THE BIG SURPRISE
"Aku bangkrut deh gara-gara lari ini," keluh Vara saat membetulkan tali sepatunya.
Tidak hanya menghabiskan uang untuk membeli sepatu, sepatu lari kualitas terbaik, tapi Vara juga harus beli sports bra. Tentu saja Darwin yang menyuruhnya untuk beli bra, high-impacted bra, yang harganya setengah dari harga sepatu lari sendiri. Vara tidak paham, olahraga lari katanya murah, tapi nyatanya mahal sekali.
"Lari membuat dadamu bergerak ke segala arah. Up-down, in-out, and side-to-side. Kalau kamu tidak memakai pakaian dalam yang benar, nanti bisa kena masalah di chooper ligaments dan membuat payudara jadi kendor. Mau begitu? Juga tidak akan nyaman kalau dilihat orang, kalau dadamu mantul-mantul. Nanti mereka ngeres otaknya." Waktu itu, waktu menemani Vara membeli bra, Darwin menjelaskan tanpa terlihat risih sama sekali. Membuat Vara yang mendengarnya malu sendiri sampai menutup wajah karena Darwin santai sekali membahas payudara kendor.
"Aku bisa jalan sendiri." Tangan Vara terlepas dari genggaman Darwin dan membuat Darwin tertawa pelan. Vara dan keinginannya untuk tidak bergantung kepada laki-laki benar-benar mengagumkan.
Apa pun itu, Darwin menyukai ini. Dia menyukai hubungannya yang baru dengan Vara. Dengan Vara setuju untuk menjadi kekasihnya, Darwin bisa tenang karena tidak akan ada laki-laki lain yang bersaing dengannya untuk mendekati Vara. Kalau Vara sudah setuju untuk pacaran dengannya, Darwin berani menyimpulkan bahwa Vara menyukainya.
Hanya perlu satu tatapan mata, satu senyuman, satu tawa dan satu jam bercakap-cakap dengan Vara di resepsi pernikahan Amia, untuk membuat Darwin tidak bisa berhenti memikirkan Vara. Lalu Darwin sempurna kehilangan hatinya setelah pertemuan mereka yang ketiga. Setelahnya, Darwin sudah tidak ingin melawan hatinya yang berteriak menginginkan Vara. Dia selalu mendapatkan apa yang dia inginkan dan dia akan selalu mempertahankan apa yang telah dia dapatkan.
Sementara itu, Vara mungkin memerlukan waktu yang agak lama untuk menerima Darwin sebagai kekasihnya. Darwin sedikit bisa memahami. Baginya, mungkin juga laki-laki lain, sangat mudah untuk menyukai wanita dalam sekali lihat. Bisa karena melihat senyumnya yang menawan, wajahnya yang manis atau cantik, tubuhnya yang seksi, wangi parfum yang menggelitik hidung, dan hal-hal yang tertangkap oleh panca indera.
Vara dan wanita lain mungkin punya pertimbangan yang lebih sulit. Sejak awal, mereka harus yakin bahwa Darwin tidak berengsek, taat beragama, punya uang, dan bermacam-macam hal tak kasat mata lain untuk dipertimbangkan.
Darwin yakin hasil akhir dari semua perjuangan ini akan membuatnya bahagia dan dia akan menunggu hingga hari itu tiba. Hari di mana Vara bisa mencintainya.
***
"Hari Rabu nanti aku ke Kuala Lumpur. Balik Jumat malam. Kita ketemu dulu ya sebelum aku berangkat?" Darwin mengantar Vara pulang ke rumah setelah makan siang bersama Dania dan Ferdi selepas acara lari tadi.
"Savara." Darwin menoleh ke arah Vara, yang tidak menjawab sejak tadi. Lalu, tertawa melihat Vara tertidur di kursinya.
"Savara, Sayang, ayo turun. Kamu bisa tidur lagi di rumah." Mobil Darwin sudah berhenti di depan rumah Vara. "Savara, Honey." Darwin menyentuh lengan Vara.
Mata Vara terbuka sebelum otaknya memproses di mana koordinat posisinya sekarang. Depan rumah. "Apa kamu mau masuk? Mama bilang mau ketemu sama kamu."
Vara sudah mempertimbangkan kapan dia akan mengenalkan Darwin kepada orangtuanya. Secepatnya. Ini penting. Karena sekarang Vara akan sering berada di luar rumah dan pulang terlambat karena menghabiskan waktu bersama Darwin. Akan lebih baik kalau orangtuanya tahu dengan siapa anaknya bergaul agar mereka tidak khawatir.
