21. Tanpa diduga.
Raiden melangkah dengan tatapan tajam pada sekitarnya. Tangannya mulai menghidupkan gps handphone secara cepat. Raiden kian terlihat dingin diantara langkah lebarnya untuk menemukan Xeena. Menatap posisi layar handphone sesaat untuk memastikan keberadaan Xeena.
"Sial, kenapa mereka secepat itu!" gumam Raiden dengan tekanan penuh emosi.
Raiden menghubungi salah satu anak buahnya dan membalikkan badannya sesaat. Menatap lebarnya bandara Paris lalu tersenyum tipis.
"Dengar, tutup semua penerbangan dari Paris ke London hari ini. Aku tak peduli dengan semua kesulitan karena aku harus menemukan istriku!" perintah Raiden langsung saat teleponnya terhubung.
Raiden menutup teleponnya dan kembali melangkah. "Kita lihat, sejauh apa kau mampu membawa istriku? Kenapa dengan semua orang hari ini? Mereka bernafsu sekali mencampuri urusanku!"
Raiden masuk dalam sebuah mobil dan terhenti saat melihat Erian melintas tak jauh dari mobilnya. Raiden kembali tersenyum dan meraih handphone di sakunya.
"Ide bagus. Lihatlah, kau akan mulai menyesal mulai hari ini karena tak menuruti perintahku, Xeena." Raiden terlihat sedikit tenang saat teleponnya kembali tersambung.
"Aku ingin Gilhive hancur mulai dari sekarang!"
"..."
"Tidak, aku tak ingin menundanya lagi. Lakukan sekarang dan aku ingin kabar baiknya malam ini juga!"
"..."
"Bagus. Lakukan dengan cepat!"
Raiden tak pernah memikirkan hal lain saat berpikir membuat Gilhive hancur dalam sekejap. Bayangan Xeena mengusik hatinya namun saat mengingat Rex dan Nathan yang mencoba meraih Xeena darinya membutakan pikirannya. Raiden menggeram marah saat mengingat Xeena yang memang tak ingin bersamanya selain adanya kontrak yang mengikat. Hal yang tak Raiden sadari adalah hatinya mulai melemah seperti hal yang di katakan Alysia. Dan Raiden masih tak menyadari itu.
"Tak akan ada yang bisa menarikmu keluar dari genggamanku, Xeena. Tidak dengan keluarga Chasiel ataupun Acacio. Kau hanya akan bersamaku hingga kontrak itu berakhir. Hanya denganku!"
Raiden melajukan mobilnya dan mulai meninggalkan bandara. "Bahkan kontrak itu baru berjalan satu bulan lebih tapi mereka seakan ingin merengut semua hal yang kumiliki." Raiden menggeleng. "Mereka semua benar-benar tahu cara membuatku kesal."
Raiden menepikan mobilnya saat melintasi sebuah cafe. Turun dan menatap Xeena yang tengah tertawa di hadapan Nathan. Terlihat jelas Nathan tersenyum lebar saat menyentuh pipi Xeena. Membuat Raiden menatap tak suka dengan semua hal yang Nathan lakukan. Bahkan Raiden enggan melangkah saat melihat Nathan dengan penuh perhatian membersihkan sudut bibir Xeena dari sisa makanan.
"Sahabat katamu? Apakah sahabat melakukan itu dengan tatapan cinta? Memuakkan!"
Raiden mengeratkan genggaman tangannya lalu melangkah memasuki kafe. Menghampiri meja Xeena dan tanpa banyak kata langsung menarik tangan Xeena.
"Apa yang kau lakukan?" cegah Nathan dengan menahan tangan Raiden.
"Agera, lepas. Kau menyakitiku," rintih Xeena pelan.
Raiden hanya menatap Xeena sesaat lalu beralih pada Nathan. "Aku menjemput Istriku. Terimakasih telah membelikannya makan siang!" Raiden menarik tangan Xeena paksa untuk keluar kafe.
"Agera, lepas. Aku tak bisa meninggalkan Nathan sendirian."
"Kenapa tidak?"
