Tiga
Beri taburan bintang dulu, Guys 😍😘
Mataku menyipit melihat lelaki yang tak asing berdiri di luar pagar.
"Mas Indra?"
"Kenapa? Iya, Sayang. Ini aku,"
"Tapi kan, Mas ...."
"Ssstt, buka pagarnya," perintahnya.
Kuturuti kemauan lelaki itu, saat pagar terbuka, cepat ia mendekapku ke dalam peluknya. Air mata tumpah begitu saja tanpa permisi, kurasakan napas suamiku, ia pun menahan tangis.
"Malam ini aku disini, Sita."
Pelan kuurai pelukannya.
"Tidak, Mas. Jangan, lakukan kewajibanmu sebagai suami. Dia telah resmi menjadi istrimu," ucapku getir.
Mas Indra tak bereaksi, ia masih diam. Terdengar helaan napas berat darinya.
"Sita aku ...."
"Sudah malam, Mas. Aku tidak ingin Mami, Papi kebingungan mencarimu. Mereka pasti akan menyalahkanku." Kupotong kalimatnya.
Lelaki jangkung di depanku itu mengacak rambutnya. Ia terlihat sangat kacau. Jauh di sudut hati aku tak rela melihat suamiku dalam keadaan seperti ini. Ingin kubawa dia masuk dan memberi pelayanan terbaik untuknya. Namun, itu tak mungkin. Sebab malam ini dia milik perempuan lain yang juga punya hak sama denganku.
"Pulanglah, Mas," ucapku dengan suara bergetar. Perlahan aku membuat jarak dengannya dan melangkah mundur. Mas Indra hanya menatapku sendu.
"Sita, aku manusia biasa, punya keterbatasan. Maafkan aku yang tak kuasa menolak permintaan Mami," ujarnya melangkah mendekat.
Aku mengangguk mencoba membuat senyuman meski hati teriris. Kembali kuucapkan agar dia pergi, karena malam ini adalah milik Sonya bukan milikku. Meski aku tahu ia tak ingin membuatku sedih, dengan berat hati Mas Indra pergi.
Tak mau sedih berlarut, kurebahkan tubuh ke pembaringan. Kilas pernikahan lima tahun lalu tergambar jelas diingatan. Saat itu aku menjadi perempuan paling bahagia.
Bagaimana tidak, menjadi istri seorang pria tampan, mapan dan mandiri yang kuyakin siapa pun akan memimpikannya. Kebahagiaan pun tampak pada ke dua orang tuaku. Kami semua larut dalam pesta hari itu. Doa serta harapan mereka selipkan. Mami, papi juga punya harapan besar pada pernikahan kami saat itu.
Tapi rupanya Allah masih mempunyai rencana lain. Dia masih ingin mendengar tangis kami, Dia masih ingin melihat kesabaran kami. Terlebih aku, Allah ingin mendengar suara tangisku di sepertiga malam-Nya.
Kucoba memejamkan mata, menenangkan diri tanpa harus membayangkan kebahagiaan Sonya.
***
Setelah malam itu kurasa hidup telah berubah. Meski Mas Indra dua hari sekali mendatangiku tanpa ada hal yang berkurang, tapi tetap saja aku merasa ada yang hilang.
"Sita, sebaiknya kamu jangan pergi, tetap di sini," ucap Mas Indra sesaat setelah aku melepaskan pelukannya.
"Aku mau mandi, Mas. Sebentar lagi subuh."
"Masih ada waktu untuk mengulang kan?" ajaknya menggoda.
Ia menahanku, menarik pelan ke dalam dekapnya.
"Aku merindukanmu, Sita," bisiknya.
Lelaki itu selalu bisa membuatku nyaman. Mencintainya adalah mencintai semua kelebihan dan kekurangan yang dia miliki. Aku kembali melebur dalam buaian cintanya hingga terdengar adzan subuh di mesjid tak jauh dari rumah.
Mas Indra baru saja tiba dari mesjid. Baju Koko putih serta peci yang bertengger di kepala membuat dia semakin tampan. Entah, apa itu aura pengantin baru atau hanya perasaanku saja. Sebab sore nanti sepulang kantor ia tidak pulang ke rumah ini.
Meski pernikahan Mas Indra telah berjalan hampir lima bulan, tak pernah sekalipun aku bertemu dengan Sonya. Bagiku melihat lewat foto saja waktu itu sudah cukup. Adapun Mami, mertuaku itu juga tak pernah bertanya tentangku, dan aku pun masih enggan menginjakkan kaki ke sana.
