satu






**

Mata perempuan bertubuh semampai itu berkaca-kaca. Bibirnya bergetar dengan napas memburu. Kabar kecelakaan itu begitu memukul hatinya. Seluruh persendian terasa luluh lantak bahkan tulangnya seolah tak kuat lagi menopang dirinya.

Damar dikabarkan ikut dalam penerbangan itu saat semua rencana indah beberapa bulan lagi akan terwujud.

Masih dengan mata yang berair ia terus menatap layar kaca. Bibirnya merapal doa berharap sang pujaan tidak ada di sana. Telinga ia tajamkan berusaha menelan perlahan setiap informasi yang dikabarkan oleh pewarta di televisi. Tak ada pencerahan yang bisa didapat.

Berawal dari tangis yang ditahan, akhirnya meledak menjadi isakan tak berjeda. Ayana memekik memanggil nama Damar seolah ia yakin pria itu akan datang. Namun, tentu saja sia-sia.

Seorang perempuan berkacamata berusaha menenangkan Ayana yang putus asa. Berulang kali ia mengusap bahu perempuan itu seraya mengucapkan kata-kata agar ia bersabar.

Hari ini sedianya dia dan ketiga rekannya akan bertemu klien yang akan menikah dan menyewa jasa mereka sebagai wedding organizer. Namun, berita di televisi di ruangan kantor miliknya membuat lemas seluruh persendiannya.

"Sabar, Ay." Anya menyodorkan tisu padanya.

"Thanks, Nya. Tolong kamu handle dulu urusan dengan klien kita ya. Aku mau pulang!" tuturnya bangkit seraya menyambar tas tangannya.

"Kamu yakin bawa mobil sendiri?"

"It's oke. Aku bisa."

"Jangan, Ay. Kamu sedang tidak baik-baik saja," cegah Anya.

"Nggak apa-apa."

"Aku antar!" Sarah berlari kecil mengekorinya.

Gegas ia melangkah meninggalkan ruangan kantor yang  dirintis sejak lulus kuliah.

🍁🍁🍁

Tidak ada yang lebih menyakitkan dari kehilangan orang yang dicintai. Demikian pula yang dialami Ayana. Separuh hatinya pergi tanpa meninggalkan pesan apa pun. Ia pergi ketika mereka telah sepakat akan melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan.

Sebuah konsep pernikahan private dan sakral telah mereka susun dengan apik. Namun, tentu saja semua takdir Tuhan yang memegang peran penting. Ternyata Dia memiliki rencana lain untuk perempuan itu.

Air matanya tumpah sepanjang jalan. Tape mobil juga mengabarkan hal yang sama. Saat ini di pikirannya adalah meluncur ke bandara dan menunggu rilis dari pihak maskapai.

Sarah membiarkan sahabatnya itu terisak. Dia pun paham seperti apa jika ia berada di posisi Ayana.

"Ay, apa nggak sebaiknya kita tunggu kabar di rumah aja? Lagian di sana pasti berjejal orang yang ...."

"Nggak, Sarah! Aku harus di sana. Aku harus memastikan kondisi Damar!" potongnya seraya menyeka air mata.

Tak ada pilihan lain bagi Sarah selain mengikuti kemauan sahabatnya. Ia, Anya dan Sarah adalah tiga serangkai sejak kuliah. Ketiganya sepakat menjalin kerjasama di bidang jasa. Wedding organizer adalah bisnis mereka bertiga.

Sementara Ayana memiliki bisnis sendiri yaitu kafe buku. Sedianya dia akan membuat cabang kafe, di dekat kampusnya dulu. Hal itu adalah rencananya bersama Damar. Terlalu banyak rencana indah di susun bersama kekasihnya itu. Namun, terlalu cepat juga ia harus menguburnya.

Seperti yang diduga Sarah, bandara sangat ramai. Berita hilangnya pesawat itu membuat seluruh perhatian media ke tempat ini.

"Kamu yakin kita turun, Ay?"

"Yakin!"

