A KISS IS NOT JUST A KISS
DARWIN menyandarkan punggungnya dengan nyaman di kursi ruang tamu Vara. Sejauh ini penerimaan keluarga Vara terhadap dirinya baik sekali. Malah dia sudah ikut makan malam di sini bersama orangtua Vara. Makan malam resmi. Sengaja diundang dan dimasakkan secara khusus. Bukan kebetulan datang saat jam makan, lalu diajak bergabung demi kesopanan. Ibu Vara bahkan bertanya, melalui Vara, apa makanan kesukaan Darwin.
"Kenapa kamu duduknya jauh begitu?" Darwin tidak mengerti kenapa Vara tidak mau dekat-dekat dengannya. "Memangnya aku bau?" Penerimaan keluarga Vara memang baik, tapi sikap Vara terhadapnya masih begitu-begitu saja.
"Nggak enak nanti dilihat Mama," kilah Vara.
"Kamu suka sekali makan itu?" Saat Darwin menawarkan untuk membawa makanan, Vara meminta untuk dibelikan popcorn di bioskop. Sambil menggelengkan kepala, Darwin mengamati Vara yang asyik menikmati makanan tidak mengenyangkan itu.
"Thank you." Vara mengangkat wadah di pangkuannya.
"Thank you? Itu saja?" Darwin tidak percaya kerja kerasnya untuk mampir ke mal, setelah susah-susah menembus jalanan yang macet sekali sore ini, hanya berbuah ucapan terima kasih. Apa Vara tidak tahu berapa banyak jumlah dosa yang masuk ke rekening amal Darwin, yang mengurangi pahala, karena terlalu banyak mengumpat sepanjang perjalanan?
"Itu, aku sudah ganti dengan es jeruk kelapa muda buatan Savara. Di dunia ini cuma Papa dan kamu yang pernah merasakan." Telunjuk Vara menyentuh satu pitcher es jeruk kelapa muda di meja di depan mereka. Spesial dibuat untuk Darwin dari bahan-bahan pilihan. Jeruk Pontianak segar. Kelapa muda terbaik. Ditambah madu murni.
Terima kasih apa lagi yang diharapkan Darwin? Dia juga sudah ikut makan malam dengan keluarga Vara dan memuji-muji setinggi langit gurami bakar spesial buatan ibu Vara. Dengan wajah cerah Darwin menghabiskan semua makanan. Seperti tahu betul bahwa itu adalah cara yang efektif untuk mengambil hati ibu Vara. Tidak ada yang bisa membuat ibu Vara merasa sangat bahagia selain masakannya, yang sudah susah payah dimasak, tandas tidak tersisa.
Masalah di rumah ini, Vara tidak terlalu banyak makan dan papanya sedang mengikuti aturan diet dokter. Darwin adalah penyelesaian dari semua itu.
Tidak heran kalau Darwin bisa sukses menjual software-nya. Ilmu komunikasinya dahsyat sekali. Darwin tahu bagaimana cara berkomunikasi yang efektif dan membuat lawan bicara setuju dengannya. Seperti yang dilakukan Darwin kepada kedua orangtua Vara. Malam ini, Vara yakin hati ibunya sudah seratus persen milik Darwin, hanya gara-gara seekor gurami seberat setengah kilogram.
"No kiss?" Darwin tetap tidak bisa terima, meski mengakui es jeruk kelapa muda buatan Savara enak sekali di lidahnya. Yang pernah dibeli Darwin di luar sana tidak seenak buatan Vara. Kalau tidak ingat malu, Darwin ingin membawa pulang semua.
"Ciumanku nggak semurah itu."
"Tidak bisa dibiarkan seperti ini." Darwin menggelengkan kepala. "Apa aku harus membeli mesin popcorn untuk dapat satu ciuman? Lalu aku harus punya ladang jagung untuk mas kawin pernikahan kita?"
Vara tertawa sampai terbatuk mendengar keluhan Darwin. Punya sawah penuh dengan jagung meletup sepertinya menyenangkan. Paling tidak, dia bisa menjual hasil panennya ke bioskop lalu membeli popcorn matang dari sana. Popcorn buatan sendiri atau beli di toko tidak pernah seenak popcorn di bioskop, menurut lidahnya. Karena jenis garam dan minyak yang digunakan berbeda, Vara tahu itu. Yang ini menggunakan minyak kelapa.
"Kenapa kamu suka makan ini? Makanan tidak sehat." Darwin meraup popcorn dari ember di tangan Vara. Tadi Darwin sengaja membeli ukuran paling besar yang ada di sana untuk Vara. Wajah bahagia Vara saat memangku makanan favoritnya tidak bisa dilewatkan. "Jangan bilang alasannya life is full of drama, you need popcorn."
"Karena enak." Forget the word 'health'. Vara tahu makanan ini berkalori tinggi. Tetapi begitu jarinya terkena garam dalam popcorn, Vara tidak bisa berhenti mengambil lagi dari wadah dan memasukkan ke mulutnya. Lalu menjilati jarinya sampai bersih.
"Enak dari mana?"
"Kukira kamu nggak bakal mau dititipin ini tadi." Mulut Vara kembali sibuk mengunyah. Dia sedang tidak ingin berdebat dengan Darwin mengenai perbedaan selera.
"Kamu tahu, Savara? Aku masih merasa kamu tidak bisa mempercayaiku." Darwin tidak tahu apa yang membuat Vara berpikir bahwa Darwin tidak akan bersedia membelikan jagung untuknya.
"Nggak bisa mempercayai gimana?" Tangan Vara menggantung di udara.
