FIRST DATE
Terima kasih sudah mengikuti ceritaku di sini. Besok libur mungkin aku akan mengambil waktu untuk mengecek cerita ini lagi chapter per chapter, siapa tahu ada bagian yang terlompati. Sebab konsentrasiku banyak terbelah belakangan. Jadi, selamat liburan teman-teman, salam untuk keluarga dan siapa saja yang menemani kalian.
####
"Aku malah malas ikut kalau gitu." Darwin ini mengajak tapi mengejek.
"Nanti sore kita ketemu, ya? Aku mau kasih kamu race pack-nya. Kamu bawa mobil hari ini?" Darwin tidak ambil pusing dengan keberatan Vara.
"Bawa sih...." Ragu-ragu Vara menjawab.
"Jemput aku di Zogo, Vara. Nanti sekalian beli sepatumu. Lalu latihan sebentar."
"Tunggu dulu! Kenapa kamu jadi memutuskan sendiri begitu?" Vara bahkan belum mengatakan apa-apa. Belum bilang setuju dan mau untuk ikut lari bersama Darwin.
"Lho, tidak mau menjemputku? Kalo begitu aku yang menjemputmu."
"Bukan gitu, Darwin." Vara jadi gemas sendiri. "Mana tahu aku lembur malam ini."
"Digaji berapa sampai kamu itu rela tinggal di kantor lama-lama? Berhenti saja jadi buruh korporasi begitu." Menurut Darwin, kalau hidupnya seperti itu, Vara tidak ada bedanya dengan programer di kantornya. Yang malas sekali pulang. Bedanya, alasan mereka di kantor adalah Wi-Fi dan makanan gratis.
"Kalau aku berhenti terus aku jadi apa?" Komentar Darwin membuat Vara kesal. Tidak semua orang diberkati dengan tekad kuat seperti Darwin sampai mau keluar dari zona nyaman. Mundur dari kawasan gaji tetap.
"Istri founder Zogo."
"Kalau jadi istrimu, aku juga akan tetap jadi buruh korporasi." Apa Darwin berpikir Vara adalah tipe wanita yang hanya akan duduk di rumah menghitung uang suami?
"We'll see. Aku punya banyak cara untuk membuatmu berhenti. Kalau kamu punya sepuluh anak, mau tidak mau kamu akan berhenti dan membuka day care."
Vara tertawa lagi. "Ya sudah, kirim alamatmu nanti aku ke sana."
Kekesalannya hanya bertahan sebentar saja karena candaan Darwin.
"Oke." Dengan senang hati Darwin akan menggambar sendiri petanya, kalau perlu.
Vara memeriksa ponselnya sambil menunggu lift turun ke lantai satu.
Wakatobi. Kamu kapan2 coba liburan ke sini.
Mahir mengirimkan WhatsApp lagi hari ini. Setiap hari. Tidak pernah absen satu kali pun.Vara benar-benar tidak memahami cara berpikir laki-laki di sekitarnya. Darwin dengan terang-terangan menunjukkan ketertarikan kepadanya. Sudah berapa kali laki-laki itu menyebut kata istri? Sebut saja Vara GR, tapi itu terdengar seperti kode di telinga Vara. Bahwa Darwin mengharapkan adanya hubungan lebih di antara mereka berdua. Sedangkan Mahir yang sejak dulu mengaku menyukai Amia, akhir-akhir ini berusaha menarik perhatian Vara. Sayangnya, dia tidak tinggal di sini lagi dan hanya bisa melakukannya melalui instant messenger seperti ini.
***
Vara meninggalkan kantor tepat pukul lima dan membawa Tiny Mouse-nya menyusuri jalan mencari di mana kantor Darwin berada. Amia yang menyebut mobil Yaris lawas milik Vara—mobil bekas dari kakaknya—ini sebagai mouse. "Ini mobil apa mouse komputer sih, Var? Kecil banget." Tetapi biarpun kecil, mobil berwarna merah ini adalah benda kesayangannya. Membantu geraknya. Mempermudah hidupnya. Beruntung kakaknya harus pindah ikut suaminya ke luar Jawa dan meninggalkan Tiny Mouse untuk Vara.
Di dalam mobil ini juga, Amia pernah menangis karena patah hari, galau karena disukai atasan mereka, bahagia karena melewati satu tahun pacaran bersama Gavin, dan lain-lain selama perjalanan pulang kantor. Dulu. Sekarang tidak pernah ada lagi orang yang menumpang mobil mini berwarna merah ini.
Sejak keluar dari kantor petang ini, berkali-kali Vara mencoba menelepon Darwin. Ingin menyuruh Darwin menyambut kedatangannya. Menunggu di depan gedung supaya mereka bisa langsung berangkat. Hemat waktu.
Tetapi tidak ada jawaban hingga jawaban.
"Gimana sih? Dia yang nyuruh datang juga," gerutu Vara.
Vara membuka aplikasi Maps. Kantor Darwin itu tempatnya programer, pasti ada banci media sosial di sana yang menandai lokasi. Dan benar, ada. Vara mendaftarkan koordinatnya lalu membuat petunjuk arah untuk menuju ke sana. Orang zaman sekarang seharusnya pacaran sama Google saja. Lebih bisa diandalkan, batin Vara.
