4 - Kami semua baik-baik saja

Kamu melipat selimut yang kamu gunakan dengan rapi. Dan menaruhnya di atas bantal. Tatkala tanganmu hendak meraih handuk yang dibaringkan sembarangan. Notifikasi ponsel membuatmu menghentikan aktivitasmu.

Dengan serta merta kamu akhirnya memilih meninggalkan pekerjaanmu sejenak dan meraih ponsel di atas nakas.

Saat melihat nama yang tertera di layar ponsel, kamu menghela napas.

"Paman, rupanya."

Begitu kamu menekan tombol untuk menerima panggilan dan mendaratkan ponsel di dekat telinga. Bisa kamu dengar suara yang sudah cukup lama tak kamu dengar.

"Assalamu'alaikum, [Name]. Apa kabar?"

Suara dewasa yang terdengar riang dan tanpa beban itu.

"Wa'alaikumsalam, ada apa Paman?"

"Ah, tidak. Hanya menelepon untuk menanyakan kabar." Katanya di balik telepon. "Kamu tidak sedang mencurigai paman, kan?"

Kamu memutar bola mata malas. "Kami semua baik disini, paman sendiri disana bagaimana?"

"Tentu saja baik. Sepertinya masih belum bisa pulang untuk sekarang. Bulan depan Paman usahakan pulang."

Begitu katanya.

"Baiklah, tidak perlu memaksakan diri. Omong-omong Paman--"

Ucapanmu menggantung. Terlihat ragu saat ingin menanyakannya. Sementara sang Paman di balik telepon masih diam. Menunggu kamu menyelesaikan perkataanmu.

"Paman, tahu sesuatu soal organisasi?"

Begitu hal tersebut ditanya. Terjadi sunyi dan jeda yang panjang. Membuatmu mengecek lagi apakah panggilannya terputus.

Namun, panggilan itu masih berlanjut.

"Paman tidak tahu soal itu, habisnya sudah lama bukan? Memangnya kenapa?"

Kamu mengutuk dirimu sendiri. Salah sudah mempertanyakan hal ini kepada Paman Amato. Orang tua itu selalu menyembunyikan segala kebohongannya di balik kumisnya.

Keraguan yang terlihat jelas dari jeda dan perubahan nada suara. Hal yang harusnya Paman tahu itu takkan bisa menipumu.

"Aku hanya bertanya," jawabmu pada akhirnya.

"Bagaimana keadaan anak-anak Paman. Apa ada hal aneh terjadi?"

Kamu tidak mengerti dengan pertanyaan ini. Demikian harusnya Amato bisa menanyakan hal itu sendiri kepada anak-anaknya.

Kamu tidak bisa bilang bahwa anak-anaknya bersikap aneh dan memasang kamera di dalam kamarmu. Atau bahkan Solar yang paling terlihat menyembunyikan segalanya saat ini.

"Entahlah, Paman. Aku rasa kau bisa menanyakan hal itu pada anak-anakmu sendiri."

Jeda panjang lagi.

"Begitu ya, baiklah."

Percakapan canggung yang tak kunjung usai. Mungkin salahmu menyinggung soal organisasi.

Kamu benar-benar buta arah. Itu adalah masalah. Tidak ada satu pun yang bisa kamu hubungi untuk bertanya. Bahkan sampai ada yang mengirimkan orang untuk menyeretmu ke organisasi.

Meski pada akhirnya, kamu membereskan kedua orang itu segera agar tidak terjadi masalah besar ke depannya.

Belum ada hal lain lagi yang terjadi semenjak itu. Tapi mungkin saja akan ada orang baru yang dikirim.

Dan masalahnya, hal tersebut bisa membuat para kembar dalam bahaya.

Kamu bisa anggap Halilintar dan Blaze kuat untuk membela dirinya sendiri. Namun tidak dengan saudara lainnya. Entah bagaimana jika justru Duri yang tertangkap.

Dapatkah ia melarikan diri?

Meski kamu sudah membuat plan untuk kabur dari rumah ini. Kamu belum membuat alasan atau sesuatu agar bisa keluar dan berlari menuju organisasi.

Apalagi kamera yang terpasang di sudut ruangan ini.

Harus ada sesuatu yang membuatmu punya alasan lebih untuk segera melarikan diri. Itu jika tidak ingin para kembar lebih stress lagi.

"Aku sibuk, Paman. Kau bisa menelepon lain kali."

"Begitu ya, maaf mengganggu [Name]."

Telepon pun dimatikan.

Bahkan, Paman Amato pun tidak dapat membantumu sama sekali.

.

.

.

Kamu meraih cardigan dan tas sandang. Baru saja hendak beranjak pergi. Sosok Blaze muncul di dekatmu dan menyapa.

