Sebuah Alat
Kendall kira hanya seorang pelayan yang akan datang menjemputnya. Nyatanya, ada seseorang yang tidak diharapkan juga turut datang. Pelayan-pelayan itu sudah membawa semua barangnya ke mansion utama dan meninggalkan lelaki itu seorang diri. Kendall tak melepaskan tatapannya dari lelaki itu. Bibirnya memang terkunci rapat, tapi dari sorot mata jelas perempuan itu sedang mempertanyakan keberadaan lelaki itu di tempatnya. Selain terganggu, dia jelas tidak mengharapkan adanya seorang tamu saat ini. Keinginan Kendall hanya pergi dengan tenang tanpa ada drama menyebalkan.
Tom yang sadar dengan isyarat tersebut segera memberikan jawaban, tak lupa juga mengulas senyum manis. "Aku hanya ingin memastikan kamu benar-benar datang."
Kendall mendengus. Menurutnya jawaban lelaki itu sangat tak masuk akal. Sudah jelas dia akan datang, apalagi semua barangnya sudah diangkut ke mansion utama.
"Aku juga takut kamu berubah pikiran," tambah Tom yang hanya dibalas gelengan kepala. Tom tidak tersinggung meski perempuan yang tak lain adalah adiknya bersikap kurang sopan. Dia sudah cukup tahu tabiat Kendall yang irit bicara dan selalu bersikap dingin. Perempuan itu bahkan tidak pernah berpura-pura ramah pada orang lain, apalagi dirinya.
Tom masih mengajak Kendall menemui Camilla untuk berpamitan. Meski Kendall hanya pindah rumah yang bahkan masih dalam satu lingkungan, tapi tetap saja Kendall tidak akan lagi kembali ke paviliun itu dan akan jarang bertemu dengan Camilla.
Maka dari itu, Tom mengajak sang adik untuk berpamitan. Dia juga sudah sangat lama tidak melihat Camilla. Terakhir kali mungkin satu tahun lalu, saat pesta ulang tahun Henry, ayahnya. Hubungannya dengan Camilla juga tidak terlalu dekat. Wanita itu bahkan terkesan menganggapnya pengganggu. Meski demikian, Tom masih berusaha ramah pada wanita yang melahirkan adiknya itu.
Beruntungnya tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan Camilla. Wanita itu sepertinya baru saja berolah raga. Dilihat dari pakaian dan juga keringat yang membasahi keningnya.
Tom memasang senyum tipis. Dia segera mendekat pada Camilla yang diikuti oleh Kendall.
"Kalian sudah akan pergi?" Camilla bertanya lebih dulu. Dia mengamati penampilan Kendall yang sudah rapi dan beralih pada Tom yang berada di hadapannya.
Tom mengangguk sebagai jawaban. "Daddy menyuruh kami segera berkumpul sebelum makan malam."
"Dia tidak menitipkan pesan apa pun untukku?" tanya Camilla penuh harap. Dia masih berharap Henry akan berubah pikiran dan dirinya ikut diboyong ke mansion utama. Sayangnya gelengan kepala Tom membuat harapannya lagi-lagi pupus. Raut wajahnya menunjukkan ketidakpuasan.
"Saya ke sini ingin menjemput Kendall sekaligus berpamitan."
"Ya ... ya ... ya. Bawa saja dia," ujarnya malas.
Tom melirik Kendall yang hanya diam di belakangnya. Perempuan itu seakan tak memiliki niatan untuk berpamitan pada sang ibu. Karena sang adik yang sepertinya tidak ada tanda-tanda akan berpamitan, Tom mewakili agar mereka bisa segera pergi dari sana. Setengah jam lagi akan memasuki waktu makan malam. Kendall sudah harus tiba di mansion utama sehingga dia memiliki waktu untuk berberes. Beruntungnya Camilla tidak menahan lebih lama
Wanita paruh baya itu bahkan terlihat tenang-tenang saja saat Kendall melangkah keluar dari paviliun. Meski tampak tenang di luar, Camilla tampaknya sudah menyembunyikan sesuatu dari senyum miringnya. Dia memperhatikan Kendall dan Tom yang perlahan hilang dari pandangannya sebelum kembali melanjutkan langkahnya ke kamar.
Sementara Tom dan Kendall yang berada dalam satu mobil yang sama dipenuhi dengan keheningan. Tom sengaja tidak memakai jasa supir dan memilih menyetir sendiri agar tidak ada orang lain yang mengganggu waktunya bersama Kendall. Pavilliun yang Kendall huni selama ini adalah pavilliun paling belakang dari yang lain, tak heran jika jaraknya pun lebih jauh.
Selama di dalam mobil, lelaki muda itu beberapa kali mencuri pandang ke samping, tepat di mana Kendall duduk. Terlihat sekali perempuan itu yang tampak sibuk menatap keluar jendela. Meski begitu, Kendall menangkap jelas semua tingkah Tom dari pantulan kaca di sampingnya. Perempuan itu menoleh dan disaat bersamaan Tom masih menatapnya
"Apa?" tanya Kendall dengan ekspresi bertanya. Dia melihat Tom yang tampak sedikit salah tingkah sebelum ekspresinya kembali datar.
