LOVE WHEN YOU ARE READY
Kuingatkan kembali untuk membaca DAISY, cerita kakak Darwin, dan juga BELLAMIA, cerita sahabat Vara. Semua tersedia di Google Playstore. DAISY adalah bonus pre-order Bellamia, dulu gratis. Sekarang sudah tidak ada versi cetak, hanya e-book saja, dan ada harganya, tidak gratis lagi. Tapi murah kok Rp 25.000 saja.
Selamat e-satnight! ELectronic saturday night.
####
Vara menarik napas dan membuka tas untuk mengambil dompet. Pagi-pagi begini dia sudah melamun, di dalam taksi, dalam perjalanan menuju rumah Amia. Iya, tadi malam sahabatnya yang supersibuk-dengan-suami-hebatnya itu menelepon dan meminta untuk bertemu. Mempertimbangkan Amia yang sudah tidak bisa melihat ujung kakinya sendiri, Vara setuju untuk berkunjung.
"Terima kasih." Vara mengangsurkan uang lalu membuka pintu. Panas. Jam 10 pagi matahari di langit sudah muncul satu. Jam 12 siang nanti akan terasa seperti ada dua matahari di atas sana.
"Savara! Happy birthday!" Amia muncul setelah Vara dua kali menekan bel.
"Seharusnya orang yang ngasih surprise yang datang, ini malah yang dikasih surprise yang datang." Sambil bercanda, Vara menyidindir Amia. Ada cake berbentuk lingkaran di tangan Amia dengan lilin-lilin menyala. Sahabatnya ingat hari ulang tahunnya saja sudah bagus sekali. Paling tidak, Amia tidak sepenuhnya menghapus keberadaannya dari hidup-yang-sempurna-bersama-suami-tercinta.
"Pengennya ya gitu. Tapi aku males jalan karena buntelan ini. Tiup lilin dong, Var!"
Vara tertawa. Hamil adalah alasan andalan Amia untuk malas bergerak. Setelah Vara meniup lilin, Amia berjalan masuk, langsung ke dapur dan Vara mengekorinya.
"Gavin nggak di rumah, Am?" Vara bersiap untuk membelah red velvet-nya.
"Pergi sama Adrien. Lihat tanah. Kamu nggak bawa mobil?"
Pantas saja Amia sempat bertemu dengannya. Suaminya nggak ada, dengus Vara dalam hati. Vara tidak bisa mencegah hatinya untuk tidak sinis. Tapi apa pun itu, yang penting dia ada kesempatan untuk kembali memiliki sahabatnya. Meski hanya setengah hari.
"Aku mau pergi habis dari sini." Vara memindahkan potongan kue ke piring kecil.
"Sama siapa?"
"Sama David Botol." Vara menyebutkan nama salah satu engineer berbadan tambun di kantornya. Saking banyaknya orang bernama David di sana, masing-masing dari mereka dianugerahi nama julukan untuk membedakan.
"Hah? Serius? Kenapa nggak sama Darwin aja? Aku tahu kamu segitu putus asanya karena Mahir sama sekali nggak nanggepin perasaan kamu, tapi ada Darwin. Apa sih kurangnya Darwin itu?"
Sebelum menikah, Amia bekerja satu departemen dengannya di perusahaan produsen listrik. Amia pindah kerja karena menikah dengan Gavin, bos besar mereka, dan merasa tidak nyaman kalau tetap bekerja di sana.
Vara mencabut tisu di tengah meja makan. "Sama Darwin kok."
"Kalau menurutku sih, Var, karena si Mahir itu nggak jelas apa dia mau untuk mencoba menyukaimu, atau dia memang nggak suka sama sekali sama kamu, kenapa kamu nggak mencoba untuk mengenal Darwin aja? Lagian Mahir kerjanya juga nggak diem di satu tempat, kan? Inget alasan kita nggak ikut kerja di bank kayak anak-anak lain di kampus dulu? Karena kita nggak suka pindah-pindah. Kita nyaman di sini.
"Nah, Darwin kerjanya nggak pindah-pindah. Lalu umurnya. Mahir masih seumuran kita. Dia mungkin akan menikah paling nggak ... tiga atau empat tahun lagi. Sedangkan Darwin sudah masuk usia mulai-harus-memikirkan-menikah. Yakin deh dia pasti serius dan nggak main-main." Amia berdiri untuk mengambil kotak karton berisi jus jeruk dari kulkas.
"Amia." Vara mengerang putus asa. "Kamu janji nggak akan jodoh-jodohin aku."
"Siapa yang jodohin kamu? Aku cuma promosiin Darwin."
Sama saja. Vara memutar bola mata.
"Siapa tahu kamu tertarik, Var. Kalau nggak ya nggak papa, nanti aku kenalin Darwin sama teman kita yang lain."
"Kamu pernah bilang, sebaiknya kita menikah dengan orang yang kita cintai." Vara ingat betul Amia mengatakan ini pada malam jelang pernikahannya.