"Pagi, Kak. Mau berangkat kerja?" sapanya.

Kamu mengangguk. Lalu memegang gagang pintu.

"Aku anterin ya Kak!" Kamu menoleh, menaikkan sebelah alis bertanya-tanya. "Aku gabut aja dirumah," katanya.

Karena tidak ada alasan untuk menolak. Akhirnya kamu setuju membiarkan pemuda itu mengantarkanmu ke tempat kerja.

Sebenarnya, jarak antara rumahmu dan cafe pun tidak pula sebegitu jauhnya. Hanya perlu berjalan kaki beberapa puluh meter hingga sampai di kota besar. Dan setelah berjalan lagi, akan menemukan sebuah cafe biasa yang dominan berwarna coklat.

Cafe tersebut tidak pula terlampau besar. Dihiasi pot kembang kecil di sisi bangunannya. Menambah kesan estetik yang disukai anak jaman sekarang.

Alasan kamu bekerja di sana pun karena tidak sengaja melihat brosur lowongan kerja di internet. Sehingga kamu memutuskan untuk melamar dan sekarang bekerja di tempat ini.

Selagi berjalan bersama Blaze. Kamu diam-diam merasakan seseorang tengah menguntit kalian dari tadi. Meskipun Blaze tidak sadar sama sekali.

Kamu mencoba untuk tidak menoleh. Namun, karena dirimu takut bahwa bisa saja itu adalah orang yang hendak melukai kalian. Kamu memutuskan untuk menghampiri penguntit itu.

"Blaze," panggilmu. Kamu memberikan tas milikmu ke dia. "Tolong tunggu disini sebentar ya, kakak ada urusan."

"Eh, kemana kak?" Meski kebingungan. Pemuda itu tetap menerima tas yang kamu sodorkan.

"Sebentar aja, diam disitu ya!"

Dapat kamu lihat bahwa Blaze hanya diam di tempatnya, menuruti perkataanmu. Lalu, kamu pun berlari untuk mengejar si penguntit.

Berbelok dan masuk ke jalan lainnya. Begitu kamu melihat si penguntit. Sosok itu menyadari bahwa kamu datang dan langsung melarikan diri.

Memakai hoodie berwarna abu-abu dan celana levis. Ia berlari menghindari tanganmu yang hampir menangkap kepalanya.

Jalanan tampak ramai. Namun, tidak menghentikan niatmu untuk segera meraih si penguntit itu.

Hingga pada akhirnya jalanan mulai sepi dan kamu tidak segan bahkan melemparkan tong sampah berukuran tak lebih dari 1 meter itu ke arah si penguntit. Tepat sasaran, penguntit itu terjatuh berguling karena tong sampah mengenai punggungnya dengan kuat.

Belum sempat kembali bangkit. Kamu menginjak kakinya. Membuat sosok itu berteriak.

Kamu langsung membekap mulut penguntit itu saat mengetahui bahwa tempat ini adalah tempat terbuka. Dengan segera kamu seret dia bersamamu untuk bersembunyi di antara dinding rumah yang sempit.

"Woah! Beneran bagus!"

"Beli dimana? Aku juga mau pesan."

Suara ribut-ribut datang dari sisi lain. Kamu mengintip dari balik tumpukan plastik. Melihat beberapa pemuda yang membawa skateboard, tampak sedang asik mengobrol.

Salah satu dari mereka, ada Taufan.

"Wuah, pasti mahal," komentar lelaki itu.

Begitu suara mereka terdengar mulai jauh. Kamu menghela napas.

Kamu lepaskan penguntit itu. Tapi menarik leher bajunya dengan kuat. Matamu memicing, memberikan ancaman besar. Seolah tampak ingin membunuh.

"Katakan, siapa yang mengirimmu?"

Penguntit itu bergetar. Tampak tidak professional. Dugaanmu adalah orang ini masih rekrutan baru.

Tetapi, mengirim orang baru untuk memantau dirimu adalah sebuah kesalahan fatal. Dan harusnya orang-orang yang membelot dari organisasi, tahu tentang hal tersebut.

Seorang mata-mata terampil dan berbakat sepertimu. Tidak bisa diremehkan dari segi mana pun.

.

.

.

Kamu menghampiri Blaze yang menunggu dengan tampang bosan. Pemuda itu hanya duduk diam di kursi sambil memeluk tasmu. Wajahnya lesu dan cemberut, dengan kaki yang terus diayun-ayunkan.

"Blaze," panggilmu.

Begitu mendengar panggilan dari mu. Ia langsung menolah dengan sumringah. Dengan lekas ia berdiri dan menghampirimu.

"Lama banget, kakak ngapain?"

