Prolog

Saudade (Ajari Aku Mencintaimu)

"Aku mau bicara serius. Kamu bisa ke kafe sore ini?"

"Bisa dong! Ada apa? Sepertinya ada hal serius?"

Ayana menarik napas dalam-dalam. Dipejamkannya mata sejenak.

"Serius. Sangat serius, Langit!"

"Oke. Jam empat aku pastikan ada di sana."

"Thank you. Aku tunggu!"

Ayana memutus pembicaraan. Matanya menajam dengan napas naik turun tak beraturan. Kesedihan dan rasa kecewa bercampur aduk di dalamnya.

Ingatannya kembali terlempar pada masa silam. Saat dia begitu terguncang karena harus kehilangan Damar. Seluruh harap dan cita-citanya hilang bersama kepergian pria yang sangat dia cintai.

Terguncang, marah, dan kekecewaan yang mendalam hampir membuat hidupnya berantakan. Kini saat-saat berat sudah dilalui. Dia sudah bisa menerima takdir bahwa Damar memang telah benar-benar pergi. Namun, semua keyakinannya itu dimentahkan. Semesta menghadirkan kembali pria itu. Dia tetap hangat seperti dulu. Damar tetap tersenyum dan menatapnya dengan cinta sama seperti saat mereka masih bersama.

Kedatangan Damar yang tiba-tiba di kafenya pagi tadi membuat shock. Dua tahun berkalang duka mencoba bangkit perlahan meninggalkan semua memori indah bersama pria itu bukan hal mudah. Dia bahkan harus bolak-balik konsultasi dengan psikolog untuk bisa mengobati trauma.

Damar, pria yang selalu tampil rapi itu kini telah kembali. Impian yang terus ia coba kubur setelah sadar bahwa Damar tak mungkin kembali. Namun, kini keinginannya nyata. Kekasihnya itu kembali dengan cinta yang masih seperti dulu. Sementara dirinya sudah tidak lagi sendiri.

**

Kini di depannya ada Langit. Pria yang selalu ada ketika dia terpuruk. Pria yang selalu membuat nyaman itu hanya diam tertunduk ketika Ayana menceritakan yang terjadi pagi tadi.

"Jadi benar kamu tahu dia masih hidup?"

Langit menarik napas dalam-dalam.

"Oke, baik! Jadi ini semua rencanamu?"

"Ay, aku nggak seperti itu."

"Jawab saja, Langit! Kamu yang merencanakan semuanya?  Kamu yang mengatur sedemikian rupa hingga aku seperti perempuan gila?"

"Tega kamu, Langit!"

Mata perempuan berkulit putih itu berkaca-kaca, tetapi parasnya menyiratkan kekecewaan dan amarah.

"Sempurna sekali kamu membuatnya. Kamu benar-benar seorang sutradara andal, Langit!" sambungnya dengan senyuman getir. "Aku dan keluargaku kamu jadikan lakon dalam sandiwaramu! Kamu tahu kamu jahat, Langit!"

Tak ada balasan dari pria di depannya. Langit membisu.

"Kenapa diam? Kamu sedang merancang pembelaan? Atau kamu sedang berpikir apa episode selanjutnya dari ceritamu?"

"Ay, apa aku sejahat itu?" tanya Langit menatap Ayana dengan tenang.

Perempuan berambut cokelat itu memalingkan wajahnya, enggan membalas tatapan Langit.

"Apa seorang kriminal harus bertampang seram? Nggak, kan?" sindirnya. "Aku nggak tahu, apa keluargamu tahu soal skenariomu ini."

Langit menggeleng cepat.

"Nggak. Ini bukan skenario, Ay. Ini sama sekali tidak seperti yang kamu pikirkan."

"Lalu? Kamu sendiri yang menyusun semua adegan sehingga kita semua terlihat pongah? Begitu?"

"Ay! Aku mencintaimu! Dan itu bukan skenario seperti yang kamu bilang tadi," tangkis Langit dengan pembawaan masih tenang.

Ayana tersenyum tipis.

"Kamu sudah nyakitin hatiku!"

"Oke, kalau memang cintaku salah. Izinkan aku memperbaikinya. Beri aku waktu untuk menunjukkan bahwa aku tidak ...."

"Terlambat!"

Ayana menyambar tas tangannya dengan amarah yang meradang. Tak peduli berapa kali pria berhidung mancung itu mengucap maaf.

