Dua
Siapkan tissu gaes😂😢😢. Btw yang nggak kasi bintang dilarang baca😑😅. Yang belum follow juga jan baca (judes gue😑) biarin. Saya ngga minta apapun selain keringan tanganan Anda untuk beri bintang, itu aja.
OK, Happy reading guys
Yg udah kasi bintang, ketjup manja deh😘
"Mas, aku tidak akan meninggalkanmu. Aku tetap ada di sini," ujarku menepuk pelan dadanya.
"Tapi izinkan aku untuk keluar dari rumah ini," sambungku lirih.
Tak ada jawaban dari Mas Indra. Ia hanya mengacak rambutnya kasar.
***
Tiga hari lagi Mas Indra menikah. Malam itu aku mengemas pakaian ke koper. Mas Indra tak lagi menghalangi, karena aku berkeras pergi. Namun, dia tak mengijinkan jika harus kost. Ia menyewakan sebuah rumah yang sengaja kupilih jauh dari rumah keluarga suamiku. Itu satu cara supaya tak tahu apa yang terjadi di rumah itu.
Setelah siap, kulangkahkan kaki ke ruang tengah tempat mami dan papi juga Mas Indra berkumpul
"Mami, Papi, Sita pamit pergi." Kuraih tangan mertua, satu persatu kusalami mereka.
Tak ada kalimat yang keluar dari bibir mami. Hanya papi yang berpesan agar aku bersabar dan berhati-hati. Sebenarnya yang berambisi supaya Mas Indra menikah adalah mami.
Awalnya Papi menentang usulan itu. Tapi mami mempunyai argumen yang membuat beliau hanya bisa mengangguk.
"Aku antar, Sita!" seru Mas Indra menjajari langkahku. Sejenak kulihat mami tak bereaksi.
"Kamu istriku, Sita, jangan menolak." Lelakiku membawakan koper ke mobil.
"Sita, maafkan mami, maafkan keluargaku," Mas Indra meraih tanganku dan mendekap di dadanya.
Aku bergeming, tak ada kata-kata yang bisa keluar dari bibir selain gemuruh kecewa dalam dada. Siapapun orangnya, tak akan sanggup menerima kenyataan ini. Meski menurut dokter aku dan Mas Indra tidak ada masalah, toh mami tak terima penjelasan itu.
Suasana mobil hening, aku menatap lurus ke depan sedang Mas Indra masih mendekap tanganku. Sesekali ia mendaratkan kecupan di sana.
"Sita, aku janji tidak akan terjadi apapun antara aku dan Sonya."
Mendengar nama asing itu aku menoleh.
"Sonya?"
"Iya, Sonya. Namanya Sonya," jelas suamiku tanpa menatap.
Kembali air mata mengalir, Sonya, nama yang indah. Dalam hati kuharap dia dapat menjawab semua yang diinginkan mami.
Bukan aku tak paham, jauh di hati Mas Indra pasti menginginkan kehadiran seorang anak. Aku pun tahu, dia sengaja tak pernah mengungkapkan semua itu karena menjaga perasaanku.
Kutarik pelan tanganku darinya.
"Kamu jangan ngaco, Mas. Sebaiknya urungkan niatmu itu. Lakukan saja apa yang harus dilakukan," sergahku dengan suara serak.
Mas Indra menggeleng cepat.
"Tidak, Sita! Bagaimana mungkin aku melakukan hal yang tak aku inginkan?" Kali ini suara Mas Indra meninggi.
"Tapi mami menginginkannya, Mas! Aku tidak ingin ada yang terluka, aku tidak ingin mami sedih berkepanjangan atas kekuranganku!" Mata ini terus mengembun dan meneteskan bulir airnya.
"Kekurangan? Kekurangan apa, Sita? Kamu tidak punya kekurangan apapun! Kita sehat, kita berdua sehat!" timpal lelaki yang tak sekalipun pernah melukaiku itu.
"Tapi tidak buat mami! Bagi mami aku adalah perempuan yang tidak sempurna, tidak bisa memberi keturunan!" Aku semakin histeris. Bahu berguncang berlomba dengan air mata yang terus luruh.