"Bahwa kamu bisa mengandalkanku. Aku ada di sini, siap melakukan apa saja untukmu. Kamu tidak perlu takut untuk meminta apa saja dariku. Sepanjang aku mampu, aku akan mengusahakan untukmu. Because I love you, Savara. Just as you are. And I'd do anything for you, anything you want me to." Apa Vara masih merasa bahwa bergantung kepada Darwin—kekasihnya sendiri—termasuk perbuatan yang merepotkan? Jangankan membeli jagung, menanam jagung pun akan dia lakukan untuk Vara.
Vara menjatuhkan kembali popcorn di tangannya ke dalam wadah, mengambil gelas berisi air putih di depannya dan cepat-cepat meminumnya. Berusaha membuat lidahnya lancar bicara. Dia belum sanggup mendengar satu kalimat ini. I love you just as you are. Darwin mencintainya. Mencintainya apa adanya. Tidak mengharapkan Vara berubah menjadi siapa-siapa. Dia hanya perlu menjadi seorang Vara. Bahkan Vara tidak perlu melakukan apa-apa untuk membuat Darwin mencintainya. Tidak perlu menyukai Darwin untuk membuat Darwin menyukainya.
"Jangan mengada-ada. Mana pernah aku nggak percaya sama kamu?" Vara meletakkan wadah popcorn-nya di meja. Supaya Darwin percaya, ingin sekali Vara bisa membalas kalimat cinta dari Darwin. Hanya satu kalimat. I love you too. Satu kalimat itu bahkan terlalu susah untuk keluar dari mulutnya. Karena kalimat itu tidak ada di dalam hatinya. Dari mana dia harus mengeluarkannya?
"Mungkin itu hanya perasaanku saja." Darwin menghabiskan minuman di gelasnya. "Aku ingin tahu apa yang kamu rasakan, Vara. Apa kamu lelah? Marah? Tertekan?"
Vara menelan ludahnya sendiri. Tidak menyangka Darwin agak peka dengan hal-hal semacam ini. "Kenapa aku harus marah?"
Memang seharusnya Vara marah kepada dirinya sendiri. Karena dia tidak bisa juga memandang Darwin sebagai kekasih. Vara ingin membenturkan kepalanya ke dinding, siapa tahu dengan begitu dia bisa berpikir lebih waras.
"Karena aku memaksamu untuk mempercepat hubungan kita." Melabeli Vara dengan status miliknya memang sudah terlaksana, sesuai yang dia inginkan. Tetapi hati Vara belum masuk dalam paket tersebut. Dijual terpisah.
"Aku menyetujui hubungan kita, Darwin." Vara menundukkan kepala.
"Bibirmu memang bilang setuju, tapi hatimu siapa yang tahu." Darwin menggumam.
Vara menelan ludah. Inilah salah satu tantangan menjalin hubungan dengan laki-laki sekelas Darwin. Dia cerdas sekali, tidak akan mudah dibodohi.
"Aku pulang dulu ya." Tiba-tiba Darwin berdiri, sebelum Vara membela diri.
"Kamu belum pamit sama Mama dan Papa," kata Vara, sambil ikut berdiri.
Darwin memeriksa jam di pergelangan tangannya. "Tolong sampaikan pamitku pada orangtuamu, aku tidak ingin mengganggu istirahat mereka."
"Kenapa kamu buru-buru sekali?" Vara merasa tidak enak saat berjalan mengantar Darwin keluar, khawatir ada perkataannya yang menyinggung perasaan Darwin.
"Ada yang harus kukerjakan. Aku berangkat ke Malaysia besok siang. Kita ketemu lagi nanti hari Jumat. Kalau pesawatku tidak masuk ke laut." Darwin berdiri menghadap Vara di depan mobilnya.
"Jangan bicara aneh-aneh." Orang tidak boleh bercanda dengan kematian. Apa saja yang keluar dari mulut kita, bisa jadi dianggap doa, dan bisa terkabul.
Darwin mengulurkan tangan dan menyentuh pipi kanan Vara. "Aku pasti pulang. Karena merindukanmu."
Seharusnya Vara tahu apa yang akan dilakukan Darwin saat wajah Darwin semakin mendekat ke wajahnya. Dan seharusnya Vara melakukan hal yang sama. Namun, Vara hanya bisa mematung tak bergerak ketika bibir Darwin menyentuh bibirnya. Vara bisa merasakan bahwa Darwin tidak akan menyukai respons Vara.
"Apa kamu belum pernah ciuman?" tanya Darwin setelah menarik wajahnya.
"Per ... nah...." Terbata, Vara menjawab.
"Kalau begitu lakukan dengan benar," desis Darwin.
"Darwin ... itu ... aku ... maaf...." Vara benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa.
"Kamu tidak suka aku menciummu?" A kiss is not just a kiss. It is sign that two people are a good match. Katanya begitu. Jadi, kalau Vara tidak menyukainya ciumannya, apa Darwin boleh menyimpulkan bahwa Vara tidak mencintainya?
"Aku belum nyaman kita tiba-tiba jadi sedekat ini. Apa boleh ... kita pelan-pelan saja? Seperti ini dulu...." Vara meraih tangan Darwin dan menggenggamnya. "...bergandengan tangan. Aku belum nyaman untuk...."
Darwin menarik tubuh Vara dan mendekap kepala Vara di dadanya. "Katakan padaku, Vara, apa yang harus kulakukan? Kadang-kadang aku merasa sulit sekali untuk mendapatkan hatimu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top