"Memangnya kamu mau menikah besok?" Amia menuang jus jeruk untuk Vara. "Coba saja akrab dengan Darwin dulu. Beri kesempatan dirimu untuk diperhatikan dan disayang. Bukan berarti karena kamu nggak merasakan sesuatu ... apa itu namanya ... seperti di novel-novel itu ... butterflies on your stomach ... pada pandangan pertama, lalu kamu langsung menolak laki-laki baik yang tertarik padamu. Coba berikan waktu dan kesempatan kepada hatimu, nanti kamu lama-lama juga bisa suka.
"Dulu waktu kami pacaran, Gavin pernah bilang kita nggak harus menikah dengan setiap orang yang kita pacari. Jadi nggak usah terbebani dengan target menikah. Biarkan mengalir saja. Kurasa orang akan jatuh cinta kalau terus mendapat perhatian dan disayang."
"Kenapa Mahir nggak jatuh cinta juga padahal aku perhatian sama dia?" Kalau yang dijelaskan Amia benar, seharusnya kondisi ini berlaku juga pada Mahir.
"Aku tahu masih kamu berharap dia menyukaimu. Sebetulnya aku juga berharap Mahir menyukaimu. Dia laki-laki yang baik. Tapi ... kita nggak bisa memaksa orang lain menyukai kita. Kalaupun bisa, pasti sulit. Bukankah lebih mudah membuat diri kita menyukai orang lain, apalagi kalau orang tersebut jelas-jelas menyukai kita?"
Vara memandangi lilin-lilin yang tergeletak di meja. Dua puluh tujuh buah. Sesuai dengan umurnya. Peringatan keras. Dia sudah tidak bisa bermain-main lagi mengenai hal ini. Tahun berapa Mahir akan menyukainya dan saat itu umurnya sudah berapa?
"Oh, sudahlah, hari ini kita nggak usah ngomongin laki-laki." Amia meletakkan garpunya. "Kak Daisy mau ke sini, dia bikin piza dan carbonara untuk makan siang kita."
"Laper apa doyan, Am?" Vara tertawa melihat Amia semangat saat mengingat makanan, padahal mulutnya masih sibuk mengunyah kue.
"Mumpung doyan. Kamu nggak tahu bulan-bulan pertama kemarin aku hampir nggak bisa makan. Gavin sampai pusing mikirin makanan apa yang nggak bikin aku mual. Jangan bilang sama dia, sebenernya aku sengaja bikin dia repot. Dia udah bikin aku kayak gini," Amia menunjuk perutnya, "Kurasa bakal adil kalau dia juga menderita."
Kali ini Vara terbahak. Suatu saat, kalau dia beruntung dan bisa menikah dengan laki-laki yang mencintainya, dia akan meminta saran-saran yang berguna dari sahabatnya. Oh, setidaknya ada manfaat dari menikahnya Amia. Pengalamannya berguna.
***
"Mana kado buatku?" Vara sudah duduk di mobil Darwin. Perutnya penuh sekali. Tadi Daisy datang membawa piza—home made pizza yang membuat Vara ingin menikahinya, iya menikahi pizza—serta membawa carbonara, breadstick, dan panna cotta.
Saat Darwin menjemputnya tadi, Daisy menyuruhnya turun dan makan. Masih kebagian potongan kue ulang tahun Vara juga. Untung Amia bisa menahan diri, tidak menghabiskan semuanya.
"Aku tidak tahu kamu ulang tahun hari ini." Mobil Darwin bergerak meninggalkan rumah Amia. Hujan datang menjelang sore ini.
"Kukira kamu ngajak aku keluar karena kamu tahu aku ulang tahun."
"Aku bosan di rumah terus setiap weekend, jadi aku telepon kamu tadi pagi." Akhir pekannya, kalau tidak dihabiskan di depan komputer atau konsol game, ya dihabiskan untuk tidur. Hanya begitu terus. "Ya sudah, kamu mau kado apa? Kita beli sekarang."
"Rumah." Asal saja Vara menjawab.
"Rumah bukan hadiah ulang tahun, tapi hadiah pernikahan. Aku belikan kamu lima rumah kalau kamu mau jadi istriku."
Vara tertawa. "Ya masa hadiah aku yang nentuin, kan, aku nggak tahu anggaran kamu buat beli kado ulang tahun berapa."
"Dapat hadiah apa dari laki-laki yang kamu suka itu?"
"Dia nggak tahu aku ulang tahun." Tentu saja. Apa yang diketahui Mahir tentang Vara? Hanya Vara yang tahu segala sesuatu tentang Mahir. Karena kemampuan stalking Vara sudah ada bahkan sebelum media sosial populer.
"Good. Jadi posisi kami sama," kata Darwin.
Vara memilih untuk tidak menanggapi. Apa dia harus mengikuti saran Amia untuk mencoba memberi kesempatan pada laki-laki yang duduk menyetir di sampingnya ini? Laki-laki yang mengaku menyukainya, tapi Vara tidak memiliki perasaan apa-apa padanya.
####
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top