"Agera, aku tak bisa meninggalkannya,"
"Tapi kau bisa meninggalkan aku. Kau baru saja meninggalkan aku sendirian." bela Raiden dingin.
"Itu-"
"Xeena, aku suamimu. Su-a-mi." ulang Raiden dengan penuh penekanan. "Dan sebagai suamimu, aku tak mengijinkanmu bersamanya."
"Kau tak bisa melarangku!"
"Bisa! Aku lebih dari sekadar bisa!"
Raiden memaksa Xeena masuk dalam mobilnya. Lalu menatap Nathan penuh benci. Baru saja Raiden akan masuk ke dalam mobil, sebuah tangan menghantam wajahnya kasar. Hal itu membuat Xeena berteriak kaget.
"Nathan!" teriak Xeena lagi saat Raiden membalas meninju wajah Nathan dengan keras.
Raiden menatap Xeena tajam. "Diam di mobil dan jangan coba keluar! Atau kau akan menyesal!"
Xeena terpaku pada kilatan marah di mata Raiden. Hal baru itu membuat Xeena takut. Terlebih Raiden mencengkeram kerah baju Nathan dan membanting Nathan keras. Xeena menangis melihat Nathan yang kesakitan. Mencoba keluar dari mobil dan kembali terpaku saat Raiden menatapnya.
"Keluarlah! Lalu aku akan membunuhnya!"
Xeena membeku dan diam di tempat. Nathan tersenyum dengan ancaman Raiden pada Xeena.
"Pengecut! Aku tak tahu bahwa sahabatku menikahi pria tak normal dan kasar sepertimu!"
"Diam!"
"Kenapa? Bukankah kau seorang gay? Bagaimana jika aku menawarkan tubuhku lalu kau lepaskan sahabatku?"
Raiden tersenyum sinis dengan tawaran Nathan. "Apa kau gila?!"
Nathan tertawa dan melihat kerumunan orang yang telah ramai melihatnya. Nathan mengangkat tangannya menandakan bahwa dirinya baik-baik saja hingga keramaian itu perlahan pecah.
"Sudah kuduga. Bahwa kabar itu tak mungkin benar."
Raiden diam. "Apa masalahmu!"
"Masalahku adalah Xeena! Aku tak ingin sahabatku tersakiti karena menikahi pria sepertimu!"
"Seperti apa? Dengar Tuan Nathan Redrigro Chasiel. Aku memberikan semua hal yang ia inginkan. Kemewahan dan semua hal yang terbaik."
Nathan tertawa. "Aku lega karena kau tak mengenal Xeena dengan baik." Nathan membawa tangannya di pelipisnya. "Pikirkan baik-baik perkataanku, Raiden! Kau tak akan mengenal Xeenaku." Nathan melepaskan tangan Raiden dari bajunya dan melangkah pergi. Menghampiri Xeena dan mengelus puncak kepala Xeena.
"Jangan menangis. Aku baik-baik saja." Nathan tersenyum dan mengecup pipi Xeena. "Dan aku menagih janjiku. Hahahaha,"
"Nathan ...!" teriak Xeena kesal. Setidaknya kini Xeena bisa bernapas lega.
"Jaga dirimu. Sepertinya suamimu tak akan melepaskanmu bersamaku. Apa boleh buat. Aku akan keliling Paris sendirian."
Raiden hanya menatap datar melihat itu semua. Hingga akhirnya ia memilih masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya agar pembicaraan Xeena dan Nathan berhenti.
Sementara itu, Erian mengernyitkan alisnya saat orang kepercayaannya memberikan kabar tentang perusahaan Gilhive. Kini Erian setuju dengan Michael tentang Raiden. Ada sesuatu dengan mereka hingga Raiden perlu bertindak sejauh itu. Erian dengan cepat kembali menemui Michael. Saling berbicara dengan serius tentang tujuan Raiden melakukan itu semua.
Michael tertawa kecil saat mendengar perusahaan kecilnya bangkrut. Hal itu membuat Erian tak mengerti.
"Tuan, kenapa Tuan tertawa?"
"Kau masih tak mengerti?"
Erian mengangguk.
