Lima
Wait! Ada yg belum follow aku? Hehe, jangan bacaa😃, juga yg nggak kasi bintang, gaboleh baca😎. Gue jahad🤣
Baca sambil dengerin lagu Nindy, Gaes😁, melewlewh 😄😅
Aku membeku menatap layar, dada berdegup kencang bercampur rasa haru dan bahagia yang muncul menyeruak ke permukaan. Mataku menghangat, Maya menggenggam tanganku, wajahnya tak kalah antusias.
"Sita, kamu hamil! Selamat, Sita!" pekiknya tertahan. Sementara aku masih terpaku dengan mata mengembun.
"Maya, gue ...," ucapku tertahan setelah bangkit dari brankar.
Maya memelukku erat, ia tampak antusias dengan mata tak kalah berkaca-kaca denganmu.
"Sudah kuduga, Sita! Aku bahagia mendengar kabar ini, selamat ya!" Kembali ia memelukku. Sehingga dokter berkacamata itu ikut merasakan keharuan kami.
"Selamat ya, Bu! Ini saya beri resep untuk ibu, supaya janinnya sehat dan berkembang dengan baik," ucap dokter seraya memberikan secarik kertas padaku. Setelah menanyakan sedikit tentang kehamilan, aku dan Maya beranjak pergi.
"Loe mau kasi kabar ini ke Indra?" tanya Maya melirik sekilas lalu kembali fokus mengemudi. Aku tersenyum mengangguk yakin, dengan harapan keluarga Mas Indra menyambut bahagia kabar ini. Aku ingin Mami kembali menyayangiku seperti di awal pernikahan kami dulu.
Lalu Mas Indra, dia pasti akan sangat bahagia. Namun, bayangan kebahagiaan itu surut saat teringat Sonya, bukankah wanita itu juga sedang hamil anak Mas Indra? Perlahan kumerasa mata mulai menghangat, ada yang ingin melesak keluar. Tak ingin Maya tahu cepat kuusap agar tidak jatuh.
"Sita, loe berhak untuk bahagia. Ambil mana keputusan yang loe rasa baik. Gue dukung apa pun keputusan loe. Percayalah, gue selalu ada buat loe," ujar Maya seolah tahu kegalauanini, aku menangguk pelan. Meski begitu, tak urung ada rasa pilu menyadari bahwa mau tidak mau Mas Indra akan membagi semuanya.
"Udaah! Bumil mana boleh bengong begitu, kita langsung pulang atau ...,"
"Kita ke rumah mertuaku, Maya." Aku memotong kalimatnya. Mami harus tahu hal ini. Aku ingin memberi kejutan buat mereka. Dan Sonya? Ah biarlah bukankah aku juga berhak bahagia?
"Loe yakin?" tanya Maya ragu.
"Yakin, Maya!"
"Oke, kita putar balik sekarang," balasnya. Mobil meluncur menuju rumah Mami. Aku sudah mempersiapkan kalimat yang akan membuat mereka terkejut.
"Sita, bagaimana jika mereka tidak suka dengan kabar ini?" Maya bertanya tanpa menoleh.
"Biarkan saja, toh aku tidak lagi seperti anggapan mereka. Aku normal, dan bisa hamil!" sergahku yakin. Mau tak lagi bertanya, ia hanya mengangguk menanggapi.
Akhirnya kami berdua sampai di depan kediaman Mami. Suasana sepi saat kami sampai, meski sebelumnya juga rumah itu selalu sepi. Aku turun dari mobil diikuti Maya. Pintu pagar sama seperti saat aku ke rumah ini beberapa hari yang lalu. Terkunci!
"Kok sepi, Sita? Pagar juga di gembok tuh," Maya berdiri di sebelahku bertanya. Aku menggeleng, berharap Mbok Minah keluar. Aku mengetuk pagar. Tak berapa lama asisten rumah tangga Mami itu muncul. Darinya kudapat keterangan bahwa mertuaku mengantar Sonya ke dokter untuk kontrol kehamilannya.
"Kalau Mas Indra, Mbok?" Maya ikut bertanya.
"Mas Indra juga ikut mengantar, katanya sambil jalan-jalan juga," jelas Mbok Minah.
Kembali merasa pilu. Dengan perasaan hancur aku mengajak Maya pulang. Ia bersikukuh supaya aku menitip pesan pada Mas Indra tentang keadaan ini, tapi kutolak usulannya.
