I COULD MAKE YOUR DREAM CAN TRUE
Jika teman-teman suka membaca cerita yang kutulis, aku berharap kalian membeli salah satu bukuku, tersedia di toko buku dan Google Playstore. Atau di Shopee, Bukalapak dan Tokopedia Ika Vihara. Jika tidak ingin beli, teman-teman bisa membantuku dengan mem-vote, meninggalkan komentar, atau men-share cerita ini. Apa pun upaya teman-teman untuk memberiku dukungan, aku sangat berterima kasih.
####
"Gila. Aku kaget banget waktu kamu udah kirim foto bayi aja tadi," kata Vara setelah Daisy meninggalkan mereka. Amia tidak pernah mengatakan kapan dia akan melahirkan.
"Cepet banget soalnya. Untungnya sih. Aku udah serem aja waktu ingat Lea. Kak Daisy dulu sampai hampir sehari nungguin Lea keluar. Anakku kayaknya nggak sabaran gitu. Eh, kok Darwin nggak ikut ke sini?"
"Nggak. Aku pengen sendiri. Menenangkan diri." Juga memikirkan apa yang harus dilakukan untuk melupakan perasaan cintanya kepada Mahir. Sebelum urusan patah hatinya beres, rasanya Vara belum bisa membuat keputusan terkait Darwin.
"Setuju. Menjernihkan hati seperti menjernihkan air berlumpur. Harus sabar menunggu sampai lumpurnya mengendap dan airnya bisa diambil lalu dipakai. Darwin juga pasti setuju." Amia tersenyum mengerti.
Vara melihat suster masuk dan menyerahkan bayi kecil kepada Amia.
"Cantik banget kamu, Tasha." Dengan ujung jari telunjuknya, Vara menyentuh pipi mungil Tasha. Warnanya masih merah sekali.
Tanpa sadar Vara bergantian memperhatikan wajah sahabatnya dan wajah Tasha. Amia sedang tersenyum penuh cinta dan kebahagiaan, menatap anaknya yang tidur nyenyak di pelukannya.
"Sekarang kamu sudah jadi ibu, ya, Am. Nggak nyangka." Seharusnya Vara tidak terkejut akan hal ini. Amia adalah orang yang selalu lebih dulu memulai hal-hal besar di antara mereka berdua. Orang yang lebih dulu menikah. Yang lebih dulu membeli rumah bersama pasangan. Yang lebih dulu hamil. Yang lebih dulu menimang bayi.
Meski mereka satu angkatan sekolah, tapi Amia hampir setahun lebih tua darinya.
"Aku juga nggak tahu apa aku siap menjadi ibu. Tapi kamu akan bantu Momma, iya kan, Sayang?" Amia mencium anaknya. "Dia nangisnya kenceng banget. Apa coba yang bikin nangis? Ada Momma sama Papa di sini. Ada Tante Vara. Semua sayang sama Tasha."
Saat ini, Vara mendapati sosok sahabatnya begitu berbeda. Mereka memang tetap membicarakan hal-hal menggelikan yang tidak dipahami orang lain seperti tadi. Tetapi Vara merasa dia sedang berhadapan dengan orang lain. Bersama dengan bayinya, Amia terlihat sangat mengesankan. Tampak sangat hebat di mata Vara.
Jika sebelumnya Vara sudah khawatir akan mengalami baby sadness, maka saat ini kekhwatirannya terkonfirmasi. Akan ada jurang yang lebih dalam dan lebar yang memisahkannya dengan Amia setelah ini. Vara yakin.
Amia akan sibuk dengan anaknya. Semakin tidak ada tempat untuk teman yang single begini. Setiap hari, Vara hanya akan sibuk memandangi foto bayi yang dikirim Amia melalui WhatsApp. Kalau punya bayi yang cantik dan lucu begini, siapa yang tidak ingin pamer? Amia akan menceritakan tentang anaknya dan Vara akan merasa konyol sekali, karena masih saja sibuk dengan urusan patah hatinya yang tidak kunjung selesai. Di saat Amia tidak bisa tidur karena bayinya menangis di malam hari, Vara tidak bisa tidur karena masalah kasih tak sampai.
Vara merasakan ponselnya bergetar. Foto selfie Darwin di bandara.
Jangan nakal selama aku pergi.
Sebelum membalas, Vara mengangkat ponselnya, memotret Amia dan Tasha. Lalu mengirimkan kepada Darwin. Membagi kebahagiaan ini bersamanya.
Kamu ingin punya bayi juga? Aku tidak keberatan mewujudkannya.
"Shit!" Vara mengumpat pelan. Kenapa Darwin malah menganggap itu kode?
"Vara!" desis Amia. "Tasha dengar."