"Menantuku ingin menghancurkan perusahaan kecilku. Kau pikir kenapa? Jika benar dia mencintai Putriku, pasti dia tak akan melakukan itu."
"Itu benar. Lalu kenapa Tuan membiarkannya?"
"Permainan Erian. Biarkan Menantuku puas dahulu. Itu karena ia tak tahu siapa keluarga Gilhive." senyum Michael terkembang. "Dan aku akan buat permainan yang menakjubkan untuk hidupnya."
Erian bergidik. "Ini akan rumit. Tidak, Jika Tuan Raiden tahu siapa keluarga Gilhive yang sebenarnya, maka ia tak akan melakukan ini. Aku merasa kasihan padanya karena telah membuat Tuan Michael marah."
"Lalu apa yang harus aku lakukan, Tuan?" tanya Erian sopan.
"Biarkan perusahaan kita benar-benar bangkrut dan di bawah kendalinya. Lalu aku ingin laporan setiap semua hal yang terjadi pada Putriku. Meski itu di rumah mereka!"
"Itu berarti kita hanya bisa memasukkan mata-mata sebagai pelayan rumah, Tuan."
"Lakukan apapun untuk mengetahui keadaan Putriku. Entah kenapa kini aku merasa tak merestui pernikahan mereka."
Erian diam sesaat, "Akan dilakukan, Tuan."
Di tengah perbincangan mereka, tiba-tiba dering ponsel Michael memecahkan suasana. Michael mengerutkan alisnya saat mengetahui bahwa Raiden yang meneleponnya.
"Ya, Menantuku."
"Daddy, bolehkah aku membawa Xeena berkunjung ke rumah kedua orangtuaku?"
Michael tersenyum. "Tentu. Kalian juga harus melakukan itu. Pergilah dan hati-hati di jalan."
"Terimakasih, Daddy."
Michael kian tersenyum lebar saat telepon itu terputus. Michael menatap Erian dan langsung memberi perintah. "Mereka akan mengunjungi rumah utama Calisto. Apakah orang kita sudah tiba disana?"
Erian mengangguk. "Tuan tahu bahwa jaringan AXG Corp sangatlah luas. Dan kita memiliki semua hal yang kita butuhkan. Mereka langsung melaksanakan tugas saat perintahmu turun, Tuan."
"Bagus."
Sementara di dalam sebuah mobil, Xeena menatap Raiden dengan marah. Ia sama sekali tak tahu bahwa dirinya akan kembali ke bandara untuk pergi ke L.A demi menemui mertuanya. Raiden sendiri sebenarnya tak merencakan itu, namun untuk menghindari berbagai pertanyaan yang akan datang dari mertua tentang perihal kerugian perusahaan Gilhive membuat Raiden ingin pergi jauh. Bahkan setelah dari L.A, Raiden akan langsung kembali ke London.
"Kali ini kemana lagi? Kau bahkan tak pernah membicarakan ini denganku, Agera!"
"Kau lupa? Dalam kontrak kau hanya harus menuruti semua perintahku,"
"Tapi-"
"Aku tak butuh pendapatmu, Xeena."
Xeena diam sesaat. Menatap Raiden yang fokus menatap kedepan. Bahkan Raiden sama sekali tak menatapnya meski Xeena berusaha menahan air matanya. "Aku baru tahu bahwa dirimu adalah pria tak normal yang kasar!"
Hening! Bahkan meski Xeena memaki dengan sumpah serapah sekalipun, Raiden tetap akan diam. Hingga mereka sampai di bandara. Raiden menggandeng tangan Xeena paksa meski Xeena meronta ingin lepas. Tatapan heran semua orang yang melihat itu semua membuat Raiden kian mengeratkan genggaman tangannya.
"Agera, sakit."
"Menurutlah! Semua orang melihat kita,"
Xeena menatap sekitarnya dan menurut pada langkah Raiden. Perlahan genggaman Raiden melunak. Xeena hanya menurut sampai akhirnya ia duduk di kursi pewasat. Menatap Raiden yang menatap lurus kedepan tanpa melihatnya sedikitpun.
"Benar-benar robot tanpa ekspresi,"
================================
See you in next chapter.
Ellina Exsli.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top