"Kamu bilang tak ingin ada yang terluka? Apa kamu pikir aku gak terluka, Sita? Lalu bagaimana denganmu? Apa kamu juga tidak merasakan sakit?" cecar Mas Indra lagi. Ia menggenggam kemudi kuat sehingga terlihat putih pada buku-buku jarinya.
Sebagai perempuan aku merasa tak berguna. Semua yang aku upayakan agar bisa mengandung sia-sia. Tapi dianggap oleh mertua adalah luka yang harus kuterima.
"Mas, terima saja ketentuan ini. Anggap memang seperti ini takdir kita. Kelak jika keinginan mami bisa terwujud, aku yakin kalian akan bahagia," lirihku mengusap pipi yang basah.
Mas Indra membuang napas kasar, ia diam tak bereaksi. Mobil terus meluncur menuju tempat tinggalku yang baru.
***
Sebuah rumah mungil dengan pagar depan yang tinggi, dan halaman di penuhi bunga beraneka ragam memanjakan mata. Ada sebuah pohon mangga yang berbuah menambah asri tampilan tempat tinggal baruku.
Kami berdua memasuki rumah ber cat abu-abu itu. Perabotan lengkap di dalamnya membuatku tak lagi repot membeli. Ada sofa putih untuk menerima tamu, di sudut ruangan terdapat rak buku. Ada dua kamar di rumah ini.
Ruang keluarga yang menjadi satu dengan dapur dan mini bar terasa nyaman. Sempat aku berpikir, andai kami bisa selalu berdua dan menempati rumah ini, pasti akan sangat menyenangkan.
"Aku akan ke sini setiap malam, kamu jangan khawatir," ucap Mas Indra membuyarkan lamunan. Tak ku tanggapi ucapannya.
Kutinggalkan dia menuju halaman belakang. Ada taman kecil serta tempat untuk menjemur pakaian. Sungguh rumah yang menyenangkan.
Tiba-tiba kurasakan ia memeluk dari belakang, seperti biasa, Mas Indra sangat menyukai aroma rambutku. Tak ingin larut cepat kumelepas pelukannya.
"Terima kasih, Mas. Aku suka rumah pilihanmu," ujarku melempar senyum padanya. Ia menatapku kecewa.
"Sita, apa kamu akan pelan-pelan menghindariku?"
Aku menggeleng, melipat wajah.
"Kamu menolak kupeluk? Bukankah kamu sangat menyukainya?" cecarnya.
Dia tidak salah. Aku selalu suka berlama-lama dalam dekapannya. Ada rasa hangat dan nyaman berada di sana.
Tapi bukankah sebentar lagi aku akan berbagi? Bukan aku tak suka, tapi hanya ingin memulai untuk membiasakan diri agar tak merasa terlalu kehilangan.
"Sita." Mas Indra mengangkat daguku lembut. Mata kami saling menatap, ada selaksa kesedihan terlihat di matanya.
"Katakan, aku harus berbuat apa?" suaranya terdengar pelan. Tak sanggup lagi kutatap mata itu. Tubuh seolah tak bertulang, aku luruh hampir terjatuh.
Mas Indra menahan, ia hendak membawaku ke kamar tapi kutolak.
"Aku bisa sendiri, Mas. Nggak apa-apa, pulanglah."
Kulihat ia mengusap wajah. Sungguh tak tega melihatnya seperti itu.
Sambil menggeleng ia melangkah menuju pintu luar kemudian menutupnya.
"Aku menemanimu malam ini,"
"Tapi ...,"
"Setidaknya ijinkan aku bersamamu sebelum hari itu," potongnya kembali mendekapku.
***
Andai bisa kutahan waktu, maka akan kudekap mentari agar ia tak bersinar. Akan kuminta rembulan tetap bersabar menjaga malam hingga kulepas sang surya kembali.