Vara membelokkan mobilnya ke kanan, mengikuti suara wanita yang memberi petunjuk di ponselnya. Dan terus melaju mencari-cari keberadaan kantor Zogo. Mobil Vara berhenti di depan bangunan dengan tulisan Zogo besar berwarna merah hitam di dinding bagian atas. Setelah memarkir mobilnya, Vara berjalan keluar sambil berusaha menelepon Darwin lagi. Tetap tidak ada gunanya.
Di balik pintu kaca, Vara langsung berhadapan dengan front office, ada tulisan Zogo di dinding. Front office-nya kosong melompong. Mungkin karena sudah lewat jam kantor.
"Mencari siapa?" Vara hampir melonjak saat mendengar suara orang menyapanya. Ada laki-laki muda dengan seragam office boy biru tua di belakangnya.
"Darwin. Sudah janjian...," jawab Vara setelah agak hilang rasa kagetnya.
"Mas Darwin di lantai tiga." Laki-laki muda itu menunjuk tangga di kanan Vara.
"Oh ... terima kasih. Langsung naik?" Vara belum tahu prosedur untuk tamu di Zogo.
"Langsung saja, Mbak."
Setelah mengucapkan terima kasih, kaki Vara bergerak menuju tangga. Di ujung teratas tangga, Vara mendapati sebuah ruangan luas di depannya. Lebih terlihat seperti rumah daripada kantor. Ada meja biliar, meja tenis, dan soccer table. Sofa bed juga ada. Tampak juga punggung Darwin. Duduk di lantai menghadap layar TV besar yang menampilkan gambar orang-orangan saling baku hantam. Darwin bermain melawan satu orang temannya. Ini alasan Darwin tidak menjawab teleponnya? Sibuk main game?
"Darwin," sapa Vara setelah berdiri cukup dekat.
"Sudah datang? Tunggu ya, kurang sedikit lagi.... Oh shit!" Darwin memang menjawab, tetapi sama sekali tidak menoleh kepada Vara.
"Ya kalo udah di sini udah datenglah." Vara duduk di sofa dan menonton game yang dimainkan Darwin.
Konyol sekali orang yang pernah mengatakan bahwa salah satu tanda laki-laki mencintai kita adalah, jika mereka rela menghentikan kegiatan apa saja yang sedang mereka lakukan, untuk memperhatikan kita. Kalau Darwin suka dengannya, paling tidak dia akan mem-pause game-nya dan menerima teleponnya, kan? Karena ponsel Darwin tergeletak di lantai di situ juga.
Laki-laki di dunia ini sama saja, Vara memperhatikan Darwin. Kebanyakan laki-laki menyukai segala hal yang melibatkan gerakan menendang, melempar, atau memukul. Sepak bola? Basket? Tinju? Kalau tidak bisa melakukan itu secara langsung, konsol game alternatifnya. Persahabatan antara laki-laki bisa dimulai dari depan TV dan bersama-sama bertingkah seperti anak-anak. Seperti Darwin yang sedang bicara dengan temannya, mengomentari gulat di layar kaca sambil mengumpat dan memberi semangat kepada jagoannya. Kenapa jagoannya yang diberi semangat kalau jari Darwin yang mengendalikan gerakannya?
Darwin sudah selesai dengan permainannya dan membiarkan temannya yang membereskan. "Kunci mobilmu?"
"Eh?" Vara linglung menyerahkan kunci mobilnya.
"Mobilku di rumah. Aku ke sini naik sepeda tadi," jelas Darwin ketika turun tangga.
"Enak bener kamu kerjanya. Main game. Pulang duluan." Seandainya Vara punya pilihan seperti itu juga. Santai.
"Enak. Tidak ada bosnya. Makanya aku suka kerja di sini." Darwin mendorong pintu kaca sambil tertawa. "Mana mobilmu?"
"Itu." Mobil merah Vara tepat berada di depan mereka. Di antara minibus dengan warna persis seperti logo Zogo dan HRV berwarna putih.
"Kecil banget. Muat ini?" tanya Darwin saat membuka pintu.
"Jangan menghina!" Vara duduk di kursi depan.
"Kursinya tidak bisa mundur lagi?" Ruang di antara kemudi dan jok terasa kurang lega untuk kaki panjang Darwin. Lututnya bisa menghalangi gerak roda kemudi.
"Sumpah deh! Kamu turun dan naik ojek sana! Aku tunggu di mal."
"Memang sempit buat.... Okay, sorry ... ini matic?" Darwin mencari aman dengan tidak membahas ukuran mobil.
"Aku aja yang nyetir sini! Kamu diem aja sana di bagasi!"
"Bagasinya juga kecil. Kalau dalam scene pembunuhan di film, mobilmu tidak bisa dipakai untuk menyimpan mayat...." Darwin tertawa melihat Vara semakin melotot. "Sorry, Honey. Can't help it."
Darwin memundurkan mobil Vara.
"Kenapa masalah mobil aja kamu cerewet begini? Apa bedanya coba automatic sama manual? Sama-sama mobil ini." Punya satu mobil bekas begini saja sudah sangat patut disyukuri. Vara tidak akan meminta macam-macam lagi.
"Beda. Karena AM itu, kalau aku menyebutnya mobil nenek-nenek. Nyetir ini rasanya seperti nyetir golf cart." Bagi Vara mungkin sama saja. Bagi Darwin tentu saja berbeda. Hanya duduk dan jempol kakinya menginjak pedal gas saja?
Mobil Vara bergabung dengan kemacetan panjang lepas dari kantor Darwin.
"Jadi aku seperti nenek-nenek?" Vara tidak terima.
####
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top