"Tapi kamu bukan keluarganya, eum ... maksudnya pasti mereka akan bertanya soal ...." Belum selesai Sarah bicara, Ayana sudah membuka selt belt dan bergegas keluar dari mobil.

Dia tak lagi peduli dengan tatapan mata iba. Perempuan itu menumpahkan kepedihannya di depan pintu keluar bandara berharap Damar muncul dan memeluk dirinya.

"Ayana ... kamu tenang. Kita ke sana yuk. Aku tadi baru dapat informasi kalau maskapai akan mengadakan press rilis. Kita duduk yuk!" ajak Sarah meraih bahu sahabatnya.

Berulang kali dia mencoba menghubungi Damar, tapi tak membuahkan hasil. Menurut informasi yang didapat, Damar pulang dari Makassar setelah menyelesaikan tugas dari kantor tiga hari yang lalu. Namun, pria itu kini diduga berada di pesawat yang hilang.

Hampir empat jam mereka berdua di bandara, dan  menurut press rilis pihak maskapai, pesawat dinyatakan jatuh. Tidak ada yang bisa diperbuat oleh Ayana selain menangis. Bahkan saat keluarga Damar tiba di lokasi, mereka berpelukan saking menumpahkan rasa.

"Kita pulang, Ay! Biar keluarga Damar yang menunggu rilis selanjutnya dari pihak maskapai," ajak Sarah. "Lagian, coba lihat! Penampilan kamu kacau banget!"

Awalnya ia enggan, tapi setelah diyakinkan oleh pihak keluarga, akhirnya perempuan berkulit putih itu menyerah.

🍁🍁

Kepergian Damar yang tiba-tiba membuat hatinya hancur. Semua mimpi yang dia dan Damar bangun luluh lantak seketika. Pria itu pergi tanpa pesan meninggalkan luka sekaligus rencana indah mereka.

Setiap hari Ayana mengisi waktu dengan menyendiri. Dia bahkan tidak peduli dengan pekerjaannya. Setiap kali ada klien yang menyewanya untuk konsultasi soal pernikahan, Ayana selalu melimpahkan kepada kedua rekannya. Baginya merencanakan pernikahan adalah hal yang sia-sia.

Meski berulangkali Sarah meyakinkan bahwa semua itu telah diatur oleh Tuhan, tetapi tetap saja Ayana bergeming. Hingga akhirnya dia berniat mundur dari kerjasama bisnis mereka.

"Maafkan, aku harus mundur. Kalian berdua saja yang melanjutkan!"

Keputusan itu memang terasa terburu-buru, tetapi baginya adalah keputusan terbaik daripada terus dihantui trauma.

"Kamu nggak boleh gitu, Ay. Ini proyek kita sejak kuliah. Kita harus ...."

"Sarah, sejak Damar pergi, aku selalu terpaksa berpura-pura untuk bahagia saat ada costumer. Itu semua bikin hatiku sakit! Kamu nggak tahu rasanya seperti apa, kan?"

Sarah bergeming.

"Maaf, Ay. Tapi gimana jika tanpa kamu?"

"Ada Anya. Kalian bisa kerja bareng. Aku mau fokus ke kafe aja."

"Tapi Anya juga belakangan ini jarang datang ke kantor. Kamu tahu, kan?"

Ayana melirik sejenak Sarah lalu mengangguk.

"Aku mungkin masih bisa membantu, meski untuk bertemu klien ... aku nggak dulu."

Sarah mengangguk setuju.

"Nggak apa-apa. Asal kamu tetap ada. Soal bertemu klien, aku bisa ajak Wawan dan tim!"

Ayana mengangguk setuju.

**

"Kamu nggak ngantor?" tanya mamanya.

Ayana hanya menggeleng kemudian bangkit meninggalkan meja makan. Bu Astri menarik napas dalam-dalam kemudian menatap sang suami.

"Pa, sampai kapan dia begitu terus? Mama nggak suka lihat dia mendung seperti itu."

Pak Andi menggeleng lalu meneguk lemon hangat buatan sang istri.

"Satu-satunya yang bisa mengubah adalah jodoh!"

"Jodoh?"