***
Siang ini Darwin tidak sedang berada dalam suasana hati yang baik untuk mengganggu Ferdinan dan Dania yang akan kembali keliling Bali. Biasanya Darwin sengaja ikut, hanya untuk membuat adiknya—yang ingin berduaan dengan calon suami—kesal. Melihat semua orang berduaan, Daisy dan Adrien, Dania dan Ferdinan, membuat Darwin merasa terkucil. Hanya dia saja yang tidak punya pasangan. Ketika Darwin mengusulkan bonding time tanpa melibatkan pasangan kepada kakak ipar dan calon adik iparnya, Daisy mengoloknya. "Kalau kamu kesepian karena semua temanmu sudah menikah, itu tanda bahwa kamu harus menikah."
"Nama Om siapa?" Lebih baik dia menghabiskan waktu dengan Lea saja. Sengaja Darwin memberikan selembar uang seratus ribu kepada Lea. Sebagai sogokan, karena sejak tadi Lea diam tidak menanggapinya.
"Awin," jawab Lea, yang sedang duduk di lantai, sambil memainkan uang di tangannya.
"Kamu memang anak Daisy. Harus disogok dulu baru mau menuruti Awin. Awin ganteng?" Darwin berbaring telungkup di lantai di depan Lea.
"Ganteng." Kalau uang seratus ribu saja bisa membeli pengakuan, bagaimana dengan tujuh puluh lima juta? Bisa membeli paket ujaran kebencian.
"Kalau sudah besar nanti, Lea cari pacar seperti Om Awin ya ... ganteng, tidak pelit...." Darwin memasang wajah yang serius sekali saat menasihati Lea.
"Omong-omong soal pacar ... kapan itu kita ketemu Elaisa ya? Di rumah sakit." Daisy meletakkan ponselnya, lalu bertanya kepada suaminya yang baru datang dan ikut duduk di sofa di sampingnya.
"Dia bukan pacarku lagi dan dia sudah bahagia. Punya keluarga. Kamu tahu urusan kami sudah selesai sejak bertahun-tahun yang lalu, kan?" Darwin membantu Lea membalik kertas yang sedang digambari—dicoret-coret lebih tepatnya.
"Tahu. Dia baik dan ramah. Dia tanya kabarmu," jawab Daisy.
Darwin hanya mengangkat bahu. Sejak dulu Elaisa memang baik dan ramah kepada siapa saja. Salah satu faktor yang membuat Darwin menyukainya. Bukan karena Ela pernah memenangi pemilihan duta wisata, tetapi karena kebaikan hatinya. Bahkan setelah menikah, Elaisa masih berusaha memperbaiki hubungan dengan Darwin. Hubungan pertemanan. Hanya saja Darwin menolaknya. Tidak akan mungkin orang bisa berteman dengan mantan pacar. Kecuali salah satu masih menyimpan perasaan.
"Aku setuju dengan Darwin. Untuk apa mengurusi mantan yang sudah menikah. Buang-buang waktu saja. Lebih baik cari pasangan baru. Seperti sudah habis saja wanita di dunia ini. Coba hitung, dunia ini isinya tujuh miliar orang, asumsikan separuhnya adalah wanita. Berarti jumlah wanita adalah tiga setengah miliar. Empat persen dari penduduk dunia ada di Indonesia, maka jumlah wanita di Indonesia...."
"Please, Adrien. Ini ngomongin jodoh. Bukan ngomongin pangsa pasar." Daisy menghentikan hitungan Adrien.
"Sama saja. Ini sama-sama masalah prospek."
"Ya tapi bukan begitu juga. Bedakan urusan bisnis dengan urusan jodoh."
"Hei, Lea, kita beli es krim, mau?" Darwin menanyai Lea yang terlihat bosan dengan buku gambarnya.
Tidak ada gunanya mendengarkan perdebatan tidak penting antara Adrien dan Daisy. Melihat mereka berdua Darwin merasa ngeri sendiri. Apa dia akan bernasib seperti Adrien setelah menikah nanti? Tidak bisa menang berdebat versus istri?
Kalau yang jadi istrinya adalah Vara, sepertinya jawabannya adalah iya.
Semua masih jauh panggang dari api. Melupakan Mahir saja Vara belum bisa, apalagi memberi Darwin kesempatan.
***
Ada satu halaman penuh yang menceritakan tentang Zogo di koran yang dibaca Vara. Juga foto dua orang laki-laki. Darwin Dewanata dan Ferdinan Abiyasa. Founder dan co-founder Zogo. Hari ini, Vara yakin semua gadis lajang di seluruh provinsi akan mem-follow akun media sosial Darwin dan Ferdinan. Tidak usah membaca isi artikelnya, foto mereka berdua saja sudah sangat bisa menarik perhatian. Di bagian kanan ada kolom biodata dan fakta. Umur mereka hampir 31 tahun dan belum menikah.
"Banyak juga orang keren begini di deket sini," gumam Vara saat membaca bagaimana awal mula mereka berdua mendirikan Zogo. Dari setengah halaman koran di tangannya, Vara mempelajari data diri Darwin. Tanggal lahirnya. Kota kelahirannya. Di mana menamatkan sekolahnya. Juga ada fakta-fakta unik mengenai Darwin. Hobi mengoleksi kartu pos? Vara tertawa. Tidak suka makanan pedas? Payah.
####
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top