Tidak Ada yang Pantas
Di sebuah ruangan yang cukup luas, hanya ada dua orang yang saling duduk bersebelahan. Keduanya tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ibu dan anak itu sama sekali tak membuka suara sampai sejam lamanya. Suasana hening dan tampak nyaman. Keduanya sama-sama suka ketenangan. Hingga beberapa saat kemudian, sang ibu yang membuka suara pertama kali.
"Apa yang Daddy-mu katakan?"
"Tidak terlalu penting."
Mandy menghentikan kegiatan menyulamnya. Dia menatap sang putra dengan sebelah alis yang dinaikkan. Sebagai Nyonya besar di rumah ini, dia cukup tahu apa pun yang tengah terjadi. Banyak telinga dan mata-mata yang dimilikinya. Bahkan seumpama tembok pun bisa melaporkan semua hal yang terjadi.
Sebenarnya dia juga sudah tahu tentang kejadian kemarin di mana sang suami mengumpulkan semua anaknya. Dia tidak melarang Henry dan bahkan bertingkah abai. Namun bukan berarti dia setuju. Dia tahu keputusan lelaki itu akan berdampak pada posisi putranya di masa depan.
Sebagai seorang ibu, dia akan melakukan apa pun demi kebahagiaan putranya. Meski Tom sudah besar, bukan berati dia akan lepas tangan. Dia akan berusaha dengan baik agar Tom mendapat apa yang seharusnya lelaki itu miliki.
"Tom berhentilah bersikap santai. Kamu tidak bisa meremehkan mereka," pesannya dengan serius.
"Apa yang Mom khawatirkan? Aku sudah memegang perusahaan cabang yang juga tak kalah besar dari perusahaan induk. Aku sudah cukup mapan dan bangga dengan apa yang aku perjuangkan sendiri."
"Mom tahu." Mandy tersenyum lembut, menatap putranya dengan bangga. "Tapi semua milik Hiddleston adalah milikmu seutuhnya. Tidak boleh ada yang merebutnya sedikitpun, termasuk perempuan itu."
Mandy sangat paham bagaimana perjuangan Tom sejak dulu. Dia tahu watak putranya sama persis dengan Henry. Dua lelaki yang memiliki ego tinggi. Tom sejak kecil sudah bertekad sukses dengan hasilnya sendiri. Maka dari itu, sebagai seorang ibu, Mandy akan mendukung. Namun dia juga tidak akan membiarkan hak putranya dicuri oleh orang lain.
Tom mengernyit tak suka. "Tapi Mom, Kendall juga anak Daddy."
"Ya, tapi dia hanya anak pelayan. Darahnya juga mengalir darah rendahan ibunya. Hiddleston jelas tidak boleh disentuh oleh darah rendahan. Hanya kamu yang murni seorang Hiddleston," ujar Mandy dengan angkuh.
"Sejak awal, kamu yang harus mewarisi semuanya. Mommy membiarkan kegilaan Daddy-mu sejak dulu dengan syarat kamu tetap prioritas utama. Semua milik Daddy dan Mommy akan diwariskan padamu, secara penuh. Anak pelayan itu cukup diberi tempat tinggal dan nama. Sudah untung mereka diperbolehkan memakai fasilitas mewah."
Tom tidak setuju dengan pemikiran sang ibu. Dia jelas tidak pernah membedakan semua saudaranya. Baginya tidak peduli dari siapa wanita yang melahirkan mereka, darah Hiddleston yang mengalir membuat mereka menjadi saudara.
Meski dia tidak sejalan dengan pemikiran sang ibu, Tom memilih diam. Dia tahu perasaan sang ibu yang jelas sangat kecewa pada ayahnya. Bagaimanapun Henry sudah mendua, mengkhianati pernikahan mereka dengan kebejatannya. Bahkan secara terang-terangan tidur dengan pelayan pribadi Mandy yang membuat wanita itu memilih diam, seakan mengizinkan. Padahal hati wanita itu rapuh. Tom menjadi saksi setiap sang ibu menangis sendirian di kamarnya.
Sejak itu dia tidak pernah menyukai ayahnya. Dia mulai menjaga jarak, dan jarang berinteraksi layaknya seorang anak pada ayahnya. Kebiasaan Henrymembuatnya cukup kecewa. Tom tidak akan pernah memaafkan Henry yang sudah membuat Mandy menangis.