"Sita? Kenapa bengong?" suara Mas Indra mengejutkan. Aku tersenyum menanggapi seraya sigap menyiapkan sarapan untuknya.
Lelaki itu memelukku dari belakang, aroma parfum yang aku sukai begitu menguar memanjakan penciumanku. Ia meletakkan wajah di ceruk leherku.
"Masak apa, Sayang? Sepertinya enak," ucapnya pelan. Aku tersenyum menanggapi mencoba melepas pelukannya.
"Masak kesukaan, Mas. Nasi goreng Jawa," jawabku menatapnya. Aku biarkan dia terus mengawasiku saat menyiapkan sarapan pagi untuknya. Sekilas kulihat wajah itu murung. Enggan aku bertanya. Bahkan sampai saat ini tak hendak aku menanyakan kabar istri barunya.
"Dimakan, Mas," ajakku mempersilakan. Ia mengangguk tersenyum. Dengan lahap ia menghabiskan seporsi nasi goreng kesukaannya.
"Sita, aku ...." Ia menggantung kalimat seraya menatapku sendu.
Merasa ada yang sangat ingin buat sampaikan, kuhentikan aktivitas makan.
"Ada apa, Mas?"
Ia menarik napas panjang lalu membuang kasar. Aku diam menunggu penjelasan darinya.
"Satu minggu ke depan aku tidak bisa menemuimu. Maaf, aku ada pekerjaan di luar kota," jelasnya menatapku.
"Nggak apa-apa, Mas," sahutku datar meski ingin rasanya kutanya apakah Sonya ikut bersamanya.
"Kamu baik-baik ya selama aku tinggal," pesannya kutanggapi dengan anggukan.
Setelah ia rapi dan siap berangkat ke kantor, seperti bisa kucium punggung tangannya. Ia pun membalas mengecup keningku.
"Hati-hati, Mas. Sampai ketemu lagi."
Ia mengusap kepalaku, mengangguk lalu pergi.
***
Jangankan seminggu, dua hari saja sangat lama buatku. Sejak Mas Indra pamit tempo hari, aku lebih suka berdiam di rumah. Meski Maya selalu mengajakku ke toko kami.
Pagi itu hari keempat kepergian Mas Indra. Entah kenapa aku sangat ingin ke rumah Mami. Mengingat beliau senang sekali dengan klappertaart buatanku, sengaja sejak pagi kusibukkan diri di dapur. Saat sore menjelang, kulajukan mobil menuju rumah Mas Indra.
Mataku menyipit saat pintu pagar terkunci. Tak biasanya seperti itu. Meski Mas Indra keluar kota, asal ada orang di rumah, pagar tidak pernah di gembok seperti ini.
Kuketuk pelan pagar, berharap Mbok Minah membuka, tapi setelah lama kutunggu tak jua ada tanda-tanda kehidupan dari rumah itu. Kucoba menghubungi Mas Indra, tapi gagal. Ponselnya tidak aktif. Aku semakin gelisah, dalam hati berdoa semoga tidak terjadi sesuatu.
"Mbak Sita?" sapa seseorang yang dari tadi kuharap membuka pagar. Aku membalik tubuh ke arahnya.
"Mbok Minah? Kok ...."
"Iya, Mbak, saya dikasi ibu cuti empat hari selama mereka semua berlibur ke Lombok," jelas Mbok Minah ramah.
"Lombok? Berlibur? Mereka?" cecarku.
Perempuan yang mulai terlihat garis-garis wajah tuanya itu mengangguk ragu.
"Mbak Sita nggak diajak? Saya pikir semua berangkat, Mbak. Sebab ibu, bapak, Mbak Sonya semua berangkat, padahal 'kan Mbak Sonya lagi hamil," ucap Mbok Minah kemudian cepat menutup mulut dengan tangannya.
"Hamil? Sonya hamil?" tanyaku mengulang. Perempuan paruh baya itu mengangguk ragu. Tapi sejenak kemudian menggeleng cepat.
"Dengar-dengar seperti itu, Mbak. Tapi saya juga kurang tahu," balasnya dengan wajah bersalah.
"Mas Indra?"
"Lah iya, Mbak. Mas Indra juga," sahutnya jelas.
