empat
**
Kemandirian Langit sejak kuliah membuatnya bisa memiliki rumah sendiri. Rumah itu pula yang ditinggali oleh mereka berdua. Rumah bertype 45 itu memiliki dua kamar dengan ruang tamu dan ruang keluarga serta pantry dibuat menyatu sangat nyaman.
"Semoga kamu suka, Ay," tuturnya saat mereka baru pulang dari 'bulan madu'.
Ayana mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Semuanya telah terisi dengan furnitur lengkap. Dinding terlihat bersih dengan wallpaper putih.
"Eum ... kamu bisa memilih kamar mana yang kamu suka. Kalau kamu nggak suka sana tatanan rumah ini, kamu bisa ganti, atau mungkin ada furniture yang kamu nggak suka, kamu bilang ke aku, nanti aku ...."
"Langit, aku suka kok," potong Ayana.
"Syukurlah ... sekarang kamu bisa pilih kamar yang mana. Oh iya, mungkin ada yang harus dilengkapi di kamar itu nanti."
"Apa?"
"Meja rias. Secara aku bukan pria pesolek yang membutuhkan berenteng perlengkapan rias, beda dengan perempuan," terangnya disambut senyum lebar oleh Ayana.
"Kamu pilihkan aja kamar yang mana. Aku mau ke dapur."
Langit menyipitkan matanya mengikuti langkah perempuan itu.
"Kamu mau ngapain, Ay? Oh iya, kulkasnya belum terisi, sori."
"Aku bawa kopi capuccino instan di koper, kamu mau? Aku bikinin!"
Ayana menuang air ke ketel lalu menyalakan kompor. Dia melakukan itu tanpa canggung sedikit pun. Hal itu membuat bibir Langit tertarik membentuk pisang.
"Kopi? Bukannya kamu punya riwayat asam lambung?"
"Sekali-kali nggak apa-apa, kan? Oh iya, kamu bisa bantu aku ambil capuccino-nya di koper?"
"Oke, Ay."
Langit masih berdiri di sebelah koper Ayana. Meski dia kini telah sah menjadi suami perempuan berhidung mancung itu, tetap saja kesepakatan harus dilakukan. Salah satunya adalah larangan membongkar barang-barang pribadi.
Sudut mata Ayana menangkap Langit yang tidak melakukan apa pun.
"Langit? Kamu kenapa?" tanyanya dari pantry dengan mata menyipit.
"Kamu ambil sendiri deh, Ay! Aku bawa koper ini ke sana ya."
"Eh, kenapa sih?" cegah Ayana saat Langit hendak menarik koper itu ke arahnya.
Menarik napas, Langit berkata, "Bukannya kita tetap harus menjaga privasi? Koper ini milikmu, dan aku nggak berhak membukanya."
Ayana menghela napas kemudian menjawab, "Apaan sih, Langit! Aku kan minta tolong ke kamu, bukan tiba-tiba kamu abrak-abrik sendiri itu koper tanpa sepengetahuanku."
"Jadi nggak apa-apa nih?"
"Ish, nggak apa-apa! Buruan, ini airnya udah mau mendidih!"
Langit tersenyum. Tangannya segera membuka benda itu. Tak sulit menemukan minuman instan yang disebutkan Ayana. Segera dia mengambil serenteng kopi capuccino dari tempatnya.
Namun, gerakan Langit terhenti ketika melihat foto seseorang di sana. Seorang pria dengan senyum mengenakan kaus hitam dengan celana denim tengah tersenyum. Meski dirinya belum kenal dengan Damar, tetapi dia tahu bahwa pria itu adalah Damar.
Langit tahu sebab pria yang dicintai istrinya itu adalah salah satu dari karyawan papanya yang hilang.
"Langit? Lama banget sih? Ada nggak capuccino-nya?" Teriakan Ayana membuatnya tersadar. Segera pria itu menutup kembali koper dan bangkit menuju pantry.
"Kamu mau makan malam apa?" Langit bertanya setelah mereka berdua menikmati capuccino di ruang makan.
"Kamu mau masakin aku?" tanya Ayana menyelidik.
"Enggak, kan ada delivery order."
Perempuan itu tertawa kecil.
"Nggak usah, aku lihat kamu ada simpen mie instan di lemari situ kan?" Perempuan itu menunjuk ke lemari pantry.
"Iya sih, tapi masa iya malam ini kita makan nggak sehat?"
Ayana tersenyum. Langit memang sangat disiplin soal asupan makanan yang masuk ke tubuhnya. Mie instan bagi pria itu hanya untuk kondisi darurat. Selebihnya dia memilih buah atau salad sayuran untuk dinikmati.
"Kamu nggak mau?"
"Aku ngikut aja deh. Terserah kamu, Ay."
Kembali Ayana tersenyum.
"Oke, kalau gitu antar aku ke minimarket depan komplek. Kita beli telur di sana, eum ... sepertinya ada sayuran juga di minimarket itu."
