dua





**

Rinai hujan masih satu-satu jatuh menyapa bumi, matahari sudah menyembul ke permukaan membuat pendar hangat  dan gores warna indah di cakrawala. Keriuhan pejalan kaki kembali memadati trotoar, pun demikian dengan penjaja makanan yang biasa menawarkan dagangan di sepanjang jalan protokol ini.

Sebuah kafe kecil yang terletak di ujung jalan juga terlihat geliatnya. Jelang siang hingga dini hari nanti tempat itu akan menjadi sasaran muda-mudi berkumpul. Dari yang berkencan atau yang hanya sekedar menikmati layanan WiFi gratis. Terlebih ini adalah akhir pekan dan tentu saja malam nanti adalah malam panjang bagi mereka yang telah menghabiskan enam hari bekerja.

Seorang gadis berambut sepunggung tampak memegang kemoceng membersihkan setiap meja di cafe itu. Sesekali dia merapikan anak rambut yang berserak di wajah bersihnya. Dia menghentikan aktivitas saat pintu kaca cafe terbuka, seorang pria bertubuh tegap dengan t-shirt putih dan celana denim dan rambut sedikit gondrong tampak mengambil duduk di dekat jendela. Dengan senyum, dia menghampiri.

"Maaf, sepertinya tulisan close masih menggantung di pintu, Mas. Kami masih tutup. Sekitar setengah jam lagi buka," tuturnya ramah.

Pria berkulit sawo matang itu bergeming dengan gadgetnya. Tanpa menanggapi tatapan Ayana dia berkata "Sejak kapan owner ikut ngebersihin meja?"

Ayana mengernyitkan dahi mencoba menatap pria yang masih sibuk dengan ponselnya.

"Apa kita kenal?"

"Apa kabar, Ay?" tanyanya kali ini mendongak membalas tatapan Ayana.

Alis Ayana bertaut, matanya membulat sempurna menatap pria di depannya. Pria berhidung mancung itu tersenyum tipis.

"Wajar kalau lupa, sudah lama banget. Tapi sialnya aku nggak pernah lupa sama kamu." Pria itu kemudian kembali menekuri ponselnya. "Ayana, yang selalu menjadi pengibar bendera di sekolah."

Ayana masih berdiri di samping meja pria itu dengan tangan masih memegang kemoceng warna-warni terbuat dari tali rafia.

"Kamu masih phobia sama bulu ayam?" tanyanya memamerkan barisan gigi yang putih. Kali ini Ayana jelas bisa melihat wajah pria itu. "Kamu dulu nangis nggak berhenti gara-gara Dio memasukkan bulu ayam ke dalam tasmu, kan? Yang akhirnya kita semua anak cowok dihukum? Kamu masih ingat?"

"Langit? Kamu Langit?" Dia sedikit memiringkan kepala dengan mata menyipit.

Pria itu tersenyum lebar kali ini.

"Apa kabar Ayana Ariella Absarini?"

Ayana tertawa kecil mendengar kawan masa kecilnya masih mengingat nama panjangnya.

"Dari mana kamu tahu kalau aku yang punya? Kenapa tiba-tiba kamu muncul begitu aja? Setelah lama ngilang?"

"Wow, wow ... satu-satu tanyanya, Ay."

"Aku tahu ini kafemu dari Bram. Dia bilang kamu beberapa kali konsultasi masalah design juga furniture yang pas untuk kafemu. Dia juga cerita kalau kamu minta Bram mendesign kantormu. Iya,kan?"

Ayana mengangguk.

"Kenapa aku muncul tiba-tiba? Sebenarnya nggak tiba-tiba juga sih."

"Terus, sejak kapan kamu ada di negara ini? Bukannya kamu udah jadi komoditi ekspor ya?" cecar Ayana bercanda.

Terakhir dia tahu kabar bahwa Langit ke luar negeri ketika malam perpisahan SMP. Sejak dinyatakan lulus, dia ikut sang kakek ke Australia, dan meneruskan sekolah hingga menyelesaikan kuliah di sana.

Langit tertawa kecil mendengar ledekan Ayana.

"Kamu pikir aku barang?" timpalnya.

Tawa keduanya meledak.

"Kamu apa kabar, Langit?"

"Baik, seperti yang kamu lihat. Kamu sendiri?"

Senyum Ayana memudar. Mata indah perempuan itu tampak mendung. Mungkin terasa basi jika dia harus kembali bercerita soal kepergian pria yang dicintai. Namun, bersama Langit meski baru saja bertemu, entah kenapa dia merasa nyaman untuk mencurahkan segala perasaan di hatinya.

"Ay?" Langit melambaikan tangan tepat di depan wajahnya Ayana.

Perempuan itu tersenyum tipis.

"Kamu mau minum apa?"

"Emang kafe udah buka?" Langit balik bertanya.

"Tuh!" Ayana memberi isyarat dengan dagu ke arah pintu masuk. Satu dari karyawannya sudah membalikkan tulisan open di pintu kaca.

Langit tertawa. "Apa aja. Yang penting owner yang buatin!'

Ayana mengangguk lalu bangkit.