"Meski Cody terlihat paling ambisius, kamu harus lebih waspada pada Kendall. Kamu tahu perempuan muda itu mendapatkan lebih banyak perhatian dari Daddy-mu. Bukan tidak mungkin jika nanti Henry malah bersikap gila dan memberikan semua miliknya pada perempuan muda itu."
"Tapi Kendall tampaknya tidak tertarik dengan kekuasaan dan kekayaan."
Mandy mengedikkan bahunya pelan. "Siapa yang tahu hati seseorang? Seorang ibu bahkan bisa menjual anaknya demi tumpukan uang."
Tom mengangguk sekilas. Dia tahu makna kalimat sang ibu. Meski Kendall tampak tak tertarik, tapi beda dengan ibunya, Camilla. Wanita yang cukup licik dan selalu berniat menggeser posisi Mandy sebagai istri sah Henry. Meski tampak abai, Tom selalu memperhatikan semua wanita yang dekat dengan Henry, termasuk Camilla. Wanita itu cukup menganggu sejak awal. Parasit yang sebenarnya.
"Mom tenang saja. Dengan apa yang aku miliki saat ini, Daddy pasti akan memberikan kepercayaan yang lebih besar padaku." Tom berucap dengan mantap dan penuh keyakinan.
Mandy mengangguk. Sorot matanya menunjukkan kebanggaan yang besar pada Tom. Sebagai anak tunggal, hanya Tom yang menjadi harapannya. Dia mendidik Tom dengan keras dan disiplin agar lelaki itu bisa mendapatkan kesuksesan dan menjadi kebanggaan Hiddleston. Baginya hanya Tom yang pantas menjadi pewaris utama Hiddleston, bukan malah anak pelayan yang berada jauh di bawah putranya.
Mandy mengelus lengan kekar putranya. Sejenak ada sorot kesedihan di kedua manik matanya sebelum berganti datar setelah berkedip. Seakan kesedihan tadi tak pernah ada.
***
Sedangkan di kamar lain, tampak Kendall sudah memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam koper. Meski hanya berpindah ke mansion utama yang jaraknya cukup dekat, tapi dia membawa semua pakaiannya tanpa menyisakan satupun pakaian di sana. Perempuan itu seakan menegaskan bahwa dia akan jarang ke paviliun atau mungkin tidak akan pernah. Tempat ini menyimpan banyak kenangan, baik luka dan dukanya.
Setelah kegiatannya selesai, Kendall menatap seluruh ruangannya dengan lekat. Ada helaan napas panjang yang keluar dari bibirnya. Dia memiliki banyak kenangan di dalam kamar ini. Tempat di mana dia dibesarkan di sini, tempat yang menjadi saksi bisu bagaimana Camilla menyiksanya karena kesalahan yang dilakukannya. Bahkan tadi malam wanita itu masih menyempatkan diri untuk melukai kakinya hingga membiru. Semua itu karena Kendall yang lagi-lagi menolak merayu Tuan Henry agar membawa Camilla ke mansion utama.
Camilla dan ambisinya selalu membuat Kendall lelah. Dia tidak bisa menghadapinya sikap sang ibu yang pemaksa. Bahkan wanita yang melahirkannya itu tega melampiaskan rasa kesalnya dengan memukulnya tiada ampun. Mungkin dulu Kendall akan memohon agar Camilla berhenti memukulnya. Namun semakin dia tumbuh besar, Kendall seakan sudah akrab dengan penyiksaan. Dia akan diam dan menerima saja, bahkan tidak ada air mata lagi saat kulitnya mengelupas dan berdarah. Semua sudah terlalu terbiasa baginya.
Semakin lama sorot matanya berubah sendu. Pegangannya pada tas semakin menguat. Satu sisi dia senang karena terhindar dari siksaan Camilla, tapi sisi lainnya dia juga sedih meninggalkan satu-satunya orang yang sudah membesarkannya. Meski Camilla bukan ibu yang baik, setidaknya wanita itu masih mau menghidupinya selama ini.
"Mungkin ini memang yang terbaik," ujarnya seakan berusaha menyakinkan diri sendiri.
Kendall memutuskan segera menghentikan segala pikiran yang malah membuat suasana hatinya memburuk. Daripada meratap, dia memilih segera mandi. Nanti malam, akan ada beberapa pelayan yang membawa barangnya untuk pindah dari paviliun ini.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top