"Nanti aku yang masak!" sambungnya lagi.
Langit mengangguk setuju.
**
Kesepakatan telah dibuat dan tidak untuk dilanggar. Baik Langit maupun Ayana, mereka merasa lebih bisa menghargai privasi masing-masing. Meski begitu keduanya terlihat menikmati proses itu. Setiap pagi, mereka bersama menghangatkan tubuh di pantry. Mereka diskusi di depan kompor sekaligus bertukar ide untuk pekerjaan mereka agar lebih baik.
Tidak ada perselisihan berarti di antara keduanya, hingga saat kabar bahwa mama mereka masing-masing akan berkunjung ke kediaman mereka pekan depan. Selama ini belum pernah salah satu dari orang tua mereka berkunjung ke kediaman keduanya. Jika ada ide seperti itu, segera baik Langit atau Ayana meminta agar mereka saja yang berkunjung ke orang tua mereka.
"Kalian ini kenapa sih? Sudah dua pekan masa iya kami belum berkunjung ke sana?"
"Mama, rumah kami masih berantakan. Iya, kan Ay?" Langit menatap istrinya agar menyetujui ucapannya.
"Iya, Ma. Kami masih suka ganti-ganti suasana rumah. Kadang sofa yang seharusnya di ruang tamu, kami pindah ke tengah, tapi setelah di tengah ... nggak cocok, jadi sama Langit dipindahkan lagi ke tempat semula."
"Nah itu, Ma. Kalau Mama di sana, pasti terganggu, Ma."
Mama Langit diam menatap putranya.
"Kamu nggak bohong kan?"
"Mama, buat apa Langit bohong. Iya, kan, Sayang?"
Mata Ayana membulat mendengar Langit memanggilnya sayang.
"Ay? Kalian nggak sedang menutupi sesuatu, kan?" Mertuanya kali ini menatap ke Ayana.
"Nggak, Ma. Apa yang dibilang Langit itu benar."
Fenita menghela napas dalam-dalam.
"Kalau begitu, Mama undur pekan depan ke rumah kalian. Mama akan ajak Mama Ayana. Pekan depan nggak ada alasan lagi, Langit!"
Pria berambut sedikit gondrong itu menatap istrinya.
"Oke, Ma. Pekan depan."
**
"Jadi, baju aku atau baju kamu yang pindah kamar? Mamamu dan Mamaku, mereka akan menginap semalam di rumah ini," tutur Langit.
Ayana tersenyum.
"Terserah kamu."
"Terserah ya? Jawaban yang ambigu."
Perempuan di depannya itu kali ini tertawa kecil.
"Baju kamu aja ya. Kan kamar aku lebih luas. Nanti mereka nggak akan percaya kalau kita tidur di kamar yang sekarang kamu tempati. Selain itu kamar nggak ada kamar mandinya, kamar itu juga sedikit lebih kecil dibanding yang aku tempati."
"Selain itu ...." Ayana menghentikan kalimatnya.
"Apa?"
"Agak repot juga kalau aku harus mindahin peralatan tempur aku. Iya, kan?"
Langit tertawa.
"Betul, perempuan dan segala peralatan tempurnya itu memang ribet!"
"Maksudnya? Aku ribet?"
"Bukan, Ay. Bukan kamu, tapi deretan make-up itu yang bikin ribet," balasnya.
"Ya tapi itu kan sudah jadi kebutuhan perempuan, Langit."
"Oh iya? Apa itu termasuk kamu? Karena setahu aku kamu kurang suka dengan make up. Dulu sih, duluu ... waktu acara di sekolah."
Ayana tersenyum manis lalu mengangguk.
"Ya kali aku ketemu klien pucat gitu, Langit. Kan harus good looking," kilahnya.
"Tapi Ay."
"Apa?"
"Kamu tanpa make-up udah cantik," ungkap Langit menatap hangat pada Ayana. "Kamu cantik bahkan ketika bangun tidur." Langit meraih tangan Ayana. "Kamu tahu, Ay? Aku bahagia bisa bersamamu. Mungkin keputusan untuk menikah dengan perjanjian bukan hal yang wajar, tapi aku harap akan menjadi indah nantinya."
Ayana menelan ludahnya ketika mata mereka saling bersirobok. Lama mereka saling bertukar pandang, tetapi sejurus kemudian keduanya tersadar.
"Oke, sudah waktunya kita berangkat kerja. Ayo siap-siap." Langit bangkit menuju kamarnya meninggalkan Ayana yang masih terpaku di sofa mengingat kejadian yang baru saja terjadi.
"Cinta itu tidak pernah ada alasan, Ay. Dia murni muncul dari hati. Jika cinta beralasan ... percayalah, itu bukan cinta." Ucapan Langit saat mereka menikmati keindahan pulau Lombok kembali terngiang di kepalanya.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top