Enam
Kedua Mama saling bertukar cerita tentang apa pun di meja makan. Sementara sesekali mereka memberikan wejangan untuk Langit juga Ayana.
"Jari kamu kenapa, Ay?" selidik Fenita. "Jangan bilang karena Langit."
"Mama, emang Langit ngapain sampe bikin jari Ayana luka begitu?" protesnya.
"Mama, Ayana nggak kenapa-kenapa kok. Ini tadi pisaunya lagi nakal waktu Ayana motong apel," jelasnya.
"Dia memang sering begitu, Mbak Fe. Sering ceroboh!" Astrid menatap putrinya. "Iya, kan, Ay?"
"Iya, Ma. Iya."
"Lain kali hati-hati, Ay," tutur Fenita. "Kalau lagi masak atau beraktivitas di dapur, jangan ngelamun. Bisa kacau nanti masakan."
"Iya, Ma," balas Ayana membalas senyuman mertuanya.
"Jadi nanti malam kita berdua mau bermalam di sini. Kami tidur di kamar yang mana, Langit?" Fenita meletakkan mangkuk salad yang sudah kosong di depannya.
"Mama mau tidur di kamar kami nggak apa-apa, atau di kamar sebelahnya juga nggak apa-apa."
Fenita menatap Astrid kemudian berkata, "Kita di kamar sebelahnya aja ya, Mbak. Nggak enak juga tidur di kamar pengantin baru."
"Sepakat!" timpal Astrid.
Mereka berempat kembali terlibat pembicaraan. Sesekali Ayana tampak tertawa mendengar cerita Fenita tentang Langit. Terkadang justru Langit yang terbahak saat mendengar kisah lucu dari mertuanya tentang Ayana. Terkadang terlihat Langit menatap sang istri dengan tatapan hangat, dan begitu juga sebaliknya.
"Kami harap, kalian bisa nyaman satu sama lain. Bicarakan apa yang menjadi ganjalan di hati." Astrid menatap keduanya kemudian beralih ke Fenita.
"Benar. Jangan pernah ada masalah yang mengendap. Sebuah rumah tangga itu dibutuhkan saling terbuka, tidak ada yang ditutupi. Kamu Langit, kamu sebagai suami harus peka dengan istri. Mama bahagia kamu sudah menemukan jodoh. Terlebih ketika Mama tahu bagaimana Ayana dan keluarganya. Mama sudah nggak risau lagi," ujarnya Fenita panjang lebar.
Malam semakin larut, Ayana mengajak kedua perempuan itu beristirahat di kamar.
"Selamat istirahat, Mama."
"Makasih, Ay. Kamu juga ya," balas Fenita dan Astrid hampir bersamaan.
Ayana mengangguk kemudian menutup pintu perlahan. Dia tersenyum melihat Langit tengah menonton film di channel TV favoritnya.
"Nggak tidur?" tanyanya menghampiri.
Pria itu memandang Ayana sejenak kemudian kembali menatap layar kaca.
"Kamu tidur dulu. Aku belum ngantuk," sahutnya.
Langit berpikir bagaimana mungkin dia bisa tidur sekamar dengan perempuan yang sudah sah dia miliki, tetapi harus berusaha menahan diri untuk memberi ruang bagi Ayana agar tidak merasa dipaksa.
Sementara Ayana justru sudah sampai pada titik mengikuti arah ke mana takdir membawanya. Jika Tuhan telah memilihkan Langit sebagai jodohnya, dia akan berusaha untuk menerima dengan kelapangan hati. Namun, tentu saja ada ego yang dia tahan untuk mengatakan bahwa sebenarnya dia tidak keberatan jika pria di sampingnya itu meminta haknya.
Ayana berpendapat bahwa untuk urusan pribadi yang bersifat ranjang, pantang bagi perempuan untuk memulainya. Terlebih dengan kondisi mereka saat ini yang masih berada dalam perjanjian. Perjanjian yang menurut Langit akan membuat Ayana lebih baik dan bisa mencoba mencintai dirinya tanpa paksaan keadaan atau apa pun.
"Kok ngelamun? Mau gabung nonton?" Suara Langit mengejutkannya.
"Nggak, eum ... aku ke kamar dulu ya." Perempuan berkaus panjang sebatas lutut itu bangkit. Sengaja dia tidak langsung pergi, berharap Langit mematikan televisi dan ikut dengannya ke kamar. Namun, dia tidak mendapati itu .
Pria berkaus putih itu hanya mengangguk.
"Selamat istirahat, Ay."
Ayana tersenyum tipis menahan kecewa. Dia kemudian mengayun langkah menuju kamar. Sementara Langit menarik napas dalam-dalam ketika pintu kamar ditutup. Tak ingin berpikiran macam-macam, dia kembali menatap layar kaca.
Malam semakin larut, tetapi Langit masih berada di ruang keluarga dengan mata yang sama sekali tidak mengantuk. Tak jauh beda dengan Ayana, perempuan berkulit putih itu sejak masuk kamar tak ada yang bisa dia lakukan selain menatap ponsel dan melihat beberapa tawaran diskon di beberapa aplikasi belanja online.
Jika bosan dia pindah ke Instagram melihat postingan teman-temannya, begitu seterusnya hingga dia merasa lapar.
Ayana melihat ke jam dinding, pukul satu dini hari. Pelan dia membuka pintu. Keningnya berkerut menyadari Langit masih di depan televisi. Pria itu membiarkan TV menyala sementara dia menikmati musik dari gadgetnya.