Tapi tak mungkin, tak ada pilihan selain menatap hari, selain menghadapi kenyataan bahwa hari ini di rumah Mas Indra, telah terjadi peristiwa seperti lima tahun lalu.
Hari ini, lelaki yang sangat kucintai itu mengucapkan ijab kabul untuk wanita bernama Sonya. Wanita yang diharapkan bisa melahirkan penerus generasi keluarga Wicaksono.
Sedang aku disini sendiri, mencoba perlahan menguatkan hati yang rapuh. Menata dinding jiwa agar kembali bisa kuat.
Sejak kepergian kedua orang tuaku karena gempa besar di kota kelahiranku tiga tahun lalu, tak pernah kurasakan kesedihan yang sama. Tapi hari ini diriku seolah tak menapak bumi.
"Sita, kenapa dari tadi bengong? Itu adonan nanti jadi nggak karuan di biarin gitu," tegur Maya sahabatku. Kami berdua sudah lama bersahabat, dia tahu seperti apa diriku. Kedekatan dengan dia karena hobi kami yang sama, membuat kue dan mendekorasinya.
Aku dan Maya mempunyai tiga gerai kue di kota ini. Selain kami berdua, ada beberapa karyawan. Aku bersyukur, dengan keterampilan yang kumiliki, bisa menghasilkan. Paling tidak di saat seperti ini, aku tak risau dengan masalah keuangan.
"Eh, udah-udah sana, sudah kubilang, sebaiknya kamu hari ini pergi ke luar kota untuk beberapa minggu, biar nggak bengong gini. Rusak deh nih adonan," omel Maya seraya mengambil adonan yang ada di depanku. Tak membantah, aku melangkah meninggalkan Maya.
"Eh, mau ke mana? Ngacir aja?"
"Kamu bilang, aku disuruh pergi," jawabku malas.
"Ish! Jangan sendirian, Sitaaa. Tunggu! Biar ini si Fani aja yang kelarin." Maya memanggil salah satu karyawan untuk melanjutkan pekerjaanku.
"Ayo!" cepat perempuan beranak dua itu menggandeng tanganku membawa keluar ruang produksi.
Aku menurut saja mengikuti langkahnya. Kami berdua menuju mobil.
"Kita mau kemana?" tanyaku tak bersemangat.
"Ikut aja!" jawabnya melajukan mobil.
Seharian kami berdua menghabiskan waktu di mall. Makan, nyalon, belanja hingga malam tiba.
"Aku pulang, May!"
"Aku antar."
"Tapi aku bawa mobil tadi, Maya."
Maya menggeleng, ia tak ingin aku menyetir dalam keadaan kalut. Atas saran dia, mobilku tetap di toko.
"Ada satpam kan di sana. Besok pagi, aku jemput!"
Lagi-lagi kubiarkan dia mengatur hidupku. Tak ada lagi bisa kuajak bicara selain Maya. Sahabatku.
***
Jam menunjukkan pukul 22.00 WIB. Semakin malam aku semakin gelisah. Televisi tak lagi bisa kunikmati. Gadget pun tak bisa membuatku nyaman.
Berkali-kali kubisikkan doa, meminta agar cepat bisa mengikhlaskan keadaan, tapi masih belum mampu merubah keadaan hati.
Terdengar pagar di ketuk, ponsel di meja bergetar. Kulirik nama pemanggil, tertulis 'My Soul'. Ragu kuambil benda pipih itu, tapi ketukan pagar membuatku meletakkan kembali benda itu ke meja.
Mataku menyipit melihat lelaki yang tak asing berdiri di luar pagar.
"Mas Indra?"
"Kenapa? Iya, Sayang. Ini aku,"
"Tapi kan, Mas ...."
"Ssstt, buka pagarnya," perintahnya.
Kuturuti kemauan lelaki itu, saat pagar terbuka, cepat ia mendekapku ke dalam peluknya. Air mata tumpah begitu saja tanpa permisi, kurasakan napas suamiku, ia pun menahan tangis.
"Malam ini aku disini, Sita."
***
Gregetan nggak?
sok lah, kasi komentar ciamiknya di mari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top