5 - Sangkar emas
"Akhirnya selesai!"
Perkataan rekan kerjamu itu membuat dirimu terkekeh. Ia terlihat tengah merenggangkan otot-otot tubuhnya yang lelah.
Wajar, membuat pesanan makanan yang bertubi-tubi memang membuat tulang punggung terasa hendak lepas dari tempatnya.
"Kau bisa beristirahat dulu," katamu sambil mengambil alat-alat bebersih. "Aku akan membersihkan meja-meja itu sebentar."
"Jangan memaksakan diri," katanya begitu. Tapi ia langsung lari dari sana untuk beristirahat.
"Aku akan membantumu," kata rekan yang lainnya. "Tapi nanti ya."
Kamu memutar bola mata malas. "Iya deh, si paling sibuk."
Setelah terdengar tawa. Kamu keluar dari sana sambil menenteng kain dan semprotan pembersih. Lalu beranjak menghampiri meja-meja dan membersihkan tiap meja.
Selagi membersihkan meja yang dekat dengan jendela. Kamu tak sengaja melihat sosok Halilintar yang lewat sambil menenteng bahan belanjaan. Dari apa yang terlihat, tampaknya itu berisi sayuran, karena ada daun bawang yang mencuat dari tas plastik itu.
Meski kamu bertanya-tanya habis darimana lelaki itu.
Apa berbelanja untuk pacarnya? Pikirmu.
Sejujurnya, kamu sudah jarang mengobrol dengan Halilintar akhir-akhir ini. Pemuda sulung itu sibuk dengan tugas akhir dan kadang kala rutinitas rutin kampus yang memaksanya untuk jarang berada di rumah.
Walau kadang Halilintar memerhatikan mu dan bertanya sedikit. Setelah itu, lelaki itu tak akan menambah topik obrolan.
Ia sudah menjadi pria matang. Selain kemampuan dan wajahnya, rasanya tak aneh jika ia menjadi kesukaan para perempuan seusianya.
Beberapa saat memperhatikan. Halilintar tampak berhenti di seberang dan mengangkat telepon dari seseorang. Sesekali Halilintar membuka kantung belanjanya dan menyebutkan apa saja yang ia beli kepada seseorang yang ia telpon.
Kamu memperhatikan gerak bibirnya. Membaca tiap kalimat yang ia lontarkan. Lalu, tersebut satu nama.
Gempa.
"Gempa, toh? Kukira ia menelepon siapa."
Setelah itu, panggilan berakhir. Lalu Halilintar melanjutkan perjalanannya. Membuatmu tidak bisa melihat sosoknya lagi yang sudah berjalan jauh.
Kamu terdiam sesaat. Memperhatikan pantulan wajahmu dari kaca jendela. Mulai dari mata, hidung, rambutmu. Fisik yang tak jauh berbeda dengan sosok ketujuh kembar.
Sebagai arti bahwa kamu adalah saudara mereka.
Sepupu yang begitu dekat.
Masih satu darah.
Meski terkadang mereka sangat berlebihan terhadapmu. Kamu menganggap itu hanya sebatas kasih sayang adik kepada kakak sepupu.
Karena mau bagaimana pun, hubungan antara kamu dan mereka. Tidak akan bisa lebih dari itu.
Kamu menyayangi mereka sebagai seorang kakak sepupu. Karena mereka adalah adik-adik sepupu yang berharga.
Anak-anak yang tidak mampu menjaga diri mereka.
Namun, kamu pun berpikir ulang tentang dunia.
Aku menjaga mereka?
Atau, aku menjaga diriku dari mereka?
.
.
.
Kamu baru saja keluar. Namun, Taufan sudah menyambut dirimu di pintu belakang.
"Bareng?" tawarnya sambil nyengir.
Kamu menutup pintu sambil mendengkus. "Kenapa? Minta dibeliin sesuatu?"
"Ih, suudzon!"
Saat ia menggembungkan pipinya sambil memalingkan wajah ke arah lain. Kamu terkekeh dan menarik kepalanya ke pelukanmu.
"Ih, apasih peluk-peluk! Aku lagi bau." Meski berkata begitu, tidak ada usahanya untuk melepaskan diri.
"Tadi ngambek."
"Engga."
Kamu melepaskan pelukanmu. Taufan memperbaiki rambutnya yang jadi berantakan. Lantas berjalan disamping dirimu.