Mendengar itu, mataku memanas, napas terasa naik turun tak beraturan. Kotak kue yang sedianya untuk Mami terjatuh begitu saja ke tanah.
Perasaan bercampur aduk, antara sedih, marah dan kecewa. Sedih karena aku seolah tak lagi dianggap keluarga oleh mereka. Marah dan kecewa kenapa Mas Indra harus berbohong menutupi hal sebenarnya. Bergegas aku masuk mobil, tak kudengarkan suara Mbok Minah memanggilku.
Melajukan dengan kecepatan penuh hingga sebentar saja sudah tiba di kediamanku. Membayangkan kebahagiaan Mas Indra atas kehamilan Sonya membuatku pilu. Hati perempuan mana yang tidak luka, bahkan wanita seperti Sarah istri Nabi Ibrahim pun luka saat mengetahui madunya tengah hamil.
Di pembaringan kuhamburkan semua beban yang menghimpit. Kutumpahkan semua di sana.
***
"Ayolah, Sita! Mau sampai kapan hidup seperti kura-kura? Terus berdiam di rumah bukan solusi!" seru Maya setelah melihatku hanya diam di tempat tidur. Malas menanggapi, kulirik Maya sejenak lalu kembali membenamkan wajah ke bantal.
"Ck! Sita, loe seperti itu sama artinya dengan membunuh diri loe pelan-pelan! Ngerti nggak sih!" ketusnya mendekatiku.
"Loe pulang deh, May. Gue nggak apa-apa kok," ucapku menarik selimut. Entah kenapa akhir-akhir ini aku merasa mudah lelah, terkadang badan tiba-tiba lemas dan mengeluarkan keringat dingin.
"Sita, kamu nggak perlu bersedih mengingat perempuan hamil itu, percayalah kamu juga bisa seperti dia!" ungkapnya memberi semangat. Aku bergeming membiarkannya terus berkata-kata.
Merasa ada yang aneh karena aku lebih banyak diam, ia mendekat.
"Loe sakit, Sita?" tanyanya menempelkan tangannya di keningku. Aku menggeleng cepat.
"Nggak kok, cuma lagi pingin tiduran," sahutku malas.
Bukannya pergi, Maya malah ikut merebahkan tubuhnya di sofa.
"Gue nggak pergi, kalau elo tetap mengurung diri!"
Maya sahabatku itu memang keras kepala, tegas meski terkadang cerewet.
"Maya, loe keras kepala amat sih! Gue nggak kenapa-kenapa," sergahku.
"Loe sakit, Sita! Ayo ke dokter sekarang," tegasnya.
"Tapi gue ...."
"Loe pucat gitu masih bilang nggak kenapa-kenapa?" Kali ini dia menatapku sengit.
Tak ingin berdebat kuturuti keinginannya. Kami berdua pergi ke dokter di klinik tak jauh dari tempat tinggalku.
" Sudah berada hari Ibu merasakan hal seperti ini?" tanya Dokter wanita itu ramah.
"Dua tiga hari belakangan ini, Dokter," jawabku. Ia tersenyum, menyuruh aku berbaring untuk diperiksa secara detail.
Menurut dokter aku kelelahan dan banyak pikiran.
"Ibu sebaiknya istirahat, jangan terlalu lelah." Aku mengangguk . Setelah menerima resep, segera kutinggalkan ruangan menghampiri Maya mengajak pulang.
"Kenapa loe?"
"Nggak apa-apa, cuma kecapean aja, bener kan gue? Ngapain juga loe bawa gue ke dokter," protesku mendahului langkahnya.
"Eeh, tunggu! Loe yakin cuma kecapean? Eum, maksud gue, dokter itu yakin loe nggak kenapa-kenapa?"
Aku menghentikan langkah menatapnya serius.
"Loe mau gue diperiksa ulang?" tanyaku asal melanjutkan langkah.
"Eeh, tunggu! Maksud gue, gue rasa elo hamil, Sita!" serunya.
Aku kembali berhenti dan menatapnya.
"Ck! Udah, nggak perlu menghiburku, Maya. Ayo pulang!"
Maya tak lagi membantah, ia bergegas mengikutiku.
***
Bersambung
Jadi gimana komentar teman teman semua? Apa benar Sonya hamil? Jika benar apa itu benar-benar anak Indra? Dan apakah Indra tidur dengan Sonya?kuy di komentari 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top