Neraka Sebenarnya
"Apa yang ayahmu katakan?" Camelia langsung menodongkan pertanyaan pada Kendall yang baru saja menginjakkan kakinya. Dia tidak bisa membendung rasa penasarannya lebih lama lagi. Sejak tadi Camellia bahkan menahan rasa kantuk untuk menunggu sang anak pulang. Dia ingin mendengarkan cerita baik dari mulut putrinya.
"Minggu depan aku akan pindah ke mansion utama." Kendall memilih jujur pada sang ibu. Dia melihat sang ibu yang langsung tersenyum lebar. Wajahnya yang ngantuk berubah cerah seperti musim semi. Dia sudah menduga hal itu. Ibunya pasti akan senang dengan berita ini.
"Benarkah?" Ekspresi Camellia tampak bersinar. "Apakah ibu juga ikut ke sana?" tanyanya penuh harap. Tinggal di mansion utama adalah mimpinya sejak lama. Di sana bukan hanya memungkinkan dia bisa menjadi nyonya besar. Camellia juga bisa merebut hati Henry jika mereka sering bertemu. Hanya dirinya yang pantas bersanding dengan lelaki itu. Wanita sehat yang bisa memberikan keturunan terus menerus. Bukan wanita lemah yang sudah tidak sanggup lagi mengandung. Lelaki mapan seperti Henry butuh pendamping yang bisa menemaninya seumur hidup.
"Tidak."
Semua harapannya lenyap mendengar jawaban tersebut. Camellia memasang ekspresi tak terima. Senyum di wajahnya langsung pudar tanpa sisa. "Kenapa bisa begitu?" tuntutnya dengan nada mendesak. Padahal ini adalah keputusan Henry, tapi entah kenapa di matanya Kendall tetap salah. Harusnya Kendall bisa membujuk lelaki paruh baya itu.
"Bisa saja. Karena Tuan Henry hanya menyuruh anak-anaknya pindah ke mansion utama. Dia tidak peduli dengan para selirnya." Kendall sengaja menyebut para selir mengingat tidak sedikit wanita yang sudah tidur dengan Tuan Henry, termasuk ibunya ini.
"Apa kamu tidak bisa merayu ayahmu agar ibu juga ikut?"
Kendall menggeleng tegas. "Aku malah sempat menolak."
"Apa?!" Camellia memekik kaget. Dia menatap Kendall dengan tatapan tak percaya. Kedua bola matanya memelotot, hampir saja keluar dari tempatnya. "Kenapa kamu menolak, hah!" bentaknya dengan suara nyaring. Emosinya semakin bertambah menghadapi betapa bodohnya Kendall. Putrinya memiliki sifat yang bertolak belakang dengannya. Bukan hanya dari penampilan, tapi gaya hidupnya sungguh membuat Camellia sakit kepala. Kendall terlalu bebas dan bodoh. Kadang Camellia sangsi Kendall adalah putrinya. Perempuan muda itu terlalu dungu untuk melihat peluang yang berada di depan mata.
"Karena aku tidak ingin di sana."
"Tapi kenapa?"
"Hanya ingin saja."
Camellia menuding Kendall tepat di depan wajah gadis muda itu. "Dasar gadis dungu! Harusnya kamu bisa memanfaatkan keadaan ini. Setidaknya jika ibu tidak bisa langsung menjadi nyonya besar, ada kamu yang bisa menjadi batu pijakan."
Kendall mendengus, kakinya mundur selangkah. "Sejak awal aku memang ingin lepas dari keluarga ini. Terlepas dari Tuan Henry adalah seorang konglomerat, nyatanya di luar sana aku hanya dikenal sebagai anak seorang pelayan yang menjadi penghangat majikannya. Mungkin ibu tidak peduli. Tapi aku cukup terganggu. Bahkan setelah belasan tahun, orang-orang tidak merubah panggilan mereka."
"Persetan! Kamu hanya perlu tutup telinga dan jangan dengarkan. Kamu adalah putri satu-satunya di Hiddleston. Putri kesayangan Tuan Henry. Kamu memiliki kuasa di kedua tanganmu. Jika ada yang mengganggu, kamu hanya perlu menyebutkan nama dan Tuan Henry jelas akan melenyapkannya."
Camellia bersyukur melahirkan seorang putri. Apalagi Kendall adalah putri satu-satunya di keluarga Hiddleston. Kendall memiliki perlakuan yang istimewa.