"Tidak ada," sangkal Tom setelah berhasil menguasai kegugupannya. Dia kembali fokus pada kemudinya. Namun bukan berati dia akan kembali membiarkan keheningan terjadi. "Tadi kenapa tidak berpamitan pada Ibumu?" tanyanya sekadar membuka obrolan.
"Tidak penting."
Tom mengerutkan keningnya, "Kenapa kamu beranggapan seperti itu? Kamu akan pindah ke mansion utama, yang artinya kamu akan jarang atau tidak pernah lagi kembali ke paviliun itu."
Kendall memberikan tatapan malasnya, "Kamu terlalu berlebihan. Jarak mansion utama dan paviliun masih terbilang dekat. Saya bisa ke sana kapan pun saya mau."
"Tapi sepertinya hubungan kalian berdua tidak sedekat itu, kan?" Tom mengomentari sikap Kendall dan Camilla tadi. Selain tidak ada ucapan perpisahan, Camilla juga tidak memberikan pelukan pada Kendall seperti lumrahnya seorang ibu dan anak.
Kali ini Kendall memberikan tatapan datarnya. Dia merasa terganggu dengan pertanyaan Tom yang terlalu ikut campur.
"Baiklah, kamu tidak perlu menjawab," ujar Tom yang sadar dengan ketidaknyamanan sang adik. "Maaf jika pertanyaanku tadi membuatmu tak nyaman."
"Bukan salahmu. Bukan rahasia umum lagi kan jika kita semua tidak dekat dengan ibu yang melahirkan kita?" Kendall tersenyum miring sebelum meluruskan pandangannya ke depan.
Semua orang tahu, baik Camilla, Debbie, maupun Mandy sama-sama mendorong anak-anak mereka untuk berkompetisi agar lebih unggul di mata Henry. Padahal Mandy sudah menjadi Nyonya besar, tapi wanita itu selalu ketakutan posisinya direbut hingga selalu mendorong Tom agar lebih unggul dan mempertahankan posisinya sebagai pewaris utama.
Sedangkan Camilla dan Debbie yang berawal dari seorang pelayan jelas butuh usaha yang lebih keras. Bukan hanya mendorong Kendall dan Cody untuk bersaing, tapi dua wanita itu juga masih berusaha menggoda Tuan Henry agar bisa merebutkan posisi istri sah sekaligus Nyonya besar.
Hal inilah yang membuat Kendall merasa miris. Dia bukan hanya sekadar anak, tapi alat agar Camilla mendapatkan keinginannya.
"Sepertinya itu David."
Suara Tom yang tiba-tiba membuat Kendall melihat ke arah yang lelaki itu maksud. Benar saja, di sana dia melihat David yang berada di sebuah taman seorang diri. Kendall memperhatikan David dan keadaan taman yang cukup sepi. Untuk apa lelaki itu di sana? pikirnya.
Tanpa meminta persetujuan, Tom langsung meminggirkan mobilnya ke samping. Setelah mematikan mesin, dia segera keluar dan berlari menghampiri sang adik bungsu.
"Sedang apa di sini?" tanya Tom langsung.
David yang sedang melamun jelas tersentak kaget. Dia mendongak hingga tatapannya bertemu dengan manik tajam sang kakak. Tubuhnya bergetar halus, David segera berdiri dan berhadapan dengan sang kakak tertua. "Tidak ada. Hanya menikmati suasana taman."
Alis Tom terangkat naik, agar curiga dengan gelagat David yang seperti menyembunyikan sesuatu. Namun ini bukan waktunya memperpanjang hal tersebut. Dia harus segera membawa David ke mansion utama.
"Lebih baik kamu naik mobilku. Kita ke mansion utama bersama!"
"Baiklah," jawab David tanpa bantahan. Dia membuntuti Tom menuju mobil yang terparkir. Saat dia sudah masuk dalam, David mengernyit kala melihat Kendall yang sudah duduk tenang di dalam. "Kamu juga di sini."
Kendall menjawab dengan deheman pelan.
"Aku tadi menjemput Kendall di paviliunnya," imbuh Tom sekaligus menjelaskan keadaannya pada David. "Barang-barangmu sudah diangkut semua, kan?"
"Sudah."
"Bagus. Jadi kita bisa langsung berangkat."
Berbeda dengan Kendall, selama perjalanan David sangat suka bicara. Suasana mobil tidak lagi hening seperti tadi. Tom akhirnya memiliki lawan bicara yang menyenangkan. Meski tampak pendiam, ternyata David cukup seru sebagai teman ngobrol.
Sedangkan Kendall mengabaikan mereka. Dia seakan tak terusik dengan obrolan dua pria itu. Pikirannya sibuk menerka-nerka bagaimana kehidupannya setelah ini.
Berada di tempat baru dengan orang-orang yang tidak pernah dibayangkannya sebelumnya. Dia jelas tidak bisa bersenang-senang. Kehidupannya setelah ini pasti akan lebih berat. Bukan hanya menghadapi Henry, tapi juga tiga saudara yang diam-diam saling berkompetisi.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top