Sambil menenteng sepatu dan tasnya, Vara berjalan masuk rumah. Kakinya baru terasa pegal dan sakit sekarang. Darwin mengikuti di belakang.
"Ma! Mama!" Vara membuka pintu depan dan memanggil ibunya.
"Kenapa teriak-teriak, Vara?" Ibunya muncul sambil membawa koran.
"Ada Darwin, Ma. Mau kenalan sama Mama."
Darwin menyalami ibu Vara sambil menyebutkan nama. Dengan gerakan tangannya, Vara meminta Darwin untuk duduk di ruang tamu.
"Gimana, Ma? Menurut Mama dia ganteng nggak?" Vara mengajak ibunya duduk di sofa. Berseberangan dengan tempat Darwin duduk.
"Vara." Ibunya tertawa.
Vara mengaitkan tangan di lengan ibunya. "Sudah ganteng, uangnya banyak, punya rumah, mobilnya bagus...."
"Sudah lama kenal dengan Vara?" Ibunya mengabaikan candaannya.
"Sudah agak lama," jawab Darwin.
"Kenal pas Amia menikah, Ma. Habis itu kami nggak ketemu lama banget. Sampai aku reuni itu? Berapa bulan? Sepuluh?" Vara sibuk menghitung sendiri.
"Sepertinya." Darwin tidak ingin berhitung.
"Darwin ini adiknya Kak Daisy, kakak iparnya Amia, Ma."
Ibunya mengangguk mengerti. "Kalian sudah makan?"
"Sudah. Papa mana?" Vara menjawab sekaligus bertanya. Yang paling krusial adalah mengenalkan Darwin kepada ayahnya. Kalau ibunya sudah pasti akan setuju dengan pilihannya. Boleh dibilang, mereka memiliki pandangan yang sama terhadap banyak hal.
"Masih keluar. Mama tinggal sebentar ya." Ibunya bangkit dari kursi.
"Ibumu baik," kata Darwin setelah wanita yang berwajah mirip dengan Vara itu berlalu dari hadapannya. Segalanya mirip Vara. Minus galaknya. "Semoga saja nanti saat seusia beliau, kamu sudah tidak galak lagi."
"Aku nggak galak," protes Vara tidak terima. "Mama memang baik, papaku aja yang agak susah dihadapi. Galak. Polisi. Mantan Kepala BNN." Ayahnya pensiun tahun ini dari Badan Narkotika Nasional. Betul-betul meninggalkan dunia kepolisian. Dulu, Vara pernah punya pacar dan ayahnya seperti siap mengokang senapan untuk menembak kepala pacarnya.
"Tidak perlu menakut-nakuti." Darwin mengambil majalah otomotif dari rak koran dan membacanya. Dalam hati agak sedikit khawatir juga kalau harus berhadapan dengan perwira polisi.
"Ya sudah kalau nggak percaya." Vara meluruskan kakinya di sofa panjang sambil memijit-mijit kakinya yang terasa pegal.
"Mobil siapa itu?" Suara berat memenuhi ruang depan rumah Vara.
Darwin menutup majalah. Sepertinya dia harus berhadapan dengan seorang perwira polisi sekarang. Tidak ada waktu untuk mempersiapkan diri.
"Mobil Darwin." Vara menyongsong ayahnya masuk sambil mengambil tiga butir kelapa muda dari tangannya.
"Kenalkan ini Darwin, Pa. Teman dekat." Vara memilih menyebut Darwin begitu di depan ayahnya. Sepertinya kata pacar kurang disukai ayahnya, berdasarkan pengalaman.
Vara berjalan ke dapur untuk menyimpan kelapa muda, sementara itu Darwin dan ayahnya salaman dan berbasa-basi. Dalam hati Vara mendoakan keselamatan Darwin.
"Apa kamu anaknya Pak Rahadi? Yang dulu di Bea Cukai?" Vara mendengar ayahnya bertanya kepada Darwin. Pertanyaan yang membuat Vara mengerang saat kembali ke ruang tamu. Semakin runyam urusan kalau ayahnya sudah kenal dengan orangtua Darwin. Sempit sekali dunia ini.
"Betul, Om." Jawaban Darwin membuat Vara ingin pingsan. Cepat-cepat Vara mendekati kedua laki-laki itu.