Sejak Kendall lahir, dia selalu memanfaatkan anaknya agar semakin dekat dengan Tuan Henry. Apalagi melihat bagaimana rasa sayang Tuan Henry pada Kendall. Camellia sadar dia memiliki alat yang cukup berharga. Camellia harus merebut posisi yang sudah sejak lama diimpikannya. Posisi nyonya besar. Namun sayangnya, semakin besar Kendall malah tidak berguna. Bukan saja selalu membantah perintahnya, gadis muda itu malah dengan lancar menghindari sang ayah kandung. Bahkan menghilangkan nama belakang yang termasuk marga Hiddleston. Camellia semakin berang saja. Rasa sayangnya pada Kendall berubah kesal mengingat sikapnya yang tak bisa diatur.
"Sudahlah, Bu. Aku lelah harus berdebat tentang hal ini melulu." Kendall berucap dengan nada lelah. Percakapan ini selalu menjadi awal perdebatan yang menguras banyak emosi. Seperti yang sudah-sudah, mengeluh pada sang ibu tidak akan mendapatkan jalan keluar, malah menambah masalah.
"Kita tidak harus berdebat jika sejak awal kamu menuruti permintaan ibu. Harusnya kamu dekati Tuan Henry dan curi hatinya. Kamu bisa bersikap manja padanya layaknya seorang putri pada ayahnya."
Kendall menatap ibunya dengan tatapan lurus. Ekspresi wajahnya sangat datar. "Sebenarnya sejak awal ibu memang tidak peduli denganku, kan? Bahkan setelah aku menceritakan kesulitan yang aku alami. Ibu tetap bersikeras dengan keinginan ibu yang egois."
Camellia mengibaskan sebelah tangannya ke udara. "Jika masalahmu hanya malu memiliki ibu seorang pelayan. Kamu bisa bilang pada Tuan Henry agar segera menikahi ibu. Dengan begitu ibu tidak akan menjadi pelayan."
Kendall mendengus pelan. "Mimpi ibu terlalu tinggi!"
"Apa katamu!" Camellia menatap Kendall dengan sorot mata merahnya. Dia mati-matian menahan kedua tangannya agar tidak melayang dan memberi pukulan. Dia tidak bisa melakukan itu saat ini lantaran luka yang sebelumnya belum juga sembuh total. Bahkan Camellia bisa melihat bekas kemerahan di lengan putrinya. Akan bahaya bila Tuan Henryg tahu anaknya dianiaya.
"Aku hanya berusaha menyadarkan ibu. Tapi sepertinya ibu lebih senang bermimpi."
"Dasar anak kurang ajar! Aku menyesal melahirkan anak yang tidak berguna sepertimu!"
Kendall terkekeh miris. Meski ekspresi wajahnya tampak baik-baik saja, tapi tidak dengan hatinya. Anak mana yang tidak sakit hati mendengar penuturan sang ibu. "Kenapa tidak ibu masukkan kembali aku ke dalam perut," ujarnya pelan. "Ibu juga bisa membuangku saat bayi. Aku akan lebih senang hidup di jalanan ketimbang hidup di sini penuh kemewahan tapi tak lepas dari siksaan yang ibu berikan."
Kendall memilih mengakhiri perdebatan mereka dan melangkah pergi dari sana. Dia tidak bisa tinggal lebih lama dan membuat suasana semakin memanas. Dalam kondisi ini, Kendall merasa ada bagusnya dia pindah ke mansion utama. Setidaknya dia tidak harus berdebat dengan ibunya setiap hari. Meski artinya dia harus berhadapan dengan saudara laki-lakinya yang memiliki topeng masing-masing.
Perempuan muda itu masuk ke dalam kamar, menuntup pintunya dengan keras. Badannya langsung luruh. Tenaganya terkuras habis, bahkan untuk melanjutkan langkah ke ranjang rasanya tidak sanggup. Dia menguburkan wajahnya di lipatan kedua tangannya. Perlahan suara isak tangis terdengar lirih. Kendall sangat lelah.
Jika bisa memilih dia tidak ingin lahir dari rahim Camellia. Dia tidak ingin menjadi anak seorang Henry. Apa untungnya memiliki ayah kaya jika tidak bisa memberi rasa aman dan tenang. Hidupnya malah hancur. Sejak awal Kendall selalu mendapatkan bullyan dari para pelayan yang lain. Para pelayan wanita akan mengoloknya saat tak ada Tuan Henry. Kendall tahu para pelayan itu iri pada ibunya yang bisa menjadi teman ranjang Tuan Henry dan mendapatkan kemewahan yang tak terkira. Tidak semua wanita seberuntung sang ibu.
Lagi, Kendall hanya bisa meratapi kehidupannya. Meski sudah berusaha lepas dari keluarga Hiddleston, tapi tidak mudah lepas dari jerat keluarga ini. Kendall harus tetap bertahan dalam n eraka yang mereka sebut rumah.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top