6 - Password Laptop Halilintar
"Akhirnya jam istirahat."
Mendengar keluhan itu untuk kesekian kalinya. Kamu hanya bisa terkekeh menanggapi.
Kamu sudah dari sedari tadi duduk dan beristirahat di kursi berwarna biru tua. Tubuhmu bersandar dengan kepala yang disampirkan ke dinding.
Selagi rekan kerjamu sibuk mencuci muka dan mencari-cari sunscreen nya yang entah ada di mana. Kamu menatap layar handphonemu yang kamu miringkan itu.
Setelah tadi malam dirimu merusak semua kamera yang ada di dalam kamar. Kamu memasang satu kamera tersembunyi di dekat pintu kamar.
Sudah sekitar sepuluh menit berlalu sejak matamu terpaku pada layar ponsel. Kamu menemukan keadaan kamarmu yang kosong itu dimasuki oleh seseorang yang familiar.
Itu Taufan.
Pikiranmu berlabuh pada percakapan antara dirimu dan Solar tempo hari. Ketika Solar memberitahu siapa sosok yang menaruh kamera tersembunyi itu di dalam kamarmu.
Pikirmu saat itu adalah bahwa Solar mengada-ngada, atau hendak menjadikan Taufan kambing hitam atas perilaku tak termaafkan itu.
Namun rupanya hal ini membuktikan segalanya. Taufan yang baru masuk itu langsung terpaku pada lokasi-lokasi kamera yang sudah rusak semuanya.
Tidak salah lagi, rasa kecewamu memuncak penuh.
Apa benar-benar tidak ada yang bisa dipercaya lagi di rumah?
Ah, apa itu benar-benar rumah?
"Aku benar-benar pusing."
"Kenapa pusing-pusing kawan? Nih roti!" Sumpalan roti ke mulut itu membuatmu terkejut. Rekan kerjamu malah tertawa terbahak-bahak melihat kamu tersedak.
Kamu meremas roti itu dengan geram. Melihat itu, temanmu mundur dan menodongkan telapak tangan ke arahmu. "Wow! Wow! Jangan marah dong."
Ia mengusap-usap punggung tangannya sendiri sambil memasang ekspresi cemberut. "Bercanda sedikit, soalnya wajahmu seram."
"Aku besok akan bercanda juga, seperti memasukkan teflon ke dalam ususmu."
"Wow! Oke, aku minta maaf soal itu."
Kamu bersandar lagi, lalu mematikan ponsel dan menaruh ponsel itu di kursi yang ada di sebelahmu. Sementara temanmu tadi kini sudah berkacak di depan cermin. Merapikan pakaian kerjanya yang kusam akibat tim pastry yang melempar pie apel.
Meski setelah itu hampir terjadi baku hantam. Teriakan customer yang lapar membuat mereka menunda momen permusuhan tersebut.
Dibanding hal tersebut, kamu tidak bisa menikmati satu momen pun di hari ini. Tidak nyaman.
Kepalamu dipenuhi dengan berbagai pertanyaan dan keluhan. Memikirkan tentang hal-hal yang terjadi tanpa berhasil menemukan jalan keluar yang pasti.
Tak ayal terkadang kerontokan rambutmu membuatmu berpikir bahwa hasil kerja keras otak akan membuatmu botak. Meski dalam ilmiah, itu jelas tidak mungkin.
Helaan napas berat yang sehari-hari jadi kebiasaan mutlak. Rasanya kamu ingin berguling di tepung dan menjadi risol.
Melihat ada pesan dari ponsel dengan nama tertera. Kamu memilih mengabaikannya dan pergi untuk melanjutkan pekerjaan.
.
.
.
Saat kamu pulang dan membuka pintu belakang cafe. Kamu temukan Taufan yang berdiri di sana, menunggumu keluar sedari tadi.
Terlihat dari wajahnya bahwa pemuda tahu apa yang telah terjadi.
"Kak--"
Kamu melewatinya begitu saja. Mengabaikan keberadaannya. Meskipun seharusnya tidak boleh seperti itu, faktanya hatimu memaksa untuk melakukan tindakan seperti itu.
Kamu marah dan kecewa.
"Kak? Tunggu!"
Taufan berusaha memanggil namamu. Mengejar sosokmu yang berjalan tanpa memperdulikan keberadaannya.
Saat tangannya meraih lenganmu. Kamu hempaskan tangan itu dengan kuat. Sembari berbalik, bertatapan dengan Taufan yang terkejut.
Sekali lagi, dirimu hanya diam tanpa berujar apa-apa. Melanjutkan perjalanan tanpa menoleh kepadanya. Membuat pemuda itu tampak frustasi karena diabaikan begitu saja.
"Kak, maafkan aku. Aku mengaku salah!" Ia berteriak, menekan dadanya. "Aku ... aku mengaku salah."
"Takkan kuulangi lagi." Ia jatuh berlutut dan tangisnya pecah karena kamu masih berjalan menjauh, mengabaikan dirinya. "Aku janji."
