2 - Incaran

【 1 Mei 2024 】

"Kakak akan pergi bekerja?" Pertanyaan dari pemuda bermanik cyan itu membuatmu berhenti dan menoleh. Lantas kamu pun tersenyum dengan ramah.

"Tentu, kenapa?"

"Ah, tidak." Ia diam beberapa saat sebelum kembali membuka mulutnya. "Tumben kakak membawa tas."

Kamu tahan rasa terkejutmu, tak ingin Ais curiga. Lelaki yang hobinya tidur itu tak disangka tahu kebiasaanmu dalam beberapa bulan.

Kamu tertawa menanggapi pertanyaan itu, sembari membenarkan posisi tas ransel yang melorot.

"Ada beberapa barang yang mau kuberikan untuk teman kerja," ujarmu sambil menepuk pelan tas ransel yang sedang kamu gendong di pundak. Ais melirik diam ke tas ransel berwarna coklat itu, menebak apa isi yang membuat tas itu begitu tampak berisi. Meski begitu, Ais enggan menanyakannya.

"Kalau begitu, aku pergi dulu." Kamu buru-buru memakai sepatu dan kemudian pergi setelah melambai ke arah Ais. Walau Ais justru tak membalas lambaian tangan itu sama sekali.

Setelah kamu keluar dan menutup pintu. Kamu diam sebentar sambil menghela napas.

Sebenarnya isi tas yang kamu bawa adalah pakaian-pakaianmu. Mungkin tas itu terlalu berisi dan mencurigakan hingga Ais yang pendiam pun memutuskan untuk bertanya. Beruntung lelaki itu tampaknya tidak terlalu peduli.

Begitu menoleh kiri dan kanan melihat jalan. Kamu pun melangkahkan kakimu untuk keluar dari rumah.

Bukannya kamu mau kabur sekarang.  Ini hanyalah jaga-jaga jika nantinya kamu tak punya waktu lagi untuk merapikan pakaian dan membawa koper.

Tadi malam, kamu mendapat surat panggilan dari organisasi. Meski belum diketahui jelas alasan mengapa dirimu kembali dipanggil, akan tetapi itu pasti hal yang benar-benar penting.

Di masa lalu, kamu sudah mengobrak-abrik organisasi yang rupa-rupanya telah membuat ibu dan ayahmu terbunuh. Sekarang yang memimpin organisasi adalah orang-orangmu yang terpercaya.

Dan juga saudara kembarmu.

Terakhir kali, saudaramu memang pergi dan menghilang. Yang ia lakukan adalah membabat habis seluruh pasukan organisasi sendirian.

Meski pada akhirnya tertangkap. Dia kembali terbebas setelah kamu dan teman-temanmu di organisasi datang dan melakukan pemberontakan.

Bukan hal mudah, karena jelas banyak yang melindungi si kepala pemilik organisasi. Tapi hal itu bisa di-handle dengan mudah karena kamu dan teman-temanmu bekerja sama.

Yang menempati posisi kepala adalah salah satu temanmu. Jelas, kamu tidak menaruh kepercayaan seratus persen padanya. Akan tetapi tidak ada pilihan lain karena yang lain tidak memiliki bakat untuk meneruskan organisasi.

Setelah organisasi dipegang oleh orang itu, misi dan pergerakan mereka tersusun rapi. Meski kematian dan cedera tidak bisa dihindari, setidaknya kini mereka bisa mendapat jatah liburan.

Dan kamu pun bisa kembali dengan tenang.

"Ada apa ya, kira-kira ..." pikirmu.

Kecelakaan yang terjadi sewaktu kamu bersama Gempa, bukanlah kebetulan.

Pria itu adalah orang yang dikirimkan organisasi untuk menaruh surat panggilan itu di saku bajumu. Meski pada akhirnya malah membuat keributan bersama Gempa.

Kecurigaanmu tumbuh bersama dengan hal apa yang terjadi di organisasi.

"Pengkhianatan lagi? Atau bagaimana?"

Meski sudah berusaha berpikir. Tak kamu temukan jawaban. Bukan karena dirimu tak pintar, namun karena tak pernah lagi mendapat informasi dari organisasi sejak beberapa bulan berlalu.

Komunikasi dipaksa terputus.

Kamu dijemput paksa oleh Amato untuk pulang ke rumah. Atau lebih tepatnya, untuk anak-anaknya.

Memakaikan pita merah muda di kepalanya.

"Haha, apa itu terasa masuk akal sekarang?"

.

.

.