" Mbok, jangan katakan apa pun tentang kedatangan saya," pesanku sesaat sebelum pergi.
Kami berdua kembali masuk mobil dan menyusuri jalan. Sepanjang jalan Maya menggerutu. Ia kesal karena aku terlalu mengalah dan lemah menurutnya.
"Loe kenapa nggak telepon Indra? Kabari lewat telepon deh!"
"Nggak perlu, Maya. Nanti aja kalau Mas Indra ke rumah, atau aku sendiri akan ke rumah Mami lagi," sahutku menggeleng melempar pandangan keluar jendela.
***
Biasanya Mas Indra dua hari sekali datang, tetapi sudah dua kali Mas Indra tidak datang. Ia memberi kabar bahwa ada sedikit masalah yang tidak memungkinkan dirinya untuk ke rumah.
Aku sengaja mengulur waktu untuk tidak memberitahu tentang kehamilan ini. Paham bahwa Mas Indra pasti sedang menikmati masa kehamilan Sonya.
Air mata menitik saat melihat kenangan kami berdua berlibur dua tahun lalu. Saat itu semua masih sangat manis, semesta seolah memanjakanku dengan pasangan hidup yang begitu sayang. Mertua yang juga sangat perhatian. Namun, kini semuanya berubah, aku merasa dunia terbalik. Sepi, sendiri.
Meski Maya selalu ada untukku, tapi bukankah kehadiran seorang suami sangat di butuhkan saat seperti ini? Jika aku membutuhkan Mas Indra, bukankah demikian pula dengan Sonya? Hati terasa nyeri mengingat nasib pernikahanku.
Jika mencintai Mas Indra dengan cara seperti ini, aku ikhlas. Menjaga benih cinta yang tengah berkembang di rahimku adalah satu dari wujud kesungguhan rasa untuknya.
Mencoba tak begitu peduli tanpa hadirnya suami, aku tetap menjalani hari seperti biasa. Hari ini seharusnya jadwal Mas Indra datang, tapi lagi-lagi hanya harap semu yang kudapat. Tak ingin berlama-lama menyimpan rindu, kucoba datang ke rumah mertuaku.
Perlahan kukemudikan mobil sambil sesekali mengusap perut yang masih rata. Sengaja aku berhenti jauh dari rumah Mami, saat kulihat mobil Mas Indra parkir di depan pagar. Aku turun berjalan mendekat.
Mendadak hati terasa dicabik saat melihat pria yang kucintai tengah menuntun Sonya duduk di teras, terlihat Mas Indra menyelipkan rambut ke belakang telinga wanita itu. Tak lama keluar Mami membawakan piring yang entah apa isinya. Mereka tampak berbincang hangat.
Aku mundur perlahan, melangkah menuju mobil dan kembali ke rumah dengan perasaan hancur. Sesampainya di kediaman, kutumpahkan air mata di pembaringan. Oksigen mendadak menipis Ada yang berdenyut di dalam dada seolah luka. Sakit ini terasa lebih sakit daripada merelakan Mas Indra menikah dulu.
Tuhan, jika memang ini takdir yang telah ditetapkan, kuatkan diri dan hati untuk menerima. Sungguh aku tak bisa membencinya, bibir saja yang berucap benci, tapi tidak dengan hati. Aku mencintainya dengan segenap jiwa. Mungkin terdengar naif, tapi tak bisa mendustai perasaan.
Perlahan aku beranjak saat kudengar ketukan pagar dan suara Maya. Sahabatku itu memang berjanji akan datang sore ini. Ia dan kedua anaknya berniat menginap, sementara Suaminya pergi untuk urusan pekerjaan di luar kota.
Padanya kuceritakan semua.
"Udah deh, Sita! Loe pergi aja dari rumah ini, ntar gue telepon Tente gue yang rumahnya lagi di kontrakin, kali aja elo bisa tinggal di sana!" tegasnya terlihat kesal.
Tapi, May ...."
"Rumahnya deket rumah gue, jadi kalau elo ada apa-apa, gue bisa langsung datang," selanya memotong ucapanku.
Bukan aku tak ingin mengikuti saran Maya, tetapi saat ini aku masih istri Mas Indra. Kewajibanku adalah menjaga harta dan kehormatan suami, akan menjadi durhaka jika aku pergi meninggalkan kewajiban begitu saja. Ada kegamangan dalam hati. Satu sisi rasa egoku yang mulai meraja, sedang sisi lain tanggung jawab atas posisiku sebagai istri.
