Lima

Anya tersenyum menatap pria yang baru saja selesai makan pagi. Pria yang diam-diam dia cintai itu kini berada di depannya. Dia percaya pada bahwa takdirlah yang mempertemukan mereka pada akhirnya. Karena pria itu, dia rela mondar-mandir dari Surabaya ke Makassar demi menemui dan melayani pria berkulit putih itu.

Sebelumnya perempuan berkulit sawo matang itu tak menyangka jika pamannya ternyata telah menolong seorang pria korban tabrak lari serta perampokan saat hendak pergi ke bandara. Anya baru mengetahui setahun terakhir.

Sahrir -paman Anya- adalah seorang mantri puskesmas di kecamatannya. Melihat kondisinya, Sahrir jatuh iba. Ditemukan tanpa identitas dan tidak sadarkan diri membuatnya berupaya menyembuhkan pria tersebut.

Benturan keras di kepala membuatnya amnesia. Dia sama sekali tidak mengingat apa pun tentang dirinya.

"Dari logat bicaranya, dia bukan orang sini. Entah, sepertinya dia orang jauh." Sahrir membuka pembicaraan siang itu.

Anya bergeming. Sengaja dia menyembunyikan rahasia identitas pria itu.

"Sudah dua tahun dia seperti itu. Paman sudah mencoba membuatnya tersadar, tapi masih belum ada reaksi apa-apa. Bahkan namanya saja dia tidak ingat." Sahrir menyesap kopi di depannya. "Menurut dokter Ayu, dia menderita Amnesia Disosiatif.

"Amnesia jenis apa itu, Paman?"

"Amnesia jenis ini merupakan kondisi ketika pengidap tidak mampu untuk mengingat berbagai informasi pribadi yang bahkan dinilai sangat penting. Pengidap amnesia jenis ini bisa saja lupa siapa nama dan segala hal yang erat kaitannya dengan pribadinya," jelasnya.

"Menurut beliau, biasanya, pengidap amnesia jenis ini pernah mengalami kecelakaan yang mengakibatkan trauma pada kepalanya, atau bisa juga karena mengalami kondisi stres."

"Apa itu artinya dia nggak bisa ingat apa pun, Paman?"

"Menurut yang Paman baca, pada amnesia disosiatif, ingatan masih ada, tapi tersimpan sangat dalam di pikiran penderita dan tidak dapat diingat."

"Namun, memori tersebut dapat kembali muncul dengan sendirinya atau setelah dipicu oleh sesuatu yang ada di sekitar orang tersebut," paparnya lagi.

Anya menarik napas dalam-dalam. Ada keinginan untuk memiliki pria itu, tetapi dia juga khawatir jika pria yang tengah duduk membaca di ruang tamu itu mengingat semuanya.

"Kenapa, Nya?"

"Nggak apa-apa, Paman."

Sahrir tersenyum. Dia tahu keponakannya menaruh hati pada pria amnesia tersebut. Beberapa kali dia memergoki Anya tak henti menatap pasiennya. Bukan tanpa alasan juga jika anak perempuan kakaknya itu belakangan ini sering bolak-balik ke kampung halamannya.

"Kamu jatuh cinta padanya?"

Anya menoleh ke pamannya kemudian tersenyum.

"Kalau memang itu yang kamu rasakan, kamu harus bantu dia mengingat apa pun. Ajak dia berbincang lebih intens," saran Sahrir seraya meneguk air putih.

Anya kembali tersenyum. Pamannya memberi nama pria itu dengan panggilan, Fahri.

"Paman."

"Ya?"

"Boleh tidak sore nanti Anya ajak Fahri ke pantai?"

"Boleh saja."

Bibir Anya melebar. Dia kemudian bangkit melangkah mendekati Fahri.

"Halo," sapanya seraya duduk di samping pria itu.

"Hai," balasnya meletakkan majalah yang dia baca di meja.

Fahri terlihat lebih kurus dibandingkan beberapa bulan yang lalu. Menurut Bibi Sari istri Sahrir, belakangan ini pria itu tampak tidak selera makan.

