidak bisa dipastikan." Lagi-lagi alasan klasik lainnya. "Paman titipkan anak-anak paman, ya?"

"Aku bukan tempat penitipan anak," dengkusmu.

Menitipkan mereka pada dirimu sama artinya dengan kamu harus berada di sini lebih lama lagi. Sedangkan tempat ini sendiri tidak memungkinkan kamu untuk tinggal berlama-lama.

Dibanding Amato yang tiba-tiba saja tahu soal sesuatu yang menimpa Taufan dan Ais. Bisa-bisanya lelaki tua itu tidak bertanya apa dirimu baik-baik saja tinggal bersama mereka.

Gila, itu yang kamu pikirkan.

"Siapa lagi yang harus Paman percayai?"

Kamu memutar bola mata.

"Aku bahkan tak percaya padamu, Paman."

Kamu matikan telepon itu secara sepihak.

Kamu kesal. Jika itu cara Paman Amato untuk membelenggumu di tempat ini lebih lama. Maka sudahlah, dirimu sendiri bisa melarikan diri.

.

.

.

Ais dan Taufan sudah terlihat baik-baik saja. Mereka bersendau gurau dengan saudaranya dan terlihat bersahabat.

Sementara kamu duduk di dekat jendela, menikmati angin sepoi.

Tak ada alasan bagimu untuk ikut bersendau gurau bersama mereka. Kamu memiliki mood yang sangat jelek sekarang.

Beruntung saja bukan kebiasaanmu untuk menggorok leher orang lain ketika marah.

Entah ya, kira-kira itu kebiasaan siapa?

"Kak? Mau titip?" Blaze dan Duri muncul di depan wajahmu. "Aku dan Duri mau beli makan."

Kamu berpikir sejenak. "Belikan permen."

"Permen? Oke." Blaze memberikan pose jempolnya sambil nyengir. Dan Duri sudah lebih dulu berlari keluar ruangan.

Ruangan mendadak jadi lebih tenang.

Ada Taufan yang sedang mengunyah apel. Ais yang tidur. Gempa sedang memotong buah apel. Halilintar mengecek suhu tubuh Ais. Dan Solar yang duduk diam memainkan ponsel miliknya.

"Kapan aku bisa pulang?" tanya Taufan.

Halilintar mengambil kursi, duduk di dekatnya.

"Setelah jahitanmu sembuh." Ia geleng-geleng kepala. "Ini baru hari ke-2 sejak kau dioperasi."

Gempa terkekeh. Menyelesaikan apel terakhirnya.

Kamu hanya diam di tempatmu berada. Memandang mereka yang begitu harmonis.

"Memang harusnya dari awal, aku tak berada disini."

.

.

.

***

A/n:

Hai.

Gatau mau ngomong apalagi. Intinya yah, selamat menunggu chapter berikutnya.

Babai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top