"Akhirnya kamu datang. Ini sudah jam ganti shift, seluruh tubuhku sangat pegal dan bau kompor," keluh teman kerjamu. Ia bahkan menciumi bau tubuhnya sendiri, "Bau minyak."

"Kalau begitu mandi!" Kamu mendorong tubuhnya yang sempoyongan kesana kemari bagai ranting.

"Dia itu begitu, mengeluh terus," decak satu orang lagi yang keluar dari dapur sambil melepas apron miliknya. "Satu shift dengannya membuat jiwaku hendak keluar juga."

"Haha, bertahanlah." Kamu memakai apron milikmu. Lalu menepuk bahu temanmu untuk memberinya semangat.

Sementara dirinya hanya memutar bola mata malas.

"Sampai jumpa esok!"

"Ya!"

Baru saja akan masuk ke dapur. Satu orang lagi keluar dari sana.

"Kau rupanya, tolong buang ini." Ia hanya memberikanmu dua kantong berisi sampah dan kemudian masuk lagi ke dapur.

Kau menghela napas, "Kenapa dengan orang-orang hari ini?"

Menolak berpikir lebih jauh, kamu keluar lewat pintu belakang sambil membawa dua kantung sampah itu.

Tampak langit kemerahan begitu kamu membuka pintu. Tanpa berlama-lama, kamu turun tangga dan menaruh dua kantong berisi sampah itu ke dalam tong sampah besar yang tak jauh dari sana.

Walau matahari belum sepenuhnya terbenam dan langit masih cerah. Suasana di lorong terasa begitu sepi. Kemungkinan karena di waktu antara sore dan malam, orang-orang sibuk kembali ke rumah.

"Dan aku sibuk bekerja," tawamu miris.

Kamu bersiap akan kembali masuk. Namun tiba-tiba, melesat sebuah tembakan yang kamu pun refleks menghindari tembakan tersebut.

"Haha, wah sial." Kamu menatap tajam ke arah sosok dua orang asing yang berdiri tak jauh darimu.

"Bisa menghindar, itu dia orang yang dicari." Si perempuan berambut lilac itu tertawa. "Mari kita tangkap dia."

Di sebelahnya, lelaki berambut krim itu mengangguk.

Si perempuan menggunakan senapan, ia membidik. Beruntung kamu bisa menghindari semua tembakannya.

"Sial."

Kamu tak bisa melibatkan orang-orang dapur. Jadi, kamu pun berlari menjauhi kawasan tersebut. Dan tentu saja kedua orang itu mengejarmu sembari tetap melayangkan tembakan.

Meski sudah berbulan-bulan tak lakukan misi. Bukan berarti tubuhmu sudah lupa caranya bertarung. Kamu jelas masih dengan lincah menghindari peluru yang dengan cepat tertembak ke arahmu.

Begitu kamu meloncat ke atas, tahu-tahu lelaki bersurai krim itu sudah muncul di depanmu sambil melayangkan tinju. Kamu refleks menghindar, sehingga tinju laki-laki itu meleset dan mengenai pintu besi tong sampah hingga penyot.

Kamu melompat-lompat ke belakang. "Yang dikirim kepadaku rupanya tidak main-main," lirihmu.

Tembakan lagi-lagi datang. Namun disertai serangan langsung oleh si perempuan berambut lilac itu. Kamu menangkis pukulan senjata itu dan membalas pukul. Meski sama-sama tidak mengenai satu sama lain.

"Apa yang mau kalian lakukan?" tanyamu.

Gadis itu menodongkan senapan lain. "Menyeretmu ke organisasi."

"Oh, apa sekarang organisasi diambil alih oleh orang-orang jahat lagi?"

"Orang jahat?" Gadis itu tertawa. "Jangan sok merasa suci, yang kita lakukan sama-sama kejahatan. Meskipun organisasi telah berubah, kalian masih tetap membunuh orang lain untuk mencapai tujuan."

"Kau merasa kita sama?" Kamu memasang pose kuda-kuda. "Kalau begitu sampai jumpa di tali gantungan yang sama."

Pertarungan kembali berlanjut. Dan hari pun mulai menunjukkan malam tiba.

.

.

.

Kamu menepuk-nepuk debu di bajumu sembari melangkah masuk ke dapur. Sementara itu, mereka tengah sibuk dengan pesanan mereka.

Salah satu kru dapur menyadari kedatanganmu. "Kau darimana saja? Padahal aku cuma menyuruhmu untuk membuang sampah."

"Itu sulit." Kamu menggaruk kepalamu yang tidak gatal. "Ada beberapa insiden yang berkaitan dengan sampah."