"Maaf ya, tadi kakak kira ada kenalan. Ternyata salah orang." Kamu ambil tasmu kembali dan lanjut berjalan bersama Blaze untuk berangkat ke tempat kerja.

"Oh." Blaze melirik ke ujung lengan bajumu. "Eh, kakak terluka?"

Kamu refleks melihat ke arah lengan baju. Ada sedikit bercak darah yang terlihat. Kamu tutupi dengan cardigan agar Blaze tak lagi melihatnya.

"Kayaknya terkena saos dari sarapan. Tadi tidak kelihatan."

Blaze mengangguk saja. Tidak bertanya lagi. Meski kamu tahu bahwa lelaki itu tengah menahan dirinya. Kamu apresiasi sikap tahu diri itu.

"Blaze."

"Ya, kak?" sahutnya.

Manik berwarna oranye yang cerah itu melirik ke arahmu. Menunggu alasan mengapa kamu memanggil namanya.

Blaze yang kamu ingat dulu adalah anak yang sangat berandalan. Menolak kamu saat pertama kali bertemu. Dan marah-marah dengan segala sesuatu yang terjadi.

Tidak mampu menahan emosi.

Namun sekarang, pemuda yang kamu lihat di depan matamu ini tampak berbeda. Tidak kamu ketahui mengapa dan bagaimana.

Hanya karena kedatanganmu. Bukan berarti seseorang bisa mengubah sifat yang sudah jadi kebiasaannya itu.

"Kamu sudah tidak pernah membuat masalah lagi, kan?"

Mendengar itu, Blaze menaikkan sebelah alisnya.

"Aku?" Ia tertawa. "Aku nggak pernah membuat masalah, kok!"

Berkata begitu dengan tampang serius. Kamu hanya bisa mencubit pipinya dengan gemas.

Bukan hanya Blaze yang berubah. Semua anak-anak yang kamu selamatkan itu, berubah.

"Aduh! Kenapa sih, Kak?" gerutunya saat kamu mencubit pipinya dengan kuat. Begitu kamu lepas, ia mengusap pipinya dengan cemberut.

Ah, memerah pipinya bengkak.

"Bilang saja kalau terjadi sesuatu, jangan cuma diam-diam saja. Daripada menimbun sampah karena takut keluar rumah, kakak bisa membantumu mengangkut sampah itu untuk dibuang." Entah bicara apa, tapi kamu yakin ucapan itu bermakna penting.

"Sampah bisa didaur ulang," katanya setengah berbisik. Bahkan Blaze sampai berhenti berjalan.

Menyadari Blaze terdiam. Kamu ikut berhenti dan menoleh ke belakang. Melihat sosok Blaze yang menatap jauh ke depan. Lalu, melihat ke arahmu lagi.

Tiba-tiba ia tersenyum lebar hingga menampakkan gigi-giginya. Dan matanya menyipit. "Kita semua baik-baik saja."

Begitu katanya.

Tekanan pundak yang bisa kamu lihat begitu besar dan berat. Telah Blaze tanggung sendirian selama kalian tinggal bersama. Yang tak kunjung Blaze limpahkan sedikit pun.

Sosok Blaze yang pemarah berganti ceria itu. Yang memaksanya untuk berubah. Diam dan tak bertanya.

Meski kamu bertanya pun. Kemungkinan besar, Blaze tidak akan menjawab apapun.

Baik Blaze, Solar maupun Taufan. Seolah menyembunyikan hal yang tidak biasa. Dan perubahan sikap yang terjadi pada Halilintar dan Gempa.

Meski Ais terlihat tenang. Kamu yakin, ada masanya si tenang itu akan berubah menjadi ombak.

Ombak yang entah akan melenyapkan siapa.

Kali ini, tidak ada siapapun lagi yang bisa kamu percayai di rumah itu. Bahkan Amato yang telah menjadi pamannya.

Mereka semua.

"Baiklah, kita semua baik-baik saja."

Pembohong.

.

.

.

***tbc***

A/n:

Pertama-tama, mau meminta maaf karena progressnya lambaaaaat banget.

Saya nggak mengada-ada soal kesibukan. Tapi saya tetap berusaha menyisihkan waktu untuk melanjutkan cerita.

Seperti biasa, jika target tercapai, bisa kasih tau saya. Di NGL saluran deh biar cepat saya notis dan saya baca. (Ini beneran baru tadi diingetin update 😭)

Makasihh banget buat kalian yang sabar menunggu. Kalau mau ngingetin soal update-update boleh aja kok. Engga masalah.

Kalau mau lihat progress lainnya, bisa masuk ke channel saluran WA saya aja di highlight Instagram.

Thank you all.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top