"Langit, kenapa nggak tidur? Kamu nggak mau sekamar denganku?" sapanya ketika sudah berada di dekat pria itu.
Langit yang memakai earphone terkejut melihat Ayana sudah berdiri di sebelahnya.
"Ayana? Kamu belum tidur?" tanyanya melepas earphone.
Istrinya itu menampakkan wajah tak suka.
"Kamu kenapa nggak tidur?" tanyanya lagi.
"Kamu sendiri kenapa nggak tidur?" Ayana melipat tangannya ke dada. "Kamu terganggu sekamar denganku?"
Menyadari sang istri kesal, dia tersenyum kemudian bangkit berdiri di depan sang istri.
"Kita duduk dulu. Jangan ambil kesimpulan sendiri. Ayo."
Tak ada penolakan, Ayana dengan wajah cemberut mengikuti ajakan sang suami. Keduanya kembali duduk di sofa cokelat itu.
"Aku nggak bisa tidur, Ay." Langit menarik napas dalam-dalam. "Daripada aku di sana mengganggumu berisitirahat, lebih baik aku di sini, kan?"
Perempuan berhidung mancung itu bergeming. Dia mengutuk diri sendiri yang berharap Langit bersamanya malam ini. Terkadang dia merasa Langit menikahinya hanya karena iba melihat dia terpuruk sehingga tampak menyedihkan.
Sekali waktu Langit terlihat sangat perhatian dan menyenangkan. Namun, tak jarang pula suaminya tampak acuh dan tidak peka dengan perasaannya seperti saat ini.
Ayana menarik napas lalu mengembuskan perlahan.
"Harusnya kamu bilang aja kalau kita sedang berpura-pura."
"Pura-pura?" tanya Langit.
"Iya, pura-pura kalau kita seperti pasangan muda yang bahagia!" tandasnya.
"Ay, kedua Mama kita ada di kamar itu. Kalau salah satu dari mereka tahu akan panjang masalahnya."
"Akan ada dua kemungkinan, semakin panjang atau segera selesai!" tangkis Ayana.
"Ay, kita ke kamar sekarang." Langit mengulurkan tangannya dengan tatapan hangat.
"Aku lapar!" tolak Ayana dengan bibir mencebik.
Melihat ekspresi istrinya, Langit tak sanggup menyembunyikan tawa.
"Pantes bawaannya sensitif gitu. Kamu lapar? Ayo ke dapur, aku barusan juga tadi bikin roti panggang sama daging asap, keju juga mayonaise. Atau kamu tunggu di sini, aku buatin roti panggang seperti aku buat tadi?"
Perempuan berkaki jenjang itu terlihat berpikir. Sejenak dia menatap Langit yang juga tengah menatapnya.
"Oke, aku buatkan. Jangan cemberut gitu! Nanti aku cium baru tahu rasa!"
Tanpa menghiraukan wajah Ayana yang keki karena ucapannya, Langit pergi ke dapur, membuat makanan.
Melihat sang istri lahap menikmati roti panggang buatannya, Langit tersenyum.
"Kenapa senyum? Aku lucu?" Ayana menyelesaikan potongan roti terakhirnya kemudian meneguk air putih.
"Lucu, lucu banget! Apalagi waktu marah tadi."
Wajah Ayana bersemu merah menyadari ucapannya beberapa waktu lalu terkesan seperti anak-anak.
"Maaf, Langit. Aku tadi ...."
"Lapar?"
Bibir merah perempuan itu melebar, kemudian seperti biasa, dia selalu menyelipkan cubitan di lengan kokoh suaminya.
"Aku berpikir kamu nggak mau tidur karena kita sekamar," ungkapnya.
Langit tersenyum. Dia menatap vas bunga di tengah-tengah meja makan. Meski baru seumur jagung, pelan tapi pasti rumahnya sudah terkesan lebih feminim.
Ayana membeli beberapa tanaman untuk diletakkan di teras rumah dan beberapa bunga hias untuk di dalam rumah. Belum lagi dengan aneka gantungan kunci. Masing-masing berbeda. Dari mulai kunci rumah, kunci kamar, kunci pintu belakang, dan kunci mobil. Semua berbeda baik warna juga bentuk.
"Kamu ngantuk?"
"Nggak." Langit menggeleng.
"Kamu tidur aja di kamar sana. Aku mau ngelanjutin pekerjaan. Ada klien yang minta pesta mereka dikonsep seperti pesta rakyat. Jadi butuh energi dan pikiran yang cukup menyita."
Kening Langit berkerut.
"Kamu pikir aku bisa tidur nyenyak sementara kamu di luar kamar dan bekerja?"
"Langit, kamu harus istirahat. Aku tadi kan ...."
"Kamu sejak tadi juga nggak tidur, kan?" potongnya seraya menempelkan jari ke bibir sang istri.
"Sudah, nggak usah berdebat. Kita ke kamar sekarang!" Dia bangkit lalu meraih tangan Ayana memberi isyarat agar sang istri mengikutinya.
"Ngapain?" tanyanya.
Ucapan itu spontan keluar dari bibirnya. Mendadak Ayana merasa menggali kuburannya sendiri. Pertanyaan ambigu yang keluar dari mulutnya membuat Langit tersenyum nakal.
"Kamu maunya kita di kamar ngapain?"
Paras Ayana memerah menahan malu. Segera dia memalingkan wajah ke arah lain.
"Jangan memancing singa yang lapar, Ay," bisiknya seraya mengulum senyum. Sementara Ayana hanya bisa diam mengikuti langkah sang suami.
"*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top