Tujuh
Ayana tersentak saat matahari menyapa melalui ventilasi yang terletak di atas jendela kamar. Perempuan berambut sepunggung itu gegas bangkit dari rebah.
Setelah semalaman tidak tidur, lalu berdua di kamar semakin tidak bisa tidur karena dia dan Langit justru asyik membicarakan soal rencana merger perusahaan mereka hingga subuh tiba. Entah siapa duluan yang tertidur, yang jelas posisi guling berhasil tetap berada di tempatnya, di tengah-tengah antara dia dan Langit.
Kini Ayana merasa kepalanya berat dengan perut seperti diaduk-aduk. Gerakan Ayana membuat pria di sampingnya terbangun. Mata Langit menyipit melihat sang istri duduk bersandar di bahu ranjang dengan memegang kepalanya.
"Ay?" sapanya seraya mengusap mata yang masih mengantuk. Pria itu tertidur setelah membasahi tubuhnya di pagi buta tanpa sepengetahuan sang istri. Karena justru saat Ayana tertidur, dia semakin gelisah.
"Kesiangan, Langit. Kita kesiangan!" Ayana memejam seraya memegangi kepalanya.
"Mama kita, mereka belum sarapan. Sekarang udah jam sembilan!" sambungnya lagi.
"Iya, aku tahu."
Langit mencoba berpikir waras saat matanya melihat baju tidur sang istri tersingkap ke paha. Terlebih ada sesuatu yang tidak bisa diajak kompromi di pagi hari. Meski sedikit menggerutu di dalam hati, dia berusaha mengumpulkan kesadaran.
"Buruan buatin mereka makanan, atau pesan deh!" titahnya masih meringis menahan sakit.
"Kamu kenapa, Ay?" Langit menyentuh bahu sang istri.
"Aku ... nggak tahu. Tiba-tiba aku ngerasa mual dan kepala berat."
Wajah Langit terlihat khawatir. "Kamu sakit?" tanyanya lagi.
"Badanku nggak enak, Langit," keluhnya.
Gegas dia bangkit seraya berkata, "Aku buatin minuman hangat. Kamu istirahat aja!"
Pria bertubuh atletis itu menyelimuti istrinya kemudian melangkah keluar. Bangun jam sembilan pagi tentu bukan kebiasaan mereka berdua. Kesibukan Ayana dan Langit di bisnisnya, membuat mereka harus disiplin dari mulai bangun tidur hingga tidur kembali.
Keduanya memang pekerja keras, tak heran jika dalam setiap kesempatan diskusi berdua, baik Langit maupun Ayana merasa bisa saling memberi saran untuk kemajuan bisnis di bidang masing-masing.
Langit mengedarkan pandangan saat melihat meja makan sudah tersedia nasi goreng ayam, lengkap dengan acar dan kerupuk. Demikian pula dengan jus wortel kesukaannya juga lemon hangat yang biasa dikonsumsi Ayana sudah ada di termos kecil yang biasa dibawa istrinya ke kantor.
"Mama?" gumamnya.
Langit berlari ke halaman belakang setelah mendengar suara tawa mamanya. Dia melihat mertua dan sang mama tengah asyik bercanda di kursi taman menikmati koleksi anggrek Ayana. Pria itu menghela napas lega. Sesaat kemudian dia teringat istrinya. Cepat Langit kembali ke meja makan mengambil lemon hangat dan membawanya ke kamar.
"Minum dulu, Ay," tuturnya lembut seraya menyentuh pipi Ayana.
Langit membantunya duduk bersandar.
"Kamu mau sarapan apa?" tanyanya setelah sang istri selesai meneguk minumannya.
Ayana menggeleng perlahan. Perasaan mual membuatnya enggan kemasukan makanan.
"Orang tua kita udah sarapan?"
Sambil tersenyum, Langit mengangguk menceritakan bahwa sarapan sudah tersedia di meja saat dirinya keluar. Ayana memejamkan mata seraya berkata, "Oh my God!" Dia yakin sang mama akan menyemprotnya seperti biasa jika dia bangun kesiangan. Terlebih saat ini dia telah berpredikat sebagai seorang istri yang kata mamanya tidak pantas seorang istri bermalas-malasan apalagi bangun setelah matahari meninggi.
"Kenapa, Ay?"
"Nggak. Nggak apa-apa. Eum ... mereka sekarang di mana?" tanyanya setelah kembali berbaring.
"Di taman belakang."
Ayana mengangguk pelan. Tiba-tiba rasa mual datang, tak ingin terjadi sesuatu yang menjijikkan, gegas Ayana ke kamar mandi, dan memuntahkan semua yang ada di perutnya. Sementara Langit mencoba membantu meringankan dengan memijit tengkuk istrinya.
Keributan di kamar putranya terdengar oleh Fenita dan Astrid. Khawatir terjadi sesuatu, mereka berjalan cepat menuju kamar pasangan itu. Pintu yang terbuka membuat keduanya masuk dengan leluasa.
Kedua orang tua perempuan mereka saling bertukar pandang kemudian tersenyum lebar. Mata mereka berdua mengisyaratkan kebahagiaan yang luar biasa. Keadaan hal itu berbanding terbalik dengan Langit dan Ayana. Keduanya heran menyaksikan mama mereka tampak bahagia.
"Udah selesai?" tanya Langit.
"Udah. Maaf, aku ngerepotin. Kamu pasti jijik ya?"
"Sstt ... ayo balik ke tempat tidur." Langit mengisyaratkan agar mereka keluar dari kamar mandi.