"Sore nanti aku ajak kamu jalan-jalan gimana? Mau?"

Damar menatap Anya sejenak kemudian bertanya, "Jalan ke mana?"

"Pantai! Kamu pasti belum pernah jalan-jalan, kan?"

Fahri menggeleng.

"Aku malas. Aku masih ingin tahu siapa aku."

Anya tersenyum.

"Sebaiknya kamu tidak terus berada di rumah. Menikmati udara pantai akan mengubah mood kamu. Percaya deh!"

"Eum ... mungkin juga sudah waktunya harus potong rambut!" sambung Anya lagi. Terakhir dia mengajak pria itu potong rambut sebulan yang lalu.

"Oke!" tuturnya seraya mengedikkan bahu. "Oh ya ... kamu kok lama nggak balik ke Surabaya?"

Anya sedikit tersentak mendengar pertanyaan Fahri.

"Kenapa emang? Kamu nggak suka aku di sini?"

"Bukan begitu, tapi bukannya ini hari kerja? Kamu nggak kerja?"

Anya merasa terganggu dengan pertanyaan Fahri.

"Aku sedang berpikir untuk berhenti kerja di sana dan membuka bisnis serupa di sini. Kamu mau bantu?"

Fahri tersenyum tipis.

"Apa yang bisa kamu harapkan dari pria yang bahkan identitasnya saja nggak tahu," balasnya. "Kamu nggak takut jika suatu saat nanti ternyata aku bukan orang yang baik?"

"Aku percaya kamu orang baik, Fahri."

"Kenapa kamu sepercaya itu? Kamu bicara seperti sudah sangat kenal aku?"

Anya tersenyum tipis.

"Sudahlah, gimana, kamu setuju kita jalan sore ini?"

Fahri mengangguk kemudian tersenyum.

**

Fahri terlihat tampan ketika selesai merapikan rambutnya di sebuah barber shop. Dia tersenyum membalas tatapan Anya yang tampak terpesona memandangnya.

"Jadi kita ke mana sekarang?"

"Pantai dong!" Anya bangkit mengajak Fahri kembali memboncengnya.

Kedua insan itu terlihat menikmati kebersamaan. Sesekali tawa riang menghiasi bibir keduanya.

"Kita duduk di gazebo itu," ajak Anya diikuti anggukan Fahri.

Embus angin sepoi-sepoi, aroma khas pantai dan matahari yang perlahan mulai kembali ke peraduan menciptakan suasana romantis. Keduanya bergeming menikmati suasana. Berulangkali Anya mencuri pandang ke Fahri. Pria itu terlihat sangat menikmati momen itu.

"Apa aku pernah ke sini sebelumnya?" tanyanya tanpa menoleh.

Kening Anya berkerut kemudian menggeleng.

"Nggak pernah. Kenapa?" Ada rasa khawatir di hatinya.

"Nggak pernah ya. Iya, kamu benar, nggak pernah."

Fahri terlihat tengah mengingat sesuatu. Hal itu membuatnya tampak buruk. Pria itu memegangi kepala seperti tengah mencoba memunculkan slide film yang ada di memorinya.

"Kamu kenapa, Fahri?" Anya panik. "Kamu baik-baik aja, kan?"

Fahri bergeming.

"Kamu tahu, Damar. Sejak bersamamu, aku jadi ikut menyukai pantai. Padahal sebelumnya kamu tahu aku akan lebih memilih main ke mal daripada membuat kulit gosong karena harus berlari mengejar ombak." Suara itu terngiang di telinga Fahri.

Pria bermata tajam itu tampak berusaha mengingat sesuatu.

"Damar ... Damar ...," gumamnya.

Anya yang berada di sebelahnya menatap dengan mata membulat sempurna. Mendadak ketakutan merambah hati ketika pria itu menyebutkan nama Damar.

"Eum ... Fahri, kita balik yuk! Kamu sepertinya tidak sedang dalam kondisi yang baik." Anya bangkit mencoba meraih tangan pria itu.