"Aku nggak nyangka semua kesedihan  yang terjadi di hidupku adalah karena kamu, Langit!"

Pria yang masih berpakaian formal itu terlihat mencoba menenangkan Ayana, perempuan dari masa kecil yang amat ia cinta. Demi bisa bersama Ayana, dia menolak tawaran papanya untuk melanjutkan kuliah S2 kembali di luar negeri.

Pria bermata teduh itu memilih menemani dan membersamai Ayana yang tengah patah karena kematian Damar tunangannya yang kebetulan merupakan anak buah papa Langit.

"Ay, tunggu! Dengarkan aku!" Langit mencoba menahan lengan perempuan bermata bening itu.

"Apa lagi yang harus aku dengar? Kamu tahu, Langit? Aku kecewa padamu! Kamu laki-laki jahat yang pernah kukenal!" Perempuan berbaju peach dengan bawahan putih sepanjang lutut itu begitu rapuh. Ia tak menyangka selama ini Langit tahu perihal Damar. Bahkan pria itu juga mengetahui bahwa ia dan Damar akan segera menikah.

"Lepasin aku!" bentaknya menatap tajam pada Langit.

"Kamu harus mendengarkan penjelasanku dulu, Ay," suara Langit terdengar tenang.

"Penjelasan? Penjelasan apa! Sudah jelas semuanya, Langit!"

Pria mengenakan jas cokelat muda itu memijit pelipisnya. Tak menyangka semuanya akan seperti ini. Memang benar apa yang dikatakan Ayana, tetapi bukan berarti dia sedang mempermainkan perasaan perempuan itu. Keinginan untuk melindungi Ayana begitu besar. Perasaan cintanya pada perempuan itu membuat dia berusaha bersikap seperti layaknya rekan kerja meski mereka telah menikah dan tinggal serumah.

Dengan mata berair Ayana berkata, "Kamu tega menyembunyikan semuanya dariku padahal kamu tahu Damar masih hidup! Kamu bahkan memberi ruang untukku agar bisa membuka hati untukmu. Kamu pria paling jahat yang pernah kenal!"

"Aku nggak sejahat itu, Ay. Tahan emosimu, kita bicarakan baik-baik," balas Langit masih dengan suara pelan.

"Kamu tahu, Langit? Kehilangan Damar itu hal tersulit yang aku hadapi, tetapi itu semua nggak apa-apanya setelah aku tahu kamu bohongi aku!"

Langit meraih tangan Ayana kembali mencoba menenangkan. Namun, dia menarik lengannya kuat sehingga Langit melepaskan. Perempuan berambut sebatas punggung itu bangkit lalu berlari kecil meninggalkan kafe. Sigap Langit ikut beranjak mengikuti perempuan itu.

"Ay! Kita bicarakan di rumah, tunggu!"

🍁🍁🍁

Sepanjang perjalanan keduanya membisu. Mereka baru sebulan menikah. Pernikahan  yang tentu saja didasari cinta sepihak dari Langit. Ayana saat itu begitu rapuh sepeninggal Damar. Kedatangan Langit membuat hidupnya sedikit berwarna. Di mana ada Ayana di situ ada Langit. Hingga akhirnya kedua keluarga yang memang sebelumnya sudah saling mengenal sepakat menikahkan mereka.

Tak ada penolakan dari Ayana, karena dia merasa nyaman dengan pria penyabar dan humoris itu. Walau belum sepenuhnya memiliki rasa cinta.

Bagi Ayana, memiliki sandaran saat ingatannya kembali pada Damar adalah hal yang dia inginkan, dan itu dia temukan pada Langit.

Pernikahan yang masih seumur jagung itu berlangsung bahagia. Langit memberi ruang agar Ayana benar-benar bisa menerimanya  seperti yang ia inginkan. Pria itu benar-benar mencintai Ayana tanpa memaksa balas. Tidak ada kontak fisik layaknya pasangan yang menikah, hanya mereka terlihat seperti rekan kerja yang kompak.

Kesibukan Ayana di kafe dan wedding organizernya, serta kesibukan Langit dengan perusahaan periklanan yang ia rintis membuat pasangan ini terlihat kompak. Tak ada masalah berarti di dalamnya, hingga kedatangan seseorang dari masa lalu Ayana di suatu sore.

Damar datang membawa cintanya yang hampir ia wujudkan dalam sebuah kata pernikahan.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top