Kamu memperhatikan Taufan. Melihat pakaian pemuda itu yang lagi-lagi kotor. Seperti habis berguling-guling di tanah.
"Kotor lagi," celotehmu. Taufan memperhatikan pakaian miliknya.
"Main skateboard kan wajar kalau jatuh."
Katanya begitu.
Meski kamu meragukan jawaban itu untuk sekian kalinya. Kamu hanya mengangguk saja. Mempercayai ucapan itu.
Taufan berjalan dengan tenang di sampingmu. Sesekali memperhatikan pengguna jalan lain yang sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing.
Kamu lirik dia melalui ekor mata. Melihat segala ekspresi yang ia tampilkan meski samar. Walau terkadang, ekspresi Taufan juga tidak mengartikan banyak hal.
Tiap pertanyaanmu padanya, tak pernah terjawab. Entah saat kamu diam atau kamu bertanya sekali pun.
Dari dulu, sosok Taufan yang begini selalu membuatmu heran. Hal yang tidak pernah kamu duga dulu adalah ketika ia menaruh garam di setiap makanan milikmu dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa.
Jika ini adalah sebuah pentas drama. Taufan pastilah aktor yang paling mengagumkan.
Kamu tidak tahu bagaimana situasi berakhir saat kamu melarikan diri kala itu. Halilintar bilang, Taufan yang paling depresi saat kamu pergi.
Meski begitu, apa itu lagi-lagi hanya akting semata?
Sewaktu kamu duduk di dalam ruangan gelap gulita. Dan dihampiri oleh sosok Taufan yang saking shock nya tidak mampu berkata-kata.
Dia yang jatuh dalam ketidaksadaran dirinya dan kamu yang merengkuhnya dalam senyap.
Apa itu semua sandiwara?
"Kak?" panggil Taufan. "Kenapa rautmu begitu? Kakak sakit?"
Kamu menggeleng pelan. "Aku kedinginan."
Dibanding itu, bukankah sandiwara mu jauh lebih menakjubkan?
"Taufan."
"Ya, Kak?"
Kalau diantara dua orang yang saling berakting. Bukankah satu sama lain akan merasakan kebohongan?
Lantas, kenapa repot-repot berakting?
"Kamu ... memang begitu?"
Pertanyaan tidak jelas itu membuat Taufan mengernyitkan dahinya.
"Begitu apanya, Kak?"
"Berpura-pura," gumammu samar.
Sedikit jeda karena Taufan tak kunjung menjawab. Kamu yakin suaramu pasti terdengar meski suara jalan raya begitu bising.
Taufan yang berdiri di sebelahmu.
Nada yang beku.
Ah, apa justru hati kalian yang sama-sama beku?
.
.
.
"Kak, biar aku yang cuci piringnya."
"Oh, makasih."
Gempa hanya tersenyum saja. Lalu mengangkat piring-piring kotor itu ke wastafel. Duri menghampirinya dan membantu untuk merapikan piring-piring bersih ke rak piring.
Halilintar mengelap meja dan merapikan lauk pauk yang masih bersisa. Sementara Taufan dan Blaze sesekali mencomot makanan yang masih bersisa itu.
Solar mencuci tangan, dan pergi dari sana.
Ais menaruh kursi-kursi. Lalu melihatmu yang masih duduk di kursi. "Kakak engga tidur?" katanya sambil memiringkan kepala.
"Iya, sebentar lagi."
Ais menguap, lalu pergi dari sana bersama Blaze.
"Kau sudah mandi belum?" kata Halilintar dengan agak galak.
"Sudah kok," jawab Taufan. Tapi ia justru menciumi bau tubuhnya sendiri. "Aku pakai deodorant kok tadi," sungutnya.
"Bajumu kayak habis guling-guling di sampah, lain kali cuci sendiri kalau begitu lagi," oceh Halilintar.
"Iya deh, Kak Hali." Taufan cemberut. "Maaf ya."
Seperti biasa, sesimpel itu dan Halilintar luluh kepada adiknya.
"Aku tidur dulu ya," katamu yang kemudian pergi dari sana.
"Selamat malam."
"Malam juga."
Kamu beranjak dari dapur menuju kamar. Lalu berjalan ke kamar dan mengunci pintu.
Kamu berdiri diam selama beberapa saat hingga terdengar bahwa yang lainnya sudah masuk ke kamar semua, dan lampu dimatikan.
Lampu kamar pun kamu matikan. Dalam suasana gelap gulita itu, bisa kamu lihat beberapa titik yang berwarna merah.