Menangis tanpa tahu malu di jalanan belakang yang sepi dan sunyi. Sosoknya tersedu-sedu tanpa bisa kamu terka apa itu kepalsuan lainnya. Hatimu sudah sangat ragu. Meski tangisan itu menggoyahkan hatimu, ada juga alasan lainnya yang membuatmu tidak bisa percaya begitu saja.
Tidak ada kepercayaan yang bisa kamu bagi.
"Berhenti menangis."
Taufan itu sudah dewasa. Umurnya tak jauh berbeda dengan dirimu. Seharusnya ia tidak lagi merengek kepadamu seperti itu. Tidak perlu lagi bertingkah seperti anak kecil. Kenapa Taufan tidak bisa mengerti bahwa tindakan yang ia lakukan itu salah?
Kenapa harus terjadi sesuatu dulu baru ia akan mengerti kalau itu salah?
"Jangan bicara lagi padaku mulai sekarang."
Kapan Taufan akan mampu untuk memilih jalannya sendiri?
Semakin kamu berpikir, makin tidak bisa kamu lihat apa saja hal yang harus kamu lakukan. Entah mengulurkan tangan atau meninggalkan mereka semua tergelincir ke dalam jurang.
.
.
.
Kamu berjalan ke luar dan mengangkat jemuran mu yang sudah kering. Hanya ada handuk milikmu dan beberapa kaos. Selagi mengangkat jemuran dan memindahkannya ke dalam keranjang bersih. Dapat kamu dengar suara tawa yang menggema.
Solar.
"Kenapa kamu tertawa?"
Nadamu rendah namun tajam. Moodmu sedang sangat jelek ditambah pikiranmu yang berantakan akibat berbagai hal yang terjadi. Sekarang harus melihat Solar yang tiba-tiba tertawa tanpa sebab.
"Tidak," Pemuda itu menjawab. Ia yang bersandar di dekat dinding itu tidak menjelaskan apa-apa setelah tiba-tiba tertawa seperti itu.
Kamu menaikkan sebelah alis. Dirasa tidak ada yang mau dibincangkan, kamu berjalan melewatinya untuk masuk ke dalam rumah.
"Bertengkar dengan Taufan?"
Kamu berhenti melangkah. Melirik melalui ekor mata, terlihat Solar yang tersenyum miring. Sorot mata di balik lensa kacamata itu tampak begitu tenang dan penuh arti.
Kamu merasa, ada sesuatu yang hendak ia katakan lagi.
Sesuatu yang penting.
"Omong-omong soal kak Taufan. Kak Hali juga sama anehnya," celetuknya. Membuatmu semakin bertanya-tanya tentang apa lagi kali ini.
Sejauh ini Halilintar bersikap normal. Apa yang akan disembunyikan pemuda cuek itu?
Melihatmu tampak mengerutkan kening. Solar tersenyum miring.
"Kakak tahu password laptop kak Hali?"
.
.
.
Kamu dipanggil untuk keluar dari kamar saat suasana mendadak riuh ketika Gempa pulang. Pemuda itu membawa dua kresek berisi martabak manis sambil tersenyum.
Sambutan meriah dari adik dan kakaknya membuat ia tertawa. Sehingga mereka semua bersama-sama duduk di ruang keluarga untuk menikmati martabak manis itu.
Setelah menaruh martabak manis di tengah-tengah. Juga menghidupkan televisi dan memilih tontonan.
Mereka semua bersantai. Sesekali diantara mereka mengobrol soal sesuatu.
Kamu menikmati martabak manis itu sembari bersandar di sofa. Dengan mata yang lebih terfokus pada tontonan yang ada di layar televisi.
Lagi-lagi, pikiranmu berlari kemana-mana.
Entah itu tentang apa yang terjadi pada rekan-rekanmu, tentang paman Amato dan juga sifat anak-anaknya yang semakin lama semakin mencurigakan.
Tentang perasaanmu yang semakin terbelenggu dengan ketidaktahuan.
Apa ini adalah sebuah pilihan yang salah?
Dari dulu kamu berdalih akan semuanya, hasilnya tetap tidak sesuai dengan yang kamu inginkan.
Semakin lama, hal berubah ke arah yang tidak bisa kamu kendalikan.
Harus apa sekarang?
Setelah agak lama makan dan mengobrol. Jam menunjukkan waktu larut malam. Semuanya beranjak dari sana untuk segera tidur.
Besok, mereka harus menjalani aktivitas seperti biasa.
Kamu memilih untuk ke dapur dan membuat minuman hangat. Selagi mengaduk minuman tersebut. Halilintar muncul di sebelah mu untuk mencuci tangannya.
Kamu melirik melalui ekor mata. Melihat tubuh pemuda itu yang jauh tinggi melebihi dirimu. Badannya yang sudah lebih lebar. Dan tangannya yang juga besar.
Kamu menghela napas.
"Ada apa?" tanya Halilintar.
Sepertinya lelaki itu menyadari raut gusarmu seharian ini.
"Tidak ada apa-apa," ketusmu.