"Iya. Dia harus bisa bertemu dengan pria yang bisa memberi ketenangan hatinya. Mama pasti belum lupa, kan gimana bahagianya Ayana merencanakan pernikahannya?"

Perempuan yang memiliki tahi lalat di dagu itu mendesah resah. Sudah hampir sembilan bulan berlalu, Ayana masih sering melamun. Dia tahu putrinya itu sangat menyayangi Damar. Tak heran jika dia rapuh  kupu-kupu yang kehilangan sayap ketika mendengar Damar meninggal.

"Lalu, Pa. Kita cari ke mana jodoh untuknya?"

Pak Andi tertawa kecil kemudian menggeleng.

"Ya kita doakan saja, Ma. Jodoh emang ada tokonya gitu? Kita bisa carikan?"

Bu Astri mencebik kemudian berkata, "Mama nggak sedang bercanda, Pa!"

"Papa juga nggak bercanda, Ma. Kita doakan saja jodohnya segera datang. Jangan cemberut gitu dong!" balas pria berkemeja biru gelap itu seraya tertawa.

**

"Sayang, nanti aku mau konsep pernikahan kita outdoor aja. Aku mau ala-ala film breaking dawn itu," ungkap Ayana menatap Damar.

"Aku  vampirnya ... kamu kudu siap-siap diisap sama vampir ya," balas pria berkulit putih itu seraya membalas dengan tatapan nakal.

Ayana membulatkan matanya lalu mencubit lengan Damar.

"Jadi kapan kita lihat lokasinya?" Damar mengusap puncak kepala kekasihnya.

"Besok pagi. Kamu bisa?"

"Bisa dong! Apa sih yang nggak bisa buatmu?"

Ayana tersenyum manis.

"Nanti aku mau pernikahan kita private aja. Aku mau dapat sakralnya."

Damar mengangguk.

"Aku sepakat soal itu."

Sentuhan tangan Sarah di bahunya membuatnya tersentak.

"Melamun lagi?"

Perempuan berambut sepunggung itu mengangkat bahu.

"Sarah, apa kehilangan itu memang sesakit ini?" tanyanya lirih.

Perempuan mengenakan blouse putih dengan rok abu-abu sebatas lutut itu menarik napas panjang.

"Aku pernah kehilangan ayah. Kamu tahu itu, kan? Dan itu adalah titik terendahku, Ay. Tapi aku sadar, kita semua pada akhirnya akan pulang. Entah bagaimana caranya. Suka tidak suka kita harus hadapi dan lewati itu,"

"Lalu, selama apa kamu bisa bangkit?"

Sarah merapikan rambutnya.

"Kamu tahu betul bagaimana aku waktu itu, kan? Hancur, tapi aku sadar ada orang-orang yang mencintaiku. Mas Danu, ibuku juga mertuaku. Mereka semua menyayangiku. Berlarut-larut dalam kesedihan akan menularkan kesedihan yang sama juga kepada orang lain, Ay."

"Kamu nggak mau orang tuamu sedih juga, kan?" sambungnya.

Ayana bergeming. Dia sadar belakangan ini dirinya lebih suka mengurung diri di kamar daripada duduk berlama-lama di ruang makan atau ruang keluarga sekadar bercerita perihal pekerjaan atau tentang klien yang aneh kepada kedua orang tuanya.

"Banyak orang yang sayang ke kamu. Bangkit bukan berarti melupa pada mereka yang telah pergi, tetapi meratap dan menutup diri akan membuat kesempatan untuk menjadi lebih baik tertunda."

Mengangguk pelan, Ayana berkata, "Thanks, Sarah. Entah kenapa aku merasa Damar masih ada hingga saat ini. Dia hanya ingin membuatku panik dan kemudian dia akan datang mengejutkanku."

"Damar mencintaimu, kan?"

Perempuan berkulit putih itu mengangguk.

"Dia nggak mungkin merencanakan seperti apa yang kamu pikirkan barusan. Bagaimana mungkin dia akan memberi kejutan dengan membuatmu berbulan-bulan menangis."

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top