"Sita! Malah ngelamun, udah pikirkan aja tawaran gue. Sekarang kita makan, gue lapar," pungkas Maya meninggalkanku menuju dapur.
***
"Sita, kamu boleh memakiku sepuasnya, memang aku tak pernah memiliki rasa sebesar rasa ini padamu. Tapi kewajibanku sebagai suami untuk memberi nafkah lahir batin tak bisa kuhindari," jelas Mas Indra saat kutanya tentang anak yang tengah dikandung Sonya.
"Maaf, jika kemarin aku tidak ke sini, itu karena Sonya bermasalah dengan kehamilannya, jangan pernah berpikir untuk meninggalkan aku, Sita," jelasnya lirih lalu memelukku. Tak ada yang bisa kujawab saat itu selain menenangkan hati.
Sejak pernyataannya saat itu, kuputuskan untuk merahasiakan kehamilan ini hingga saatnya tiba. Otakku berputar bagaimana bisa pergi dari rumah ini.
Aku mulai terbiasa sendiri. Mas Indra kembali datang seperti biasa. Aku telah berusaha memahami dan memberi ruang padanya. Kehamilan Sonya yang sedikit bermasalah membuat lelakiku lebih fokus padanya. Tak mengapa, bukankah perempuan itu juga memiliki hak yang sama? Sonya terjatuh di kamar mandi, sehingga menyebabkan perdarahan meski janin dinyatakan sehat.
"Maya, gue nggak bisa menyembunyikan kondisi ini. Makin lama perut makin semakin membesar bukan? Gue terima tawaran loe. Tapi ..., pastikan Mas Indra tidak mengetahuinya," ungkapku saat makan siang di kafe tak jauh dari toko roti kami.
"Oke, gue jamin itu!" balasnya yakin.
Pada akhirnya aku menyerah, membiarkan predikat istri yang tidak bisa menjaga harta dan kehormatan suami. Tak peduli, aku hanya ingin diberi arti, sebab semakin lama perhatian Mas Indra terkikis. Egois? Mungkin! Tapi bukankah aku juga memiliki hak yang sama? Bukankah selama ini kata itu telah kupendam, hingga akhirnya ia muncul kembali ke permukaan.
Sore ini Mas Indra ke rumah. Seperti biasa, dia tetap lelakiku yang dulu. Lembut dan penuh perhatian.
"Mas, aku boleh meminta sesuatu?" tanyaku saat kami baru saja melepas rindu. Mata lembutnya menatap padaku.
"Katakan, Sayang. Ada apa?" Ia mengeratkan pelukan.
"Lupakan aku," ucapku menguatkan hati. Mas Indra melepas pelukannya kali ini menatapku dengan mata menyipit.
Dengan menggeleng ia berkata, "tidak! Aku tidak bisa dan tidak ingin!"
Aku membisu. Sungguh bukan hal mudah jika harus lepas dari bayangan Mas Indra. Tapi bukankah permintaan ini tak berlebihan? Memintanya melupakan, akan membantu diriku untuk perlahan lepas darinya.
"Mas ...."
"Cukup, Sita. Jangan teruskan! Jangan pernah meminta itu."
"Aku hanya memintamu untuk melupakan, Mas. Bantu aku agar bisa menata hati meski kelak engkau mengabaikanku," ucapku lirih dengan bahu bergetar menahan isak. Mas Indra membuang napas kasar. Ia bangkit dan bersandar di petiduran. Tangannya erat menggenggam jemariku.
"Sebagai lelaki aku memang terlalu lemah, tapi kekuatanku ada padamu. Aku setuju dengan tawaran Mami karena kamu mendukung penuh, Sayang."
Hening, aku menyadari kebodohan yang pernah kusetujui. Tapi bukankah cinta itu tidak egois? Aku ingin Mami bahagia dengan melihatnya menimang cucu?
"Mas, kamu bahagia dengan dia?"
Mas Indra menggeleng.
"Tapi sebentar lagi kamu akan bahagia, 'kan?" tukasku menatapnya.
Lelakiku itu diam. Ada selaksa sedih kulihat di matanya.
"Percayalah, Mas. Rasa cinta itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Dan pelan-pelan aku akan terkikis dari memorimu. Sebelum itu terjadi, kumohon lupakan aku mulai saat ini," jelasku dengan mata basah.
****
Jangan kesel sama Indra, Gaes😅😁
Btw vomen ciamik ditunggu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top