Helaan napas keluar. Kamu merenggangkan tubuh dan menarik kursi.
Pertama, kamu cabut satu kamera di sudut kamar yang letaknya tinggi. Saat mencabut paksa, bisa kamu lihat penyangga kamera yang patah akibat ulahmu.
Kedua, di sudut dekat ranjangmu. Meski tempatnya agak tersembunyi. Dan lumayan susah diraih, kamu berhasil mencabut kamera itu dan lagi-lagi mematahkan penyangganya.
Selanjutnya ada di dekat meja. Dan pintu masuk kamar.
Meski kamu merusak semua kamera itu. Tidak ada tanda bahwa ada yang menyadarinya. Dengan artian bahwa kamu sedang tidak dipantau di malam hari.
Kamu mencoba mencari-cari lagi jika ada kamera tersembunyi yang tidak kelihatan.
Begitu telah selesai. Kamu meraih ransel yang ukurannya lebih kecil dan menaruh beberapa barang kecil penting ke dalam ransel tersebut.
Kamu menaruh ransel kecil itu di sudut ranjang tidurmu. Lalu kamu pun duduk di ranjang sembari menatap lantai.
Jari-jemari kakimu bergerak sedikit. Kamu hanya menunduk lesu. Membiarkan helai rambut lolos dari helaian telinga.
Bagimu saat ini, kamu lagi-lagi berada di titik terbawah lagi. Kondisi dimana kamu tidak mampu melakukan apa-apa meski bisa.
Seperti saat kedua orang tuamu meledak. Ketika hanya kamu yang selamat saat saudara kembarmu mendorong dirimu dari mobil.
Saat lagi-lagi hanya kamu yang selamat dari banyaknya peristiwa.
Pikiranmu mulai berlarut-larut. Memikirkan bagaimana nasib rekan-rekanmu di organisasi. Kabar tidak kamu dapatkan. Hanya orang-orang asing yang terus-menerus mengejarmu hingga titik terpojok.
Berbagai kematian ilegal yang tidak diketahui penyebabnya.
Dimana Kaizo? Dimana Amato?
Kaizo adalah orang yang kompeten. Tidak mungkin dia melarikan diri atau bersikap tidak bertanggung jawab.
Jika ia dibunuh, itu hanyalah satu kemungkinan yang belum pasti.
Seperti hanya dikirimi surat kosong terus-menerus. Yang tidak tahu harus bagaimana membalasnya. Tinta-tinta yang mulai luntur karena gagalmu untuk menarik diri keluar dari situasi ini.
Amato telah berjanji untuk keluar dari organisasi. Meski pria itu bisa saja berbohong.
Nyatanya, kini ragamu yang terjebak dalam sangkar emas.
Meminta izin untuk pergi kepada para kembar pun jelas tidak akan diizinkan. Terlihat jelas dari bagaimana mereka bersikap dari hari ke hari.
Yang ada, ragamu makin terbelenggu.
Apa ini adalah karma dari pemberontakan?
Pembalasan dendam yang kamu lakukan untuk ibu dan ayah?
Bukankah kembaranmu melakukan hal yang sama?
Entah maksud terselubung apa yang hendak mereka lakukan dengan mengadu domba dua bersaudari. Yang kini gagal dan mengubah plan ke jalur yang lebih kejam.
Ketika organisasi sudah busuk dengan kebebasan membunuhnya. Ditambah dengan aturan dan kepemimpinan yang tidak masuk akal pula.
Bagaimana bisa organisasi seperti itu bertahan selama bertahun-tahun?
"Haruskah aku bubarkan organisasi itu?"
Jemarimu meremas selimut. Kakimu naik tak lagi menapak lantai, justru bergulung selimut.
Sunyinya malam yang tenang dan damai. Tak sepadan dengan berisiknya hati dan pikiran.
Kamu terlarut dalam banyak hal dan tidak bisa berpikir.
Yang mana hal itu akan selalu jadi pembawa mimpi buruk.
Mimpi buruk yang perlahan jadi nyata.
.
.
.
***tbc***
A/n:
Halo.
Iya, ini update walau pun targetnya belum sampai.
Kenapa ini ga sampai, apa kalian sudah menyerah (ノ_ _)ノ
Baiklah, karena saya baik hati. Silahkan nikmati chapter ini. Ditunggu target selanjutnya ya.
See you.
❀
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top