Orang itu memutar bola mata malas. Lalu pergi dari sana untuk membuat pesanan lain.

Kamu bergabung untuk membantu. Mengerjakan apa yang bisa dikerjakan.

Meski terkadang fokusmu pecah karena memikirkan hal di organisasi. Kamu tetap melanjutkan memasak.

Hingga akhirnya jam shift malam pun berakhir. Dan semua pekerja bersiap untuk pulang.

"[Name], ada yang mencarimu." Salah satu kru pelayan datang ke arahmu. Ia menunjuk ke arah luar dengan jempolnya. Saat ekspresimu bertanya-tanya, ia melanjutkan lagi. "Kayaknya sepupumu."

Kamu hanya balas senyum. Lantas sesegera mungkin membereskan apron dan berpamitan pulang dengan yang lainnya.

Begitu kamu keluar. Kamu menemukan sosok pemuda bermanik biru dengan pakaian kasualnya. Tengah menunggumu sembari minum es boba.

Ia menyadari kehadiranmu, "Oh, Kak!"

Kamu tersenyum lalu mendekatinya. "Ada apa, Fan?"

"Engga ada, mau pulang bareng? Gara-gara kejadian kemarin, kayaknya Gempa khawatir." Taufan menenteng skateboardnya. Tampaknya baru habis latihan skateboard di dekat sini. "Jadi aku menjemput kakak setelah main."

Kamu tertawa, "Padahal engga perlu. Biasanya juga aman kok sendirian."

"Biasalah, Gempa," celetuk Taufan. "Karena tempat kerja kakak dekat dengan tempatku main, aku bisa pulang bareng kakak tiap selesai shift malam."

"Lagian kamu kenapa main skateboard di malam hari sih?" Kamu mulai berjalan pulang, diikuti Taufan yang berjalan beriringan disebelahmu.

"Malam itu sejuk aja sih. Juga ramai-ramai aja kok." Taufan mengendikkan bahu. "Kalau Kakak ganti shift siang, aku juga bakal ganti jam main jadi siang kok kak. Tenang aja."

Terdiam beberapa saat. Kamu mengusap kepala Taufan. "Kamu ini, Kakak bisa sendiri kok."

Pemuda biru itu hanya bisa tertawa saja. "Aku nggak mau yang lain khawatir, Kak."

"Iya deh, mau mampir dulu gak ke kedai disitu?" Kamu menunjuk ke sebuah kedai makanan kecil. "Kakak yang bayar."

"Wow, mau dong."

Kalian berdua berjalan menghampiri kedai tersebut. Memesan dua porsi makanan ringan dan memakannya bersama Taufan. Sementara Taufan mencoba meniup-niup makanan panas itu.

"Taufan," panggilmu.

"Iya kak?"

"Menurutmu, ada yang aneh, enggak?" Pertanyaan itu membuat Taufan berpikir keras.

"Maksudnya?"

"Sejak aku kembali."

Otak Taufan dipaksa memahami pertanyaanmu yang susah dipahami. Ia menatap diam sambil berpikir.

"Aku nggak ngerti Kakak tanya soal keanehan apa. Tapi nggak ada apa-apa sih kayaknya. Cuma memang akhir-akhir ini Kak Hali dan Gempa jadi kerasa lebih dewasa. Tapi memang itu ada hubungannya dengan Kakak?"

"Dewasa?"

"Ya." Taufan memakan dan mengunyah makanannya itu. "Seperti lelaki dewasa yang mengurus rumah dan bersikap sangat bijak. Bahkan mengajak mereka bercanda sekarang rasanya agak sulit."

"Karena itu kau selalu main diluar?"

"Iya, hahaha." Ia tampak muram. "Lucu, ya."

Kamu dapat melihat sosok Taufan yang tak pernah berubah dari awal. Sosok yang ceria dan penuh tawa. Menyembunyikan banyak cerita di balik mulut yang tertutup rapat.

"Kak, maaf ya dulu aku merengek meminta kamu kembali."

Perkataan itu membuat kamu kebingungan. "Kenapa minta maaf?"

"Itu karena aku menganggap kakak adalah keluarga. Tapi sepertinya yang lain tidak berpikir begitu."

.

.

.

***tbc***

A/n:

Sorry.

Dari mencapai target udah agak lama ya. Sampai ada yang DM di Instagram.

Kalau begitu silahkan capai target lagi seperti sebelumnya.

Saya akan secepatnya (InshaAllah) mengerjakan dan meng-upload chapter selanjutnya.

See you ❀

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top