"Papa sudah pernah ketemu dia?" Ngeri sendiri Vara melihat ayahnya tersenyum ramah kepada Darwin. Terlalu ramah malah. Tidak ada wajah galak yang dipasang setiap kali Vara diantar pulang oleh teman laki-laki. Kalau mengingat saat itu, orang pikir teman laki-laki Vara adalah bandar narkoba yang tengah diburu anak buah ayahnya.
"Pernah. Waktu Papa sama Mama menghadiri pernikahan kakaknya. Ada kerja sama dengan Bea Cukai, urusan penyelundupan narkoba lewat laut. Jadi kenal baik dengan Pak Rahadi, ayahnya."
Dengan lemas Vara menjatuhkan diri di sofa sambil mengeluh dalam hati.
Seperti tidak peduli terhadap nasib Vara, ibunya kembali ikut duduk bersama mereka, setelah meletakkan nampan berisi minuman dan kudapan di meja. Sekarang kedua orangtuanya mengobrol akrab dengan Darwin. Menanyakan kabar orangtua Darwin, sekarang tinggal di mana dan sebagainya.
Baru kali ini orangtua Vara terlihat sangat bersahabat dengan teman laki-lakinya. Memang bagus. Tetapi tetap saja, menyisakan bagian buruk. Bisa saja Vara disuruh cepat-cepat menikah, karena keluarganya dan keluarga Darwin sudah saling kenal. Vara ingin segera menyudahi percakapan ini dan menyuruh Darwin pulang secepatnya.
"Sibuk dagang saja, Tante. Ada usaha kecil-kecilan sama teman." Darwin menjawab pertanyaan ibu Vara mengenai kesibukannya.
Sekarang Vara hanya bisa diam menyaksikan Darwin meneruskan percakapan dengan orangtua Vara sambil sesekali tertawa. Dengan terlalu tidak sabar, Vara menunggu Darwin pamit dan itu baru terjadi satu jam kemudian. Siapa sangka orangtuanya cukup antusias mendengar cerita mengenai pekerjaan Darwin. Ditambah, mereka juga pernah membaca harian yang memuat profil Darwin.
"Salam untuk orangtuamu." Ayah Vara berpesan saat Darwin salaman.
"Akan saya sampaikan." Darwin mengangguk hormat dan melangkah bersama Vara meninggalkan ruang depan.
"Papamu galak betul ya." Saat berjalan keluar, Darwin menyindir Vara yang tadi berusaha membuat nyalinya ciut.
"Dunia ini sempit sekali." Di antara 250 juta penduduk Indonesia, berapa persen kemungkinan orangtuanya kenal dengan orangtua Darwin? Sungguh kebetulan yang menyenangkan.
Darwin sudah berdiri di dekat mobilnya. "Aku ke Kuala Lumpur hari Rabu. Kita ketemu dulu Selasa malam. Aku ke sini saja ya? Kamu pasti capek habis pulang kerja, jadi ... kujemput sekalian?"
Vara mengangguk mengiyakan.
"'kay, gotta get going, Love." Darwin mencium pucuk kepala Vara lalu meloncat ke mobilnya. "Nanti malam aku telepon."
Vara tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Memang Darwin sering menggunakan panggilan kesayangan. Honey, Beautiful, Baby, atau Sayang. Tetapi cinta? Darwin memang mengatakannya dengan santai, tetapi di telinga Vara, panggilan kesayangan terakhir tadi memberinya beban yang teramat berat. Karena mungkin Darwin mencintainya.
***
Jika teman-teman menyukai cerita yang kutulis dan bisa dibaca gratis di sini, teman-teman bisa mendukungku dengan cara membeli salah satu bukuku: Geek Play Love(Dinar/Jasmine), The Danish Boss(Kana/Fritdjof), My Bittersweet Marriage(Afnan/Hessa), When Love Is Not ENough(Lilja/Linus), Midsommar(Mikkel/Liliana), Bellamia(Gavin/Amia) dan Daisy(Daisy/Adrien). Harga mulai dari Rp 25.000,-
Tersedia di: Toko buku, Shopee Ika Vihara(Bebas ongkir), Google Playstore
Atau WhatsApp aku di 0895603879876 juga boleh message di Instagram (at)ikavihara.
Terima kasih untuk tidak membeli buku/e-book bajakan. Sebab untuk riset dan sebagainya aku memerlukan dana dan hanya dari hasil penjualan buku asli aku bisa menyediakan cerita lain yang bisa dibaca gratis.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top