"Mama, maaf, Ayana nggak bisa siapin sarapan buat ...."
"Sstt! Kamu nggak perlu repot, Sayang! Kami paham bagaimana rasanya mual di pagi hari. Itu biasa terjadi di awal kehamilan," potong Fenita masih dengan senyum bahagia.
Mata Ayana membulat mendengar penuturan mertuanya.
"Betul kata Mama Fe, Ay. Biasanya sih, kondisi seperti ini berlangsung pada tiga bulan pertama. Selanjutnya akan kembali normal. Kamu harus terus makan-makanan bergizi," sambung mamanya seraya ikut mendekat dan duduk di bibir ranjang.
Ayana menelan ludahnya mencoba menarik bibir seraya menggeleng.
"Kenapa Mama berpikir kalau Ayana hamil?" Matanya memandang satu per satu perempuan paruh baya di sampingnya kemudian beralih menatap Langit yang sejak tadi mengulum senyum melihat ekspresi sang istri.
"Kami melihat tanda-tanda kehamilan itu di kamu, Sayang. Ini kabar bahagia buat kami." Fenita mengusap punggung tangan menantunya. "Langit, kabari papamu soal ini!" titah Fenita tanpa menoleh ke arah sang putra. Kaki ini mata Langit yang membeliak.
Ayana menggeleng perlahan memberi isyarat pada Langit. Pria itu mengangguk paham.
"Ah, iya! Mama juga mau telepon papamu, Ay! Ini kabar paling spektakuler! Bukan begitu, Mbak Fe?"
Fenita mengangguk kemudian mulai membicarakan soal rujak dan buah apa yang aman dikonsumsi untuk Ayana. Keduanya kembali asyik bernostalgia tentang kehamilan mereka masing-masing hingga Ayana merasa harus meminta tolong Langit agar menyudahi obrolan mama mereka.
"Mama Sayang. Sepertinya Ayana lebih baik kita biarkan beristirahat dulu. Gimana, Ma?"
"Ah iya, Langit! Kamu benar." Sambil mengusap bahu menantunya dia berkata, "Kamu istirahat ya. Kamu mau makan apa bilang ke Langit atau langsung ke Mama. Biar nanti kami buatkan. Sebab kalau beli, Mama pikir nggak higienis. Betul, kan, Mbak Astrid?"
Astrid mengangguk setuju. Tak lama kemudian mereka bangkit meninggalkan kamar setelah sebelumnya mereka berdua mengucapkan selamat pada putra-putri mereka. Senyum terpaksa dari Ayana dan wajah Langit yang tampak menahan tawa mengiringi langkah keduanya.
Pintu ditutup, Langit menggeleng tetap menahan tawa. Matanya memindai Ayana yang menatap kesal.
"Emang bisa gitu?" tanyanya mendekat ke bibir ranjang.
"Bisa apaan?"
"Ngobrol doang semalam suntuk besoknya kamu hamil?" jawabnya menahan tawa. "Aku berani sumpah semalam kamu nggak aku apa-apain, Ay!" Dia mengacungkan dua jari membentuk simbol janji.
"Langit! Nggak lucu!" sergah Ayana dengan mata membulat.
Pria di depannya itu tergelak, tetapi sontak berhenti ketika suara ketukan terdengar.
"Ya, Ma?" sahut Langit setelah namanya dipanggil.
Cepat dia membuka pintu. Fenita terlihat menyodorkan botol minyak kayu putih kepadanya.
"Kamu oles tubuh istrimu dengan ini, biar hangat! Mama lihat kalian nggak punya minyak kayu putih di kotak obat." Fenita melangkah melewati putranya masuk ke kamar mendekati sang menantu. "Minyak kayu putih, minyak zaitun itu wajib ada di kotak obat," sambungnya lagi.
Tenggorokan Langit mendadak kering mendengar ucapan mamanya.
"Kenapa kamu kaget seperti itu?" selidik sang mama menatap tajam padanya.
"Ng ... nggak apa-apa, Ma. Mama ngapain masuk lagi? Bukannya tadi mau memberi waktu supaya Ayana istirahat?" tanya Langit mulai merasa ada yang tidak beres.
"Sini! Mama mau ajari kamu bagian mana saja yang boleh dioles dan yang tidak boleh dioles!" Fenita memberi isyarat agar putranya mendekat.
Sementara mata Ayana hampir tak berkedip. Dia pun sama seperti Langit. Bingung.
"Eum ... Ma. Biar Ayana aja yang oles. Lagian belum tentu juga Ayana hamil, kan, Ma." Dia mencoba bangkit meski kepalanya masih berdenyut.
Fenita menggeleng kemudian tersenyum. Dengan suara lembut dia kembali memerintahkan menantunya untuk berbaring.
"Ayana, yang seperti ini tugasnya suami, tugas Langit. Dia harus ikut terlibat dalam kehamilanmu. Agar ikatan batin antara kalian semakin kuat."
Ayana tersenyum datar. Matanya melirik Langit yang juga tengah meliriknya.
"Ma? Langit tahu kok mana yang boleh dioles. Nggak usah diajari juga kali, Ma." Langit mulai serba salah. Otaknya mulai berpikir bagaimana cara berkelit dari perintah sang mama yang kadang aneh.
"Jangan sok tahu sama orang tua. Mama ini juga paham dari eyangmu, karena orang lagi hamil itu nggak boleh dioles kayu putih sembarangan. Duduk sini. Buka!" perintah Fenita.
"Hah! Buka? Apanya yang dibuka, Ma?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top