Selesai mencuci tangan dan mengelap tangan dengan towel. Kamu malah menyodorkan minuman tersebut ke Halilintar. Meski terlihat bingung, ia tetap menerimanya.
Melihat kamu membawa satu minuman lagi dan duduk di meja dapur. Halilintar agak bingung. Lalu ia ikut duduk, menemanimu.
Tidak ada sepatah kata pun yang kamu ucapkan. Hanya meminum minuman hangat itu.
"Terjadi sesuatu?" tanya Halilintar lagi.
Kamu menggeleng, "Tidak ada."
Halilintar memilih minum. Lalu dahinya berkerut lagi. Mungkin ia bertanya-tanya apa kamu salah memasukkan garam sebagai pemanis minuman.
Tapi ia tetap meminum minumannya lagi itu mengecek rasanya.
Suasana begitu canggung tatkala kalian berdua hanya saling diam berhadapan. Bahkan uap minuman yang mengepul pun mulai hilang karena terlalu lama diam.
Hanya detak jarum jam yang menjadi backsound kesunyian ini. Ketika yang lainnya mungkin sudah tertidur lelap dan buaian masing-masing.
Manik merah itu tampak sayu. Sesekali bisa kamu lihat matanya menutup. Lalu terbuka lagi.
"Mengantuk?" tanyamu.
"Entahlah," katanya. Ia menghela napas panjang.
Kamu melihat ke arah jam. Menunjukkan waktu larut malam.
Perlahan-lahan mata lelaki itu tertutup juga. Dan akhirnya ia menjatuhkan kepalanya di atas meja.
Kamu berdiri dari dudukmu. Menghampiri lelaki itu dan menepuk pundaknya. "Halilintar?"
Halilintar tertidur lelap. Dan tampaknya tidak mudah untuk terbangun lagi.
Kamu melirik ke arah minuman Halilintar. Tentu saja Halilintar merasa minumannya aneh, kamu memasukkan dosis yang begitu banyak.
Agar lelaki itu bisa cepat tertidur.
Kamu buru-buru lari ke atas dan masuk ke kamar Halilintar. Kamar yang sunyi dan sepi. Kamu raih laptop di atas nakas dan membukanya.
Setelah berhasil memasukkan password yang diberitahukan oleh Solar sebelumnya. Laptop itu kini bisa ia telusuri isinya.
Awalnya, tidak ada hal aneh di dalam laptop itu. Hanya berisi tugas kuliah, matkul, video liburan, dan foto-foto yang dijepret asal di jalanan.
Hingga kamu menemukan satu folder tanpa nama.
Ketika kamu buka. Kamu membelalak kaget. Keseluruhan isi folder itu adalah foto.
Fotomu.
Segala foto yang dijepret tanpa dirimu tahu. Entah kapan dan dimana. Yang jumlah fotonya mencapai ratusan.
"Ah."
Kamu hanya termangu diam. Lalu menutup kembali laptop itu.
.
.
.
"Gempa, bangun. Bisa tolong aku?"
Gempa bangun dengan kaget karena dirimu tiba-tiba ada di dalam kamarnya. Namun entah bagaimana semua penghuni rumah ini memang tidak pernah mengunci pintu kamarnya.
Katanya takut jika ada hal darurat.
Gempa mengucek matanya. "Ada apa kak?"
"Halilintar tertidur di meja makan. Aku tidak bisa membawanya ke kamar. Gempa bisa tolong gendong dia?"
Meski Gempa sempat ingin bertanya, kenapa tidak meminta Taufan saja. Tapi ia urungkan karena sepertinya terjadi kejadian yang tidak enak.
Gempa mengikutimu ke dapur. Saat melihat Halilintar. Ia pun berusaha mengangkat Halilintar, kamu membantunya.
"Kenapa kak Hali ketiduran seperti ini, ya?" Ia bergumam. "Tidak biasanya."
Kamu angkat bahu.
Saat kalian berdua sudah menaruh Halilintar di ranjang tidurnya. Gempa menutup pintu.
"Kakak juga tidurlah. Sudah larut malam."
Tatapan Gempa begitu lembut. Juga sayu.
"Akhir-akhir ini aku bermimpi buruk," ujar Gempa tiba-tiba. Ia terkekeh. "Boleh aku minta peluk?"
Meski itu permintaan tiba-tiba. Tidak ada alasanmu untuk menolak. Saat kamu mengangguk, ia memelukmu dengan pelan.
Kamu membalas peluk sambil mengusap punggungnya yang lebar.
"Mimpi apa?"
"Aku diculik." Ia mengeratkan pelukannya. "Tapi, kakak tidak datang menyelamatkanku."
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Mungkin saja Gempa terlalu lelah. Yang bisa kulakukan hanya menyemangati dan memeluknya.
Karena aku juga lelah.
.
.
.
***tbc***
A/n:
Lama banget. Hai.
Kali ini 4 scene sekaligus ya. Kalian lebih suka yang mana?
Semoga kalian menikmati ini dan jangan bosan padaku /cryng a lot.
See you di target berikutnya.
❀
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top