"Nggak. Aku baik-baik aja."

"Tapi kau sepertinya ...."

"Tolong, Anya. Tolong biarkan aku di sini. Aku seperti mengingat sesuatu."

Anya menarik napas dalam-dalam.

"Apa yang kamu ingat?" tanyanya khawatir.

"Aku mendengar suara seseorang memanggil nama Damar." Fahri memejamkan mata kembali mencoba mengingat.

"Siapa Damar? Lalu suara itu ... sepertinya nggak asing di telinga."

"Sudahlah, ayo kita pulang. Nggak baik buatmu untuk memaksa mengingat." Lagi-lagi Anya mencoba meraih lengan pria itu.

"Tunggu! Apa aku yang bernama Damar?"

Anya tertegun, parasnya berubah panik.

"A ... aku nggak tahu. Eum ... maksudku, lebih baik kita pulang dan bicara soal ini ke Paman Sahrir.

**

Ayana memekik kesakitan ketika tangannya terkena pisau saat mengiris apel yang sedianya akan dibuat salad untuk kedua tamu agung sore nanti. Langit yang berada tak jauh dari tempat Ayana segera menghampiri.

"Kenapa, Ay?" Mata Langit menyipit melihat jari sang istri berdarah. "Tunggu!"

Gegas dia menuju kotak obat lalu kembali ke tempat istri yang sudah duduk di ruang makan. Sigap dia membasuh luka Ayana lalu menutupnya dengan kain kasa dan plester.

"Kamu nggak usah terusin. Biar aku aja!" titahnya. "Lagian kamu ngelamun siapa sih sampe luka gitu?"

Ayana yang sejak tadi tak menyangka dengan reaksi Langit dan diperlakukan berlebihan oleh pria itu membalas dengan senyuman. Ada rasa sakit di hati melihat semua perlakuan Langit padanya. Terkadang dia merasa perempuan paling jahat di muka bumi. Terlebih ketika Langit justru tak pernah memaksanya melakukan hal yang seharusnya dilakukan.

"Langit tunggu!"

"Kenapa?"

"Maafin aku." Air mata Ayana menetes tanpa bisa ditahan.

"Hei, kenapa nangis? Lukanya sakit?"

Ayana menggeleng.

"Aku ... aku keterlaluan ya?"

Langit mengerutkan keningnya kemudian kembali duduk.

"Kamu kenapa, Ay?"

"Kamu harusnya nggak menikah denganku, Langit."

"Ada apa ini? Kenapa kamu tiba-tiba bicara seperti itu?"

"Aku ... aku merasa perempuan paling jahat. Aku biarkan kamu menanggung sedihku. Aku biarkan kamu menikmati kehidupan pernikahan yang tidak seharusnya, aku ...."

"Sssttt, nggak usah diteruskan. Dengar, Ay. Apa yang kamu rasakan saat bersamaku?"

Ayana menatap pria di sampingnya itu lekat.

"Nyaman."

Langit tersenyum kemudian mengangguk.

"Biarkan rasa itu begitu adanya. Ikuti saja perasaan itu, Ay."

Langit mengusap pipi sang istri yang basah. Keduanya saling menatap.

"Please, Ay. Jangan pernah bicara seperti itu lagi. Aku nggak merasa terbebani dengan keputusan ini. Percayalah!"

Ayana tak menjawab. Mereka masih saling menatap. Langit mencoba memangkas jarak kemudian satu kecupan hangat tersemat di kening perempuan cantik itu. Ayana memejamkan mata menikmati momen itu.

"Walau aku bukan senja yang kau tunggu, tetapi aku adalah langit yang siap menemani harimu." Langit mengusap lembut pipi Ayana.

"Senyumlah, sebentar lagi kedua pahlawan cantik kita tiba," tuturnya lagi.

Ayana melebarkan bibir mendengar ucapan sang suami. Hatinya menghangat menatap punggung Langit yang tengah melangkah menuju dapur.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top