"Seleramu masih sama, kan?"

Pria itu menautkan alisnya kemudian bertanya, "Selera apa nih?"

Perempuan semampai itu kembali tertawa kecil.

"Kamu nggak suka es. Kalau ke kantin, kamu selalu minta minuman hangat, dan nggak suka soft drink. Apa itu masih berlaku?"

"Kamu masih ingat?"

"Tentu!"

"Apa itu artinya aku istimewa?" Kali ini Langit terlihat menggodanya.

"Iya dong! Istimewa sekali."

"Oh, thanks God! Finally ada yang menganggapku istimewa!" tutur Langit seraya mengepalkan tangan ke udara.

"Norak!"

"Dianggap istimewa itu menyenangkan, Ay. Apalagi yang bicara begitu ... kamu!'

"Kamu nggak tanya kenapa kamu istimewa?"

Langit mengedikkan bahu.

"I don't care about that. Yang penting istimewa," kelakarnya.

"Kamu istimewa karena pergi nggak pamit, datang nggak diundang!"

Ucapan Ayana membuat Langit menatap lekat perempuan itu dengan wajah penuh tanya.

"Jelangkung?"

Ayana tak bisa menahan tawa. Perempuan cantik itu terkekeh geli melihat ekspresi Langit.

"Nggak apa-apa, yang penting aku bisa istimewa di matamu," tuturnya menatap seraya tersenyum hangat ke Ayana.

Tatapan tak biasa itu membuat Ayana kikuk.

"Oke, aku ambilkan minuman hangat buatmu."

Gegas dia meninggalkan meja Langit. Sementara pria itu menatap punggung Ayana dengan tatapan masih seperti tadi. Hangat.

**

Setelah pertemuan itu, keduanya menjadi dekat. Langit banyak memberi support kepada Ayana. Keduanya terlihat seperti sepasang kekasih. Tak pernah ada ungkapan cinta dari mulut mereka, tetapi gesture dari keduanya cukup bisa menerjemahkan apa yang ada di hati mereka berdua.

Kedekatan kedua orang tua Ayana dan Langit sudah sejak lama. Persahabatan ayah mereka masing-masing membuat hubungan keduanya semakin erat.

Hubungan Langit dan Ayana sudah barang tentu meluncur mulus tanpa hambatan. Semua pintu terbuka terlebih ketika usulan dari keluarga besar keduanya untuk meresmikan hubungan mereka ke pelaminan.

Rasa nyaman, hanya itu alasan Ayana ketika Langit melamarnya. Langit mengerti, bukan hal mudah bagi perempuan yang dicintainya itu mengubah rasa. Dia paham, Ayana type perempuan yang setia dan keras kepala. Meski mungkin dia akan seperti pria bodoh, tetapi karena cinta yang besar, Langit tetap memberikan ruang hingga Ayana bisa menerima.

Hal itu disepakati oleh keduanya yang tentu saja tidak diketahui keluarga besar mereka masing-masing. Hanya Ayana dan Langit.

"Kenapa kamu mau melakukan hal ini, Langit?" tanya Ayana ketika mereka tengah mendiskusikan pernikahan mereka.

"Ay, apa menurutmu cinta itu butuh alasan?"

Perempuan di depannya itu mengedikkan bahu lalu menggeleng.

"Kamu tahu aku, kan? Aku sulit untuk jatuh cinta, tetapi jika sudah mencintai seseorang, aku akan mencintai sedalam-dalamnya nggak peduli seperti apa dia. Karena menurutku ... cinta itu tidak butuh alasan."

Langit tersenyum tipis.

"Itu juga alasanku padamu."

Ayana memindai mata Langit. Dia tidak menemukan kebohongan di sana. Pria itu berkata jujur apa adanya.

"Bahkan saat kamu tahu aku ...."

"Masih mencintainya, dan belum mencintaiku. Iya, Ay. Aku nggak punya alasan lain selain mencintaimu," potong Langit.

Ayana menarik napas dalam-dalam. Mungkin tampak jahat atau bahkan tidak manusiawi jika dia menikah hanya karena bosan dengan desakan mamanya untuk segera menerima dan membuka hati untuk Langit. Belum lagi telepon dari Mama Fenita -mama dari Langit yang selalu menanyakan kabarnya dan sering mengirimkan bingkisan apa pun ke kantor atau ke rumahnya.

"Melamun?" Jentikan jari Langit menyadarkan lamunannya.

"Kamu jangan terlalu khawatir, Ay. Aku akan buktikan kalau ... aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta kepadaku. Beri sedikit waktu biar cinta datang karena telah terbiasa ...," tuturnya dengan bernyanyi.

Ayana tertawa kecil mendengar nyanyian Langit. Pria itu masih seperti dulu, suka menghibur siapa saja yang bersedih.

"Kamu masih suka nyanyi dan main gitar?"

Langit mengangguk. "Mau aku nyanyikan sesuatu, Nona?"

Kembali Ayana tertawa. Bersama Langit, dia telah menemukan sisi lain dari hidup. Jiwa humoris dan kesederhanaan pria itu membuat dirinya lebih berwarna.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top